Buku ini merupakan salinan ceramah Mochtar Lubis yang di kemukakan oleh beliau di TIM (Taman Ismail Marzuki). Pidato ini menerangkan tentang karakter manusia Indonesia menurut prespektif Mochtar Lubis. Setidaknya ada 6 ciri yang diungkapkan oleh beliau yang dirangkum menjadi 6 bab pada buku tersebut. Ciri-ciri ini mungkin banyak yang masyrakat Indonesia sudah merasakannya sekarang, walau banyak juga krtik dalam buku tersebut.
Setidaknya kita seperti dibawa pengenalan karakter masyasrakat
Indonesia seperti Munafik, Lepas Tanggu jawab, ABS (Asal Bapak Senang,
Neo-Feodalisme, bahkan sikap positifnya yaitu punya arsisitik yang tinggi. Tapi
buku ini dianggap tidak menampilkan keseluruhan masyarakat Indonesia secara
objektif karena tanpa didasari data-data. Itulah yang menjadi kritik beberapa
tokoh setelah mendengar atau membaca tulisan Mochtar Lubis ini.
Namun, buku ini cukup bagus untuk membuka wacana tentang
Manusia Indonesia walau harus dikritisi dengan lebih analistis. Tapi, dalam buku
ini kita bisa mengetahui bagaimana keberanian Mochtar Lubis untuk mengungkapkan
pemikiranya. Tentulah bagus untuk terus ditelahah apalagi buku atau ceramah
tersebut keluar pada dekade 70 an. Apakah, karakter manusia Indonesia sudah
membaik? atau malah bertambah buruk?
Mesin waktu. Bahwa sesungguhnya ada relevansi yang masih
cukup akurat, dari ketika ia menulis buku ini pada tahun 1977 hingga sekarang
di tahun 2014 ini. Setiap membaca apa yang ia tulis, dalam hati saya selalu ada
jawaban lantang “YA!”. Saya setuju dengan sudut pandangnya tentang generasi
muda pada masa itu, yang juga terhubung dengan generasi muda zaman sekarang.
Saya merasa, jangan-jangan, kami generasi muda Indonesia ini, tidak bertumbuh.
Jangan-jangan, kami generasi muda Indonesia ini, hanya mengulangi pola leluhur
yang bermalas-malasan, ongkang-ongkang kaki, tak punya daya tahan, minim daya
juang, mau enaknya saja, ingin sukses tapi lupa bekerja keras. Saya takut
jangan-jangan kami generasi muda Indonesia memang tidak ke mana-kemana: kami
mengatakan diri kami “KEREN” padahal sesungguhnya kami ini hanya sampah yang
suka “memegahkan” diri sendiri.
***
Sekilas membaca judul “Manusia Indonesia” (sebuah
pertanggungjawaban) membuat saya menebak-nebak isi keseluruhan buku ini.
Ternyata memang benar, buku yang sebelumnya berupa makalah dalam ceramah
Mochtar Lubis di Taman Ismail Marzuki pada tanggal 6 April 1977 ini memaparkan
beberapa ciri-ciri yang kebanyakan merupakan ciri-ciri negatif dari manusia
Indonesia. Saat membacanya saya mengangguk-angguk mengiyakan pernyataan Mochtar
Lubis. Mungkin memang cenderung subjektif, namun tak dipungkiri itu benar-benar
saya rasakan dan terjadi di keseharian manusia Indonesia.
Buku ini terdiri dari beberapa bab dan tanggapan-tanggapan.
Masing-masing setiap bab menjelaskan ciri-ciri manusia Indonesia. Berikut
ciri-ciri manusia menurut Mochtar Lubis.
Pertama, manusia Indonesia mempunyai ciri-ciri Hipokritis atau munafik. Bagaimana tidak, manusia Indonesia seringkali mengatakan sesuatu hal yang berbeda dari apa yang dipikirkanya. Entah hanya mencari aman atau karena mendapat tekanan sehingga takut berkata jujur. Menurut Mochtar Lubis sumber dari sikap hipokrisi ini terlihat dari sistem feodal di masa lalu yang menekan inisiatif rakyat. Bahkan sampai sekarang sikap munafik ini masih marak dimana-mana seperti gerakan anti korupsi yang ternyata anggota dari gerakan itu sendiri melakukan korupsi. Adapun kalimat “ABS” (asal bapak senang) yang merupakan sikap bawahan kepada penguasa yang rela melakukan apapun demi kesenangan penguasa terjadi karena adanya tekanan dan rasa takut terhadap penguasa. Sikap-sikap seperti itulah yang memupuk jiwa munafik manusia Indonesia.
Kedua, ciri-ciri yang sering kita jumpai yaitu manusia
Indonesia enggan bertanggung jawab. Jika ada suatu kesalahan maka akan saling
lempar tanggung jawab atau saling menyalahkan. “Yang diatas tidak mau
bertanggung jawab, yang di bawah juga tidak bertanggung jawab atas kesalahan
dan keburukan yang terjadi, karena “bukan saya” dan “itu perintah atau putusan
atasan” mengimbangi satu terhadap yang lain.” Begitulah menurut Mochtar Lubis.
Begitu pula sebaliknya saat ada kesuksesan manusia Indonesia dengan bangganya
tampil di depan khalayak menerima penghargaan. Padahal orang itu (Mochtar Lubis
menyebutnya “bapak-bapak”) tidak berhak menerima penghargaan yang seharusnya
lebih pantas diberikan pada rakyat atau pengusaha kecil yang mengalami
kesukaran hidup.
Ketiga, manusia Indonesia berjiwa feodal, bahkan
bertahun-tahun setelah penjajahan, feodal masih hidup di dalam sistem
pemerintahan Indonesia. Jiwa feodal ini tercermin dalam hubungan antara
penguasa dan rakyatnya. Sikap feodal ini akan terus mengakar dalam kehidupan
masyarakat Indonesia selama rakyat enggan melontarkan kritik kepada penguasa
dan penguasa enggan mendengarkan kritik dari rakyat.
Keempat, manusia Indonesia percaya takhayul. Ciri-ciri yang
satu ini membuat saya heran, betapa luar biasa masyarakat Indonesia yang
religius namun bisa berdampingan dengan mitos-mitos. Entah ini sifat yang buruk
ataupun baik. Bukankah hebat saat rakyat Indonesia menjalankan solat 5 waktu
namun dia juga menyiapkan sesajen pada malam jumat kliwon atau hari-hari
tertentu. Apakah ini wujud sinkretisme atau manusia Indonesia yang tidak bisa
lepas dari kebudayaan aslinya. Hal yang menarik dari pernyataan Mochtar Lubis
adalah manusia Indonesia adalah tukang bikin simbol. Mereka pandai membuat
jimat, mantra dan membuat sesaji yang bahkan berbeda-beda di setiap daerah.
Hingga zaman modernisasi, manusia Indonesia masih mempercayai takhayul.
Takhayul ini hadir dalam wujud baru. Manusia Indonesia masih pandai menciptakan
simbol-simbol. Mochtar Lubis berharap bangsa ini bisa menjadi bangsa yang tidak
hanya bisa membuat mantra atau simbol saja, tetapi juga bisa bergerak dan
bertindak.
Kelima, manusia Indonesia adalah manusia Artistik, yang
memiliki jiwa seni tinggi. Dari keenam ciri-ciri manusia Indonesia menurut
Mochtar Lubis mungkin berjiwa artistik adalah ciri yang paling baik. Sikap
manusia Indonesia percaya pada alam yang memiliki roh ,sukma ,dan jiwa
membuatnya dekat dengan alam. Mereka sangat sensitif dalam menarik keindahan
alam lalu dituangkan dalam sebuah karya seni. Tak jarang karya seni di
Indonesia dipamerkan di museum-museum luar negeri. Ciri Artistik inilah yang
menjadi satu-satunya harapan demi menjadi bangsa yang lebih baik.
Keenam, manusia Indonesia berwatak lemah. Artinya manusia
Indonesia mudah sekali goyah terhadap sesuatu. Tidak berpegang teguh pada apa
yang dirasa benar dan sangat mudah terpengaruh hingga meninggalkan apa yang
diyakininya. Bahkan sikap seperti ini tercermin pada jaman Soekarno yang tidak
mempermasalahkan inflasi selama demi kebaikan “revolusi Indonesia”. Manusia
Indonesia bersikap seperti ini tak lain untuk “survive”. Untuk menyenangkan
hati rakyat Indonesia sikap seperti ini disebut “tepa slira” yang sebenarnya
tak lain adalah berwatak lemah.
Selain keenam ciri diatas, Mochtar Lubis juga mengungkapkan
beberapa ciri-ciri manusia Indonesia lainya. Diantaranya manusia Indonesia
cenderung boros, tidak suka bekerja keras, tidak sabar, mempunyai sifat iri
dengki, dan masih banyak keburukan lagi.
Selain mengungkapkan analisisnya mengenai ciri-ciri manusia
Indonesia, Mochtar Lubis juga mengkritik habis-habisan sikap negara-negara maju
di dunia ini. Negara-negara maju dengan seenaknya membuat teknologi yang memang
memudahkan pekerjaan manusia namun disisi lain juga merusak alam. Negara-negara
berkembang pun dibuat bergantung pada negara maju. Contohnya Indonesia yang
membukakan pintu selebar-lebarnya terhadap perdagangan bebas dan menerapkan
sistem pembangunan seperti negara-negara maju. Kapitalisme menjamur
dimana-mana. Negara Indonesia mencoba mengikuti modernisasi, hal itu sah-sah
saja namun langkah bangsa ini sudah terlampau jauh. Sikap yang seharusnya
diambil rakyat Indonesia adalah menghidupkan kembali teknologi yang bersumber
dari alam tanpa merusak alam itu sendiri dan tidak serakah. Sikap bangsa
Indonesia terlalu berkiblat pada budaya barat dan berambisi bisa menjadi
negara-negara maju yang bisa membuat nuklir, menjadi negara-negara industri
yang merusak alam dan materialis. Yang harus kita lakukan sebenarnya adalah
menjaga kearifan lokal dan alam Indonesia yang berlimpah ini serta meningkatkan
sumber daya manusia,juga menciptakan teknologi yang ramah lingkungan.
Kelemahan buku ini adalah tingkat subjektivitas penulis yang
sangat tinggi dan tidak menuliskan lebih lanjut karakteristik manusia Indonesia
yang baik. Mochtar Lubis membahas hal-hal sensitif yang bisa saja membuat
pembaca tersinggung. Namun saya sebagai rakyat Indonesia tidak bisa mengelak
pernyataan dari Mochtar Lubis karena menurut saya itu memang benar jika melihat
kegoyahan di negara ini yang semakin memprihatinkan. Mochtar Lubis memang
cerdas dalam memberikan argumen dan ia tidak hanya asal mengkritik tetapi juga
memberikan saran untuk rakyat Indonesia bagaimana seharusnya kita bertindak.
Mau tidak mau, sebagai manusia Indonesia membaca buku ini memaksa kita
bercermin dan introspeksi diri, bahka di tahun 2015 ini.
No comments:
Post a Comment