Thursday, December 9, 2021

Bijak Dalam Mengelola Fiskal

 Pembuat kebijakan itu selalu pilihan- pilihan sulitnya adalah ketika kamu terlambat atau ketika kamu berlebihan. Mencari titik timing yang tepat dan dosis yang tepat itu adalah pekerjaan dari pembuat kebijakan yang paling menantang. [Voiceover: Inilah Endgame] GITA WIRJAWAN: Hai teman-teman, hari ini kita kedatangan Ibu Sri Mulyani, Menteri Keuangan Republik Indonesia. Mbak Ani, terima kasih atas kedatangannya. SRI MULYANI: Terima kasih undangannya. - Saya manggilnya Mas Gita atau Gita? - Gita saja. Saya lebih muda. Saya mau ngobrol banyak sama Mbak Ani, mungkin mulai dari latar belakang Mbak Ani. Lahir di Sumatera, terus dari umur 7 kalau enggak salah ya? - 7 bulan. - Terus gimana bisa sampai ke sini, belajar ekonomi, terus sekolah di UI, dll., silakan. - Itu perjalanan panjang banget ya. Orang tua saya adalah guru pada saat itu. Mereka mahasiswa dari Universitas Gajah Mada, Fakultas Pendidikan, dulu belum menjadi IKIP. Kemudian untuk mereka bisa jadi sarjana, mereka harus wajib kerja sarjana, maka mereka memilih ke Sumatera. Tapi orang tua saya menikah, dan waktu itu anaknya sudah tiga waktu memilih untuk pindah ke Sumatera untuk wajib kerja. 


Di Sumatera lahir anak ke-4, 5, 6, 7, saya yang nomor 7. Terus habis itu sudah selesai masa penugasan di sana, beliau pulang kembali ke Yogyakarta. Dan kemudian beliau karirnya terus di bidang pendidikan sampai mereka membangun IKIP Semarang dulu namanya dan sekarang menjadi Universitas Negeri Semarang. Saya atas sebagai anak ketujuh dari 10 bersaudara. Senang, karena di dalam rumah itu sama seperti kayak sekolahan, orang tua kita karena pendidikan, jadi memperlakukan kita sebagai anak maupun sebagai murid. Ini merupakan pembelajaran dan formasi dalam hidup saya. Dan saya meneruskan kuliah di UI. Satu-satunya dari 10 anak yang waktu itu sampai yang ketujuh yang tidak ingin menjadi dokter atau insinyur. Orang tua saya selalu memikirkan anaknya masuk (jurusan) Kedokteran atau Insinyur. Jadi kakak saya itu dokter di UI, 4 di ITB, dan satu di UI lagi, dia (jurusan) Kedokteran di Undip. Jadi saya satu-satunya yang walaupun jurusan IPA kepingin masuk non-eksakta, jadi sapa pilih jurusan Ekonomi. - Ternyata oke. - Ternyata oke. Walaupun nggak ada yang tahu waktu itu apa itu jurusan Ekonomi, tapi saya tahu bahwa itu ada matematikanya, ada psikologinya, aku suka sekali. Jadi saya senang sekolah di UI, baik subjeknya, lingkungannya, karena lingkungan di UI waktu itu masa-masa 1981-1986. Masa- masa belum reform (pembaruan sistem), semua mahasiswa masih idealis dengan berbagai macam keinginan untuk mengubah Indonesia menjadi demokrasi terbuka, transparan, karena waktu zaman Pak Harto. Singkatnya, selesai dari UI, aku ditawarin beasiswa untuk mengambil Master dan PhD. Sebetulnya S2, pilihan antara UK sama US, akhirnya aku pilih yang US, hanya karena mereka membolehkan saya mendaftar untuk program PhD saat mengambil program master. Di Amerika sama suami, suami sekolah, saya sekolah, dapat anak 1, uang habis, suami pulang bawa anak, saya menyelesaikan disertasi full time, saat itu. Terus pulang tahun 1988, saya berangkat 1988, 1992 saya selesai PhD. Kemudian meneruskan karir saya di UI waktu itu. - Mengajar? - Iya. 1992, mengajar, menjadi direktur penelitian, waktu Pak Darmin Nasution sebagai direkturnya di LPEM-FEUI. Kemudian sampai saya menjadi kepala LPEM-FEUI waktu Pak Darmin direkrut menjadi salah satu Dirjen di Kementerian Keuangan, zaman Pak Afif kalau enggak salah. Kemudian ekonomi 1997-1998, Gita tahu, Gita mungkin masih kecil. 1997-1998 meluluhlantahkan negeri ini. Saya sebagai ekonom sudah dapat PhD. Waktu itu saya S1-nya bidang moneter, S2-nya saya ngambil fiskal, kemudian terjadi krisis. Dan krisisnya krisis perbankan. Jadi banyak sekali masyarakat yang enggak tahu bahkan dalam lingkungan akademik saja, "Apa yang sedang terjadi?" Dan waktu itu kan kompleks sekali krisis ekonomi karena krisis perbankan, nilai tukar, kemudian menimbulkan krisis politik, Pak Harto turun, kemudian muncul reformasi. Jadi karir saya dibentuk oleh situasi krisis itu yang menyebabkan pada saat itu kebutuhan adanya ekonom yang bisa menjelaskan secara relatif gampang mengenai betapa kompleksnya krisis dan implikasinya bagi Indonesia Karena memang betul, Gita, kalau Anda lihat sesudah krisis 1997-1998 Indonesia itu menjadi sangat berbeda. Dari sisi ekonomi, Bank Indonesia tiba-tiba independen, tadinya dia menjadi bagian dari Dewan Moneter di Kementerian Keuangan. Keuangan negara yang dulu APBN itu nggak ada yang memperhatikan, sekarang harus melalui proses dengan DPR yang sangat diatur kaku, harus diaudit oleh BPK yang sekarang menjadi independen dari pemerintah, dan kemudian harus dipertanggungjawabkan lagi dibahas lagi di DPR. Suatu perubahan paradigma dari sisi mengelola keuangan negara. Dan sistem akuntansinya bisa panjang ngomongin soal reform di keuangan negara. Singkatnya, waktu itu ekonomi kita berubah banyak, namun kemudian saya banyak sekali kemudian di UI mengajar, bahkan mengajari banyak sekali media, Gita, waktu itu, kita belum punya podcast, belum ada online, jadi media cetak dan media TV itu adalah yang paling hits. Dan waktu itu banyak wartawan masih muda-muda yang pertama, mereka nggak punya latar belakang ekonomi dan mereka hanya paham bagaimana cara melaporkan mengenai krisis saja. Belum masalah IMF program, negosiasi, LOI, dll. Aku sudah punya anak 3, terus kecapekan, banyak sekali kerjaan. Jadi, saya mau istirahat. Jadi aku sama suami sama tiga anak, kita ke Amerika untuk sabatikal, tapi sebetulnya saya kerja sebagai konsultan. Dan waktu saya sedang sabatikal saya dipanggil untuk pergi ke Washington menjadi Executive Director di IMF oleh Pak Menteri Keuangan, Pak Boediono, waktu itu presidennya Ibu Megawati. Mereka bilang, "Kamu harus ke Washington menjadi Executive Director." Oke, saya masih bersama keluarga saya. Anakku masih kecil-kecil, jadi senang banget. Jadi kita pindah dari Atlanta ke Washington DC. Dua tahun saya di sana, Saya rasa semua senang, dan saya agak diperpanjang extension dari tugas saya. Terus Pak SBY kepilih menjadi presiden. Terus aku ditelepon lagi. Jadi hidup saya itu ditelepon mendadak, tiba-tiba suruh pindah, gitu saja. Lalu saya balik ke Jakarta lagi, diwawancara di Cikeas waktu itu, kemudian jadi menteri Bappenas, jadi Bappenas, kena tsunami lah Republik Indonesia. Tsunami itu kan benar-benar hancur, seluruh dunia lihat, "Wow Aceh hilang hampir 1/3 kotanya." Waktu itu George Bush datang, yang senior, kemudian Bill Clinton, dsb., jadi perhatian internasional yang sangat besar itu kita harus koordinasi. Jadi Bappenas saya mencoba mengkoordinir. Kita bikin rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh . Dan Indonesia terkena harga minyak yang mencapai 147 dollar. Waktu itu saya bilang akan 240 bahkan. terus Pak SBY memutuskan saya pindah ke Menteri Keuangan. Itu karir saya sebagai Menteri, selalu ada krisis, kemudian dipindahkan, taruh di situ, terus kita menghadapi APBN. Kemudian Pak Menko-nya Pak Boediono, tiba-tiba Boediono harus jadi Gubernur Bank Indonesia dulu, dan gak ada yang jadi Menko, jadi aku menjadi Menko dan Menkeu selama 18 bulan, gajinya satu. Jadi itu masalahnya. Terus kita dihadapkan krisis tahun 2008- 2009 yaitu Global Financial Crisis, itu adalah momen yang sangat menegangkan, yang membutuhkan banyak sekali pengalaman waktu kita dulu 1997-1998, namun kali ini asalnya/sumbernya dari luar, bukan dari dalam Indonesia. Kita cukup sukses menghadapi krisis global itu karena ekonomi kita cuma sedikit aja turunnya dan ekonomi maupun sistem keuangan tetap stabil, makanya kemudian kita pulih dengan terjadinya boom commodities di tahun 2009-2010. Kemudian aku keluar, ditawari pekerjaan di Bank Dunia sebagai Managing Director oleh Robert Zoellick, sebenarnya Robert Zoellick sudah nawarin cukup lama waktu itu. Kemudian saya bilang, "Wah saya lagi ngurusin Republik Indonesia habis Global Financial Crisis," sampai titik di mana saya pikir Oke saya pikir itu baik bagi saya untuk punya karir internasional lainnya. Jadi saya pindah ke Washington DC tahun 2010, pertengahan tahun, dan enam tahun di sana, masa-masa yang menyenangkan karena kemudian Bank Dunia ada pergantian presiden, Presiden Robert Zoellick diganti Presiden Jin Yong Kim, terjadi reform di dalam Bank Dunia, bagaimana mereka beroperasi secara global Jadi tadinya saya hanya Managing Director yang hanya menangani Amerika Latin sama Asia Timur, kemudian saya menangani seluruh dunia global. Jadi 3 MD digabung menjadi satu menjadi satu Global Operations di bawah saya semuanya. Jadi 2 MD yang lain, yang satu pindah, yang satu menjadi special envoy. Jadi ini menangani seluruh global operations di dalam Bank Dunia dan bahkan juga tidak hanya operasi tapi juga pengetahuan, makanya disebut COO. Jadi begitu ceritanya, kemudian Pak Jokowi memanggil pulang lagi. 6 tahun gitu, pulang lagi jadi Menteri Keuangan. Sebenarnya waktu itu saya sedang dalam perjalanan dari G20 di Hangzhou, kemudian sebelum, saya biasanya kalau di dalam Bank Dunia itu kalau saya sedang pergi ke satu region, saya ke beberapa negara, Gita. Jadi waktu saya ke Cina, saya pergi ke Malaysia, dan ke Indonesia, tiga negara dalam sekali perjalanan. Jakarta adalah perjalanan terakhir saya kemudian saya enggak boleh pergi lagi karena Mensesneg bilang, "Hari Rabu mau dilantik." Saya sudah dikasih tahu dari saya tiba di sini hari Minggu, Senin saya masih ada acara Bank Dunia, Selasa saya ada acara lain, Rabu pagi ada acara, sore harusnya pulang lagi ke Washington DC kemudian dibilang, "Kamu Rabu harus sudah dilantik." Jadi cukup akrobat waktu itu untuk harus menginformasikan Washington DC, presiden, dll. Jadi seperti itu ceritanya. Kemudian pulang ke sini jadi menteri, diumumkan Pak Jokowi sama Pak Jusuf Kalla di Istana, wartawan tepuk tangan, "Selamat datang kembali, Bu." Harus menjalankan banyak sekali program waktu itu. APBN harus diselamatkan, tax amnesty sedang berjalan, dsb, jadi cukup luar biasa. - Bu, saya mau follow up Ibu sangat berperan dan sangat instrumental dalam beberapa episode yang kritis. Saya mau gali ke pengalaman kita 22 bulan terakhir ini, ini krisis yang bisa dibilang beda rupanya dan kedalamannya dibanding apa yang kita lihat di 1998 atau 2008, yang paling nyata kan teman-teman UMKM mikro, kalau 1998 dan 2008 itu mereka relatif aman karena mobilitas fisik itu masih ada. Mungkin mulai dari situ, Bu, cerita deh, dari kacamata Ibu gimana penanganan keuangan atau postur keuangan negara. - Ini situasi yang kita hadapi luar biasa. Kalau 1997-1998, kita tahu krisisnya berdasarkan dari kebijakan makro ekonomi terutama nilai tukar yang Bank Indonesia waktu itu nilai tukar tetap, nggak bisa ditahan karena karena current account deficit-nya gede, jadi cadangan devisa enggak cukup, jadi kita harus rilis, dan waktu rilis kemudian terjadi repercussion-nya ke sektor keuangan, bank-bank kemudian dihantam dengan berbagai spekulasi, NPL-nya makin naik, nilai tukarnya besar karena banyak pinjaman dari Forex kemudian mereka terekspos. Sehingga memang krisisnya krisis keuangan dari kebijakan makro menjadi keuangan yaitu bank terutama. 2008-2009 episentrumnya di Amerika Serikat, Lehman Brothers, AIG, karena ini adalah ekonomi paling gede, tapi menimbulkan krisis kepercayaan karena kurs menjadi volatile juga. Tapi kembali lagi kurs yang kena. Yang ini kita hadapi itu makhluk enggak terlihat penyebabnya, kemudian Anda bisa kena fever, kalau Anda enggak cukup kuat Anda harus ventilator, kemudian meninggal. Menakutkan karena kita nggak lihat tapi kita lihat konsekuensinya. Jadi yang kita hadapi adalah ancaman jiwa, sehingga supaya tidak terjadi penularan/ contagion itu orang enggak boleh saling ketemu karena supaya tidak terjadi transmisi itu. Kalau orang nggak ketemu berarti orang harus shelter in place/harus di rumah. Kalau di rumah seluruh kegiatan berhenti, Gita. Dan ekonomi kita kalau 1997-1998 tadi sektor keuangan, masyarakat tetap bisa berjalan, sektor informal malah berkembang karena mereka menjadi banyak sekali tempat jaring pengamannya. Yang ini yang dihantam adalah aktivitas masyarakat, gak bisa ketemu, kalau kita bicara sekolah, warung-warung sekitar sekolah menjadi hilang, kantor nggak buka, berarti seluruh pekerjaan di sekitar kantor, transportasi hilang, sekolah, kantor, masjid, bayangin. Kalau kita lihat masjid, gereja ... - Gereja, wihara .... - Dan semuanya di sekitar itu kan banyak orang, tiba-tiba mereka enggak punya pekerjaan, enggak ada penghasilan. Jadi waktu melihat itu, pertama sebetulnya sebelum WHO mengumumkan bulan Maret, kita sudah lihat episode di Wuhan, dan RRT cara menanganinya benar-benar sangat ketat. - Draconian. - Ditutup dan kita lihat kota tiba-tiba sunyi nggak ada siapa-siapa, tidak ada aktivitas. Aku waktu lihat itu mulai mikir, "Ya Tuhan." Waktu itu kan kepikiran kita turis jangan sampai ke luar dari Cina untuk masuk ke Indonesia. Makanya waktu itu pariwisata ditutup dari RRT. entah terutama di Manado, di Bali. Dua provinsi ini yang akan terhantam, kita coba kasih bantalan, makanya kasih insentif waktu itu. Namun begitu lihat di Singapore, Changi, yang tadinya kita semua lihat itu adalah suatu bandara yang enggak pernah tidur, nggak ada orang, waktu itu viral, Ini akan menjadi sangat penting. Jadi bahkan sebelum diumumkan WHO, saya sudah lihat ini akan membuat buruk ekonomi. Jadi waktu itu sampaikan ke presiden, "Bapak ini kayaknya membutuhkan suatu penanganan yang akan extraordinary." Begitu WHO diumumkan dan kita harus melakukan PSBB waktu itu, lockdown, saya akan sampaikan, "Bapak pertama yang akan terkena adalah masyarakat, terutama tadi kelompok-kelompok yang di bawah, mereka harus dikasih bantuan." Yang kedua, kita enggak tahu ini penyakitnya seperti apa. Jadi di bidang kesehatan enggak boleh ada constrain, Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan, sampai di daerah-daerah mengatakan, "Aku nggak bisa bekerja karena enggak ada anggaran." Kita harus memberikan anggaran tambahan untuk kesehatan supaya mereka bisa membuat pencegahan, isolasi, Rumah Sakit diperbaiki. Awal krisis itu, kita hand sanitizer rebutan. Di Indonesia, perusahaan-perusahaan yang menghasilkan itu termasuk yang etil alkohol, dia biasanya ekspor, sekarang kita bilang nggak boleh ekspor karena kebutuhannya meningkat. APD, waktu awal kita nggak ada. Makanya kemudian korban nakes menjadi sangat besar. Produsen APD, 2 perusahaan dalam bidang tekstil, untuk membuat baju APD yang merupakan perusahaan pesanan dari Korea dan Jepang. Mereka dipesankan untuk menjahit saja, bahannya dari mereka dijahit. Mau diekspor, kita tahan. Itu terjadi tekanan banget. Karena mereka butuh, kita juga butuh waktu itu, apalagi nakes kita banyak yang sudah jadi korban. Sehingga awal-awal itu memang kayak kita menghadapi musuh yang tidak terlihat, tapi ancamanya sangat nyata. Jadi naluri dari sisi kebijakan kita adalah tambah jaring pengaman sosial karena masyarakat tiba-tiba kehilangan pendapatan. Tambah anggaran untuk kesehatan dalam menangani dari mulai hand sanitizer, APD, sampai impor untuk testing, tracing. Dan kemudian kita harus melindungi terutama UMKM, maka kita kepikiran, pasti mereka enggak bisa kerja, gimana caranya ngasih jaring pengaman sosial. Pasti mereka enggak bisa kerja, gimana kasih bantuan produktif. Pasti kalau mereka pinjam, dia nggak bisa nyicil, gimana si peminjamnya dikatakan, "Jangan nagih dulu selama 12 bulan," kita enggak tahu mereka nggak bakal bisa bayar, jadi pinjamannya harus ditunda, bunganya kita bayarin, pemerintah yang bayarin. Jadi memang sangat detil kepada dampak yang sangat luas banget. Namun APBN menambal segitu banyak, sementara semua bisnis tutup, berarti penerimaan pajak kita turun. Harga minyak sempet Rp.0 waktu itu selama 2 hari. Saya bilang, "Jadi, dari mana uangnya?" Pasti defisit akan lebih dari 3%, makanya presiden mengeluarkan Perpu Nomor 1 mengatakan, "Untuk waktu yang sangat khusus ini kita boleh defisitnya di atas 3%, tapi kita buat hanya untuk tiga tahun." Jadi waktu itu memang suatu pekerjaan yang all out karena pertama, tidak ada negara yang siap waktu itu untuk menghadapi konsekuensi yang begitu luas, bahkan negara yang punya social safety net. Aku kan banyak teleponan dari teman- teman Menteri Keuangan Australia, dia cerita bagaimana mereka membantu jaring pengaman sosial melalui membantu mereka yang biasanya kerja harian di cafe sebagai pelayan, nggak bisa kerja karena ditutup, mereka enggak bisa bayar sewa rumah, jadi sewa dibayar sama pemerintah. Itu adalah cara mereka. Kita nggak punya statistik mekanisme yang kayak gitu. Maka kita yang bisa adalah tarif listrik. Kita sudah tahu 450 itu pasti rumah tangga relatif tidak mampu, kita bebasin. 900va itu relatif lebih mampu, tapi juga bukan kelompok yang sangat mampu, kita kasih diskon 50%. Internet kita berikan karena tiba-tiba masyarakat semua bergantung pada internet, jadi dibebaskan. Guru, dosen, mahasiswa, murid, pesantren semuanya dikasih pulsa internetnya kita bayar ke Telkom, dan kita katakan nggak ada biaya untuk itu. Wah luar biasa kalau bisa dikatakan. Dan kita membuat kebijakan itu pada saat kita nggak boleh ke kantor ini, kita melakukannya dengan Zoom yang tadinya kalau mungkin kalau lihat di Instagram saya, Zoom yang hari-hari pertama dan waktu itu begitu salah satu menteri kena COVID-19, semuanya ketakutan, siapa lagi yang akan kena. Kebetulan saya habis itu melantik salah satu staf saya, dan waktu saya memberikan pidato, saya batuk. Terus saya bilang, "Ah, dikiranya saya kena COVID-19." Semua parno. Jadi selama akhir pekan banyak spekulasi Bu Menteri Keuangan kena COVID-19, Jadi saya di dalam ZOOM mengatakan, "Saya baik-baik saja .Terima kasih atas perhatiannya." Itu benar-benar sesuatu yang kita enggak pernah bayangkan. Karena semua kita merasa terancam. Kita dengar ada teman yang kena, langsung meninggal, ada saudara yang kena yang juga meninggal. Jadi kita nggak pernah tahu kayak siapa yang akan kena selanjutnya. Jadi kita semuanya dalam situasi ketakutan, tapi kita nggak boleh takut, kita harus mikirin ini negara diancamnya seperti apa, rakyat akan seperti apa, ekonomi seperti apa, dan keuangan akan seperti apa. Kita bayangkan kredit-kredit akan macet karena enggak bisa orang membayar. boro-boro bayar kredit, mereka hidup saja nggak bisa. Jadi kita udah bayangkan keuangan, perbankan akan menghadapi NPL meningkat. Jadi kami, BI, OJK, LPS dalam KSSK merumuskan langkah-langkah untuk membuat stabilitas sistem keuangan tetap terjaga. - Bu, ini kan mungkin banyak yang belum paham ini keniscayaan bahwa di level perorangan, korporasi, ya tentunya negara, aktivitas utang harus meningkat untuk bisa bertahan, kan? - Dalam situasi sekarang yang nggak ada pilihan, iya. - Di level perorangan saja, saya banyak yang nambah untuk gali lubang tutup lubang atau untuk bertahan. Di level korporasi juga, karena keterbatasan mobilitas. Mungkin kesempatan untuk bisa menjelaskan logika kenapa negara itu harus meningkatkan level utang yang niscaya harus dilakukan. Silakan, Bu. - Iya APBN kan instrumen fiskal. APBN: Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Jadi kita dapat pendapatan dan kita pakai untuk belanja. Kalau pendapatan lebih kecil, belanja lebih besar, maka kita defisit. Makanya ada yang disebut pembiayaan atau utang dalam hal ini. Kalau ekonomi sedang menghadapi hantaman COVID-19, maka sektor usaha lumpuh, seperti yang kita lihat pariwisata, perdagangan, akomodasi, restoran, hotel, manufaktur pun bahkan harus tutup, transportasi tiba-tiba penerbangan nggak boleh, semuanya transportasi umum lumpuh. Jadi kita semua tahu ini akan bertumbangan. Jadi apakah APBN hanya karena penerimaan kemudian juga turun karena kan yang membayar penerimaan pajak-pajak nggak akan, apakah kita diam saja, atau kita harus melangkah masuk untuk membantu. Negara itu memang memiliki instrumen APBN untuk menghadapi situasi-situasi seperti itu. Jadi dalam undang-undang keuangan negara ada yang disebut fungsi alokasi, distribusi, stabilisasi, istilahnya. Alokasi itu kalau kita membagi untuk membangun sekolah, membangun untuk kesehatan, membangun untuk infrastruktur itu dialokasikan supaya sumber daya kita itu makin efisien/bagus. Distribusi itu kalau ada daerah yang tertinggal (3 T), ada yang lebih maju, yang 3T harus diberikan pemihakan, kalau ada rakyat yang lebih lemah (vulnerable), ada rakyat kelompok yang lebih mampu mereka membayar, kita bantu yang lemah. Itu fungsi distribusi melalui APBN. Yang stabilisasi ini kalau ekonomi lagi guncang hancur, kita harus mengangkat ke atas. Ekonomi lagi overheating kita harus ngademin, itu namanya stabilisasi. Ini adalah contoh ekonomi guncang, hancur ke bawah. Fungsinya adalah menahan supaya jangan terjun payung walaupun kita belum mendapatkan penerimaan karena penerimaan lagi jatuh. Jadi memang kita harus memberikan bantuan kesehatan, bantuan sosial, bantuan UMKM, meskipun kita lagi nggak dapat penerimaan, namun ini enggak selamanya, nanti kalau ekonomi pulih, kita bisa dapat lagi. Jadi waktu itu, Pak Gita, kita memikirkan ... - Jangan Pak. - Gita. Pak-nya saya hilangkan. Gita, Anda masih sangat muda. Oke, jadi waktu itu pemikirannya gimana pada saat penerimaan jatuh tapi kita harus melakukan tugas kita, namun jangan sampai ini menjadi alasan untuk menimbulkan kebiasaan kebijakan fiskal yang buruk, yang careless atau yang tidak bertanggungjawab. Makanya di dalam Perpu disebutkan, kita boleh melakukan kondisi yang sangat tidak biasa itu 3 tahun saja. Jadi dalam tiga tahun kita harus berdisiplin kalau pun Anda harus melakukan bantuan ke masyarakat, dunia usaha UMKM, kalian juga harus tetap jaga ini penerimaannya. Oleh karena itu, dalam tiga tahun ini kita tahun 2020 memang lumpuh, penerimaan kita jatuh hampir untuk pajak itu sampai 18% bayangkan. Total penerimaan kita turun hampir sekitar 16% karena beacukai masih cukup bagus. Tapi belanja kita naik hampir 15%. Jadi belanjanya melonjak tadi untuk kesehatan, penerimaan jatuh, makanya defisitnya di 6,1%. Apakah itu harus dilakukan? Menurut saya, iya. Membantu rakyat nggak ada pilihan. Apakah bisa dilakukan lebih baik? Pasti. Makanya kita hati-hati tadi. Gimana konsekuensinya dengan utang yang nambah? Ya kita harus kelola habis itu, tapi jangan sampai kita kemudian, "Oh supaya APBN kita selamat, biarin saja ekonominya menggelepar-gelepar, dan kemudian dia tidak bertahan." Jadi memang APBN sebagai instrumen pada saat itu, menyelamatkan negara dan menyelamatkan ekonomi. Tahun 2021 kita harus turunkan. Makanya defisitnya kalau tahun 2020 adalah 6,1% kita turunkan ke 5,7% dan sekarang dengan harga minyak bagus, batubara bagus, CPO bagus, pemulihan ekonomi terjadi, kita mendapat penerimaan cukup bagus, belanjanya tetap didisiplinkan. Mana nih yang vaksin, iya. Kemarin kena varian Delta, tagihan untuk banyak sekali perawatan sangat tinggi sampai 90 triliun, belanja untuk memberikan insentif bagi sektor yang masih kurang, kita berikan, karena kita ingin pemulihan benar-benar terjadi. Dan memang sudah terjadi, beberapa ekonomi sudah tumbuh, region itu cukup bagus. Kita kena Delta kemarin, maka kita fleksibel lagi, melakukan adaptasi, Gita. Dan kita lihat akhir tahun ini kemungkinan difisit-nya sudah akan turun, dari yang 6,1% kemungkinan kita akan di 5,1% sampai 5,3%. Ini sudah turun hampir 1% dari GDP. Tahun depan, kita sama DPR ini tahun yang ketiga yang terakhir, kita bisa di 4,7%, kalau dengan harga komoditnya masih bagus, pemulihan akan kuat, dan pada saat kita situasi kayak gini, kita sama DPR terus berkomunikasi gimana nih caranya, meskipun kadang-kadang kita melalui Zoom, kadang-kadang kita meeting fisik, DPR Alhamdulillah mendukung, kita reform pajak, selain undang-undang cipta kerja yang dilakukan. Kita juga me-reform pajak kita yang kemarin barusan sekitar dua minggu yang lalu di-approve oleh DPR. Itu nanti dari sisi PPH, PPN, ketentuan umum, bea dan cukai, semuanya di-reform. Tujuannya apa? Supaya nanti waktu pulih, kita bisa mengumpulkan penerimaan. Untuk apa? Untuk mengembalikan kesehatan APBN. Untuk apa supaya APBN sehat? Nanti kalau Indonesia menghadapi situasi yang nggak bagus, kita sudah punya instrumen yang relatif siap lagi. Jadi itu tadi, Gita, yang saya sampaikan, masyarakat saya rasa mayoritas memahami situasi itu. Apalagi kita coba untuk menjelaskan kenapa kita melakukan itu. Bagaimana kita melakukan kehati-hatian apa yang dilakukan. Kita menyampaikan ke masyarakat. Kita menjelaskan melalui medsos termasuk podcast seperti ini, dan melalui grafis, data, dll. Namun kalau politik ada saja yang selalu mengganggu, tapi nggak apa, namanya demokrasi. Namun kemudian kita lihat surat berharga negara kita yaitu surat utang kita dalam negeri dan luar negeri. Seluruh negara waktu utangnya yang naik, spread-nya terhadap Amerika itu melebar kan, Gita. Kita menurun, karena kita bagus. Tadi, rating kita hari ini, saya dengar dia akan tetap mengatakan Indonesia stabil. Karena mereka percaya pada kredibilitas ini bahwa kita jagain tiga tahun hati-hati, kita berkomunikasi kenapa defisitnya lebih gede, dan gimana cara kita untuk memulihkan kembali. Saya dengan Bank Indonesia bekerjasama untuk membuat kerjasama menghadapi situasi yang luar biasa ini. Kita buat SKB kerjasama untuk pendanaan di mana Bank Indonesia masuk untuk membeli surat berharga negara. Itu semua kita lakukan secara transparan, akuntabel, dijelaskan kenapanya, untuk apa uang itu. DPR mengetahui, BPK mengaudit, Bank Indonesia dan kami menjelaskan kita menyampaikan ke semua channel, rating agency melihat, jadi menurut saya, kita akan berusaha insha Allah baik. - Bu ini saya mau memberikan sinyal yang optimis. Kalau kita lihat walaupun lebih dari 220 juta manusia terdampak secara global. Di ASEAN anggaplah lebih dari 13 juta, Indonesia lebih dari empat juta. Angka kematian walaupun banyak, yaitu 5 juta sekian, secara persentase dari populasi dunia itu cuma 0,06% dibandingkan flu Spanyol, black death, epidemi atau pandemi sebelum- sebelumnya jauh lebih kecil secara relatif. Ini kalau menurut saya bekal untuk ke depan untuk kita lebih optimis. Pertanyaan saya terakhir terkait COVID-19, ini kita lihat telah dilakukan oleh ekonomi- ekonomi maju finansialisasi ruang fiskal. Tapi akhir-akhir ini kita dengar narasi atau retorika mengenai taper tantrum karena mereka unwind finansialisasi ruang fiskal. Mungkin diedukasi Bu, atau penyikapannya gimana terkait taper tantrum atau inflasi ini sesuatu atau barang yang kita harus khawatirkan banget atau ini mungkin episodik. - Ya memang di dalam merespons COVID-19 yang tadi walaupun kalau kita bicara tentang korban nyawa, ya relatif kecil, tapi kalau kita bicara sama orang-orang dari medik atau siapa saja mengatakan nyawa enggak boleh dihitung dengan statistik saja. - Setuju. - Oleh karena itu yang disebut keselamatan masyarakat itu nomor satu, selalu disebutkan. Biasanya bahkan disebutkan at all costs. Makanya kita tadi melakukan. Situasi yang mengancam rakyat, di semua negara, lebih dari 190 negara semuanya menghadapi COVID-19. Pemerintahnya harus melakukan respons yang luar biasa. Nah responsnya tadi fiskalnya menjadi buffer pertama bantuin segala macam jaring pengaman sosial. Untuk dia bisa melakukan itu, dia mengeluarkan surat utang, surat utangnya itu kemudian harus atau dalam hal itu bank-bank sentralnya di berbagai negara juga melakukan step in. Seperti yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Kalau negara maju memang sudah melakukan waktu Global Financial Crisis. Makanya disebutkan tadi monetisasi dari operasi fiskal. Dampaknya seluruh dunia itu sekarang kebanyakan likuiditas, istilahnya. The Federal Reserve mencetak uang karena dia membeli bond, enggak cuma treasury bond tapi juga corporate bond. European Central Bank melakukan sama, Jepang melakukan sama, Cina melakukan yang sama, ASEAN melakukan yang sama, Indonesia juga melakukan. Likuiditas yang banyak itu masuk ke ekonomi. Namun waktu ekonomi enggak bergerak karena semua berhenti karena COVID-19, likuiditasnya ngecembeng aja istilahnya kalau dalam bahasa Jawa itu. Tapi dia nggak berhenti, dia pergi ke berbagai aset. Makanya muncul asset bubble, stock Axis semuanya di seluruh dunia naik tinggi, properti mulai naik, crypto juga meloncat tinggi. Itu karena banyak likuiditas, sementara aktivitas berhenti. Sekarang dengan COVID-19 sudah mulai vaksin sudah ditemukan, obat sudah mulai ditemukan, orang sudah mulai percaya diri, pemulihan terjadi. Pemulihan terjadi, yang terjadi sekarang adalah permintaan tiba-tiba naik, tapi orang itu masih sebagian ada di rumah, para supir truk belum semuanya kerja, sehingga barang kontainer karena selama 1,5 tahun terdampar di berbagai negara, itu belum siap. Permintaannya di Amerika kontainernya ada di Hongkong, nggak ketemu, dalam hal ini. Sehingga waktu permintaan, begitu orang sehat, pergi ke luar, mau belanja atau menggunakan ekonomi digital, pesan, barangnya nggak ada. Barangnya ternyata enggak segera tersedia, maka harga naik. Ditambah sekarang karena perubahan iklim dunia juga menjadi sangat kritis terhadap fossil fuel (bahan bakar fosil) Maka lembaga-lembaga keuangan diminta untuk tidak investasi di fossil fuel. Jadi eksplorasi minyak turun. Orang enggak berani membiayai batubara. Padahal permintaan untuk pemulihan itu naik, semua orang pingin transport, naik pesawat lagi, dsb., listrik mulai menyala, apalagi ini masuk musim dingin kalau negara 4 musim, jadi permintaan listrik energi naik, eksplorasi turun, harga minyak melonjak. Jadi tadi harga barang melonjak, harga buruh-buruh yang belum balik melonjak, selain mungkin ada beberapa penjelasan khusus ya, kalau seperti di Inggris, karena dia Brexit, sekarang enggak ada para pekerja yang berasal dari Eropa Timur. Jadi kekurangan tenaga kerja, kekurangan energi, plus kemudian permintaannya itu pent-up-nya itu lepas, terjadi inflasi. Pertanyaan tadi, Gita, apa yang akan terjadi? Tadinya ini sementara, karena kalau permintaan tinggi, nanti juga mulai normal. Dan yang tadi bottleneck energi, buruh, barang itu juga akan longgar. Jadi ada yang memiliki pemikiran, ini inflasinya sementara, jadi jangan sampai Bank Sentral itu overshooting, tapi juga jangan sampai terlambat. Pembuat kebijakan itu selalu pilihan- pilihan sulitnya adalah kamu terlambat atau kamu berlebihan. Mencari titik timing yang tepat dan dosis yang tepat itu adalah pekerjaan dari pembuat kebijakan yang paling menantang. Dan menurut saya inilah yang sedang terjadi makanya nanti G20, kita sebagai Indonesia Presidensi, ini topik yang sangat sangat penting di dalam sesi mengenai pemulihan ekonomi dan yang disebut scarring effect. Bagaimana ekonomi itu terhantam COVID-19 mengalami luka yang dalam pulihnya di mana cepat, tapi supply-side itu terhambat tadi makanya ada disrupsi supply. Ini akan menimbulkan scarring effect dan komplikasi kebijakan. Indonesia perlu bagaimana, makanya kita sebut, pertama COVID kita alhamdulillah bagus. Sekarang kita di bawah 300 bahkan, pada saat di Eropa semuanya lagi naik karena Delta varian gelombang keempat. Namun kita tetap waspada karena adanya Nataru sebentar lagi. Tahun lalu, Nataru, bulan Maret, COVID-nya naik, makanya kita PSBB, makanya ekonomi kita terhantam bulan Maret dua minggu terakhir itu. Jadi kita juga tetap harus belajar dari kemarin Delta kita nggak boleh lengah. Kita memang menaikkan vaksinasi. Jadi dari sisi COVID-nya harus tetap menjadi perhatian kita. Dari sisi pemulihan ekonominya, inflasi kita itu lagi rendah banget di 1,6 %. Sementara di Amerika sudah di atas 6%, tertinggi dalam 30 tahun terakhir. Bahkan Jerman itu di atas 4% yang biasanya mereka inflasinya hampir 0. Jadi di negara-negara lain sudah mengalami tekanan harga yang tinggi. Mereka pasti akan mulai mengetatkan, tapi Central Bank sama Menteri Keuangan di negara itu juga akan berunding seberapa cepat mereka harus tethering seberapa cepat mereka mengetatkan. Kita sebagai negara berkembang tahu kalau di sana diketatkan, pasti terjadi aliran keluar modal . Maka kita harus melihat Indonesia kita melakukan reform, FDI sekarang masuk kita, dan itu bagus. Sama FDI dia nggak bisa dia bolak-balik, sekali Anda berinvestasi, Anda berinvestasi. Makanya kita jaga iklim investasi kita bagus sehingga kapitalnya itu masuk, enggak keluar terlalu mudah. Yang mudah itu ya kalau beli saham, surat berharga negara. Namun di Indonesia dengan pertumbuhan kita bagus, ekonominya cukup stabil, inflasinya rendah, kebijakan fiskal kita bijak, kebijakan moneter kita juga bijak, Indonesia justru atraktif, sangat menarik dibandingkan kalau sekarang itu banyak negara berkembang yang lain. Argentina krisis, Turki sedang dalam situasi tidak mudah, Brazil juga terkena inflasi tinggi dan pembuatan kebijakannya masih sangat sulit. Afrika Selatan. Jadi Indonesia adalah negara yang cukup besar, permintaan maupun pasarnya besar, kebijakannya bagus, sehat, bijak, dan kita sedang dalam pemulihan, COVID-nya turun. Jadi kita di posisi untuk bisa menjaga itu. Kami akan terus waspada, tadi yang saya sampaikan, moneter dan fiskalnya untuk jagain stabilitas dan juga sentimen, supaya kalau bumpy di luarnya yang nggak bisa kita kontrol seperti kita naik mobil, yang nggak bisa kita kontrol adalah jalannya itu akan terjal ada bolong-bolongnya, yang bisa kita kontrol mobil kita sendiri, jangan sampai sudah ada bolongan gede, kita hajar saja, terus shock breaker-nya patah, jadi kita juga harus tahu kapan sedikit ngerem, kapan kita harus menyesuaikan pada saat kita melihat jalannya itu bisa sangat dinamik, ada lubang di sana, ada terjal di sini, ada badai di situ. Itu yang akan kita hadapi. - Menggunakan metafor mobil Bu, mungkin klaksonnya harus dipencet lebih sering. Gini Bu, saya mau menarik dari investasi. Kalau saya lihat data FDI, ini sudah bagus, mengarah ke arah yang benar. FDI per orang per tahun untuk Thailand, Filipina, Indonesia, sekitar 100-an dollar per tahun. Singapura antara 16-19 ribu dollar. Vietnam, Malaysia 200-300 dollar. Saya, intuisi ya Bu, melihat dengan kualitas atau atribut yang begitu positif, skala, demografik, kebijakan apakah itu moneter, fiskal dan apa pun yang kita sudah lakukan, enggak ada alasan untuk jarum di $100 itu bisa naik ke angka yang lebih tinggi. Gimana Bu, apa yang perlu dilakukan Indonesia? - Gita kan bekas ketua BKPM, jadi tahu betul ya. Jadi kita tahu FDI masuk kalau dianggap negara itu atraktif. Atraksinya apa? Pertama, apakah dia adalah tempat aman untuk investasi. Aman itu artinya ada kepastian dari sisi kontrak, LO, kepastian berusaha, dan nggak banyak ketidakpastian perubahan-perubahan aturan. Makanya undang-undang cipta kerja kita lakukan. Itu menyederhanakan, sekarang prosesnya kalau Gita pergi ke BKPM, jadi Menteri Investasi, kita punya OSS yang dulu kita itu selalu masalah. Disetujui di pusat, di BKPM, nggak jalan, karena harus pergi ke Menteri Keuangan sendiri, minta fasilitas pajak, Menteri Perdagangan sendiri, Menteri ESDM sendiri. Wah dia harus ijinnya di banyak tempat. Itu baru di pusat. Begitu investasinya di satu daerah X, bupatinya lain lagi, begitu di publik, ya rame. Nano-nano istilahnya. Tapi itu kalau untuk investasi, nggak bagus. Kalau Anda dibandingkan kayak Vietnam yang dia menciptakan atau Singapura, ya sudah, satu pintu, masuk, ya selesai. Tidak kemudian menimbulkan alasan bahwa kita enggak bisa benerin, makanya kita coba benerin Undang- undang Cipta Kerja. Kita membuat one single submission satu pintu saja dan kita juga meminta kepada pemerintah daerah untuk berpikir yang sama, kita membuat insentif, kita membuat sistem, kemudian FDI akan masuk kalau kita juga punya ekonomi yang stabil dan market-nya besar juga. Jelas Indonesia market besar, pertumbuhannya bagus, pertumbuhan pendapatan menegah bagus. Itu atraksi. Jadi itu adalah sesuatu yang positif. FDI masuk kalau Indonesia bisa menjadi kalau orang Jawa bilang ancek-ancek, atau tempat untuk bisa ekspor ke tempat lain. Kita ada di dalam pasar ASEAN, kita juga punya ekspor ke Cina, kita ekspor ke Amerika, kita ekspor ke Eropa, ke tempat-tempat strategis, atau bahkan Australia. Jadi ini yang menyebabkan kita perlu untuk bangun infrastruktur kita supaya jangan sampai infrastruktur sudah diproduksi bagus, nggak bisa diekspor atau diekspor biayanya besar sekali karena port-nya enggak siap, jalan rayanya, kereta apinya. Itu yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Membangun infrastruktur, mengubah undang-undang, memperbaiki, ya mungkin orang melihatnya beda ya, tapi itu adalah sesuatu pekerjaan yang hasilnya mungkin akan dirasakannya juga beberapa tahun kemudian, tapi kita harus mulai sekarang. Dan itu sekarang kita lakukan. Sehingga memang, tadi, mulai dari 100 dollar per kepala karena jumlah kita banyak, tapi sekarang sudah mulai masuk FDI. Meskipun demikian, tetap politik ada juga yang mengatakan kalau FDI masuk, kita memberikan karpet merah pada investor. Padahal itu meciptakan lapangan kerja yang sangat penting. Jadi dalam hal ini Indonesia sudah melakukan yang seharusnya dilakukan mengetahui bahwa persoalannya itu banyak. Sekarang ada masalah perubahan iklim juga. Jadi orang sekarang tidak hanya melihat FDI, Mereka akan melihat energinya terbarukan nggak? Karena kalau kamu menggunakan energi yang sangat berpolusi, waktu kamu ekspor, di sana dikasih tarif lagi, dianggapnya kamu sudah mengotori dunia. Dunia sedang berubah, dan berubahnya ini cukup radikal. Saya rasa ini juga menjadi salah satu pertimbangan kenapa kita waktu ingin mengubah energi kita menjadi lebih bersih, lebih hijau, lebih terbarukan, dan juga dari sisi tadi perubahan birokrasi, perubahan investasi. - Oke mengenai perubahan iklim, kalau kita mengacu ke kerangka Paris ataupun Glasgow, kita harus mengurangi emisi karbon anggaplah 50% di (tahun) 2030, 25% di 2040, sisa 25% di 2050, enggak atau gimana intuisi manusia atau saya, itu saya lebih percaya akan tercapai lebih karena teknologi daripada kebijakan. Itu salah parkir nggak, Bu, pemikiran kayak begitu? - Eggak, sama sekali enggak. - Oke. - Ya kalau mau dibuat, selalu di dalam kita menganalisa suatu, pertama, ada masalah, solusinya seperti apa masalahnya seberapa besar, seberapa fundamental, solusinya ada yang sangat percaya kepada teknologi, kalau kalau dunia ini sudah akan terancam, pasti nanti banyak orang sudah mikir untuk menciptakan mobil yang lebih ramah lingkungan, energi yang jauh lebih kurang dari CO2, makan makanan yang lebih, jadi mereka sangat bergantung pada teknologi, dan itu nggak salah, karena selama ini manusia juga diuji dengan banyak sekali episode di dalam kehidupan manusia ini, di dalam sejarah umat manusia, dan selalu juga muncul teknologi sebagai solusi. Namun kalau di satu sisi, sains dan laporan saintifik mengatakan kita ini sekarang sudah di 1,1 derajat celcius di atas sebelum revolusi industri. kalau kita di atas 1,5 derajat celcius pemanasannya, konsekuensi sudah sangat banyak. Kalau kita business as usual, kita akan mencapai 3,4 derajat celscius, sudah pasti rusak. Tadi argumentasinya sebelum itu terjadi di tahun 2040 atau 2050, pasti ada teknologi yang bisa menyelesaikan. Jadi bergantung pada teknologi, enggak salah sama sekali. Tapi orang juga nervous apa iya kita bergantung pada satu saja karena manusia harus beradaptasi dan harus memitigasi resikonya ini. Adaptasi itu butuh biaya banyak, mitigasi juga harus dari teknologi maupun dari sinyal pasar, makanya muncul sekarang carbon market karena itu akan menciptakan support atau yang disebut inovasi dan catalytic terhadap teknologi tadi, begitu orang yang polusi itu di-charge, dihargai, kalau kamu mengeluarkan CO2 kamu harus bayar, si pemilik pabrik mulai mikir, "Aduh gimana caranya saya supaya nggak bayar itu." Makanya dia cari teknologi. Selama CO2-nya tidak dihargai, orang akan membuat polusi saja, nggak ada konsekuensinya terhadap dia. Makanya muncul berbagai macam cara, Gita, mulai carbon market, harganya berapa, bahkan kalau perlu dipajakin. Orang untuk berubah perilaku berdasarkan sinyal pasar, juga termasuk tadi, kamu harus kredibel. Seberapa besar suatu negara yang sudah punya emisi sekian untuk bisa mengurangi karena kalau kita tetap sekian, semuanya bahkan nambah, dunia pasti akan makin hangat dan climate change akan jauh lebih cepat dan lebih dahsyat. Jadi semua negara harus punya komitmen, itu yang disebut NDC itu, Nationally Determined Contributions kita. Dan untuk mengantarkan itu, butuh teknologi, butuh uang, dan butuh kebijakan. Saya sebagai Menteri Keuangan makanya senang menjadi sekarang ketua dari koalisi menteri-menteri keuangan. Bagian saya itu di satu sisi, di dalam negeri, kita ngomong sama para pelaku bisnis, "Ini lo dunia sedang dihadapi, presiden sudah menyampaikan sinyal kita sedang menghadapi perubahan iklim. Anda bersiap, kita mulai berubah. Lebih baik kita omongin sekarang sehingga saya tahu rencana untuk perubahannya supaya enggak terjadi disrupsi. Karena kita juga nggak ingin ekonomi kita rusak lebih dini dan nggak perlu untuk menghadapi suatu persoalan masa depan. Jadi semuanya tetap win-win perubahan bisa terjadi, perubahan iklim bisa dihindari. Ini yang sedang kita lakukan. Kebijakannya bisa pajak, subsidi, insentif, yang kita bisa berikan. Namun tugas saya ke luar sebagai ketua koalisi, ya menagih. Yang mengotori dunia itu kebanyakan negara maju, kog sekarang dia minta-minta negara kayak kita untuk bersihin lebih banyak. Kasih uangnya dong. Katanya mau ngasih 100 miliar USD per tahun. Dan sampai sekarang belum. Katanya nanti baru tahun 2025, katanya lagi itu sudah 10 tahun lalu. Jadi kita akan mengatakan, "Ada uang, ada teknologi, dan kebijakan", kita kombinasikan tiga-tiganya. - Tapi kalau saya lihat datanya, Bu, di 15 tahun terakhir, emisi karbon ini meningkat. Anggaplah kurang lebih 30%, dan kontribusi dari negara-negara berkembang itu enggak kecil. Pertanyaan saya adalah terkait dengan DNA-nya negara berkembang adalah untuk terus berkembang. Kita harus tumbuh, dan pertumbuhan itu nggak bisa tanpa segampang yang kita pikirkan, dilakukan dengan strategi terbarukan, karena terbarukan itu skalabilitasnya belum terbukti dan mahal sekali kalau pun ada skala. Ini dilema untuk negara berkembang. - Enggak cuma negara berkembang, karena negara maju nggak bisa mengatakan, "Eh negara berkembang, kamu nggak boleh mengotori, aku sudah mengotori, kamu makanya jangan mengotori, nanti dunia makin kotor." Tidak bisa begitu. Negara berkembang perlu berkembang karena masih banyak ada yang masyarakat yang masih miskin, pendapatan mereka masih belum sebanding, kalau Indonesia sekarang katakanlah di 4.000 per kapita sementara Amerika di 64k, terus dia menyuruh kita melakukan, kan enggak seperti itu. Apa lagi India yang masih sekitar 1.500 per kapita. Makanya negara berkembang, kita tetap berhak untuk membangun ekonomi dan masyarakat kita. Namun kita juga mau berkontribusi untuk tidak mengotori dunia seburuk seperti yang pernah dilakukan oleh negara maju. Jadi apa solusinya? Lagi-lagi teknologi. Anda berbicara teknologi tadi, untuk energi, karena kalau di Indonesia itu ada dua sektor yang luar biasa penting kehutanan dan penggunaan tanah, istilahnya FOLU Forestry and Land Use dan energi serta transportasi. Itu dua hal kalau untuk Indonesia untuk bisa menurunkan CO2. Kalau untuk kehutanan, makanya bapak presiden kalau kita lihat berkali-kali sekarang menanam bakau karena itu lebih murah dan setiap lembar daunnya itu menyerap CO2-nya cukup efektif dan luar biasa. Makanya kita harus perbanyak saja. Deforestasi harus dibatasi, reforestasi harus digalakkan. Sehingga jaring-jaringnya di dalam hutan dan penggunaan lahan menjadi positif untuk mengurangi CO2, untuk mengeluarkan oksigen lebih banyak. Transportasi, ya kita harus bangun Moda Raya Terpadu sehingga orang tidak lagi, lebih suka naik sepeda, naik apa yang disebut kereta, sehingga enggak semua orang naik mobil sendiri-sendiri yang kemudian CO2-nya makin banyak. Kemudian energi tadi terbarukan. Sekarang orang mengatakan yang dapat diandalkan itu yang fossil fuel, seperti batubara, gas, atau minyak. Kalau kita mau transisi kepada yang terbarukan dari yang tidak terbarukan, kita tahu beban dasarnya harus beberapa. Indonesia enggak bisa bilang batubara tiba-tiba tutup, terus enggak ada gantinya. Karena 62% dari energi kita itu adalah dari batubara. Kalau kita ingin energinya batubara nanti lama-lama dikurangin sampai 2050, penggantinya harus ada. Jadi aku butuh dua uang nih, Gita. Ini yang sekarang saya selalu omongin di dunia. Aku butuh satu pot uang untuk mempensiunkan batubara karena ini udah dikontrakin. Umpamanya Gita punya pembangkit batubara, sudah jual ke PLN, kontraknya 30 tahun, sekarang aku bilang, "Bisa nggak kontraknya diperpendek supaya polusinya enggak sampai 30 tahun, diturunin 15 tahun." Si pengusaha batubaranya bisa saja, " Asal Ibu kompensasi saya dong. Saya kehilangan 15 tahun terakhirnya." Jadi saya harus mencari uang untuk menggantinya. Siapa yang bayar? Batubara yang dipensiunkan15 tahun itu kan harus muncul penggantinya, tidak hanya gantiin yang 15 tahun yang hilang. Kita sekarang dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, permintaan energi makin tinggi. Jadi kita tidak hanya menggantikan ini, kita menambah kapasitas. Jadi butuh uang untuk membangun yang terbarukan. Jadi saya harus punya 2 pot uang untuk menghentikan dan untuk membangun. Itu tadi belum bicara tentang keandalan, intermittent, yang disebut base energy teknologinya bisa diandalkan atau enggak, dan belum lokasi. Kalau Bapak Presiden sering mengatakan, "Kita punya banyak sekali (energi) terbarukan seperti hidro." Karena kita punya lebih dari 4000 sungai, 3 sungai saja bisa mengeluarkan lebih dari 10 gigawatt. Itu gede banget. Tapi tempatnya di Kalimantan, tempatnya ada di Papua, konsumsi di Jawa. Jadi, kamu benar-benar harus membawa itu semua seluruh Indonesia. Atau kita bawa aktifitasnya pindah ke sana juga. Hal-hal seperti investasi yang luar biasa besar yang sekarang kami di Kementerian Keuangan mencoba menghitung. Sehingga kita nggak boleh cuma pidato-pidato terus, "Iya perubahan iklim," dsb., atau kalau saya diminta oleh negara- negara maju, "Indonesia harus kontribusi." "Emang kamu sudah bayar berapa ke kita?" Kan enak jadinya kalau saya bilang, "Aku butuh sekian dan Anda tidak pernah membayar saya sama sekali. Apakah Anda memiliki posisi moral untuk mendikte kita?" Kan kayak gitu, enak banget kan ngomongnya. Nggak usah teriak-teriak gede-gede, ngomong enak kayak gitu, tapi jleb gitu kepada mereka. Itu yang saya bilang, kalau kita berjuang, kita harus berjuang di semua level, supaya kita bisa menjaga Indonesia. - Berbicara soal level, level terakhir itu kalau menurut saya gimana kita harus mengedukasi generasi Z. Dan akhir-akhir ini saya sering ngobrol mengenai perubahan iklim, dan banyak yang tertarik. Tapi ada juga yang belum paham. Karena kalau saya bilang ini terbatas karbon kita yang tersisa cuma 2000-3000 gigaton, emisi per tahun 60-70 gigaton. Lo cuma punya 50 tahun. Kecuali kalau lo siap jalan kaki ke kantor. Itu akhirnya begitu saya cerita begitu, paham mereka, "Kalau gitu kita harus melakukan dekarbonisasi apa pun caranya." Tapi ini penting Bu, untuk disosialisasikan. Bu, saya mau nyambung ke teknologi. Saya melihat ada beberapa observasi, kalau teknologi itu derivative 1 dan 2-nya speed and acceleration, semakin meningkat. Dan dalam batas logika, kalau speed and acceleration meningkat, margin of error semakin besar, error semakin besar. Saya mau bungkus ini dalam konteks yang keren banget di kalangan anak-anak muda namanya blockchain. Blockchain ini fenomena yang gila, pertumbuhannya 120% per tahun. Internet pertumbuhannya per tahun cuma 60%. Blockchain ini aplikasinya yang paling banyak akhir-akhir ini di crypto. Kenapa crypto laku, karena orang sudah nggak percaya lagi dengan uang beredar, terlalu infinite (tak terbatas) , sedangkan crypto itu finite (terbatas), terus kedua, sudah enggak ada gold standard lagi. Tiga, ini sebagai hedge terhadap inflasi. Yang terakhir, banyak yang nggak paham mengenai kebutuhan energi. Ini balik lagi ke percakapan yang tadi. Kalau saya itung-itung, kebutuhan untuk bitcoin saja energinya itu sama dengan kebutuhan energi di satu negara namanya Argentina dalam setahun, kalau kita mau mempopulerkan blockchain, kita juga harus mikirin strategi terbarukannya. Pandangan Mbak Ani gimana mengenai teknologi dan gimana anak-anak muda sekarang semakin merangkul hal-hal yang sifatnya pesat pertumbuhannya? - Ada beberapa dimensi dalam apa yang disampaikan Gita. Teknologi blockchain itu kan shared ledger, closed ledger orang ada di dalam sistem itu. Makanya disebut finite. Enggak seperti kalau kamu cetak uang yang sekarang itu uang fiat, seperti Amerika itu kayaknya cetak terus, sehingga itu di-govern/ditata kelolakan dan dipertahankan dengan suatu sistem tertutup. Tadi ada banyak aspeknya. Aspek pertama, tadi disebutkan orang nggak percaya atau kepingin pindah ke sini yang seperti pada awal percakapan kita tadi, dunia ini banyak sekali likuiditas dari uang fiat, uang yang dikelola atau yang otoritasnya adalah Bank Sentral. Bank Sentral di seluruh dunia, mereka cetak uang untuk jagain ekonomi. Karena COVID kemarin dicetak lebih banyak lagi supaya ekonominya kembali bangkit. Tapi kemudian excess-nya, uang ini mencari tempat untuk diinvestasikan salah satunya melalui crypto atau bitcoin, makanya harganya naik tinggi banget. Kedua, ini adalah mau disebut currency, tapi Bank Sentral enggak mau mengakui ini currency, makanya disebut komoditas. Tapi dia sudah pakai coin atau currency, cryptocurrency, bitcoin. Dari sisi Bank Sentral, mereka merasa, “Ini tumbuh terus, dan tumbuhnya tadi enggak cuma double digit, ratusan persen." Saya sudah banyak juga masukkan dari orang-orang pengusaha dalam negeri yang merasa, “Ini enggak kerja apa-apa, dia dapat duitnya gampang banget.” Sehingga regulator seluruh dunia, Bank Sentral terutama, mulai memikirkan, ini harusnya di bawah regulasi siapa. Karena seperti tadi, fast dan accelerate bisa terjadi tabrakan, itu yang terjadi dengan biasanya bubble and burst. Ini pasti akan terjadi suatu koreksi yang nanti akan ada korbannya, sehingga perlu regulasi. Siapa yang harus meregulasi? Di Amerika Serikat sendiri masih akan bicara, apakah itu stock exchange atau Bank Sentral, atau siapa yang harus melakukan regulasi ini. Yang ketiga adalah mengenai penggunaan ini yang menggunakan teknologi ledger tertutup itu bisa dijadikan untuk kamuflase terhadap berbagai illicit financing (pembiayaan gelap) Itu tadi, pendanaan terorisme, pencucian uang itu sebetulnya sudah dari awal sudah menjadi sesuatu. Makanya FATF (Financial Action Task Force) yang merupakan organisasi antar negara- negara di dunia untuk mendeteksi aliran dana yang dari illicit financing pencucian uang, pendanaan terorisme, itu sudah menganggap ini merupakan growing risk, risiko yang makin tumbuh, makin besar. Dan ini menjadi sesuatu yang sebetulnya dibahas di G20 di antara Menteri-menteri Keuangan dan Bank Sentral di G20 dengan otoritas-otoritas dunia seperti Financial Sector Board, IMF, bahkan dalam hal ini kita mau bicara BIS untuk bicara tentang apa artinya itu. Banyak beberapa negara yang sudah mulai mengakomodasi teknologi ini. Umpamanya waktu itu Singapore, London melakukan. Karena diakui teknologi ini dari ongkos (transaction cost) sangat rendah, efisiensi sangat tinggi. Jadi kalau dibandingkan dengan digital currency yang selama ini masih base-nya adalah fiat ini merupakan sesuatu pilihan. Jadi saya yakin Bank-bank Sentral sekarang benar-benar melihat fenomena ini untuk menentukan akhirnya bagaimana rekonsiliasi antara teknologi closed ledger dengan traditional Central Bank currency. Makanya di RRT sudah mulai dicoba Central Bank digital currency, itu juga nanti akan menggunakan teknologi closed ledger saya rasa. Amerika sendiri, karena dollar selama itu mendominasi dunia mereka dilematis sekali. Dollar, dia senang, karena dollar mendominasi dunia, berarti dia juga bisa mendominasi. Kalau berubah ke digital currency, ini merupakan suatu perubahan yang tipping point. Ini yang masih menjadi sesuatu yang akan dilihat. Kita, Bank Indonesia juga sudah mulai mengkaji mengenai berbagai kemungkinan implikasi dari munculnya teknologi ini. Hal lain yang tadi Gita sampaikan yang mungkin jarang dilihat dari sisi cryptocurrency atau closed ledger ini adalah energi. Kalau ini adalah sesuatu yang di-maintain di dalam sistem digital, maka dia harus hidup terus dan harus dipertahankan dengan energi tadi, yang Gita sampaikan, ternyata kebutuhan untuk menjaga 1 bitcoin saja, sama dengan seluruh energi dari satu negara seperti Argentina. Ini berarti sangat tidak conserved technology. Nanti kebutuhan terhadap energi akan makin naik. Sebetulnya kalau ngomong tentang energi, ya seperti tadi, Indonesia sebagai satu negara, energi yang sekarang 60% adalah coal base (berbasis batubara) kalau kita ingin tetap tumbuh, berarti kalau ada permintaan energi, harus yang terbarukan. Tapi batubaranya sendiri mau diturunkan sampai tahun 2060 turun porsinya dari 60 jadi 40, jadi 20 akhirnya nol persen pada tahun 2060. Road map ini dan bagaimana transisi energi ini, yang harus dipikirkan dari aspek siapa yang akan bayar, duitnya dari mana, dan bagaimana bentuk insentifnya. Ini yang sekarang pemerintah sedang bicara tentang, makanya nilai ekonomi karbon. Saya kemarin waktu di Glasgow launching Energy Transition Mechanism dengan ADB, di mana tadi yang saya sebutkan membutuhkan dua pot, yang satu uang untuk mempensiunkan batubara lebih awal dan satu pot uang untuk membangun (energi) terbarukan yang lebih cepat. Tapi ini sangat menyederhanakan masalah. Karena in between, butuh banget tadi, insentif, subsidi, implikasi harga listrik apakah lebih murah, apakah lebih mahal. Kalau lebih mahal, gimana kita memberikan subsidi. Bagaimana terhadap resiko kalau dia tidak berlanjut. karena kalau hidro, geothermal, apalagi tenaga surya, atau angin, atau arus laut, itu kan enggak ajeg. Kalau lagi ada arus, listriknya jalan. Kalau nggak ada arus, listriknya mati kalau lagi podcast kayak gini, hilang, kan enggak lucu. Jadi kita membutuhkan teknologi untuk membuat itu menjadi stabil sebagai base energi kita. Hal-hal aspek inilah yang sekarang kita sedang bahas. Makanya di pemerintah, kita bicaranya ada saya di Kementerian Keuangan, Menteri Energi, iya, Menteri KLHK jelas Bu Siti, bahkan Menteri Perdagangan, Gita juga pernah jadi Menteri Perdagangan, jadi tahu. - Dulu banget. - Sama-sama pokoknya. Anda pernah di sana. Jadi perdagangan karbon ini secara global itu juga menjadi salah satu dimensi yang sangat menarik dan juga menantang. Aku senang kalau tadi generasi Z pada senang, tapi kayaknya kita juga perlu untuk terus. Saya beberapa kali diundang Townhall anak-anak muda, saya rasa semangat mereka itu membuat hati saya menjadi sangat senang, saya merasa anak-anak muda kita concern mereka, perhatian mereka di tempat yang benar. Hati mereka di tempat yang benar, semangatnya bagus. Sekarang harus dilengkapi dengan fakta, pengetahuan, teknik, strategi, bahkan geopolitik yang tidak sederhana, namun tidak berarti kalau tidak sederhana itu tidak bisa kita kerjain. Aku sudah berkali-kali di berbagai tempat masalahnya kompleks tapi akhirnya kita bisa kerjakan. - Penting Bu, gimana kita bisa mengubah mindset mereka dari terlalu konsumtif menjadi regeneratif. Terus jangan sebagai konsumen saja, tapi sebagai warga (citizen). Dan kalau menurut saya mereka harus mengambil kepemilikan politik, karena harus dikerangkakan. Bu, saya masih banyak pertanyaan, tapi saya tahu waktu Anda tidak banyak, dan mungkin yang terakhir saya mau bahas ke depan, Indonesia ke depan menuju 2045. Mau mengobrol apa saja, saya serahkan ke Ibu. Tapi mungkin gimana pandangan Ibu yang paling nyata di saya adalah kita punya satu presiden perempuan. Kalau menurut Ibu, sampai tahun 2045 itu gimana peran perempuan dalam kepemimpinan negara atau kepemimpinan secara umum. Terus kedua, gimana postur kebijakan kita supaya kita bisa keren banget di 2045. Demokrasi terbesar ke-3, populasi terbesar ke-4, mayoritas Islam, ekonomi terbesar di ASEAN, tapi kalau bisa nyambung ke tolok ukur lain yang keren. Itu gimana Bu, pemikiran Ibu? - Perjalanan satu negara mencapai 100 tahun kemerdekaan, ya kita lihat banyak negara, RRT itu sudah ribuan tahun kalau kita bicara, bahkan sebelum negara Indonesia lahir, dia sudah lebih dari 2500 tahun dengan peradaban, dengan kerajaannya. Atau kalau kita lihat Amerika Serikat, atau negara-negara Eropa yang merupakan demokrasi yang sudah cukup tua. Kalau kita bicara 100 tahun Indonesia merdeka 2045 itu adalah milestone yang kita tentu punya impian, punya harapan, punya target, Gita. Dan kalau Indonesia disebut keren, artinya jaga terus stabilitas politik, kita tetap terbuka, demokrasi, ada check and balance, ada kritik tapi juga konstruktif, kita jalan, tidak selalu sempurna, enggak ada sesuatu yang sempurna di dunia itu. Tapi tetap progresif, maka Indonesia di 2045 itu diperhitungkan akan menjadi negara yang lima besar ekonominya. Kita sekarang di G20, kita ada di rangking berapa 15 atau 16. Tapi kalau kita terus pertumbuhannya di atas 5% maka nanti UK dan negara-negara Jerman itu akan turun ke bawah, kita akan di atas, India, RRT, kita, karena selain populasi, ukuran ekonominya gede. Untuk mencapai itu, tidak cuma itung- itungan pertumbuhan sekian, PDB sekarang, terus jadi segitu. Ada begitu banyak kondisi yang diperlukan yang kita bangun. Tadi, reform tetap dijalankan. Reform ke mana? Reform yang membuat pemerintahan menjadi bersih, efisien, akuntabel, melayani. Jadi siapa saja nanti yang berkuasa, apa pun partai politiknya, dia harus perilaku yaitu akuntabel, bersih, melayani. Jadi kalau kita berkompetisi secara demokratis, bukan untuk meraih kekuasaan tapi bagaimana melayani masyarakat dengan lebih baik Kompetitornya harusnya gitu. Debat kebijakannya adalah seperti itu. Itu dari sisi pemerintahan. Infrastruktur harus dibangun, sistem kesehatan harus dibangun, supaya kita nggak kena pandemi kelimpungan, seperti dunia saat ini yang memang luar biasa kelimpungannya. Indonesia relatif bagus, meskipun sistem kesehatan kita masih tetap harus diperkuat, pendidikan jelas sangat inti di dalam reform ini, sehingga kita nanti punya SDM yang baik, institusi publiknya bersih, akuntabel, efisien, infrastrukturnya bagus, sehingga Indonesia bisa berkembang menjadi negara yang keren. Reform di sisi hukum penting banget, Jadi kita punya check and balance eksekutif, legislatif, yudikatif yang bisa tiga-tiganya itu berfungsi secara bagus, jadi rakyat merasa, "Aku terwakili, aku dijaga, dan negara ini hadir secara adil." Ada eksekutif, legislatif, yudikatif. Tadi kalau bicara tentang isu-isu gender, Indonesia belum 100 tahun merdeka, kita sudah punya presiden perempuan. Amerika sudah 200 tahun merdeka belum pernah punya, baru satu VP (wakil presiden) perempuan. Menteri Keuangan pertamanya dia baru kemarin, Janet Yellen, kita sudah lebih dulu waktu saya diminta sama Pak SBY dulu. Jadi sudah relatif maju. Ketua DPR perempuan di Amerika, ada. Di Eropa baru ngomong gender, tapi Prime Minister perempuan baru Jerman. Perancis belum pernah dalam hal ini. Inggris, Margaret Thatcher sama yang kemarin. Jadi artinya, kalau kita ngomong tentang gender, mungkin enggak cuma top position, tapi bagaimana lensa atau optik di mana manusia itu ada laki-laki dan perempuan, hampir 50:50, paling 51:49. - Bahkan perempuannya lebih, Bu. - Iya makanya 51:49, perempuan lebih banyak. Kalau anda memperlakukan perempuan cuma sebagai appendix, catatan akhir, berarti anda menyia-nyiakan setengah populasi sebagai sesuatu yang, padahal mereka kalau bicara tentang sekolah, Gita lihat saja, biasanya yang juara kelas itu perempuan. - Yang cowok nyontek dari cewek. - Top 5 perempuan, top 10 baru ada laki-laki 3. Waktu sampai mahasiswa, mahasiswa teladan, perempuan biasanya. Begitu masuk kerja, mereka kemudian menikah, mulai drop out mereka. Artinya harus menikah atau karir. Kalau menikah dan karir bisa dikompromikan, mereka punya anak, ngurusin anak, atau karir. Itu pertanyaan-pertanyaan yang kalau Gita sebagai laki-laki enggak pernah ditanyain, kamu mau karir atau menikah? Ya laki-laki dua-duanya. Mau punya anak atau karir? Laki-laki dua-duanya, kan sudah ada yang ngurusin anak. Kalau perempuan kan enggak. Anda tidak pernah ditanya itu, kan? Aku sebagai menteri perempuan itu sering banget aku ditanya, “Bu gimana cara memilih antara karir sama keluarga?” Pertanyaan itu enggak pernah ditanya ke laki-laki lho, Gita. - Untung nama saya nama cewek, Bu. - Oh gitu. - Jadi saya mewakili keduanya. - Artinya, saya mau mengatakan perempuan itu sepanjang kemampuan mereka untuk mengkontribusi kepada masyarakat, mereka menghadapi tantangan yang tidak sama dengan laki-laki. Kadang-kadang bahkan karena secara sosial, norma, kultur, bahkan interpretasi agama, itu dijadikan sebagai alasan untuk beban perempuan itu menjadi lebih berat. Semuanya kayaknya default-nya perempuan yang bertanggung jawab, gua dong yang keren di luar. Kalau perempuan di luar keren, ditanyain keluarga kamu berantakan nggak. Kalau laki-laki berantakan enggak ada yang nanya. Jadi perlakuan asimetris tersebut memang membuat perempuan itu cukup sulit untuk mencapai suatu posisi. Bukan berarti kita menyerah. Jadi contohnya kalau saya di Kementerian Keuangan, kita coba supaya anak-anak muda yang kerja ini tidak menimbulkan tension trade-off waktu melahirkan. Saya bilang laki-laki boleh cuti (untuk) suami harus nungguin istrinya dan anaknya. Itu kan memberikan dukungan moral. Di sini harus ada ruang laktasi. Bahkan saya minta kalau memang ada tempat untuk child care, dilakukan juga untuk membuat child care. Menjadi penting untuk kita semuanya. Jadi ada gestur-gestur yang mungkin untuk laki-laki dianggap tidak terlalu penting, tapi untuk perempuan itu segalanya, itu sesuatu yang sangat penting buat mereka. Dan coaching. Sebetulnya laki-laki itu memberikan peranan penting, Gita. Seperti kamu, gestur kamu untuk bisa memberikan apresiasi, ruang yang sama, kesempatan, itu akan memberikan dampak yang luar biasa. Kalau sama perempuan biasanya kita juga saling mendukung dalam hal ini. - Ini empiris lho Mbak, di venture capital, ada studi yang menyatakan semakin diversitasnya meningkat, ROE-nya (return on equity) jauh lebih bagus. – Itu studi sudah cukup lama. Kalau aku di Bank Dunia, karena sebagai COO, kita membuat salah satu yang disebut mainstreaming itu adalah gender itu yang namanya cross cutting issue. Itu kita lihat kalau di korporasi, board yaitu dewan direkturnya, kalau laki-laki semua seperti punya ‘boys club’ itu kan kejadian di berbagai teknologi kayak Google maupun di Facebook waktu mereka men-develop kecerdasan artifisial. Karena ada boys' club, dia nggak tahu bahwa ternyata perempuan itu beda. Jadi waktu bikin AI-nya seolah-olah semua manusia itu laki-laki. Jadi hal kecil, tapi yang menunjukkan bahwa kalau kamu nggak punya gender-sensitive, ini menyebabkan, bayangkan kalau di dalam korporasi, Gita, kalau kamu sebagai CEO apalagi jadi owner, kamu kepingin investasi, itu dia thriving, dan tahu risikonya di mana. Tapi kalau kamu board-nya laki-laki semuanya, kamu merasa sudah sebagai … - Konformis. – Ya, mereka cuma saling gagah. Enggak ada yang lihat ke spion, di situ di belakang ada, atau lihat ke depan bahkan di atas, sekarang ini lagi banyak awan, sebentar lagi badai akan muncul. Enggak punya kepekaan itu karena ada yang disebut club mentality. Diversitas itu menyebabkan board-nya itu bisa melihat semua alternatif, itu bagus. Kalau di antara laki-laki enggak lihat bahwa ini adalah kesempatan, tapi kalau ada perempuan, itu sebetulnya bagus loh, 50% dari populasi itu perempuan. Itu adalah pasar yang sangat besar. Dan itu adalah peluang. Atau mereka akan lihat, dengan kepekaan empatinya, dia lihat ini akan terlalu berisiko, maka mereka akan bisa untuk mengurangi resiko. Jadi empiriknya benar. Makanya di Jerman sekarang jadi hukum wajib. Jadi enggak boleh ada board of director yang laki-laki, harus ada perempuan. Jadi terjadi diversitas di dalam pemikiran. Menurut saya iya. Kalau saya umat Islam, saya baca kitab suci, dan disebutkan “Diciptakanlah laki-laki dan perempuan,” itu kan tidak berarti laki-laki dan perempuan sama-sama bisa bekerja untuk melaksanakan amal. Itu menggambarkan dunia itu terdiri dari makhluk yang mestinya jangan dianggap yang sebagian ini adalah apendiks, atau catatan kaki saja, sebagai footnote, itu akan kehilangan potensi untuk bisa menciptakan menurut saya peradaban dan kehidupan yang lebih baik. - Setuju. Bu, saya punya banyak pertanyaan tapi saya tahu Anda sudah harus pergi. Terima kasih banyak. - Sampai jumpa, Gita. - Ya. Keren banget. - Saya sebenarnya mau lihat kamu nyanyi saja sama main piano. Waktu saya dikasih tahu mau podcast, kenapa bukannya dia main piano saja. - Lain kali. - Oke. - Terima kasih. Teman-teman, itulah Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI. Terima kasih. [Voiceover: Inilah Endgame]

No comments:

Post a Comment