Tuesday, December 8, 2015

Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Indonesia

Makalah Sosial Budaya Pesisir
Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

1.1            Latar Belakang
Di Indonesia, sumberdaya dan keanekaragaman hayati sangat penting dan strategis artinya bagi keberlangsungan kehidupannya sebagai bangsa. Hal ini bukan semata-mata karena posisinya sebagai salah satu negara terkaya di dunia dalam keanekaragaman hayati (mega-biodiversity), tetapi justru karena keterkaitannya yang erat dengan kekayaan keanekaragaman budaya lokal yang dimiliki bangsa ini (mega-cultural diversity). Para pendiri negara-bangsa (nation-state) Indonesia sejak semula sudah menyadari bahwa negara ini adalah negara kepulauan yang majemuk sistem politik, sistem hukum dan sosial-budayanya. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika secara filosofis menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas kemajemukan atau keberagaman sistem sosial yang dimilikinya.

Ketergantungan dan tidak-terpisahan antara pengelolaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati ini dengan sistem-sistem sosial lokal yang hidup di tengah masyarakat bisa secara gamblang dilihat dalam kehidupan sehari-hari di daerah pedesaan, baik dalam komunitas-komunitas masyarakat adat yang saat ini populasinya diperkirakan antara 50 70 juta orang, maupun dalam komunitas-komunitas lokal lainnya yang masih menerapkan sebagian dari sistem sosial berlandaskan pengetahuan dan cara-cara kehidupan tradisional. Yang dimaksudkan dengan masyarakat adat di sini adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya. Batasan ini mengacu pada Pandangan Dasar dari Kongres I Masyarakat Adat Nusantara tahun 1999 yang menyatakan bahwa masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun-temurun di atas satu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat.

Sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaan hayati alami. Adalah suatu realitas bahwa sebagian besar masyarakat adat masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Mereka umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan sumberdaya lokal yang diwariskan dan ditumbuh-kembangkan terus-menerus secara turun temurun. Sampai saat ini hanya sebagian yang sangat kecil saja yang dikenal dunia ilmu pengetahuan modern tentang sistem-sistem lokal ini. Contoh di antaranya adalah pranata adat sasi yang ditemukan disebagian besar Maluku yang mengatur keberlanjutan pemanfaatan atas suatu kawasan dan jenis-jenis hayati tertentu. Contoh lainnya yang sudah banyak dikenal adalah perladangan berotasi komunitas-komunitas adat Orang Dayak di Kalimantan berhasil mengatasi permasalahan lahan yang tidak subur.

Komunitas-komunitas lokal di pedesaan yang tidak lagi mendefenisikan dan menyebut dirinya sebagai masyarakat adat, juga secara berkelanjutan menerapkan kearifan (pengetahuan dan tata cara) tradisional ini dalam kehidupannya, termasuk dalam memanfaatkan sumberdaya dan keanekaragaman hayati untuk memenuhi kebutuhannya seperti pengobatan, penyediaan pangan, dan sebagainya. Masa depan keberlanjutan kehidupan kita sebagai bangsa, termasuk kekayaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati yang dimilikinya, berada di tangan masyarakat adat yang berdaulat memelihara kearifan adat dan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang sudah terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sebagai komunitas dan sekaligus menyangga fungsi layanan ekologis alam untuk kebutuhan mahluk lainnya secara lebih luas. Keberpihakan terhadap kearifan tradisional dengan segala pranata sosial yang mendukungnya merupakan modal awal yang utama bagi pengabdian kita terhadap keberlanjutan kehidupan kita di Indonesia.

1.2            Rumusan Masalah
   a.     Bagaimanakan cara pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat ?
   b.     Apa yang dimaksud dengan kearifan lokal ?
   c.      Bagaimana karakteristik sosial dan sistem pengetahuan masyarakat pesisir?

1.3            Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui cara pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat, kearifan lokal masyarakat pesisir serta karakteristik sosial dan sistem pengetahuan masyarakat pesisir.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (PSPBM)
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (PSPBM) yang merupakan proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanannya sendiri telah menjadi populer pada saat ini. Namun pengelolaan sumberdaya ini masih memiliki kelemahan yang bila tidak diselesaikan dapat membuat rezim ini tidak efektif pelaksanaannya. Beberapa kelemahan ini adalah bahwa PSPBM ini tidak mampu mengatasi masalah-masalah inter-komunitas. bersifat spesifik lokal, sangat rentan terhadap perubahan eksternal, sulit mencapai skala ekonomi, serta tingginya biaya institusionalisasinya. Meskipun kerja sama merupakan sifat interaksi antara masyarakat, namun pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan cenderung makin berkurang, interaksi antara masyarakat lebih banyak terekspresi dalam bentuk saling kompetisi. Saling kompetisi dalam memanfaatkan sumberdaya ikan adalah alasan terjadinya kegagalan pengelolaan perikanan yang ditunjukkan dengan rusaknya sumberdaya serta adanya kemiskinan.

Meskipun demikian, saling berinteraksi antara masyarakat dapat dipandang juga sebagai potensi yang dapat dikembangkan untuk merumuskan suatu mekanisme pengelolaan sumberdaya perikanan yang efektif. Keinginan masyarakat yang saling bertentangan atau berkompetisi merupakan salah satu alamiah masyarakat. Namun, sifat ini juga merupakan alasan perlunya dikembangkan mekanisme pengelolaan sumberdaya perikanan yang dapat mengatasi konflik. Mekanisme tersebut adalah dengan membiarkan masyarakat sendiri menentukan cara-cara pengelolaan sumberdaya perikanan yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang juga ditetapkan mereka sendiri.

2.2 KearifanLokal/Tradisional
Kearifan lokal atau tradisional sesungguhnya merupakan bagian dari etika dan moralitas yang membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus bertindak khususnya dibidang pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. Bahasan ini sangat membantu kita dalam hal mengembangkan perilaku, baik secara individu maupun secara kelompok dalam kaitan dengan lingkungan dan upaya pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu membantu kita untuk mengembangkan sistem sosial politik yang ramah terhadap lingkungan serta mengambil keputusan dan kebijakan yang berdampak terhadap lingkungan atau sumberdaya alam termasuk sumberdaya alam pesisir dan laut. Etika yang berarti adat istiadat atau kebiasaan, dalam arti kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang atau pada kelompok masyarakat.

Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain (Keraf, 2002). Kebiasaan hidup yang baik ini kemudian dibakukan dalam bentuk kaidah, aturan, norma yang disebarluaskan, dikenal, dipahami dan diajarkan dalam masyarakat. Oleh karena itu etika dipahami sebagai ajaran yang berisikan aturan tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia dan juga etika dipahami sebagai ajaran yang berisikan perintah dan larangan tentang baik-buruknya perilaku manusia yaitu perintah yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dihindari.

Pengertian keraifan lokal (tradisional) menurut Keraf (2002) adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Dijelaskan pula bahwa kearifan lokal/tradisional bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun.

Pengertian di atas memberikan cara pandang bahwa manusia sebagai makhlukintegral dan merupakan satu kesatuan dari alam semesta serta perilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat dan peduli terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam semesta serta mengubah cara pandang antroposentrisme ke cara pandang biosentrisme dan ekosentrisme.

Nilai-nilai kerarifan lokal yang terkandung dalam suatu sistem sosial masyarakat, dapat dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke genarasi lainnya yang sekaligus membentuk dan menuntun pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap alam maupun terhadap alam. Menurut Nababan (2003), mengatakan bahwa masyarakat adat umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal yang diwariskan dan ditumbuh-kembangkan terus-menerus secara turun temurun. Pengertian masyarakat adat disini adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya.

2.3 Karakteristik Sosial dan Sistem Pengetahuan Masyarakat Pesisir
Karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris karena perbedaan sumberdaya yang mereka hadapi atau miliki. Masyarakat agraris menghadapi sumberdaya yang terkontrol yakni lahan untuk memproduksi suatu jenis komoditas dengan hasil yang dapat diprediksi. Dengan sifat yang demikian memungkinkan tetapnya lokasi produksi sehingga menyebabkan mobilitas usaha yang relatif rendah dan faktor resiko pun relatif kecil.

Tohir (2001), mengemukakan bahwa terdapat fenomena yang menarik mengenai melimpahnya sumberdaya alam laut dengan masih rendahnya minat masyarakat pesisir untuk mengeksplorasi kekayaan laut. Lebih lanjut, Tohir (2001), mengatakan fenomena ini jika dicermati secara mendalam maka sebenarnya terdapat fakta bahwa masyarakat pesisir yang bermatapencaharian sebagai nelayan maupun melakukan aktivitas hidup di laut jumlahnya relatif kecil dibanding dengan yang beberja sebagai petani sawah, maupun jasa. Hal ini berarti jenis-jenis matapencaharian masyarakat pesisir heterogen dan warga masyarakat yang memilih sebagai nelayan atau melakukan aktivitas di pesisir pada dasarnya masih merupakan kelompok kecil saja. Dari jumlah yang relatif kecil itu, dilihat dari tingkat kesejahteraan hidupnya rata-rata masih belum menggembirakan karena sebagai nelayan kecil mereka menghadapi berbagai keterbatasan.

2.4 Mengenal Kearifan Lokal di Beberapa Daerah
Namaban (2003) mengatakan bahwa sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaragaman hayati. Adalah suatu realitas bahwa sebagian besar masyarakat adat masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Aturan-atuaran/tradisi masyarakat ini diwarisi secara turun temurun yang disebut juga sebagai hukum adat dan berlaku bagi masyarakat pesisir. Kenyataannya, nilai-nilai kearifan lokal dan hukum adat tersebut cukup efektif dalam pengelolaan sumberdaya alam kelautan dan perikanan, dan menjaga pelestarian ekosistem laut dari berbagai aktivitas yang bersifat destruktif dan merusak. Dalam kaitan dengan rujukan regulasi adat maupun kearifan lokal yang dapat dipergunakan di beberapa daerah dan sudah diakui eksistensinya serta memiliki nilai strategis dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, dibeberapa daerah sebagai berikut:

1.       Tradisi/Hukum Adat Laot Lembaga Adat Laot di Propinsi Nangroe Aceh Darusalam
Hukum Adat Laot merupakan hukum-hukum adat yang diperlukan masyarakat nelayan dalam menjaga ketertiban yang meliputi penangkapan ikan, pemeliharaan sumberdaya ikan dan biota laut lainnya, dan menjaga kehidupan masyarakat nelayan yang hidup di wilayah pantai. Secara hukum, Hukum Adat Laot bersifat tertutup, artinya tidak dapat dihilangkan dalam struktur pemerintahan di Aceh sehingga memiliki kekuatan dan kewenangan tertentu dalam pelaksanaannya. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, Hukum Adat Laot di Aceh dapat bersifat terbuka, artinya, dalam menerapkan Hukum Adat Laot tersebut senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Hukum Adat Laot dari segi Adat Pemeliharaan Lingkungan meliputi:
a. Dilarang melakukan pemboman, peracunan dan pembiusan, penyetroman dengan alat listrik, pengambilan terumbu karang, dan bahan-bahan lain yang dapat merusak lingkungan hidup dan biota lainnya.
b. Dilarang menebang/merusak pohon-pohon kayu di pesisir dan pantai seperti pohon arun (cemara), pandan, ketapang, bakau dan pohon lainnya.
c. Dilarang menangkap ikan/biota lainnya yang dilindungi seperti lumba-lumba dan penyu.

2. Tradisi Lebak Lebung di Propinsi Sumatera Selatan
Lebak lebung adalah suatu areal yang terdiri dari lebak lebung, teluk, rawa dan atau sungai yang secara berkala atau terus menerus digenangi air dan secara alami merupakan tempat bibit ikan atau biota perairan lainnya. Lelang Lebak Lebung adalah sistem penentuan akan hak pengelolaan perairan umum (lebak lebung).

3.  Tradisi Ponggawa Sawi di Propinsi Sulawesi Selatan
Ponggawa adalah orang yang mampu menyediakan modal (sosial dan ekonomi) bagi kelompok masyarakat dalam menjalankan suatu usaha (biasa berorientasi pada skala usaha perikanan); sedangkan Sawi, bekerja pada Ponggawa dengan memakai hubungan norma sosial dan kesepakatan kerja. Pada sistem Ponggawa Sawi terdapat kesepakatan untuk menyerahkan atau menjual hasil tangkapannya pada Ponggawa, dan bagian ini merupakan mekanisme pembayaran pinjaman dari sawi kepada ponggawa jika sebelumnya sawi mempunyai pinjaman.

4. Tradisi Pamali Mamanci Ikang di Desa Bobaneigo Maluku Utara
Kearifan tradisional Pamali Mamanci Ikang dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (pesisir dan laut) secara umum adalah larang atau boboso, tetapi pengertiannya dalam pengelolaan ikan teri dan cumi-cumi menyangkut pada beberapa batasan, seperti pelarangan pada musim pemijahan, pembatasan jumlah alat tangkap, pembatasan frekwensi penangkapan, tidak dibenarkan orang luar memiliki usaha bagan, dan pelarangan penebangan hutan bakau (soki) karena luluhan daun dan dahan pohon bakau dianggap sebagai asal-usul ikan teri. Pengaturan Pamali Mamanci Ikang merupakan suatu kebijakan yang arif walaupun hanya dihasilkan melalui suatu proses musyawarah di tingkat desa. Seperti penetapan waktu pelaksanaannya disesuaikan dengan musim cengkeh, dimana masyarakat mulai meninggalkan laut dan beralih ke lahan pertanian dan perkebunan cengkehnya. Panen cengkeh dilakukan secara gotong royong (bari), sehingga bagi nelayan yang tidak memiliki kebun turut terlibat dalam panen tersebut untuk menutupi biaya hidupnya selama dilarang melaut.

Konsep ini sangat memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, sehingga pada saat pelaksanaan tradisinya, masyarakat nelayan tidak kehilangan mata pencahariannya, sebaliknya masyarakat petani juga ikut merasa dibantu

5. Tradisi Awig-awig di Lombok Barat, NTB
Awig-awig merupakan aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan masyarakat, untuk mengatur masalah tertentu, dengan maksud memelihara ketertiban dan keamanan dalam kehidupan masyarakat. Dalam awig-awig diatur perbuatan yang boleh dan yang dilarang, sanksi serta orang atau lembaga yang diberi wewenang oleh masyarakat untuk menjatuhkan sanksi. Adanya pengaturan lokal (awig-awig) dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan dipengaruhi oleh masalah pokok yaitu konflik antar nelayan. Apapun munculnya konflik dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan dipengaruhi oleh rusaknya lingkungan (ekologi), pertambahan penduduk (demografi), lapangan pekerjaan yang semakin sedikit (mata pencaharian), lingkungan politik lokal, perubahan teknologi dan perubahan pasar. Sejak dulu, masyarakat Lombok Barat telah mengenal aturan yang berkaitan dengan kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam, baik yang ada di darat maupun di laut. Hal ini tercermin dari kebiasaan adat istiadat, yaitu upacara Sawen. Secara umum sawen adalah larangan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan yang berlaku di zona dan waktu yang sudah ditetapkan sebelumnya melalui kesepakatan-kesepakatan lokal.

6. Tradisi/Hukum Adat Sasi di Maluku
Sistem pengelolaan berbasis masyarakat untuk kedua sumber daya darat dan laut umum ditemukan di Kepulauan Maluku Tengah dan Tenggara yang dikenal dengan istilah sasi. Secara umum sasi merupakan ketentuan hukum adat tentang larangan memasuki, mengambil atau melakukan sesuatu dalam suatu kawasan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula.

Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut. Karena peraturan-peraturan dalam pelaksanaan larangan ini juga menyangkut pengaturan hubungan manusia dengan alam dan antar manusia dalam wilayah yang dikenakan larangan tersebut, maka sasi, pada hakekatnya, juga merupakan suatu upaya untuk memelihara tata-krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga/penduduk setempat.

a.       Dasar Hukum & Kelembagaan Sasi
Sasi memiliki peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam suatu keputusan kerapatan Dewan Adat (Saniri; di Haruku disebut Saniri’a Lo’osi Aman Haru-ukui, atau “Saniri Lengkap Negeri Haruku”). Keputusan kerapatan adat inilah yang dilimpahkan kewenangan pelaksanaannya kepada lembaga Kewang, yakni suatu lembaga adat yang ditunjuk untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan peraturan sasi tersebut. Lembaga Kewang di Haruku dibentuk sejak sasi ada dan diberlakukan di desa ini. Struktur kepengurusannya adalah sebagai berikut:
1. Seorang Kepala Kewang Darat;
2. Seorang Kepala Kewang Laut;
3. Seorang Pembantu (Sekel) Kepala Kewang Darat;
4. Seorang Pembantu (Sekel) Kepala Kewang Laut;
5. Seorang Sekretaris
6. Seorang Bendahara
7. Beberapa orang Anggota.

Adapun para anggota Kewang dipilih dari setiap soa (marga) yang ada di Haruku. Sedangkan Kepala Kewang Darat maupun Laut, diangkat menurut warisan atau garis keturunan dari datuk-datuk pemula pemangku jabatan tersebut sejak awal mulanya dahulu. Demikian pula halnya dengan para pembantu Kepala Kewang. Sebagai pengawas pelaksanaan sasi, Kewang berkewajiban: (a) mengamankan Pelaksanaan semua peraturan sasi yang telah diputuskan oleh musyawarah Saniri Besar; (b) melaksanakan pemberian sanksi atau hukuman kepada warga yang melanggarnya; (c) menentukan dan memeriksa batas-batas tanah, hutan, kali, laut yang termasuk dalam wilayah sasi; (d) memasang atau memancangkan tanda-tanda sasi; serta (e) menyelenggarakan Pertemuan atau rapat-rapat yang berkaitan dengan pelaksanaan sasi tersebut.

b.Jenis - Jenis Sasi
Di negeri Haruku, dikenal empat jenis sasi, yaitu Sasi Laut, Sasi Kali, Sasi Hutan, Sasi Dalam Negeri.


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan beberapa point sebagai berikut:
1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Masyarakat (PSPBM) yang merupakan proses pemberian wewenang, tanggungjawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanannya sendiri telah menjadi populer pada saat ini. Namun pengelolaan sumberdaya ini masih memiliki kelemahan yang bila tidak diselesaikan dapat membuat rezim ini tidak efektif pelaksanaannya
2. Kearifan lokal atau tradisional sesungguhnya merupakan bagian dari etika dan morolitas yang membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus bertindak khususnya dibidang pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam
3. Masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaragaman hayati. Adalah suatu realitas bahwa sebagian besar masyarakat adat masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Aturan-atuaran/tradisi masyarakat ini diwarisi secara turun temurun yang disebut juga sebagai hukum adat dan berlaku bagi masyarakat pesisir. Kenyataannya, nilai-nilai kearifan lokal dan hukum adat tersebut cukup efektif dalam pengelolaan sumberdaya alam kelautan dan perikanan, dan menjaga pelestarian ekosistem laut dari berbagai aktivitas yang bersifat destruktif dan merusak.
4. Dalam kaitan dengan rujukan regulasi adat maupun kearifan lokal yang dapat dipergunakan di beberapa daerah dan sudah diakui eksistensinya serta memiliki nilai strategis dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, dibeberapa daerah antara lain; (1) Tradisi/Hukum Adat Laot Lembaga Adat Laot di Propinsi Nangroe Aceh Darusalam, (2) Tradisi Lebak Lebung di Propinsi Sumatera Selatan, (3) Tradisi Ponggawa Sawi di Propinsi Sulawesi Selatan, (4) Tradisi Pamali Mamanci Ikang di Desa Bobaneigo Maluku Utara, (5) Tradisi Awig-awig di Lombok Barat, NTB (6) Tradisi/Hukum Adat Sasi di Maluku.

3.2 Saran
Diharapkan dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang ditujukan untuk memberdayakan sosial ekonomi masyarakat maka masyarakat seharusnya memiliki kekuatan besar untuk mengatur dirinya sendiri dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di era otonomi ini. Proses peralihan kewenangan dari pemerintah ke masyarakat harus dapat diwujudkan. Namun ada beberapa hal yang masih menjadi tanggung jawab pemerintah seperti soal kebijakan fiskal sumberdaya, pembangunan sarana dan prasarana, penyusunan tata ruang pesisir, serta perangkat hukum pengelolaan sumberdaya. Meski hal tersebut menjadi bagian dari kewenangan pemerintah, namuntidak berarti masyarakat tidak memiliki kontribusi dan partisipasi dalam setiap formulasi kebijakan. Dengan adanya kontribusi dan partisipasi masyarakat maka kebijakan yang diformulasikan tersebut akan lebih menyentuh persoalan yang sebenarnya dan tidak merugikan kepentingan publik.



DAFTAR PUSTAKA

Bono. B. P. dan Pulungun. M. S., 2010, Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Keraf, S. A., 2002, Etika Lingkungan, Pn. Buku Kompas, Jakarta.
Nababan, 2003, Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Adat, Tantangan dan Peluang, http://dte.gn.org…/makalah_ttg_psda_ berb-ma_di_pplh ipb.htm.
Tohir M., 2002, Penelitian Sosial Budaya dari Memahami ke Melakukan dan Memuliskan,
UNDIP, Semarang.
 http://asepyudha.staff.uns.ac.id/2012/02…
 http://www.google.co.id/url?sa=t&rct…
 http://www.kewang-haruku.org/sasi.html
 http://pusaka.info/artikel/13-kearifan-l…
 http://www.ulayat.or.id/publication/arti…


Sengketa kewenangan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung

Makalah Hukum Tata Negara.
Sengketa kewenangan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung



BAB I
PENDAHULUAN

    A.      LATAR BELAKANG

Salah satu tuntutan reformasi yang digulirkan sejak tahun 1998 adalah dibangunnya suatu sistem ketatanegaraan Indonesia yang berbasis secara murni dan konsekuen pada paham kedaulatan rakyat dan Negara hukum (rechstaat). Karena itu, dalam konteks penguatan sistem hukum yang diharapkan mampu   membawa rakyat Indonesia mencapai tujuan bernegara yang di cita-citakan, maka perubahan atau amandemen UUD 1945 merupakan langkah strategis yang harus dilakukan dengan seksama oleh bangsa Indonesia. Berbicara tentang sistem hukum tentunya tidak terlepas dari persoalan politik hukum atau rechts politiek, sebab politik hukumlah yang menentukan sistem hukum yang bagaimana yang dikehendaki(Wiratma, 2002:140). Politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, dan isi hukum yang akan dibentuk (Wahjono, 1983:99)

Kebijakan dasar tersebut adalah Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945 (UUD1945) dan Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional (RPJMN 2004-2009). Dengan demikian UUD 1945 atau konstitusi Republik Indonesia menentukan arah politik hukum Negara Kesatuan Republik Indonsia yang berfungsi sebagai hukum dasar tertulis tertinggi untuk dioperasionalisasikan bagi pencapaian tujuan Negara.

Beberapa saat yang lalu, muncul berbagai usulan agar lembaga negara di kaji ulang keberdaannya, sekaligus kewenangan dan kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Karena sejak reformasi, kelembagaan negara kita tidak jelas desainnya. Masing-masing tidak taat “Pakem” konstitusionalismenya. Pemerintah selalau mengatakan bahwa setelah adanya amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 kita menganut antara lain prinsip check and balances.

            Tetapi kenyataannya, prinsip itu tidak sepenuhnya di ikuti dalam sistem yang kita bangun melalui perubahan UUD 1945. Bahkan belakangan muncul persoalan tumpang tindih kewenangan antar lembaga negara, misalnya Komisi Yudisial ( KY ) dengan Mahkamah Agung ( MA ), Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ), dengan kepolisian dan kejaksaan.

            Selain itu, pemerintah mengeluarkan berbagai inovasi baru dengan melahirkan komisi-komisi negara baik sebagai lembaga negara independen maupun lembaga yang tidak independen. Padahal belum pernah dilakukan kajian yang komprehensif terhadap kinerja lembaga-lembaga negara atau instrumen negara selama ini. Dalam hal ini, di antara sekian banyak problem ketatanegaraan yang terjadi di indonesia, kami akan fokus kepada kasus sengketa lembaga negara antara Presiden dengan DPR dan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung.

    B.       PEMBATASAN MASALAH
Agar dalam penulisan  ini tidak menyimpang dari sasaran yang hendak dicapai dan mendapatkan hasil yang optimal, maka dengan mengingat kemampuan dan pengetahuan yang ada perlu kiranya kami membuat pembatasan masalah yang sesuai dengan judul, yaitu mengenai sengketa kewenangan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dan sengketa kewenangan antara Presiden dan DPR.

    C.       RUMUSAN MASALAH
    1.      Mengapa setelah amandemen UUD 1945 masih menimbulkan problematika konstitusionalisme yang kontraproduktif terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Negara Indonesia khususnya pada Lembaga Negara?
   2.      Bagaimana penyelesaian sengketa kewenangan antara Presiden dan DPR ?
   3.      Bagaimana penyelesaian sengketa kewenangan antara KY dan MA dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim?

    D.      TUJUAN DAN MANFAAT  TULISAN
1.         Tujuan Penulisan :
1.a. Untuk mengetahui penyebab utama timbulnya problematika konstitusionalisme terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara indonesia.
1.b.Untuk mengetahui sebab terjadinya persoalan kewenangan antar lembaga yuridis, khususnya MK dengan KY dan Presiden dengan DPR.

2.   Manfaat Penulisan :
2.a.Sebagai tambahan ilmu pengetahuan mengenai sekelumit problematika ketatanegaraan Indonesia bagi penyusun khususnya dan mahasiswa Fakultas Hukum UII pada umumnya.
2.b. Sebagai pembelajaran bagi penyusun dalam menganalisis dan memecahkan permasalahan yang ada.


BAB II
PEMBAHASAN

    A.      SENGKETA LEMBAGA NEGARA ANTARA EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF

Pasca perubahan UUD 1945, memang masih menimbulkan pro dan kontra tentang pengaturan kelembagaan Negara berikut kewenangannya. Sebab, sekalipun dari segi substansinya, materi muatan UUD 1945 dinilai sudah mencerminkan paham kedaulatan rakyat tetapi dari segi sistem pemerintahan dan operasionalisasinya justru menimbulkan berbagai persoalan baru, baik menyangkut hubungan Presiden dengan DPR maupun dengan lembaga-lembaga Negara lainnya. Padahal seharusnya konstitusi mampu menciptakan suatu sistem yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan tata hubungan kelembagaan Negara itu dan upaya bangsa Indonesia mencapai tujuan nasionalnya. Namun yang terjadi,  justru aroma konflik antar lembaga negara, yaitu antara Presiden dengan DPR dalam penetapan kebijakan negara, sengketa kewenangan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tentang kekuasaan kehakiman, dan  penyusunan kabinet dan hubungan Pusat dengan Daerah yang sampai kini tetap menjadi isu-isu politik yang strategis, bersifat laten dan tidak mudah menyelesaikannya secara tuntas, dan konflik-konflik lainnya yang tidak dapat dituliskan satu persatu di tulisan ini.

Menurut Adnan Buyung Nasution (Forum, No.19, 16 Juni 2002, 70), hal ini disebabkan karena para tukang amandemen di MPR sama sekali tidak memiliki konsep atau desain yang jelas tentang sistem pemerintahan yang dinilai terbaik buat Indonesia. Sehingga pasal-pasal UUD 1945 hanya asal tempel saja, amburadul, sangat pragmatis, campur aduk, tumpang tindih, kontradiksi, dan berlubang-lubang, yang akan menimbulkan polemik berkepanjangan di kemudian hari.

Situasi dan kondisi setelah perubahan UUD 1945 (1999-2002) sangat berbeda dengan  situasi dan kondisi sebelum perubahan UUD1945. Hal ini disebabkan dalam  teks UUD 1945 hasil perubahan tidak secara eksplisit disebutkan  mana yang  termasuk lembaga tertinggi negara dan lembaga mana yang dikategorikan sebagai lembaga tinggi negara. Dalam teks perubahan UUD 1945 dijumpai adanya 2(dua) pasal yang menyebut secara eksplisit istilah Lembaga Negara, yaitu :
  
 1.         Pasal 24c ayat(1) tentang wewenang Mahkamah Konstitusi, antara lain ; memustus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.

  2.        Dan dalam Pasal 11 Aturan Peralihan yang menyatakan ;Semua Lembaga Negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.

Dari dua pasal tersebut di atas, untuk Pasal 24c ayat (1) UUD 1945 tidak  jelas tentang kriteria Lembaga Negara, kecuali hanya disebutkan kriteria bahwa kewenangannya harus diberikan oleh UUD 1945. Sedangkan pasal 11 Aturan Peralihan dapat ditafsirkan meliputi Lembaga-Lembaga yang dahulu disebut oleh MPR dengan Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara yang terdiri dari MPR, Presiden, DPR, DPA, MA dan BPK.

Selain ketidak jelasan tentang apa yang dimaksud  dengan Lembaga Negara oleh UUD 1945 hasil perubahan,  juga terjadi tumpang tindih dan ketidakjelasan kewenangan antara Lembaga-Lembaga tersebut, sehingga kemudian terjadi kontradiksi dan kompleksitas hubungan antar LembagaNegara. Contoh paling aktual dalam kasus ini adalah tentang kewenangan pengawasan yang dimiliki Komisi Yudisial. Dalam pasal 14 UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menyebutkan Komisi Yudisial mempunyai kewenangan untuk menjaga dan mengawasi perilaku hakim.Sedangkan menurut UU No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung antara lain menyatakan MA berwenang melakukan pengawasan terhadap kecakapan hakim dan perbuatan tercela dari hakim.

Kemudian menurut pasal 23 ayat (3) UU No. 24 tahun 2003  tentang Mahkamah Konstitusi dinyatakan Pengawasan Hakim Konstitusi ditentukan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Hal ini mengakibatkan timbulnya konflik antar Lembaga Negara yang mestinya tidak perlu terjadi apabila UUD 1945 hasil perubahan merumuskan dengan jelas kewenangan masing-masing lembaga tersebut.

Selain itu UUD 1945 perubahan juga memberikan kekuasaan yang lebih
besar kepada DPR dibandingkan UUD 1945 yang asli. Dengan kata lain, DPR yang ada sekarang ini telah menjadi super parlemen, merupakan lembaga perwakilan rakyat dengan kewenangan yang amat besar.

 Dalam pasal 6a dan Pasal 17 ayat (2) dinyatakan: “Bahwa Presiden dan Wakil Presiden di pilih langsung oleh Rakyat dan Menteri diangkat serta diberhentikan oleh Presiden” . Apabila konsekuen dengan isi pasal tersebut, maka sudah semestinya UUD 1945 mengikuti pula tolok ukur sistem pemerintahan presidensial yang antara lain:

a.) Kekuasaan bersifat tunggal (tidak bersifat kolegial) baik sebagai kepala Negara maupun  kepala pemerintahan.
b.) Kedudukan presiden dan parlemen sama kuatnya dan tidak bisa saling menjatuhkan
c.) Masa jabatan presiden bersifat pasti (fix-term), tidak dapat diberhentikan
 kecuali melanggar konstitusi
d.)Presiden dan Wakil Presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen, tetapi
bertanggungjawab kepada rakyat
e.)Presiden dipilih rakyat baik langsung maupun tidak langsung dengan suara
mayoritas
 f.) Presiden dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh menteri-menteri dan menteri bertanggungjawab kepada Presiden.
  g.) Pertangungjawaban pemerintahan berada ditangan Presiden.

Oleh karena itu tidak tepat apabila DPR mencampuri kewenangan yang seharusnya menjadi domain Presiden, bahkan dalam UUD 1945 sekarang ini nampak adanya dominasi legislatif terhadap eksekutif. Antara lain dalam :
 1.  Pasal 5 ayat (1) : “Presiden hanya berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR”. Sebaliknya Pasal 20 ayat (1): DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.. Perubahan ini jelas bertujuan untuk menggrogoti kekuasaan Presiden dari pada melaksanakan prinsip demokrasi.
 2.  Pasal 6A, Pasal 7A, dan Pasal 7B: “Sekalipun Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, akan tetapi tetap dapat diberhentikan dari masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR dan putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu: apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Perubahan ini, jelas sudah keblabasan, sebab Mahkamah Konstitusi diberikan kekuasaan peradilan pidana sekaligus peradilan politik (untuk perbuatan tercela atau tidak memenuhi syarat sebagai presiden yang dapat ditafsirkan secara politis). Padahal, setiap perbuatan tindak pidana seharusnya diadili di peradilan umum baik tindak pidana umum maupun pidana khusus, serta tidak mengenal adanya peradilan politik.
 3. Pasal 13 ayat (2) yang menyatakan dalam hal ini mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat dan ayat (3) menyatakan Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat, Pasal 14 ayat (2) menyatakan Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.   
 4.  Pasal 30 berkorelasi dengan Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000, Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI dan Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, Panglima TNI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.

 Jadi semuanya, mesti lewat persetujuan DPR. Apabila UUD 1945 asli dibandingkan dengan UUD 1945 perubahan, maka nampak bahwa berdasarkan UUD 1945 asli Presiden memiliki 11 (sebelas) kewenangan. Dari 11 (sebelas) kewenangan Presiden tersebut hanya 2 (dua) kewenangan yang tidak merupakan kategori hak prerogatif Presiden, yaitu : Pertama, Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Ke dua, Pasal 12 yang menyatakan presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat-syarat dan akibatnya keadaaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan menurut UUD 1945 perubahan, telah ditetapkan 14 (empat belas) kewenangan Presiden, tetapi hanya 2 (dua) kewenangan yang berkategori hak prerogatif Presiden yaitu: Pertama, Pasal 10 yang menyatakan Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Ke dua, Pasal 17 ayat (2) yang menyatakan menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

Dengan dipangkasnya dan dibatasinya kekuasaan Presiden tersebut, maka terjadi dominasi Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Presiden, sehingga Presiden tidak memiliki keleluasaan baik sebagai kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahan. Di samping itu Presiden mengalami kesulitan untuk memperoleh dukungan DPR dalam membuat kebijakan dan mengimplementasikannya.

  B.       SENGKETA LEMBAGA NEGARA ANTARA MA DAN KOMISI YUDISIAL(KY)

Beberapa saat yang lalu, muncul berbagai usulan agar lembaga negara di kaji ulang keberdaannya, sekaligus kewenangan dan kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Karena sejak reformasi, kelembagaan negara kita tidak jelas desainnya. Masing-masing tidak taat “Pakem” konstitusionalismenya. Pemerintah selalu mengatakan bahwa setelah adanya amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 kita menganut antara lain prinsip check and balances.

            Tetapi kenyataannya, prinsip itu tidak sepenuhnya di ikuti dalam sistem yang kita bangun melalui perubahan UUD 1945. Bahkan belakangan muncul persoalan tumpang tindih kewenangan antar lembaga negara, dalam hal ini adalah Komisi Yudisial ( KY ) dengan Mahkamah Agung ( MA ). Selain itu, pemerintah mengeluarkan berbagai inovasi baru dengan melahirkan komisi-komisi negara baik sebagai lembaga negara independen maupun lembaga yang tidak independen. Padahal belum pernah dilakukan kajian yang komprehensif terhadap kinerja lembaga-lembaga negara atau instrumen negara selama ini.

            Kelembagaan negara dan birokrasi pemerintahan belum sepenuhnya tersentuh reformasi. Yang di lakukan baru sebatas menurunkan Presiden Soeharto, tetapi tidak membongkar ulang birokrasi yang selama 34 tahun dipimpin soeharto. Birokrasi, TNI, Kepolisian, dan Kejaksaan setidaknya belum tersentuh reformasi secara optimal. Menjelang tutup tahun 2005, KPK membuat MoU dengan Kejaksaan Agung untuk menangani korupsi yang sudah parah di Indonesia. Salah satu point kesepakatan tersebut adalah di bukanya akses bagi KPK untuk mengkaji ulang perkara korupsi yang pernah di SP3-kan ( dipeti es-kan ).

            Ketika KPK melakukan penggledahan di ruangan Ketua MA Bagir Manan, banyak pihak terkejut dengan peristiwa tersebut. Tindakan KPK itu di lakukan karena adanya dugaan suap terhadap beberapa Hakim Agung MA yang di beberkan Probosutedjo, serta mengaitkan kasus tersebut dengan Bagir Manan. Sengketa antara KPK dengan MA kemudian merembet kepada sengketa dengan KY, karena Bagir Manan juga menolak datang ke kantor KY untuk diperiksa dalam kasus yang sama.

            KY kemudian mengusulkan kepada presiden SBY supaya diadakan seleksi ulang terhadap 49 Hakim Agung untuk memperbarui citra kelembagaan Mahkamah Agung yang sudah terpuruk dimata publik, dan untuk payung hukumnya akan diterbitkan peraturan pemerintah pengganti undang undang ( Perpu ).

            Usulan KY mendapat respon yang positif dari presiden, meskipun di masyarakat muncul pro dan kontra. Ide seleksi ulang itupun ternyata kurang di dukung argumentasi yuridis yang kuat bahkan kini “nyaris tak terdengar”. Secara konstitusional KY memang memiliki kewenangan mengusulkan pengangkatan Hakim agung kepada DPR dan memeriksa hakim untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim ( pasal 14 UU No.22 tahun 2004 ).

            Di sisi lain, MA pun memiliki Majelis Kehormatan yang berwenang menilai kecakapan hakim dan prilaku hakim yang melakukan perbuatan tercela, yakni apabila hakim yang bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya baik di dalamnya maupun di luar pengadilan merendahkan martabat hakim ( Pasal 12 UU No. 14 Tahun 1985 jo UU No. 5 Thaun 2004 ). Permasalahan yang muncul, pertama, bagaimana penyelesaian sengketa kewenangan antar KY dan MA dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim? Kedua, bagaimana penyelesaian sengketa kewenangan antara KY dan MA dalam menilai kecakapan hakim?

            Lembaga baru yang lahir melalui amandemen UUD 1945 adalah mahkamah konstitusi ( MK ), yang memilki kewenangan antara lain untuk memutus sengketa kewenangan Lembaga negara yang kewenanagannya di berikan oleh UUD ( Pasal 24 c ). Kewenangan MK tersebut lebih diperjelas dalam UU no.24 tahun 2003 pasal 61 , yang menyatakan “pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD negara RI tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.”

            Kemudian dalam pasal 63 ditegaskan, MK dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada keputusan MK.

            Sengketa antara KY dengan MA sepatutnya diselesaikan secara hukum karena hal ini menyangkut persoalan kewenangan kelembagaan negara. Akan tetapi kalau  sengketa antara KY dengan MA di bawa ke MK, akan muncul persoalan baru yakni adanya pembatasan dalam pasal 66 UU MK, yang mengecualikan MA sebagai Lembaga negara  yang tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara pada MK. Artinya permasalahan KY dengan MA tidak dapat diselesaikan dengan MK. Inilah salah satu kelemahan legislasi kita. Mungkin karena ada kendala yuridis tersebut akhirnya sengketa kewenangan KY dengan MA diselesaikan secara dialog antar perseorangan didalam kedua lembaga itu yang di fasilitasi oleh person juga. Cara inipun sesungguhnya bukanlah penyelesaian yang tepat atas masalah sengketa kewenangan lembaga negara, karena secara kelembagaan masih membutuhkan langkah lanjutan. Jangan-jangan cara baru ini ( berdamai ), untuk menyelesaikan masalah hukum yang di uji cobakan oleh KY dengan menggunakan fasilitator media masa, sehingga pelaku KKN maupun “Hakim nakal” bukan hanya menjadi kabur persoalan hukumnya, tetapi mereka benar-benar kabur rimbanya.

            Persoalan lain yang muncul antara MA dan KY menyangkut penilaian terhadap kecakapan hakim, siapa di antara 2 lembaga tersebut yang berwenang memperpanjang masa kerja hakim agung? Beberapa saat yang lalu ketua MA bagir manan, mengeluarkan SK perpanjangan masa pensiun hakim agung atas dirinya dan beberapa hakim agung karena di nilai memilkiki prestasi kerja luar biasa. UU no.25 tahun 2004 pasal 11 memang menyatakan, “Dalam hal hakim agung telah berumur 65 tahun, dapat di perpanjang sampai dengan 67 tahun dengan syarat mempunyai prestasi kerja luar biasa serta sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dokter”.

            Namun, tindakan ketua MA ini memunculkan kritikan pedas dari berbagai kalangan karena di pandang tidak etis, menilai dirinya sendiri layak untuk diperpanjang masa pensiunnya. Pasal 24b ayat 1 UUD 1945 amandemen menegaskan, KY berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung. Pasal 20-23 UU No.22 tahun 2004 menyebutkan, KY melakukan pengawasan atas perilaku hakim dan mengusulkan penjatuhan sangsi berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian.

            Usul KY tersebut disampaikan kepada pimpinan MA atau pimpinan MK untuk diselesaikan majelis Kehormatan Hakim. Untuk hakim agung diselesaikan oleh majelis kehormatan MA. Kelemahan dalam pengaturan UU KY yang berbenturan dengan UU MA inilah yang dijadikan dasar KY untuk terus mereformasi lembaga peradilan ( MA ) dengan mengajukan draft Perpu untuk merubah UU no.22 tahun 2004. Melalui draft tersebut KY mengusulkan setiap hakim agung yang akan di perpanjang massa jabatannya harus mengikuti seleksi yang diadakan KY untuk mengetahui prestasi kerja, integritas moral, profesionalisme, dan sehat jasmani rohani.

            Usulan dalam draft perppu tersebut nampaknya lebih proporsional dari pada usulan seleksi ulang terhadap 49 hakim agung melalui perppu. Akan tetapi, langkah KY yang mengajukan draft perpu kepada presiden bisa menjadi  buruk dimasa datang karena intervensi dari kekuasaan eksekutif, padahal baik KY maupun MA adalah lembaga yang harus dijaga independensinya. Akan lebih baik kalau penataan kelembagaan KY dilakukan melalui legislative review, sehingga KY cukup mendesak kepada DPR bersama sama pemerintah untuk merevisi UU KY dan UU MA.

            Sebagai lembaga baru KY memang perlu menata diri dan melakukan sosialisasi atas wewenangnya kepada lembaga-lembaga yang diawasinya. Tidak perlu KY diberi wewenang yang sangat besar,karena habitat kekuasaan yang besar cenderung bersalah guna. Mari kita menempatkan KY secara proporsional, beri kesempatan KY untuk bertegur sapa dengan lembaga lainnya secara proporsional pula.

Secara bertahap kita sempurnakan menejemen kelembagaannya, instrumen hukumnya, dan kemudian kita ukur kinerjanya. Tidak perlu tergesa-gesa menambah wewenang KY, karena sampai hari ini masyarakat belum menemukan prestasi luar biasa dari KY. Kita baru membaca wewenang tentang “sepak terjang” KY. Kedepan bukan hanya KPK,KY,MA/MK yang harus mereformasi hukum (kelembagaan peradilan) di Indonesia dan merealisasikan janji pemberantasan KKN, tetapi DPR dan Presiden-pun harus mewujudkan reformasi hukum secara bersungguh-sungguh.

            Peraturan perundangan-undangan yang membelenggu ruang gerak lembaga penegak hukum harus disempurnakan secepatnya, agar lembaga-lembaga penegak hukum memkiliki kewenangan yang jelas dan tegas.untuk itu perlu segera mengamandemen UU MK, UU KY, dan UU MA, sambil melakuakan pembenahan pada aparatur penegak hukum dan membangun kultur hukumnya.
  
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

     A.      KESIMPULAN

Kesimpulan dari pembahasan tentang Kelembagaan Negara yang diatur dalam UUD 1945 perubahan seperti tersebut diatas, nampak bahwa perubahan UUD 1945 dilaksanakan tanpa melalui kajian yang mendalam. Hal ini dikarenakan suasana kebatinan saat itu ada pada kondisi bergeloranya kesuksesan reformasi (ditandai lengsernya Presiden Soeharto), yang ingin mengadakan perubahan terhadap segala sesuatu yang dinilai sebagai atribut Orde Baru. Sebagai akibat dari situasi dan kondisi tersebut di atas, maka dalam perubahan UUD 1945 nampak sangat situasional dan emosional, bahkan pengaturan yang semestinya sebagai materi muatan undang-undang dimasukkan ke dalam pasal- pasal UUD 1945. Di samping itu ternyata keberhasilan reformasi dalam menumbangkan Orde Baru, tidak disertai
dengan manajemen reformasi, penegakkan hukum dan persiapan yang matang. Oleh karena itu sangat mendesak perlu diadakan penataan serta sinkronisasi dan harmonisasi tentang fungsi tugas pokok dan wewenang masing-masing lembaga negara agar tidak terjadi kontradiksi dan memunculkan kompleksitas hubungan antar lembaga negara. Terlebih fundamental lagi agar pengaturan bentuk negara dan sistem pemerintahan Negara Indonesia benar-benar taat asas serta konsekuen dan konsisten dengan nilai historis terbentuknya NKRI serta Pancasila sebagai dasar negara yang telah terpatrikan mantap di dalam pembukaan UUD 1945.

Salah satu perubahan yang akan saya tambahkan, yang saya usulkan, yaitu tentang perubahan Undang-Undang Dasar. Disini belum ada artikel tentang perubahan Undang-Undang Dasar dan itu menurut pendapat saya, masih perlu diadakan. Oleh karena itu sebenarnya perubahan terhadap UUD 1945 adalah merupakan hal yang wajar dalam rangka menampung dinamika masyarakat, namun permasalahannya adalah perlu adanya tahapan yang harus dilalui agar perubahan UUD 1945 tidak menimbulkan permasalahan di kelak kemudian hari. Sebab apabila MPR keliru dalam mengambil keputusan maka dapat mengacaukan proses ketatanegaraan di masa yang akan datang.


     B.       SARAN / SOLUSI

Sebenarnya proses perubahan Undang-Undang Dasar 1945 akan lebih baik apabila melalui berbagai tahapan yaitu:
     a.       Perubahan apapun yang akan dilakukan tehadap pasal-pasal UUD 1945 haruslah disertai dengan pertimbangan-pertimbangan yang sangat matang,
    b.      Proses penyiapan dan pembahasannya harus dilakukan dalam waktu yang cukup panjang, mendalam, cermat dan teliti
    c.       Sebagai landasan dasar bagi pengelolaan kehidupan bangsa dan Negara Indonesia yang sangat heterogen, maka perubahan UUD 1945 rumusan-rumusannya harus menghindarkan masuknya kepentingan sempit golongan ataupun perorangan yang dapat menimbulkan konflik antar kepentingan dan antar kelompok masyarakat, sebaliknya harus dapat menjamin tetap kokohnya persatuan dan kesatuan dalam kemajemukan,
   d.      Perubahan UUD 1945 seharusnya dilakukan oleh suatu komisi yang independen dengan melibatkan Perguruan Tinggi,tokoh keagamaan, kaum professional, Oonop dan sebagainya yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan masalah yang akan diputuskan.
  e.       Hasil  rancangan komisi tersebut diserahkan pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), untuk dibahas dalam Badan Pekerja MPR (BPMPR), Sidang Komisi MPR dan Sidang Paripurna MPR untuk diambil putusan. Selanjutnya,apabila kita telaah  substansi UUD 1945 sebelum perubahan baik dalam Batang Tubuh maupun dalam penjelasannya, tidak diketemukan istilah lembaga negara secara eksplisit.
  
DAFTAR PUSTAKA
Majalah Keadilan, edisi 2009, Ni’matul Huda S.H, M.hum

Pendidikan Pancasila, Kaelan, edisi 2009

Wednesday, December 2, 2015

Pergulatan Hati

Pergulatan Hati


*Ali Ahsan Al-Haris


Hidup itu memang penuh luka dan liku, tak dapat di pungkiri juga bahwasanya senang atas canda dan tawa ini membuat rindu kita pula. Namun apa daya jikalau hati sudah serasa bosan dengan hiruk piku dunia, rasanya serasa ingin pergi saja; namun entah kemana tubuh ini tak kuasa membawa.

Banyak aku temui model pergaulan dengan gayanya masing-masing, ada baik maupun tak berkenanya. Passion setiap individupun kurang begitu menarik perhatian jiwa, tatkala lagi hati sudah menjadi beku karena rasa penasaran yang tiada tara lagi. Entah aku sendiri harus bagaimana menanggapi semua beban hidup yang kualami, serasa ingin menyerah namun tak kuasa di labeli pengecut oleh nurani. Aku sendiri sadar bahwa hidup itu perjuangan yang tiada henti, ketidakjelasan serta tawakal yang mencoba berusaha di amalkanpun serasa sirna di pandang mata. Entah aku sendiripun sedang mencari tahu kenapa Tuhan merekayasa semua ini kepada hidupku.

Sumber Gambar : wall[dot]alphacoders[dot]com
Aku memiliki banyak teman dengan tipikal kepribadian yang berbeda-beda, aku pun banyak belajar dari mereka. Tak terkecuali mereka yang umurnya jauh di bawahku, karena belajar tentang moral bagiku adalah di atas segalanya, banyak pepatah maupun guru-guruku sendiri berkata bahwasanya jika ingin mencapai moral yang tinggi salah satu jalurnya dalah dengan mengenyam pendidikan. Sedangkan kalau berbicara pendidikan mainside kita pastinya dalah pendidikan formal. Sedikit banyak aku mengamini apa yang di katakan para guruku. Namun dengan berjalanya waktu dengan kesempatan pendidikan yang aku alami ini kenyataan tersebut sedikit berubah. Orang bermoral di kalangan Dunia Mahasiswa malah yang ada degradasi moral yang aku alami. Jujur saja memang selama menempuh pendidikan tnggi ini saya mengalami beberapa cobaan yang memang menghantam moralku, contoh saja saya harus mencerca teman atau membunuh karakternya demi kepentinganku maupun kepentingan teman-temanku. Dan itu adalah salah satu dari seribu hal yang akau alami, lantas aku bertanya kembali apa yang dimaksud dengan moral itu sendiri. Apakah hanya berbelas kasihan kepada teman atau mengasihani kepada teman semata.

Pertanyaan tersebut adalah salah satu dari sekian banyak masalah yang sebenarnya tidak penting untuk kalian ketahui. Tuhan memang memiliki sejuta cara untuk membuat hambanya bingung sehingga bersimpuh mengadu tanya padaNya.

Beda tempat beda cerita, beda lahan beda kepentingan. Ini pula yang ingin kuceritakan kepada pembaca. Sebelum beranjak lebih jauh, aku menulis tulisan ini dengan rentan waktu yang berbeda. Untuk paragraph awal tadi saya tulis kisaran satu minggu yang lalu, sedangkan untuk paragraph yang baru ini saya tulis pada pagi hari Rabu 2 Desember. Beda tanggal tentunya di ikuti pula beda situasi, hal ini aku rasakan betul dalam menulis, terlebih lebih tulisan bak ontologi seperti ini.

Kembali ke tema, pembaca pasti percaya bahwasanya semua orang memiliki kepentingan masing-masing, memeggang kepentingan masing-masing dan akan tetap memperjuangkan kepentinganya tercapai dengan cara yang berbeda-beda. Namun semua itu dapat berubah hanya dengan satu alasan; -Kepentingan Baru. Kenapa saya menuliskan kepentingan baru tentunya berangkat dari pengalaman sehari-hariku. Aku tak perlu bicara banyak teori masalah komunikasi ataupun teknik diskusi kepada pembaca, karena ada yang lebih bernilai dari hal tersebut, yakni pengalaman. Pembaca atau teman-temanku sendiri tak perlu bersikap seperti Intelijen kepadaku hanya untuk mengerti karakter dan gerakku. Cukup kalian baca semua tuisanku maka kalian akan dapat megambil kesimpulan mengartikan Ali itu seperti apa.


            Kepentingan bagiku adalah salah satu hal untuk memotivasi diri menjadi lebih semangat dan giat dalam mengejar akan sesuatu. Saya memiliki kepentingan dan begitupun teman-temanku. Sering kali dengan kepentingan yang sama ini dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Untuk menjadi yang terdepan, saya sendiri atau temanku terkadang melakukan aksi sepihak dengan klaim ataupun sumber informan paling benar. Itu dilakukan dengan berbagai alasan, selain untuk menjadi yang terdepan dalam kategori entah akupun tak tahu; sifat-sifat suka klaim, atau statement tanpa dasar yang jelas ini  memang sering aku temui. Entah memang, apakah ini sifat dari anak muda yang cenderung spontanitas atau memang hal ini sudah terbiasa di lingkungan kami. The end

Tuesday, December 1, 2015

Hari AIDS Dunia dan Propaganda Seks Bebas

Hari AIDS Dunia dan Propaganda Seks Bebas


*Ali Ahsan Al-Haris


Hari AIDS sedunia pertama kali dicetuskan pada Agustus 1987 oleh James W. Bunn dan Thomas Netter, dua pejabat informasi masyarakat untuk program AIDS Global di Organisasi Kesehatan sedunia di Genewa, Swis.[1][2] Bunn da Netter menyampaikan ide mereka kepada Dr. Jonathan Mann, Direktur Program AIDS yang kini dikenal dengan UNAIDS. Dr. Mann menyukai konsepnya, menyetujuinya, dan sepakat dengan rekemondasi bahwa peringatan pertama Hari AIDS sedunia akan diselenggarakan pada 1 Desember 1988.

Sumber Gambar : smeaker[dot]com
Bunn menyarankan tanggal 1 Desember untuk memastikan liputan oleh media berita barat, sesuatu yang diyakininya sangat penting untuk keberhasilan Hari AIDS Sedunia. Ia merasa bahwa karena 1988 adalah tahun pemilihan umum di AS, penerbitan media akan kelelahan dengan liputan pasca-pemilu mereka dan bersemangat untuk mencari cerita baru untuk mereka liput. Bunn dan Netter merasa bahwa 1 Desember cukup lama setelah pemilu dan cukup dekat dengan libur Natal sehingga, pada dasarnya, tanggal itu adalah tanggal mati dalam kalender berita dan dengan demikian waktu yang tepat untuk Hari AIDS Sedunia.

Bunn, yang sebelumnya bekerja sebagai reporter yang meliput epidemi ini untuk PIX-TV di San Francisco, bersama-sama dengan produsennya, Nansy Saslow, juga memikirkan dan memulai "AIDS Lifeline" ("Tali Nyawa AIDS") - sebuah kampanye penyadaran masyarakat dan pendidikan kesehatan yang disindikasikan ke berbagai stasiun TV di AS. "AIDS Lifeline" memperoleh Penghargaan Peabody, sebuah Emmy lokal, dan Emmy Nasional pertama yang pernah diberikan kepada sebuah stasiun lokal di AS.

Bagiku bukan peringatan hari AIDS, namun pemilihan tanggal 1 Desember sebagai hari penting bagi pengkampanye aktivitas sosial hanya karena lesunya masyarakat Amerika Serikat pasca pemilu yang selalu di suguhi pemberitaan pemilihan umum lantas untuk menanggulangi hal tersebut Bunn menggandeng media dan LSM menginisiasi 1 Desember sebagai hari AIDS.

Bagi pembaca mungkin akan merasa aneh mengapa hal sepele seperti itu harus dipertanyakan. Namun bagiku itu adalah hal yang berarti, karena USA dibalik itu semua, lagi-lagi negara adidaya tersebut yang unjuk gigi. Pernyataan ini bukan berarti saya phobia kepada USA dan sekutunya, namun lebih dari itu aku menilainya; seperti ada konspirasi besar di balik ini semua, hanya saja cara membahasakanya saja aku yang bingung harus mulai dari mana.

Pembaca pasti sudah tahu kalau DKI Jakarta menjadi tuan rumah hari AIDS sedunia, alasanya sungguh sepele; karena Jakarta provinsi tertinggi kasus HIV AIDS, [3]kalau dalam segi prevalensi Jakarta berada di posisi ke empat setelah Papua, Papua Barat dan Jawa Timur (Lho Jatim melok-melok rek). Namun perlu pembaca ketahui, sesungguhnya pemilihan Jakarta sebagai tuan rumah hari AIDS sedunia dikenakan beberapa factor; pertama, deklarasi Komitmen tentang HIV AIDS yang ditandatangani langsung oleh Gubernur DKI dengan sosoknya yang sangat baik, tegas, berwibawa, adil, bijaksana dan semua sifat-sifat kebaikan di mata media-media nasional dengan framing-nya yang terbukti sukses sampai saat ini; siapa lagi kalau bukan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang bertekad menyelesaikan masalah HIV pada tahun 2020 dan berakhir getting to zero pada tahun 2030.
Alasan kedua tentunya Jakarta sebagai pusat Negara, Pemerintahan, Corong media massa tentunya akan sangat mudah  untuk mempengaruhi provinsi maupun kota-kota lain di Indonesia meniru hal ini, meskipun kegiatan di atas tidak ceremonial belaka, yang perlu kita perhatikan tentunya dalang di balik itu semua. Hari AIDS di identikan dengan pemakakain KONDOM agar lebih aman, ini kan GILA. Indonesia sebagai bangsa timur tentunya faham betul bahwasanya seks bebas adalah hal yang melanggar agama monoteis yang notabenya banyak di anut di negeri ini.

            Nakh, kalau pembaca mengikuti perkembangan pemberitaan akhir-akhir ini. Selain Papa Minta Saham. Aksi para Homoseksual, Lesbian maupun Biseksual banyak kita temui menyuarakan persamaan hak dimata hukum dan sosial. Sebelum kasus ini banyak terjadi di Jakarta dan Bali, pernah saya menulis hal yang menyangkut ini sebelumnya, silhakan baca di [Legalisasi Pernikahan Sesama Jenis dan Rokok], artikel tersebut membahas di legalkanya kaum homoseksual dan lesbian di mata hukum tepatnya di USA sedikit banyak akan merambah Indonesia pula. Dan hal ini berangsur-angsur sudah terbukti bukan !!

Semuanya kembali kepada pembaca, secercah tulisan sederhana ini hanya sebagai diskusi semata, Hari AIDS Dunia identik dengan KONDOM, KONDOM identik dengan SEX, karena ujung-ujungnya hanya free sex yang mereka targetkan di Indonesia, pintar bukan, Moral masyaraktanya yang pertama kali ia berangus.

Semoga hidupmu tak jauh-jauh dari Tuhanmu. Aminn


Salam Hangat;
Kota Malang, 29/11/2015


Ali Ahsan Al-Haris
@aliahsanID

Rujukan
1.        U.S. Centers for Disease Control and Prevention, International News, "World AIDS Day Co-Founder Looks Back 20 Years Later", CDC HIV/Hepatitis/STD/TB Prevention News Update, 12 Desember 2007
2.       AIDS Day Co-Founder Looks Back after 20 Years" By Rose Hoban, Voice of America, 6 Desember 2007
3.       Edited from Suara[dot]com://Jakarta-tuan-rumah-hari-AIDS-sedunia

Referensi lain :
Adityawan. Arief. Propaganda Pemimpin Politik Indonesia. 2008. LP3ES
Sastropoetro. Santoso. PROPAGANDA (Salah Satu Bentuk Komunikasi Massa). 1983. Penerbit Alumni


Wednesday, November 18, 2015

Pardi dan Ego Pardi

Pardi dan Ego Pardi


*Ali Ahsan Al-Haris



Dan pada hari itu puncak-puncaknya si Pardi emosi kepada Noto, bagaimana tidak, sebagai sesama penghuni rumah harusnya sedikit banyak harus menghargai penghuni lainya. Namun yang dilakukan Noto bukan, cenderung seenaknya sendiri. Perlu diketahui pembaca, karakter Pardi ini orangnya selalu bersikeras dalam semua hal yang ingin ia capai, tak terkecuali untuk memaksa orang  menghargai orang lain meskipun hal ini menyangkut pribadi.

Terkadang Pardi kalau sedang sendiri berfikir mendalam mengenai tingkah yang sering dilakukan oleh Noto, apakah memang karakter itu sudah tidak dapat dirubah lagi, atau memang Noto itu adalah orang yang tak punya rasa rendah hati maupun terimakasih kepada orang lain. Hal-hal yang paling Pardi tidak suka dari Noto adalah gaya bicaranya yang asal ceplos saja, sok paling benar dan cenderung melebih-lebihkan dengan apa yang sebenarnya menurut Pardi tidak diketahui betul oleh Noto.

Pardi bersama ke lima temanya mengkontrak satu rumah, hal-hal yang dilakukan maupun peraturan tersirat apa saja yang harus dilakukan oleh penghuni di rasa Pardi sudah diketahui, namun kedatangan Noto yang akhir-akhir ini sering numpang atau memang gabung tanpa sepengetahuan Pardi membuat kondisi semua berubah. Tentu perubahan yang tidak disukai oleh Pardi adalah sikapnya yang kurang sopan dihadapan penghuni asli. Cenderung menguasai dan tidak mau tahu atau mengurusi perabotan rumah, apa mungkin hal tersebut ia lakukan karena terlalu akrab dengan teman-teman Pardi sehingga membuatnya nampak tak punya beban mau melakukan apa saja, entahlah.

Pardi yang orangnya cenderung defense dan tak mau membuat konflik ini akhirnya memilih diam dan meunggu saja, Pardi lebih memposisikan dirinya sebagai pembantu rumah tangga di kontrakanya –meskipun kenyataanya Pardi juga bayar. Hal ini dilakukan Pardi demi sesuatu yang Pardi anggap adalah benar.

Semuanya berjalan seperti biasa, Pardi dan kontrakanya; pembantu di antara teman-temanya. Karakter yang memang tidak sepatutnya di tiru oleh orang lain, Pardi yang sombong, angkuh dan pendedam adalah satu dari sekian macam karakter orang di dunia ini. Menghargai seseorang kok dipaksa, itulah kesalahan Pardi. Biarkan Noto tetap seperti itu, biarkan saja dia seperti itu, karena percuma mengerusi Noto dengan karakter yang seperti itu, lebih baik kau urusi saja dirimu Pardi, kehadiranmu lebih di bermakna di luar sana. Pardi