Saturday, March 19, 2016

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE 13


*Alie Ahsan Al-Haris


Scene 13


Bagi yang belum membaca scene 11 dan 12, dapat di cek di :
Scene 11              : Cerita 11
Scene 12              : CERITA 12


Sekar kulirik sedang sibuk mengetik pada gadgetnya. Nampaknya perempuan-perempuan dihadapanku ini penganggum peradaban sosialita. Novita. Novi. Hanya memandangi obrolan kita yang terkesan perkuliahan gender.

“Kau boleh sebut komunitas kita dengan nama Teman Sarah.  Aku sendiri yang mengagas,” –aku matikan rokok untuk lebih fokus pada Anisa. –“mau dua tahun jalan. Tak ada label resmi bahkan strukutur pengurus organisasi seperti yang Bagas lihat setiap hari jika masuk ke kantor.” –aku tahu Anisa sengeja meledekku dengan pernyataanya.

Lama aku bicara pada Anisa. Sebagai pengagas komunitas ini memang aku fokuskan pertanyaan demi pertanyaan padanya. Sekar dan Novi terkadang menimpali untuk menambahkan pedanpat maupun memperkuat pernyataan dari Anisa dan Sekar. Begitupun sebaliknya, mereka terlihat kompak menguatkan dan menopang argument masing-masing. Dari sini dapat kutarik sedikit kesimpulan kompaknya orang-orang ini.

Aku ketahui betul mana pendapat yang di ada-ada dan sikap yang sok membenarkan argument. Aku memang tak menempuh kuliah Psikologi seperti Anisa. Namun pengalaman menjadi wartawan memberikan aku segudang pengalaman dan pelajaran segudang karakter manusia yang aku ajak bicara.

Kisaran jam sepuluh kurang sepuluh menit malam aku akhiri obrolan dengan tiga dara ini. Sesuai perjanjian awal yang Novi utarakan aku takan mendapat upah wawancara. Itu termasuk kopi dan roti bakar yang masuk hitungan mereka.

Mereka bertiga nampaknya masih tak mau meninggalkan coffe tersebut. Diantarkanya aku sampai luar coffe oleh Anisa dan Novi. Sekar didalam menjaga barang-barang teman mereka. Anisa dan Novi melempar senyum terimakasih padaku. Jabatan tangan Anisa masih seperti awal aku bertemu denganya. Halus dan hangat. Saat aku berjabat tangan dengan Novi, kepalan tanganku terganjal oleh suatu yang aku rasakan adalah ketas. Saat kulihat adalah amplop. Ini melanggar perjanjian. “Itu bukan honor, itu uang bensin untuk Bagas pulang. Terlepas terbit atau tidak itu urusan belakang.” –sahut Anisa padaku.

Kuucapkan terimakasih banyak pada mereka. Bergegas aku pulang ke kos, badan ini sudah tak kuasa menahan rasa capek yang tiada tara. Kurobohkan badan pada kasur lantai yang kubeli dipasar. Tak terlalu besar memang, namun kenyamanan yang kurasakan lebih dari ini.

Kupakai celana pendek. Hampir mirip berbentuk seperti celana dalam. Kipas angin kuhidupkan. Betapa segarnya udara malam ini. Kamar kecil ini serasa menjadi surga duniawi saja. Kugulingkan badan ini kekiri dan kanan. Kuambil handphone disisi kiri kasur lantai. Rosa menanyakan apakah aku sudah makan belum. Kau perempuan yang manis disana, betapa perhatianya kau padaku. Hasil dipecatnya aku dari perusahaan itu adalah kenangan manis denganmu Ros.

Teringat jelas obrolanku dengan tiga dara tadi. Anisa, Sekar dan Novitasari. Perempuan-perempuan diluar dugaan. Komunitas yang awalnya kukira perkumpulan sastrawati penggiat pengarusutamaan gender terjawab semua disana. Mereka hanya beberapa perwakilan dari salah satu komunitas penyuka sesama jenis terbesar di Surabaya. Kok bisa aku terjebak dalam wawancara itu. Kenapa juga aku harus menuruti permintaan liputan dengan orang yang tak kukenal sebelumnya. Apa jadinya jika hasil liputan naik cetak. Bisa gempar masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Terlebih kantor. Terlebih lagi aku. Redaktur plus peliput. Mengapa bisa seperti ini.

Aku berdiri menuju gantungan pakaian dibelakang satu-satunya pintu dikamar ini. Tanganku merogoh saku baju kerja mengambil rekaman yang menjadi saksi penting wawancara yang berjalan hampir tiga jam. Kupersiapkan laptop, kubuka jendela kamar disisi samping, asbak rokok kukosongkan, alat tulis sudah lengkap. Terasa satu yang kurang, kubuat kopi dibelakang. Semua sudah siap. Aku siap merekap hasil wawancara ini. Tak perduli besok masih harus kerja lagi. Rasa penasaran dan tuntutan menjadikanku lupa waktu yang semakin kedepan mengejar tengah malam.

Rekaman kuputar tiga kali, kuperlamabat, suara terkadang aku kerasakan agar terdengar jelas, tak urung juga aku harus memutar kembali dari tengah ke belakang, begitupun sebaliknya. Rekapan selesai kutulis kisaran pukul satu dinihari. Kerangkanya sudah kudapatkan, setting lokasinya sengaja aku samarkan, begitupun dengan nara sumber. Sempat terbesit dalam benak fikiranku bagaimana format saat naik cetak, artikel, sekedar hasil wawancara atau aku ulangi kesuksesanku saat menerbitkan naskah Pukat Cinta milik Sonson. Dialektika yang dibarengi rasa lelah luar biasa akhirnya tiba pada suatu kesimpulan hasil wawancara ini akan naik cetak dalam bentuk cerita bersambung. Lagi. Ya, akan kuulangi gayaku.

Yang penting aku sudah dapat kerangkanya. Mungkin terlalu pendek, itu tak masalah. Toh ini masih rekapan orisinal. Belum masuk dapur redaksi. Karena saat ini aku lebih memposisikan diriku sebagai Bagas. Bukan redaktur. Aku baca, baca, kurenungi, kucari celah diantara kata dan kalimat yang kurang tepat kurang lebih memang seperti ini.

Meski kini seperti tak ada jarak dan bedanya perilaku seks pria dan wanita, tapi kalau diamati selalu ada sisi yang beda. Banyak kalangan masih mengamini hubungan lawan jenis adalah hubungan badan alias persetubuhan yang luar biasa nikmat. Namun, perlu diketahui bagi pembaca semua. Seiringnya berkembangnya zaman, benturan peradaban yang membawa seluruh isi-isinya ke negeri ini menjadikan seks adalah part of life. Terbukti dengan banyaknya prostitusi yang legal dengan wanita-wanita berumur ABG sampai dengan kepala empat. Dari harga rendahan kelas tukang metro mini sampai kelas senayan.

Hal ini juga diterima oleh para wanita menjadikan seks sebagai hal yang anonim, nikmat; mau samau mau dan membutuhkan satu dengan lainya. Fenomena jajan, pijat plus plus hanya satu dari sekian model jajanan kota metropolitan macam Surabaya. Pantas memang, kota terbesar kedua di Indonesia. sudah menjadi rahasia umum pula, paket-paket macam striptease live show singkat yang hanya dilakukan kurang lebih selama 30 menit menjadi trend dikalangan cukong-cukong rumah plesiran. Konsumen-konsumen itu sudi merogoh koceknya Rp. 300 – 400Ribu hanya untuk menonton striptease live show selama 30 menit tanpa boleh menyentuh sedikitpun wanita-wanita didepanya bergoyang meliuk-meliuk memamerkan bodynya.

Singkatnya, setiap malam. Bukan hanya di Surabaya saja, lelaki berkeliaran dengan segebok nafsu liarnya bertamu dibalik tirai-tirai kamar seukuran 2x1 M demi jasa pelayanan cinta kilat. Rumah plesiran. Rumah bordil. Prostitusi.

Bagaimana kalau kontradiksi ini tiba-tiba berbalik. Lesbian. Ya, plesiran sesama jenis bukan hanya mengancam. Diam-diam komunitas pasangan sejenis telah membangun pondasinya, siap datang memperkenalkan jati dirinya diantara kepungan manusia yang sekarang tak peduli dengan lingkungan dan sekitarnya.

Nampaknya hubungan badan lawan jenis sudah tak masuk dalam kamus para pelaku-pelaku ini. Dengan sadar mereka melakukan rajutan cinta sesama jenis. Mengggelikan. Apakah  ini adalah salah satu antrian dari Globalisasi !

Memang sementara ini yang jadi sasaran kaum lesbian masih kota-kota besar macam Jakarta, Bandung, Surabaya dan Denpasar. Mall-Mall besar dan Coffe menjadi tempat favorit komunitas ini. Berikut sedikit uraian Jurnalisme Investigasi dari Team Apa Kabar Surabaya.

Merasa tenang dan nyaman dengan sesama wanita. Unik memang, bertemu untuk sekedar gosip, ngopi dan melepas hasrat seksual. Sebulan sekali komunitas lesbian di Surabaya ‘Teman Sarah’. Komunitas Lesbian yang usianya menjelang dua tahun ini dalam satu bulan sering kumpul-kumpul di Mall dan Coffe di daerah Tunjungan. Sekilas orang tak akan mengira spot-spot Mall dan Coffe menjadi lokasi komunitas ini berkumpul. Layaknya pengunjung, penampilan mereka terlihat normal. Ngobrol, membaca buku, majalah atau gossip tentang bisnis dan teman kerja.  Tidak ada data yang jelas berapa total anggota dalam Teman Sarah. Saat narasumber ditanya, menganggap tak ada ikatan dalam komunitas, sekali anggota baru ikut nongkrong maka tak luput akan dengan sendirinya mengikuti dimanapun komunitas ini mengadakan konkow-kongkow bareng.

Sebelum aku rekap, Anisa beberapa kali mengirim pesan pendek untuku. Tak masalah jika mempergunakan nama perkenalan kita di coffe, dia mengakui nama-nama tadi hanya nama lapang mereka. Tak ada masala bagiku jika dalam penulisan ini.

Team Apa Kabar Surabaya mewancarai Anisa (Nama Samaran). Pengagas dari komunitas Teman Sarah. Wanita berumur 31 Tahun ini menggas Taman Sarah dengan dua teman lainya; Novitasari dan Sekar (Nama Samaran). Ketiganya penyuka sesama jenis. Berkenalan saat masih menempuh pendidikan tinggi. Anisa mengatakan, Teman Sarah tidak memiliki anggota tetap. Kawan penyuka sesama jenis seperti dia dalam sekali pertemuan paling banyak berkisar antara 14-20 wanita. Meraka berbeda meja agar tidak mencolok dilihat orang lain, selain itu mereka dengan sendirinya akan berkumpul pada pasangan masing-masing.

Apa hanya sebatas memenuhi kebutuhan hormonal ? –tanya kita. “Tentu tidak. Kita juga menjadikan pertemuan ajang saling share dan saling membantu kalau ada anggota mengalami kesulitan.” –jawab Anisa.

Masalah apa yang biasa anggota bahas dan bantu? “Mayoritas ada tekanan dari keluarga, lingkungan, pasangan dan kerjaan. Kita akan bantu semaksimal mungkin agar anggota kita dianggap sama oleh orang lain. Ini masalah pilihan jalan hidup. Anggota kami berhak mendapatkan tanpa adanya tekanan dari pihak lain.”

Dimana biasa anggota Teman Sarah melakukan hasrat berhubungan badan ? “Ada beberapa hotel di Surabaya yang menjadi langganan kami. Kalau  ingin ramai-ramai biasa kita pakai salah satu villa dari teman kita.”

Kalian lakukan persis dengan apa yang pasangan lawan jenis lakukan saat seranjang ? “Kalau aku sendiri tak tahu menahu apa yang teman-teman lakukan. Banyak dari anggota memiliki pasangan Lesbian lebih dari dua. Kalau pengalamanku, aku akan menuruti apa saja, tanpa terkecuali bahkan dengan beragam variasi. Agar pasanganku senang.”

Siapa pasangan anda ? “Anisa menunjuk pada Sekar. Wanita disampingnya.

Apa yang Anisa maksut dengan beragam variasi ? dan sepengetahuan Sekar. Variasi macam apa yang anggota Teman Sarah favoritkan ? –mereka berdua tukar pandang meminta saran satu sama lain dengan angggukanya siapa yang menjawab dulu, Anisa memulai- “Ya tiap pengen berbeda gaya donk, masa itu-itu aja. Kita juga sering explore kaliii.” –Sekar melanjutkan- “Temen-temen anggoota Teman Sarah termasuk aku juga,” –dia perlihatkan senyumnya –“paling suka gaya sashimi. Fantasi dan gregetnya luar biasa nikmat.”

Kami sempat kaget dengan istilah Sashimi  yang mereka utarakan. Kemudian –Jelaskan sedikit bagaimana gambaran gaya sashimi yang anda maksut ? “Biasa kami menyediakan meja lebar dengan panjang sesuai bahkan lebih dari tinggi badan wanita yang akan jadi nyonya-nya. Tanpa benang yang melilit tubuh, nyonya akan telentang diatas meja. Diatas dada sampai perut kita beri sayur, buah, daging sesuai keinginan kita,” –Sekar menahan senyumnya, kedua pipinya terlihat mengembang kemerahan. –“kita santap makanan diatas dada sampai perut itu tanpa ampun.”

Team sempat terdiam sejenak. Tak kuasa mendengar apa yang pelaku sesama jenis utarakan. Kami terus kejar ketiga wanita ini dengan pertanyaan-pertanyaan sesuai yang dia utarakan. Kami melanjutkan :

Apakah variasi-variasi tersebut memiliki trend setiap bulanya ? –kali ini pertanyaan kiami ajukan pada wanita satunya lagi. Novitasari. “Kalau trend itu tergantung selera para anggota. Setahuku dari obrolan teman-teman anggota Teman Sarah, variasi favorit adalah sashimi dan coking dada super.”

Permunculan istilah-istilah kami catat secara detail. Tak luput dengan penjelasan dari ketiga sumber yang sedang kita wawancarai. Apakah coking dada super cara kerjanya sama dengan sashimi ? “Beda donk. Coking dada super hanya dapat dilakukan oleh anggota Teman Sarah yang memiliki ukuran dada besar. Contoh kalau aku pengen variasi tersebut, tinggal calling aja anggota yang memiliki ukuran dada besar. Saat prakteknya, aku diem aja di atas ranjang. Nanti dengan menari-narikan tubuh dan dada yang sudah banyak diolesi pelicin aku nikmati aja servicenya.” –Novi tertawa selepas menceritakan cara kerja coking dada super.

Kurang lebih hampir tiga jam berjalan kami akhiri obrolan yang meraka rasa santai tanpa perlu yang ada ditutup-tutupi. Dari sekian ratus pertanyaan yang kami tanyakan akan kami ulas pada terbitan selanjutnya. Salam baca, salam Surabaya.

***

Begitulah kiranya rekapan hasil wawancara, setidaknya aku sudah dapat kerangkanya. Untuk selanjutnya aku tinggal mengembangkanya. Tak terasa jam dinding pada kamar kos ku menunjukan pukul setengah dua dinihari. Besok aku harus ke kantor. Masih banyak pekerjaan dikantor, terlebih membalas email tanggapan terbitnya opini-opini beberapa tokoh masyarakat dan akademisi di Surabaya terkait momen Pemilihan Presiden 2004. Lelah sekali badan ini. Tidur menjadi cumbuan impian.


Bersambung ke Scene 14 

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE 12




 *Alie Ahsan Al-Haris


Scene 12

Bagi yang belum membaca scene 10 dan 11, dapat di cek di :
Scene 10              : CERITA 10
Scene 11              : CERITA 11


Sore keesokan harinya selepas pulang kantor, aku berencana bertemu salah satu respondenku. Aku tak pernah bertemu denganya. Janjian yang kita buat hanya berawal dari tanggapan cepernya Sonson yang sampai saat ini belum kunjung kutemui juga. Calon respondenku ini mengajak bertemu di tempat ngopi. Hal pertama yang kubayangkan respondenku ini dari sebuah komunitas sastra pecinta buku dan hobi ngopi. Tak salah jika aku berpendapat seperti ini. Karena memang tanggapan untuk diliput berangkat dari terbitnya cerpen Pukat Cinta yang Sonson tulis.

Aku gas sepeda motor GL Pro yang sudah kupermak mirip CB 100 menuju alamat yang ditunjukan untuku. Aku pergunakan GPS untuk mempermudah sampai pada tujuan. Ternyata, alamat ini menuju salah satu Mall besar Surabaya di daerah Tunjungan. Selesai kuparkir sepeda, aku coba sms respondenku ini untuk sekedar tanya posisinya dimana. Dia memberikan salah satu nama coffe di dalam Mall ini. Sebelum bergegas menemuinya. Aku persiapkan rekaman kecil berbentuk bolpoint dan beberapa dasar list pertanyaan pada umumnya yang nanti akan kukembangkan sendiri sesuai tema.

Sampailah aku pada coffe pilihan respondenku. Secara kasat mata coffe ini terbilang mewah, interiornya banyak mirip perabot china berbalut warna merah. Terlihat dari luar cukup besar, didalam ruangan terdapat banyak pelanggan yang sedang sibuk ngopi dengan kesibukanya masing-masing. Kursi-kursi coffe ini sampai keluar pintu, aku pilih meja didekatku sekedar duduk dan menghugungi respondenku kembali. Kuletakan tas dan camera diatas meja, waiter menyambangiku menyodorkan senyum kepaksaan untuk menarik dan menyapa pelangganya sembari menyodorkan menu di coffe tempatnya kerja.

“Selamat malam pak. Mau pesan apa ?.” –sahut waiter dengan agak membungkuk tabik memberi hormat menanyakan pesan apa.

“Sorry mbak. Aku sedang nunggu client, pesanya nanti saja ya.” –aku jawab dengan rendah hati menikam rasa sungkanku padanya.

“Oh iya terimakasih pak. Selamat datang di coffe kami.” –kemudian dia nyelonong pergi kedalam dengan lenggok badan yang sepertinya memang telah dilatih oleh manajer coffe ini.

Aku pandangi kanan-kiri melihat sekiranya meja mana yang hanya diisi oleh satu orang selain aku. Calon respondenku ini sendirian atau berbarengan mengajak perwakilan komunitasnya. Lalu “Mas, aku ada dimeja nomor delapan. Aku bertiga dengan teman. Masuk kedalam saja.” –kubaca pesan singkat dari respondenku ini. Selama menjadi redaktur opini masyarakat pada Apa Kabar Surabaya, ini adalah responden  pertamaku. Harusnya aku tak perlu melakukan wawancara langsung. Karena memang sudah ada wartawan lain dikantor yang harus mengerjakan hal ini. Namun aku penasaran, rasa haus akan ilmu dan editing naskah yang kurasa kurang membuatku melakukan hal ini. Karena aku berfikiran menjadi wartawan plus redaktur adalah hal yang luar biasa hebat. Naskah yang terbit akan menjadi berkarakter dengan penekanan substansi dan karakter tokoh kalau memang ada. Terlebih aku pada divisi opini masyarakat.

Kulangkahkan kakiku kedalam coffe yang bermalut warna merah ini. Sesampainya pada pintu coffe. Kulirik sebelah kananku untuk melihat nomor berapa yang ada dimeja. Dua belas. Kisaran meja ini nomor delapan. Aku langkahkan kakiku kedepan kisaran tujuh langkah. Kutengok kanan kiri melihat nomor meja “Dari Apa Kabar Surabaya ya pak ?” –seorang perempuan muda menyapaku dari belakang. Sempat kuterdiam yang entah berapa lama untuk mengamati penampilan fisiknya. Aku taksir umurnya baru menginjak tiga puluh dua tahunan, paling tidak perempuan ini seumuran para seniorku di kantor. Berambut panjang sebahu, lurus dan hitam macam rambut yang langganan toning. Memiliki wajah ovale dengan bibir tipis yang dibalut lipstick bening. Tingginya hampir sama denganku, paling tidak seratus tujuh puluh lima centimeter. Itu sudah masuk hitungan dengan highheel warna merah yang dia kenakan. Serasa serasi dengan rok ketat berwarna biru tua diatas lutut dengan jenjang kaki putih memperlihatkan lutut putihnya.

“Oh iya mbak. Sudah lama menunggu ya”, -sahutku menyapanya. Terlihat disisi kanan  dua perempuan yang lama mengamati perjumpaan pertama kaliku dengan perempuan ini. “tadi ada lembur dikit dikantor.”

“Endak kok pak. –perempuan ini agak mengangkat kepalanya ke sisi kiri tersenyum padaku. Behel yang menancap digiginya membentang berwarna kebiruan. “mari gabung dimeja kita pak.”

Aku memgekor pada perempuan yang belum kuketahui namanya ini kemeja yang dia tuju. Aku duduk pada kursi yang dapat menyandarkan punggungku pada tembok. Aku rasai agak lelah seharian tadi bekerja. Hal ini rasanya diketahui tiga dara yang sedang memperhatikan lagakku. Aku keluarkan secarik kertas kecil berisi bagan list pertanyaan dasar yang biasa digunakan oleh para wartawan. Mereka bertiga ini tak mengetahui perekam yang telah berhasil kusisipkan pada kantong baju kerjaku. Semoga mereka tak mengetahui hal ini. Harapku.

Kulihat mereka bertiga saling bertukar pandang. Entah apa yang mereka fikirkan. Seperti menunggu kata-kata pembuka dari mulut wartawan yang ada dihadapan mereka. “Mau makan atau minum apa pak ? dipesan saja biar kita yang urus semua.” –perempuan yang tepat berada dihadapanku ini menyahut memulai obrolan yang sedari tadi sepi. Gambaran parasnya seperti orang yang suka membaca buku. Kesimpulan ini kutarik karena tepat dihadapanya ada sebuah novel yang aku kenal betul penulisnya. Genre novel tersebut feminis sekali, cocok kalau dibaca para perempuan. Sayangnya penulis yang karyanya berjilid-berjilid dan best seller itu terlalu melawan arus norma Indonesia yang tak setuju adanya percintaan sesama jenis. Ya itulah buku, banyak cara yang pengarang lakukan untuk menyisipkan propaganda, penghasutan dan cuci otak kepada pembacanya.

“Pesenkan aku kopi hitam, agak kental dan jangan terlalu pahit. Cemilanya tolong roti bakar isi coklat tanpa keju yang agak gosong., –perempuan ini mengangguk setuju dengan pesananku. “Oh iya, perkenalkan namaku Bagas.” –kuulurkan tanganku pada perempuan disampingku yang mengajak bertemu “Panggil aku Anisa. Nisa juga boleh.” –genggaman tanganya halus nan lembut, anggukan kepalanya memberi hormat padaku. Perempuan yang mengajaku janjian untuk wawancara ini bernama Anisa.

“Kalau Anisa sering memanggilku Sekar pak. Senang bertemu dengan bapak.” –cara perkenalan perempuan disamping Nisa terkesan aneh. Serasa ada yang dia sembunyikan dariku. Kalau berniat kenalan mengapa tak langsung saja sebutkan nama lengkap atau nama panggilan. Harus dia alihkan dengan Anisa biasa menyebutnya Sekar. Lucu. Atau apakah perempuan ini memang bergaya seperti ini. Akh entahlah. Perempuan yang ketahuan memiliki aksen bicara khas Jawa Tengah ini memiliki postur tubuh yang paling proporsional diantara dua temanya. Tak terlalu gemuk dan kurus, dapat kulihat dari besar lenganya yang kelihatan mulus tanpa bulu dan bercak sedikitpun. Rambutnya keriting pada ujungnya, berwarna kemerahan sengajaan salon dan muka terlihat natural tanpa make up meskipun sebenarya memakai.

Sebelum aku berjabat tangan dengan perempuan terakhir dimeja ini aku sempatkan lirik dia beberapa detik. Kucoba koreksi dari raut wahanya. Dialah yang memperkenankan aku untuk pesan kopi sebelum beranjak ke wawancara. “Kalau mbaknya ini siapa.” –tegurku memotong pandangan koreksianku padanya.

“Biasa dipanggil Novitasari. Aku sangat terkesan dengan cerita pendek berjudul Pukat Cinta yang minggu kemarin naik cetak. Aku rasa bapaklah redakturnya. Terimakasih telah sudi untuk sekedar melepas lelah ikut ngopi dengan kita bertiga.” –aku merasa tersanjung hasil editingku diapresiasi langsung oleh pembaca. Terlebih diapresiasi dihadapanku langsung.

“Okeh. Obrolan ini kita mulai darimana ?.” –kumulai untuk melempar pertanyaan pada mereka bertiga. Kusisir matanya satu per satu. Terlihat bengong dan mati kutu tanpa adanya jawaban. Aku rasa ini juga hal pertama mereka wawancara langsung dengan wartawan. Kebengongan itu kumanfaatkan untuk mengaktifkan perekam yang sedari tadi bersembunyi dibalik saku baju kerja.      

“Berapa kita harus bayar pak Bagas dalam liputan ini ?.” –Sekar membuka pembicaraan. Aku tertawa mendengar celetuknya. Ketiga mata perempuan ini melihat polah tingkahku yang aneh menurut mereka.

“Maaf, -kuatur nafasku kembali agar dapat bicara secara lancar ke Sekar –tolong panggil aku Bagas. Itu aturan pertama. Kedua, aku tak menerima upah hasil liputan. Sedangkan yang terakhir, jam berapa coffe ini akan tutup ?.” –giliran mereka yang tertawa terbahak-bahak mendengar celotehku. Aku terheran dibuat bingung oleh tiga dara didepanku ini. Anisa paling keras tertawanya, tak sempat dia tutup mulutnya, behel dengan warna kebiruan terlihat jelas menancap pada gigi kecilnya.

“Oke mas Bagas,” -Novi memotong lelucon yang tiga dara ini campakan padaku –“dalam liputan ini kita takan membayar mas Bagas. Setidaknya kita harus membayar pesanan kopi dan roti bakar yang mas Bagas tadi pesan.  Itu aturan yang mas Bagas harus terima,” –kekeh Novi –“coffe ini tutup jam sepuluh malam, sedangkan ini baru setengah tujuh malam. Kalaupun malam ini belum tuntas, kita dapat pindah ke coffe yang lain disekitar Tunjungan.”

Aku mengangguk menuruti permintaan Novi. Kiranya memang itulah yang perempuan-perempuan ini harapkan. Kufokuskan diriku pada Novi, kutanya dia “Tolong ceritakan komunitas kalian. Itu hal pertama kali yang harus aku ketahui.”

Novi melirik Anisa, alisnya berkedip seakan menyampaikan pesan bahwa yang berhak menjawab informasi komunitas ini  adalah Anisa.

“Gas,” Anisa memulai, “sudah diketahui zaman semakin berubah. Pola komunikasi, style dan cara menyelesaikan pekerjaan ikut berubah. Peradaban dari masa majapahit sampai orang tua kita saat masih kecil terbukti tak kuasa menahan atau melawan majunya zaman dengan membawa segala manfaat dan resikonya.” –Anisa pandangi aku dengan mata yang mengekerut, seakan fokus yang dipaksakan. Aku mengangguk menyetujui lontaran Anisa.

“Siapapun. Manusia siapapun dan dimanapun pada era modern seperti ini patut memperoleh pendidikan sebaik dan setinggi-tingginya. Tentu aku merasa dan masuk golongan itu Gas. Sungguh diriku masuk dalam efek zaman yang berubah ini, dengan segala kecanggihanya, kelimuwan yang tiada henti-hentinya menambah wawasanku terlebih rasa saling menghargai dengan pilihan hidup manusia sekelilingnya. Terbayang Inggris, Francis dan Amerika dalam benaku. Andai saja negara ini dapat menghargai setiap pilihan hidup yang diyakini oleh para warganya. Tapi sayang bayangan itu tak akan terjadi.” –aku bisa maklum dalam wawancaraku selalu diawali dengan prolog yang menyentuh hati. Termasuk awalan yang Anisa utarakan padaku.

“Sebagai seorang perempuan pendanganmu jauh. Bobot bicaramu sebagai perempuan yang membuat hal ini bernilai.” –aku sengaja tanggapi pernyataan Anisa, hal ini kulakukan agar suasana semakin cair dan terjadi obrolan yang ringan namun beresensi.

“Boleh kubertanya,” pertanyaan kuajukan pada Anisa. Balasan senyumnya menandakan jawaban kesediaanya “apa pendidikan tinggi yang kau tempuh ?.”

“Aku kuliah di Francis, ku ambil jurusan Psikologi. Sepuluh tahun kemarin aku dinyatakan lulus dengan predikan summa cumlaude. Aku kembali ke negeri ini karena dijodohkan oleh ayahku dengan anak menteri.” –pada saat itu pula tak terhitung kutelan ludah berkali-kali. Gila. Perempuan yang ada dihadapanku ini lulusan Psikologi dengan predikat summa cumlaude. Aku bisa apa, kalau aku tak hati-hati bertanya padanya. Bisa jadi ini menjadi malam terkonyolku.

“Oke. Anisa boleh lanjutkan,” –kuteguk kopi yang baru datang. Tanganku sibuk mencari-cari rokok dalam tas. Ternayata kau ada disaku jaket, kali ini aku membutuhanmu wahai rokok. Kuhidupkan korek dan kuhisap dalam-dalam tanpa ampun. Tak perduli ketiga dara ini tak nyaman dengan asap rokokku. Karena yang jelas, Anisa memang sudah mengetahui bahwa aku gugup. Aku kehilangan fokus karena mendengar perempuan ini pacarnya anak menteri yang aku sendiri tak tahu menteri apa. Bisa gawat kalau salah pertanyaan. -“dengan pendidikan Eropa aku menjadi sadar pentingnya rasa memiliki. Entah itu terhadap apapun. Terutama masalah hati dan jalan hidup. Semua manusia dibumi ini dipandang sama. Entah dia perempuan atau lelaki. Peranakan, jawa, sunda, tionghoa bahkan yang tak memiliki etnis sekalipun. Mereka itu sama didepan hukum dan didepan manusia.” –mukanya terlihat sangat serius dengan apa yang disampaikanya ke satu meja ini. Terasa olehku Anisa ingin satu meja mengetahui hal tersebut bahwa perempuan wajib dihormati dan hargai atas pilihan jalan hidupnya.

Aku rasai Anisa lebih tahu tentang perempuan daripada kedua temanya. Begitupun Anisa tak tahu dengan fikiran tentang perempuan yang sedang kedua temanya fikirkan pula.

“Menurut penglihatanku. Kau ini seorang yang berpengetahuan luas, tertib, dan lebih dari itu semua : kau terpelajar. Kau pandai sekali dalam bicara, aku yakin kau juga pandai dalam membawa diri,” –obrolanku berhenti sejenak. Kubuang abu rokok yang tak kusadari memanjang menggeleot mau menjatuhkan diri. –“dengan pengetahuan dan pengalamanmu di Eropa. Apa hubunganya dengan komunitasmu yang dari awal kita bicara tadi tak sedikitpun kau singgung sama sekali.” –aku sengaja meledek Anisa dengan pertanyaan tersebut. Senyum halus nan manis menampak mewujud dihadapanku. Akh kau ini, senyuman atau rembulan, begitu indah nan membius.



Bersambung ke Scene 13

Thursday, March 17, 2016

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE 11

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE 11

Sumber Ilustrasi Gambar : segiempat[dot]com


*Alie Ahsan Al-Haris


Scene 11

“Ya sudah disampaikan pak” –tanya kepala redaksi padaku tentang honor yang akan diterima Sonson. Untuk satu naskah yang terbit diharian kami. Biasa di apresiasi Rp. 150.000 – Rp. 350.000 per naskah. Itu semua tergantung dengan bobot tulisan dan banyaknya tanggapan. Mengingat banyaknya tanggapan yang masuk melalui email. Kepala redaksi menyarankan untuk memberi Sonson upah Rp. 550.000 dikarenakan naik cetak sebanyak empat kali. “Kapan dia datang Gas ?” –katanya memulai lagi.

Lebih dari empat kali aku coba hubungi Sonson namun belum ada tanggapan. Dia harus ambil honor atas cerpenya ini ke kantor. Kalaupun menolak Sonson dapat mengkonfirmasi pihak redaksi. Setidaknya honor yang dia terima takan menggantung agar laporan neraca kuangan perusahaan pada saat akhir bulan nanti dapat jelas.

Aku berharap Sonson datang. Karena ada beberapa persoalan yang ingin aku utarakan padanya. Terutama masalah tanggapan dari para pelanggan Apa Kabar Surabaya tentang cerpenya yang menuai banyak apresiasi. Dari banyaknya tanggapan yang masuk dapatku pilah-pilah yang sekiranya memang perlu untuku diskusinya denganya dan pelajaran buatku sendiri. Berikut beberapa tanggapan dari pelanggan.

Pertama : “Sejak kapan Apa Kabar Surabaya memuat opini-opini tak bermutu seperti ini. Apakah sudah kehilangan para penulis-penulis handalnya.”

Kedua : “Sampaikan pada penulisnya. Bahasanya dalam penyampaian terlalu banyak diksi. Harusnya pihak redaksi dapat meminimalisir hal itu.”

Ketiga : “Menyentuh sekali cerpen tersebut, berharap ada kisah selanjutnya tentang perempuan berjulukan Pukat.”

Keempat : “Tentu maksud penulis sangat baik untuk mengutarakan perasaan cintanya yang sudah menggebu. Tapi sayang dia tak berani. Apakah kisah tersebut benar adanya ?.” –dan yang terakhir yang sekiranya sangat penting bagiku.

Kelima : “Maaf. Aku sangat kagum pada penulis ini. Yang diluar logika lagi, Apa Kabar Surabaya sekarang sudah mau untuk menerbitkan kisah-kisah sastra empiris realistik. Kalaupun berkenan, pihak redaksi dapat bertemu dengan aku atau sekedar membuat janji untuk meliput komunitas kami.”

Sabtu sore aku bersiap pulang ke Gresik. Email masuk yang mengutuk untuk segera kupilah dan baca aku sengaja tinggalkan. Setidaknya pada hari senin esok sudah ada naskah lain yang siap naik cetak. Memang kusengaja tiap minggu dengan tema yang berbeda-beda. Untuk tema kali ini lebih fokus ke sikap masyarakat menghadapi pilkada yang akan dilaksanakan tahun 2003.

Sesampai rumah dan bersih-bersih aku langsung menjenguk Rosa. Ini hal wajib yang memang aku harus jalani. Kalau aku tak menjenguknya, sama saja dengan aku menghianati komitmenku untuk menghargai orang yang telah baik padaku.

“Nampaknya hasil kerjamu banyak dapat tanggapan dari para pembaca Gas ?,” –Rosa dari dulu memang telah menjadi langganan tetap Koran Apa Kabar Surabaya. Kemudian dia melanjutkan “Apakah kau sudah bertemu dengan penulis cerita itu Gas ? Sampaikan salamku padanya. Mengiris hati memang, kau akan lebih mengerti bagiamana rasanya saat yang membaca adalah para perempuan Gas.”

“Belum Ros. Pasti kusampaikan salammu. Sepertinya dia hanya ingin aku menemui naskahnya semata. Bukan orangnya. Misterius sekali penulis ini,” –Rosa menatapku seakan ingin memberitahu sesuatu, dan “dia juga tak butuh honor. Dia hanya ingin naskahnya terbit. Itu saja.”

“Kau memang suka bergaul dengan orang yang tidak menentu.”

“Berarti kau. Ros. Juga orang yang tak menentu pula. Kau tak sadar kau telah berteman denganku melebihi saudara seperti ini.” –ledeku ke Rosa.

“Bukan begitu,” –katanya cepat-cepat. “Jangan gusar gitu Gas. Kita sudah lama kenal. Hubungan antara kau dan aku juga seperti ibu dan anak. Mana pernah aku bandingkan kau dengan anak-anaku. Mengertilah.”

“Aku adalah manusia yang beruntung karena dapat mengenal dan sedekat ini padamu Ros.”

“Ya itu benar sekali Gas,” –Rosa tersenyum menimpali. Terlihat dia memang membenarkan ucapanku. “Setidaknya aku juga merasa nyaman denganmu Gas.”

“Nyaman. Kau bilang nyaman denganku Ros ? Aku ini bocah kemarin sore. Seumuran dengan Surya. Memang perasaan apa yang kau pendam padaku Ros.” –aku sengaja mendesaknya dengan kejaran pertanyaanku.

Rosa batuk-batuk. Terdengar memang batuk yang disengaja.

“Kau cepat makan malam Gas. Giman dan istrinya sudah menyiapkan. Ayo aku temani kau makan malam.” –setidak-tidaknya Rosa sudah merasa terdesak dan mengelak menjawab pertanyaanku. Aku rasai Rosa memang menaruh perasaan padaku. Tapi perasaan apa ? misteri sekali.

Istri Giman. Suryati keluar menyilakan kami untuk makan malam. Baru kusadari ternyata Giman beserta istrinya tinggal dirumah Rosa.

Kami makan malam berdua tanpa adanya obrolan antara aku dan Rosa. Begitupun setelah kami menghabiskan buah-buah untuk cuci mulut.

Kami berdua kembali ke ruang santai yang memang tergabung dengan ruang baca keluarga ini. Ruangan itu sepi tanpa adanya obrolan kami berdua. Rosa sibuk dengan buku yang belum habis dia baca. Sedangkan aku habiskan waktu untuk menulis dan menulis tanggapan pelanggan yang belum sempat aku selesaikan.

“Gas … gas …. Ayo bangun sudah pagi”, -aku buka mata. Terlihat sosok perempuan menyubit-nyubit pipiku. Rasa sakit mulai menjalar ke saraf akibat cubitan itu. “Bangun dulu. Langsung kau mandi, kutunggu di meja makan untuk sarapan.” –aku tersadar dalam tidur malamku. Ternyata dari tadi malam aku tertidur di ruang baca. Rosa terlihat berjalan ke ruang makan, nampaknya dia sudah selesai mandi. Parfumnya yang masih tertinggal membuatku semangat untuk bergegas mandi.

“Nampaknya kau lelah sekali Gas. Tidurmu memberitahuku.”

“Iya Ros. Mungkin karena teralu kenyang juga sehingga membuat kantuk berat.”
Kami sarapan berdua. Surya dan adik-adiknya sedang di Surabaya. Praktis yang tinggal dirumah ini hanya Rosa beserta Giman dan istrinya. Itupun berbeda rumah.

Selesai makan kita berdua berjalan ke taman disamping rumah. Terdapat kolam berisi ikan-ikan koi seukuran lengan anak kecil. Banyak tumbuhan hias dimanapun mata memandang. Pohon bambu kuning yang tak terlalu tinggi dengan daun-daunya yang terhuyung ke arah kursi tempat kita berdua duduk serasa menjadi saksi hubungan kita berdua yang tak dapat didefinisikan.

“Minggu depan aku tak janji untuk dapat meluangkan waktu ke rumah Ros. Ada banyak pekerjaan dikantor. Salah satunya bertemu dengan beberapa responden untuk mengisi kolom opini masyarakat di Apa Kabar Surabaya.”  -Rosa tak mengindahkan bicaraku. Dia tetap pandangi ikan-ikan koi yang berputar-putar saling kejar mengejar satu dengan lainya.

Aku ceritakan sekedarnya tentang banyaknya pekerjaan yang menantiku setidaknya dua minggu kedepan ke Rosa. Mulai dari editing naskah, bertemu responden, menanggapi tanggaan dari pelanggan dan rapat pimpinan.

Rosa mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Dia tidak menyela juga tak bertanya satu pertanyaanpun padaku.

“Semakin hari semakin seru saja Ros. Aku harap dapat menikmati pekerjaan baruku ini. Aku bahagia sekali dengan pekerjaan ini.”

“Pekan demi pekan aku rasa sama saja,” –Rosa sekarang angkat bicara. “kalau kau tak menemuiku. Setidaknya kau telfon aku. Kalau kau tak sempat menelfonku, carilah waktu untuk sekedar sms aku. Dan kalau kesemuanya tak dapat kau lakukan Gas. Fikirkan aku meski sejenak. Hanya itu saja.”

Kami terdiam. Aku tak dapat mejawab pernyataan Rosa yang seakan berontak atas kesibukanku. Namun sayang dia tak mampu untuk melanjutkanya. Dia berusaha bijak menyikapi kesibukanku sebagai journalist baru.

“Ros … kau tak ingin kawin lagi ?” –entah apa yang ada difikiranku sehingga bertanya seperti itu ke Rosa. Mungkin ini hasil dari pembisuan kita yang hanya beberapa menit. Maafkan aku Ros kalau menyinggungmu.

“Perkawinanku ?” –Rosa membelakak serius menatapku. Terlihat sekali dia sedang menahan tawanya.

“Kau tak usah campuri urusanku yang ini Gas. Aku sudah sangat nyaman dengan kedewasaan anak-anaku. Ditambah lagi,” –kali ini Rosa semakin serius bicara. Dia pandangi aku persis saat pertama kali bertemu. Paras wajahnya yang sangat anggun dengan bibir sensual seakan orang takan fokus dengan apa yang Rosa bicarakan. Memang, mereka akan berfokus pada gerak leluasanya bibir Rosa yang terkadang memperlihatkan barisan gigi kecil putihnya. -“ditambah lagi dengan kehadiranmu ditengah-tengah keluarga ini Gas.”

“Tentu masalah perkawinanmu jelas-jelasnya itu adalah hakmu Ros. Kau tak perlu gusar,” –terlihat Rosa mengkerutkan wajah beserta alisnya padaku. –kau masih sangat cantik. Berilah kesempatan lelaki untuk mengsuntingmu. Atau setidaknya dekat saja sudah cukup.”

Rosa berdiri, mengangguk padaku, kemudian masuk kembali keruang baca. Fikiranku berkecamuk dengan apa yang baru saja kubicarakan. Apakah aku telah menyakiti hatinya ?. oh Rosa, aku hanya berniat bercanda padamu. Mengapa kau seserius ini padaku.

Sambil berjalan keruang baca. Terlihat jenjang kakinya yang kelihatan putih mulus sesuai sekali dengan mini skirt yang Rosa kenakan. Goyangan pantatnya terlihat tercetak jelas dihapanku.

“Kau Gas. Bicara seperti itu macam kau sudah mempersiapkan calon suami untuku saja.” –Rosa bicara dengan nada menggerutu. Kemudian.

“Cukup anak-anakku yang selalu ada disampingku dan kehadiranmu untuku sudah menjadi pelengkapku dalam menjada.”

Jawabanya itu. Mebuat mataku liar melihat seluk beluk taman ini. Kulihat dari ujung ke ujung tanpa suatu kejelasan. Aku salah tingkah sendiri dengan pernyataan Rosa.

Rosa semakin jauh melangkah kedalam. Aku sahuti dia dengan keras “Kau ada perasaan apa denganku Ros ? Mengapa jawabanmu seperti itu ?.”

“Jangan bicara seperti itu keras-keras Gas. Nanti Suryati dan Giman mendengarnya.” –Tak kelihatan lagi tubuhnya. Rosa sudah masuk kedalam ruang baca.

Ternyata Rosa memang lebih memilih menyembunyikan perasaanya padaku. Dia tak mau mengatakanya. Apa jangan-jangan Rosa memang ingin aku yang melamarnya langsung. Fikirku.

Aku bergegas menyusul Rosa keruang baca. Akan aku kejar dia dengan pertanyaan-pertanyaan yang memang sengaja tak mau dia jawab. Sekarang dia duduk di kursi goyang sambil membaca buku. Kurobohkan diriku pada dipan samping kursi goyangnya. Kupandangi Rosa terus, mengapa sengaja kulakukan hal ini. Berharap dia terpojok atas sikap agresifku.

“Apakah kau masih trauma dengan kegagalan perceraianmu Ros ?.” –tanyaku memulai.

“Bukan lagi itu menjadi masalah Gas. Perkawinan adalah perintah agama. Dimana hasil perkawinan adalah kebahagiaan menjelang ajal. Aku sudah merasakanya. Aku menikamatinya.”

Aku menganggap Rosa tak bicara padaku. Suaranya lebih tepat dinilai dengan bisikan. Rendah dan berat. Hampir-hampir saja aku tak mendengarnya. Mungkin Rosa memang trauma dengan kegagalan pernikahanya. Terlebih aku telah tahu dengan sendirinya mengapa rumah tangganya gagal diperjalanan.

Untuk mencairkan suasana aku menceritakan kondisi pernikahan Tante Dina yang lama kukenal sebelum Rosa. Tentunya aku tak terang-terangan menyebut nama dan lokasi seperti persis apa yang Dina alami. Namun setidaknya setting ceritanya sengaja aku samakan agar dapat esensinya.

“Hina sekali ya Gas. Aku takan membiarkan anak-anaku tahu terlebih mengalaminya.” –tanggpan Rosa dalam saat aku selesai bercerita padanya. Kemudian.

“Aku sementara tak punya keinginan untuk menikah lagi  Gas. Biarpun demikian masih ada waktu untuk memikirkanya. Kalaupun nanti ditengah perjalanan ada yang cocok dan berkesempatan untuk membina keluarga kembali. Mengapa tidak Gas.” –Rosa semakin rendah bicaranya. Serasa serak dan berat. Aku sadar kalau pertanyaanku malah membuat drinya masuk dalam pusaran kenangan memilukan.

“Mari kuantarkan ke kamar Ros. Kau perlu istirahat.”
Rosa berdiri. Tangan kananya bertumpu pada pergelangan kursi goyangnya. Tangan kirinya dia ulurkan padaku. Terasa halus dan hangat saat menyentuh tangan kasarku. Aku gandeng tangan kananya masuk kedalam kamar. Entah kenapa tiba-tiba jalanya tertatih. Apakah kenangan perpecahan pernikahanya tak ayal membuat fisik dan batinya ikut lumpuh juga. Beginikah perempuan.

Sampai dipintu kamar Rosa. kuputar kenop pintunya. Genggaman  tangan Rosa terasa semakin erat. Kulihat wajahnya termanggu-manggu padaku. Masih didepan pintu Rosa bicara padaku.

“Jangan kau hajar aku dengan pertanyaan seperti itu lagi ya Gas,” –wajahnya menginterpretasikan keinginan yang tak patut untuk ditolak -“aku harap kau mengerti hal itu Gas.”

“Sepertinya kepercayaanmu telah hilang Ros. Kau telah kalah dengan kenyataan. Kemana Rosa yang kukenal selama ini.”

“Aku sendiri memang merasainya Gas. Aku sangat takut untuk menikah lagi.” –jawabnya lemas. Dia sandarkan kepalanya pada pundaku. Tangan kananya setengah memeluk pinggangku, sedangkan tangan kirinya bertumpu pada daun pintu. Rosa melanjutkan.

“Biar begitu aku sudah berusaha untuk bangkit dari keterpurukan ini Gas. Siapa tahu, Gas, dengan usiaku yang semakin kedepan ini aku dapat bijak menyikapi masalah  dengan segala isinya.”

“Kau pasti bisa Ros.” –hiburku.

“Semua ini soal harapan dan kesempatan Ros. Kenyataan masih dapat dirubah dengan kedua hal itu. Kau semakin lemas saja Ros,” –dia memelukku dengan erat. Kali ini dia peluk aku dengan kedua tanganya. Sangat erat. Erat sekali, sepersekian detik kemudian aku hampir tak dapat bisa bernafas karena diciuminya aku. Aku sampai terengah-engah dibuatnya. Tersadar olehku ternyata Rosa menangis. Ciuman bibirnya yang mendarat ke pipiku meninggalkan bekas air matanya. –“sudahlah Ros. Lebih baik kau tidur saja agar dirimu lebih tenang. Masuklah.”

Rosa telah hilang dibalik pintu kamarnya yang sedari tadi menjadi saksi bisu romantisme kita berdua. Romantisme seorang janda yang tak kuasa menahan perihnya perceraian. Tabahlah Ros

Reading Scene 09 on Cerita 09
Reading Scene 10 on Cerita 10

Bersambung ke Scene 12