Saya kurang paham kapan Musholla ini berdiri. Mungkin 15 tahun sebelum saya lahir bahkan lebih. Selama 29 tahun lebih, Musholla ini mengalami beberapa kali pemugaran. Mulai dari tempat imam, teritisan, tempat wudhu dan penambahan sanyo otomatis menggantikan timba air manual.
Dalam kurun waktu selama itu, saya menjadi bagian sejarah siapa saja jamaah yang aktif menghidupkan Musholla. Beberapa penggiat ada yang sudah meninggal, fisiknya loyo karena kemakan usia dan beberapa orang yang saya temui memilih melaksanakan sholat di rumah dengan pelbagai alasannya.
Setelah pindah tempat tinggal, praktis saya hanya sholat di Musholla ini saat pulang kampung. Atmosfernya tidak pernah berubah. Selain membuat kita semakin mengingat Tuhan, kita juga akan tersadar arti dari rasa memiliki. Memiliki apa? Memiliki Tuhan dalam wujud Musholla.
10 tahun lebih pindah ke Malang, berikut catatan yang bisa saya bagikan:
1. Kurangnya Rasa Memiliki
Ini kritik ke diri saya, berkaca dari Musholla ini. Saya tersadar bahwa Masjid, Musholla bahkan Pom Bensin yang biasa kita singgahi untuk numpang sujud kepada Allah adalah milik kita sebagai orang muslim. Kita bertanggung jawab atas kebersihannya, mulai dari kebersihan kloset, sajadah dan sarung yang kadang bisa membuat jamaah pingsan lantaran seribu purnama terlewati tidak pernah dicuci.
Level kita sering nyacati jika singgah ke Mushola yang kotor dan bau, tapi gak mau mikir dan ikut berkontribusi agar Mushola menjadi tempat ibadah yang nyaman. Cekak cingkrange, gelem nyacati tapi gak melok ngerejiki. Opo maneh kok ngisi kotak amal. Jan, berat modelan wong ngene Iki.
2. One Man Show
Hal ini tidak akan pernah kalian temui di Masjid-Masjid besar, kas mereka cukup besar untuk mendanai takmir dan team nya. Beda kasus jika kalian numpang sholat di Mushola pelosok desa, haqul yakin kalian akan banyak menemukan pemandangan tai cicak bertebaran di mana-mana, Sawang terumbai-rumbai di plafon, kipas angin kotor dan berisik saat dihidupkan dan lantai kloset yang menguning serta bau oleh bekas kencing para jamaah.
Kasus seperti ini sering terjadi karena One Man Show. Yang disebut Takmir adalah muadzin merangkap imam, merangkap cleaning service, merangkap narsum kajian, merangkap fundraising, dan puncaknya adalah Takmir ini adzan sendiri, iqomah sendiri dan sholat sendiri. Top sekali bukan. Mengapa hal itu bisa terjadi? Mari jujur, aslinya kita sendiri sudah tahu jawabannya dan apa yang harus diperbuat bukan!
3. Di mana Para Jamaah?
Untuk menjawab ini tidak pernah dilakukan survey ilmiah. Banyak tidaknya jamaah yang datang untuk sholat dapat dipengaruhi beberapa faktor: jumlah Mushola di sebuah kampung, jarak antar Mushola, banyaknya jumlah warga di sekitar Mushola, kebersihan Mushola, kegiatan-kegiatan lain yang ada di Mushola tersebut dan keinginan jamaah untuk melaksanakan sholat di Mushola atau di rumah.
Tanpa romantisme masa lalu, Mushola jaman sekarang kita akui sudah tidak banyak lagi para bocil yang datang untuk sholat jamaah. Jika ditarik benang merahnya, para bocil jarang ke Mushola karena orang tuanya juga tidak ke Mushola. Padahal, Mushola bakal ramai jika banyak anak-anak yang datang
4. Mushola dan Acara Keagamaan
Meski tiap harinya sepi, Mushola bakal ramai di momen-momen tertentu seperti acara Muludan, Maleman Ramadhan, Kupatan, Peringatan Isra' Mi'raj dan malam Takbiran.
Momentum tahunan seperti itu menjadi energi tambahan para Takmir. Meski harus repot mempersiapkan acara, ia akan dengan senang hati melihat Mushola ramai oleh para jamaah. Dan dalam hatinya bakal berucap, "Ini bukan urusan lelah, ini urusan cinta ke Tuhanku".
Itu adalah empat poin besar yang saya bagi ke pembaca. Tentu tulisan ini tidak dalam rangka mengevaluasi para Takmir dan warga di sekitar Mushola. Justru yang perlu dievaluasi adalah diri saya sendiri karena selama di Malang tidak cukup giat di lingkungan dan tempat ibadah.
Sebagai orang yang cekak pengalaman, cerita tentang Mushola di atas juga saya rasakan di ranah yang lain. Menjadi bagian dari lembaga filantropis dan mikir gimana caranya lembaga ini dapat survive saja bikin mumet. Kita bergerak serba repot, mau memberlakukan kinerja mirip-mirip organisasi Mahasiswa, kayaknya kok gak mentolo. Mau pakai pemodelan kinerja sebuah Yayasan, lha wong semua anggotanya cuman partisipan. Sumber keuangan komunitas saja dari bantingan partisan dan saweran atas dasar paseduluran. Api yang membakar kami dan rekan-rekan hanyalah ide untuk senantiasa giat keumatan.
Tentu banyak diluaran sana yang survive. Namun, banyak orang yang sering luput bahwa komunitas yang hidupnya tidak segan dan tetap tidak mau mati itu banyak. Jika sumber keuangan bukan menjadi masalah, maka masalah berikutnya adalah sumber daya manusianya. Siapa yang berkenan membaktikan hidupnya ngerumat komunitas seperti itu? Ya ada, banyak juga. Ini urusan cinta. Urusan makhluk dengan Tuhannya. Dan, saya yakin banyak orang yang luput memandang ini.
Di hari terakhir Ramadhan ini, saya mohon para pembaca dapat mengirimkan doa-doa terbaik dari yang terbaik kepada sosok yang selama ini luput dari pandangan kita namun perjuangan dan jasanya sangat besar. Entah itu Takmir Mushola, penggiat komunitas, kurir ekspedisi, tukang becak, jukir, para ustadz yang ikhlas menjadi imam tarawih sebulan penuh dan tak luput doa terbaik untuk kedua orang tua kita dan guru-guru kita.
Selamat merayakan Hari Raya Idul Fitri tahun 2023, mohon maaf lahir dan batin. Terima kasih
Karangrandu, Jumat 21 April 2023
Ali Ahsan Al Haris
No comments:
Post a Comment