Thursday, March 10, 2016

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE

Scene 06

***

Sumber Ilustrasi Gambar : segiempat[dot]com


Sore harinya lepas pulang kerja aku langsung kerumah sakit menjenguk Rosa. Aku diterima Surya yang sekarang kelihatan lebih segar dan rapi, mungkin habis mandi. Kami ngobrol santai diruang tunggu. Memang aku tak sempat melihat keadaan Rosa. Aku taksir dia baik-baik saja.

“Tadi Pak Bagas pulang dari Rumah Sakit jam berapa ?, maaf Surya tak sempat mengantarkan Pak Bagas keparkiran dan mengucapkan terimakasih karena telah sudi membantu keluarga kita,” –aku fokus pada pembicaraan Surya. “Oh iya, apakah aku boleh memanggil Pak Bagas dengan Mas atau Om mungkin, biar lebih akrab saja.” –Surya meminta dengan santai tanpa terlihat ada rasa hinaan atau semacamnya padaku.

“Oh ya, barangtentu itu adalah tawaran yang sangat menarik. Kau dapat panggil aku Bagas saja, tanpa ada kata depan Mas ataupun Om. Bagaimana !!”

“Terimakasih telah baik pada Ibu dan keluarga kita Gas.” –tanpa dia bilang setuju atau tidak Surya langsung memanggilku Bagas saja. Aku fikir anak ini reaktif sekali, harusnya sebagai orang jawa dia wajib bilang terimakasih terlebih dahulu atas tawaranku. Tapi, … dia ini adalah anak peranakan. Salah apa dia jika aku gerutui tentang cara sopan santun orang jawa. Sial.

“Hanya ingin mengajukan pertanyaan saja Gas. Sekedar pertanyaan.”

“Oke, silahkan Surya bilang saja tanpa khawatir.”
“Moga-moga saja Bagas tak berperasangka buruk padaku atas pertanyaan-pertanyaan yang memang harus kau jawab.” –sepertinya Surya akan menghujani aku dengan pertanyan-pertanyaan yang telah ia siapkan semenjak aku datang ke rumahnya. Aku akan jawab, aku akan jawab dengan jujur dan tanpa berbasa-basi.

“Ya, moga-moga saja tidak menjadi benih permasalahan baru. Memang Surya hendak bertanya apa ?.”
Sebelum Surya bertanya memang sengaja aku berikan jawaban balik yang akan membatasi geraknya. Aku dengarkan ia dengan seksama, sungguh-sungguh dan aku tatap matanya tanpa kedip. Bisa aja anak Rosa ini gusar dengan tingkah anehku dalam memperhatikanya. Tapi aku tetap mencoba bersahabat dengan suasana yang kikuk ini.

Mendadak Surya memeggang pundak kananku. Terlihat rona matanya berseri seakan sudah memberikan jawaban tanpa perlu ia suarakan dan beritahukan padaku.

“Tolong beritahu aku bagimana Bagas dapat kenal akrab dengan ibu. Sebagai anak laki, terlebih aku juga anak tertua dikeluarga ini aku berhak tahu lelaki yang dekat dengan ibuku. Tanpa aku beritahu juga, Bagas pasti mengetahui kalau ibuku sudah menjanda lebih dari lima tahun.”

Aku tahu benar bagaimana perasaan Surya saat ini. Sebagai anak pertama dikeluarga ini, adalah wajar apabila ibu dan adik-adiknya adalah tanggung jawabnya. Aku jelaskan padanya awal mula aku diterima diperusahaan tersebut. Bagimana aku dapat kenal dengan Rosa, sampai dengan perjalanan karierku di perusahaan. Tentu aku tak jelaskan hubungan gelapku dengan Iva pada Surya. Hanya ibunya yang tahu, atau bisa jadi Rosa sudah menceritakanya ke Surya. Dan disini dia hanya mengetesku kejujuranku.

Aku selesai bercerita pada Surya, sampai pada suatu titik dia bilang  ”Sudah jangan diteruskan. Ingatkah Bagas dengan apa yang aku bicarakan saat kerumah ?. ibu tak mau aku bawa ke Rumah Sakit, yang dipanggil hanya nama anda terus. Itulah yang ingin aku tahu mengapa ibuku bersikap seperti itu, bukanya malah cerita perjalan karier anda. Maaf kalau aku tak menjelaskan maksut pertanyaanku secara detail sejak awal.”

Memang aku harus jawab dengan model jawaban seperti apa ke Surya. Aku mengenal Rosa tak lebih dari seminggu. Sedangkan aku dituntut menjawab mengapa Rosa berlaku aneh saat menderita kesakitan yang sampai detik ini tuhanpun tak meberitahuku.

“Bagimana Gas, apa aku berhak mendapatkan jawaban itu, aku harap perkenalan kita yang tak lebih dari lima menit ini akan tetap terjaga kebaikanya. Tentunya dengan kau menjawab hal ini. Kau harus ingat dan kau tahu, aku anak pertama dikeluarga ini dan aku anak lelaki.”        

Aku merasa hidupku selalu dianiaya dengan pertanyaan-pertanyaan yang mendesak dan menghujam. Entah apa yang Tuhan fikirkan tentangku. Namun anehnya lagi, aku selalu dapat mengatasi masalah-masalahku dengan tangkas tanpa ada efek berkepanjangan.

“Maafkan aku, apakah jawabanku tadi ada yang salah ?, aku tak tahu mengapa ibumu bertingkah seperti itu. Aku mengenal ibumu tak lebih dari seminggu. Memang aku bekerja diperusahaan yang sama dengan ibumu lebih dari tiga tahun, kita di divisi yang berbeda. Bukankah wajar kalau jawabanku seperti tadi. Anggap saja seminggu kemarin aku mulai kenal ibumu, bertugas bareng di Lamongan untuk project perusahaan. Iya, dari situlah aku mulai mengenal ibumu. Kalau kau menuntut padaku jawaban lebih, maaf aku tak dapat menjawab. Bukan karena apa, tapi memang inilah yang aku ketahui dan rasakan. Aku harap kau mengerti.”

“Tentu Gas, aku insyaf kalau pertanyaanku terlalu menyudutkanmu. Aku hanya berniat mengetahui seberapa jauh hubunganmu dengan ibuku. Karena memang tak ada lelaki lain disamping ibu setelah ayahku pergi. Laki-laki yang menaruh hati ke ibu akan berfikir seribu kali hanya untuk mencoba dekat, karena mereka tahu. Selain ibu memiliki paras yang cantik, keluarga kami dikenal baik dilingkungan dan memiliki banyak usaha lain diluar sana. Perempuan yang mereka dekati adalah janda banyak nilai jual.” –Ternyata yang mengagumi kecantikan Rosa bukanlah aku semata. Banyak lelaki lain diluar sana yang mencoba mendekati perempuan ini. Namun mereka tak sadar, selain kekayaan dan ketenaran yang dimiliki oleh keluarga ini. Ada lelaki yang siap mengintrogasi dengan pertanyaan berjenjang dan sistematis. Dialah Surya, Surya Joko Fernando.

“Aku telah melewati batasku Gas. Pertanyaan seperti hendaknya aku tanyakan pada calon suami ibuku. Tentunya kau akan berlaku seperti aku Gas jika posisimu sama denganku. Jadi, maafkanlah kelancanganku.”

“Oh iya, ayo kita masuk kedalam Gas. Mungkin ibu sudah bangun dari tidur sorenya” –kita berdua beranjak meninggalkan ruang tunggu yang sedari tadi ramai orang menunggui sanak keluarganya sakit.

Surya masuk terlebih dahulu. Aku sengaja belakangan karena ketoilet terlebih dulu. Selepas dari toilet aku bengong didepan kaca tolilet. Sedikit kurapikan rambut dan bajuku. Lucu memang, aku tersenyum sendiri melihat diriku gugup mau bertemu Rosa. Mungkin perasaan ini terbawa karena pertanyaan demi pertanyaan Surya yang masih membekas.

Aku masuk keruangan dimana Rosa dirawat. Terlihat disana hanya Rosa dan Surya. Tak terlihat dua adik dari Surya atau situkang kebun itu. Rosa melihatku dengan senyum yang dipaksakan. Terlihat lucu dan menggemaskan.

“Mengapa kau lama sekali Gas ?, sini duduk disampingku –Rosa memulai bicara denganku. Suaranya berat terpaksakan –tolong ambilkan kursi nak buat duduk abangmu.” Perintah Rosa pada Surya.

“Hari ini kau terlihat menarik, rupa-rupanya abang dan adik sudah akrab ya. Sampai-sampai lupa kalau ada yang sakit dan butuh perhatian.” –kita bertiga tertawa bersama atas ocehan Rosa.
Ternyata lama aku dan Surya bicara tadi, Rosa sudah bangun dari tidurnya. Dia tak berani mengganggu kesibukan diluar ruangan yang sebenarnya dia juga tak tahu apa yang kita sibukan.

“Bagaimana kerjaan dikantor Gas. Awal bulan gini banyak donk yang dikerjakan” –Rosa memulai.

“Biasa aja Ros, aku sudah agendakan akan meluangkan banyak waktu sampai kau sembuh –terlihat Surya mengangkat kedua alisnya mendengar obrolanku dengan ibunya –tak salah donk kalau aku ambil keputusan ini.”
Rosa tertawa mendengar ucapanku. “Kau jangan banyak menggombal Gas, tuh Surya dari tadi meringas meringis mendengar gombalanmu. Sini kau pijiti kakiku saja –Rosa menghentakan kaki kirinya kearahku. Aku diam sejenak apa yang harus aku perbuat –kok diem Gas. Ayoh cepet dipijat, dari tadi aku celungap celungup manggil-manggil kalian tapi gak ada. Kaki ini sudah berat saja.”

Surya memperhatikan aku terus. Dia pandangi aku saat memijat kaki ibunya. Sedangkan Rosa hanya diam menikmati pijatanku sambil membaca buku yang dibawa dari rumah.

“Aku pamit pulang dulu kerumah Mah. Nanti kisaran jam delapan malam akan kesini lagi sekalian ngajak Ferdi dan Dhani. Mas Bagas, minta tolong jagain Mama dulu saat aku pulang ya” –Surya berpamitan ke Rosa hendak pulang untuk suatu keperluan dan menjemput kedua adiknya yang masih sekolah dan bimbingan belajar. Dari sini aku jadi tahu. Ternyata nama dari anak Rosa yang lainya adalah Ferdi dan Dhani. Nama lengkap mereka berdua aku tahu dari Rosa saat kita banyak bicara. Nama keduanya diakhiri dengan nama keluarga, Ferdi Fernando Joko dan Dhani Fernando Joko. Aku berfikir nama Fernando adalah nama dari suami Rosa, sedangkan Joko aku tak tahu itu nama kepunyaan siapa, bisa jadi ayah Rosa. Namun kemungkinan besarnya suami Rosa pasti bernama Fernando Joko. Lucu sekali ada bule Kanada bernama belakang Joko, mungkin itu adalah alih-alihan suaminya Rosa saja agar mudah dipanggil orang.

“Apakah Surya kau sengaja suruh pulang saat aku datang Ros ?.” –tanyaku memulai keheningan ruangan yang kita tinggali berdua.

“Sekalipun aku tak menyuruhnya Gas. Surya memang akan pulang. Sebelum kau datang dia sudah utarakan hal itu. Dari jam enam malam dia kan pergi ke warung-warung tenda sekedar mengecek. Aku memiliki anak yang pantang menyerah dan pekerja keras Gas. Betapa bahagianya aku menjadi ibu. Tentu kau akan merasakan hal itu kelak saat kau menjadi ayah.” –pujianya untuk Surya memang pantas ia dapatkan. Aku sudah menduga kalau Surya tipikal lelaki yang telaten dan tak kenal lelah.

Rosa tiba-tiba tertawa senang. Dia berusaha mencoba bangkit dari tiduranya selama aku pijati kakinya. Selimut putih halus dari Rumah Sakit yang sedari tadi menutup ujung kaki sampai lehernya  terotomatis jatuh dipangkuanya. Rosa memakai daster warna biru, aku taksir itu adalah pakaian wajib yang dipakai oleh para pasien Rumah Sakit ini. Terlihat terlalu besar ia kenakan. Daster lengan pendek itu memperlihatkan lenganya yang putih bersih. BH warna merah yang ia kenakan terlihat jelas olehku saat ia menggerakan lenganya membalikan halaman bukuyang ia baca. Tapi tetap saja, daster itu memang tak cocok Rosa kenakan, dia terlihat tua.    

“Maafkan aku Gas kalau kau tak nyaman –dan  ia meneruskan pembicaraanya –sejak aku dirawat belum sempat mandi. Kalau kau mencium bau aneh Gas, pastilah itu bau badanku” –Rosa menyengir tertawa. Terlihat barisan gigi kecil-kecil putihnya ia perlihatkan padaku. Wajahnya nampak pucat. Namun kecantikan tak membohongi manusia yang melihatnya.

Tak lebih dari sepersekian detik akupun menimpalinya.

“Pantas saja aku dari tadi mencium aroma perasaan kangenya Ibu-ibu pada seorang lelaki yang tak lebih dikenalnya seminggu ini” –aku ledek Rosa dengan celotehku. Ia tertawa terbahak. Mulutnya terbuka lebar, giginya yang rapi berjajar itu nampak indah.

“Kau ini emang jago gombal ya Gas. Pantes aja kalau Iva takluk dalam rayuanmu.” –darahku terasa tak mau mengalir keseluruh tubuh. Kenapa Rosa melayangkanpernyataan seperti itu disaat aku merasa nyaman. Dan Rosa pun menikmati suasana yang sedari tadi nyaman-nyaman saja.

“Tak ada sangkut pautnya Ros.” –jawabku dengan ketus.

“Hahahaha, kau ini kok baperan lho Gas. Apa salahnya kalau aku bicara seperti itu. Toh aku juga sama seperti Iva. Korban rayuan dan gombalan mautmu Gas. Gas Bagas … Bagas … Bagas … Gas … Bagas …” –Rosa malah dengan santainya nyeloteh seenaknya memanggil-manggil namaku serasa bicaranya tadi tak membuatku tersinggung.

“Mengapa kau suka memojokan aku dengan perkataanmu itu Ros. Apa salahku harus kau sangkut pautkan dengan Iva. Yang ada disini kita berdua, kuharap kau fokus pada kita saja. Tak usahlah kau membahasa yang lain.” –aku sempat naik pitam pada Rosa. Tak sengaja obrolanku tadi juga mengeraskan pijitanku kekakinya. Rosa hanya menyengir mengigit bibir bawahnya sembari melihat kea arah kaki yang kupijit.

“Maaf Ros. Tak sengaja aku memijatmu dengan keras seperti ini.” –sahutku meminta maaf padanya.
Aku selesaikan pijitanku tanpa perintahnya. Selimut dikakinya yang berantakan aku rapikan agar tertutup rapi. Aku berdiri mengembalikan kursi keruang tamu diseberang tempat tidur Rosa. Lama kami terdiam seperti ini, terlihat Rosa cuek saja dengan hal ini. Ia baca lembar demi lembar buku yang dari tadi dia baca.

“Gass … .” tegur Rosa sambil menaruh buku dipangkuanya. Dia  terlihat melirik manja padaku. Selimutnya ia buka, kakinya sudah berayun-rayun dipinggiran ranjang seperti hendak mau jalan. Daster longgar yang ia kenakan mulai memperlihatkan bentuknya. Benar saja, dia tak cocok mengenakan daster itu.

Aku berdiri dan mentapnya, dia meringis melihatku.
Ingatan pada perjumpaan pertama kami di perusahaan sebelum berangkat teringat kembali. Begitu berwibawanya Rosa pada saat itu dengan stelan yang dia kenakan. Kenangan itu membikin aku tersenyum sendiri. Malu dan lucu yang memberuyak dalam ingatan ini. Akh kau ini Ros … Ros …, ibu-ibu tua yang tiba-tiba datang dalam hidupku. Tiba-tiba baru kenal saja sudah berani memarahi dan menceramahiku. Kau ini malaikat atau bidadari Ros …

Reading Scene 04 on Cerita 04
Reading Scene 05 on Cerita 05


Bersambung ke Scene 07

Wednesday, March 9, 2016

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE


*Ali Ahsan Al-Haris

Sumber Ilustrasi Gambar : segiempat[dot]com


Scene 05

“Bagaimana pak Bagas bisa sedekat ini dengan ibu,” tanya Surya.

“Barangkali kita bisa bicara dari hati ke hati yang lebih bersifat pribadi pak ?”

“Kalau memang ada waktu pasti akan kusanggupi permintaanmu, yang lebih penting adalah sekarang Rosa harus dibawah ke Rumah Sakit agar kondisinya tidak semakin parah” –tangkasku pada Surya dengan tetap memandangi wajah Rosa yang pucat pasi.

Kita pergi meninggalkan rumah Rosa menuju Rumah Sakit yang berada dipusat kota, tak jauh dari Rumah Rosa.

Aku sebagai laki-laki, sebagai seorang yang memang sedari tadi ditunggu oleh keluarga ini hanya dapat tertunduk lesu dalam jalanya mobil yang dikemudikan oleh Giman. Termenung memikirkan ajakan Surya untuk bicara dari hati ke hati “Apa yang anak ini ingin sampaikan padaku ?”, fikirku dinihari itu.

Sesampai di Rumah Sakit, Surya dan adiknya langsung mengurus administrasi ke pelayanan untuk disegerakan Ibunya di rawat inap. Aku amati saja diruang tunggu, aku lebih memilih menunggu Giman saja. Entah kenapa tiba-tiba jiwa humanismeku hilang, aku rasai diriku orang asing dikeluarga ini. Sifat sungkan sebagai orang jawa pada orang yang baru dikenal memang aku terapkan langsung atau bahkan ini memang sengaja menjadi pengalihan pembenaranku semata.

Aku tak sempat bertemu Rosa sampai subuh mencumbui, memang sementara ini Rosa berada di ruang ICU dimana yang boleh masuk hanya beberapa orang saja. Selepas shalat subuh aku pamit pulang ke Giman yang tidur diruang tunggu denganku. Niatku memang ingin berpamitan ke Surya, saat aku hendak masuk keruang Rosa dirawat, terlihat Surya masih tertidur disamping kaki ibunya, perempuan penuh misteri yang baru saja aku kenal.

***

Terlebih dahulu aku lapor ke bagian kepegawaian di kantor, selain memberikan oleh-oleh pada beberapa orang disana juga melobi kalau besok-besok lagi aku takberangkat ditulis saja sedang ada dinas diluar kota. Aku merasa dengan sakitnya Rosa akan menyita waktuku untuk kantor, rumah dan Rosa. Aku berniat untuk memberikan separuh waktuku untuknya.

Saat istirahat aku raih handphoneku untuk sekedar bertanya bagaimana kabar Rosa. Kucari nomornya, aku telfon sebanyak dua kali namun tak ada jawaban. “Betapa bodohnya aku, mengapa aku tadi malam tak meminta nomor Giman atau Surya”, -pekiku pada diri sendiri karena menyadari kenaifanku.

Saat aku mencoba telfon Rosa lagi, terdengar ada bunyi “clung … clung … clung” dari handphoneku, saat aku lihat ternyata ada nomor baru mengantri panggilan tunggu dariku. “Mungkin Rosa sedang tertidur”, -fikirku menyemangati diri sendiri, semoga saja Rosa baik-baik saja.

Aku berjalan berniat membeli kopi dan sekedar merokok di kantin kantor. Sesampai dikantin, aku pilih stand paling pojok langgananku yang telah biasa mengenalku pesan apa saat telunjuk tanganku hanya mengacung keatas. Aku pilih deretan kursi disebelah tempat charger handphone. Aku rogoh rokok dari saku celanaku, bersamaan dengan itu dering handphone berbuyi lagi. “Aku harap Rosa menghubungiku kembali !!”, ternyata dugaanku salah. Yang menghubungiku adalah nomor yang menjadi panggilan tunggu saat aku mencoba menghubungi Rosa.

“Yaa selamat siang”, -sautku saat mengangkat handphone.

“Halooo Gass, lagi dimana nich ?”, -dercik suaranya telah lama aku kenal.

“Gak usah diem Gas, gak perlu difikir ini nomor siapa. Yang jelas ini aku Gas. Hayuuk kita ketemuan dulu, mumpung lagi jam istirahat Gas. Aku sudah ditempat biasa Gas”.
Jelas, jelas sekali ini adalah suara istri dari Owner perusahaan yang aku tempati. Secepatnya aku tinggalkan kantor menemui Bu Iva. Aku perhatikan pesanan kopiku juga belum datang, terserah saja kopiku biar diminum orang lain. Bergegas aku percepat jalanku menuju tempat stempel yang hanyalah kedok bagi kita berdua untuk bertemu. Sebenarnya tempat yang aku tuju adalah kantor gudang. Kode tempat stempel hanyalah anekdot bagi kita berdua saat bicara dikeramainan atau lewat telfon.

Sesampai gudang aku langsung masuk ke ruangan yang berada di samping pintu masuk, meski Bu Iva adalah istri dari pemilik perusahaan. Bukan berarti dengan otomatis dia akan mendapat jabatan yang strategis diperusahaan. Ini adalah salah satu yang aku kagumi dari system manajemen dari perusahaan  yang aku tempati.

Aku ketuk terlebih dahulu pintu ruangan satu-satunya dalam gudang perusahaan ini. “Masuk aja Gas, kagak dikunci kok” –praktis aku putar kenop pintu berwarna keemasan dengan santai.

“Cepet banget Gas nyampai sini, aku aja belum sempet dandan” –tawanya tanpa mempersilahkan aku duduk terlebih dahulu. Terlihat ragu ia bangkit dari kursi, terlihat masih sibuk memainkan handphone yang dia peggang.

“Siang Bu Iva, bagaimana kabar hari ini ?”, -aku memulai. Aku ulurkan tanganku untuk menyalaminya.
Bu Iva beranjak berdiri menyambut ajakanku untuk bersalaman. Aku rasakan entah kenapa  tanganku dengan Bu Iva serasa ada aliran aneh yang masuk mencecas ke dalam sumsum otak ini. Ohhh … ini perasaan apa, mengapa menjadi tiba-tiba ada perasaan gejolak yang sulit untuk diterangkan. Tiba-tiba “Kau ini Gas, masih saja memanggil Bu Iva, sudah lupa ya dengan nama samara kita berdua”, -masih tanganya menggegam tangaku, Bu Iva mulai mengawali pembicaraan sambil menatap tajam bola mataku.

“Mana ada kita pernah bersepakat untuk memakai nama samaran”, -saat aku bicara hal ini, tiba-tiba fikiranku teringat Rosa yang sekarang terkulai sakit. Kesepakatan hanya memanggil nama panggilan pernah aku buat dengan Rosa saat perjalanan dinas ke Lamongan dulu, namun kini kembali terngiang dalam otaku saat Bu Iva bicara naman samaran. “Jangan-jangan Bu Iva sudah mengetahui hubunganku dengan Rosa”, -terasa kesimpulan dangkalku ini semakin benar saja, semakin gila saja aku. Apa ini karena efek kurang tidurku yang tak kurang dari empat jam.

Kiranya ada lebih dari enam detik tangaku masih dalam genggaman Bu Iva. “Aku sudah kangen sama kamu Gas, kenapa kemarin cuti tak kau kabari aku terlebih dahulu”

“Maaf Bu. Aku tak sempat memberi kabar kalau sedang cuti. Yang jelas sekarang aku ada didepanmu, dan tak perlu kau risaukan akan keadaanku” –jawabanku pada Bu Iva sambil mencoba memaksa melepas genggaman tangaku padanya.

Perempuan yang ada didepanku ini tepat seperti apa yang Rosa bicarakan padaku saat kita berdua dinas di Lamongan. Seorang istri pemilik perusahaan, terbilang masih muda. Menurutku beda empat sampai enam tahun dari Rosa. Memiliki paras wajah yang manis, agak lonjong, betis dan jenjang kakinya bersih putih dengan dada yang akan membuat laki-laki bergedik saat melihatnya.

“Bu Iva, apa kau hendak mengatakan sesuatu padaku?” –aku cari sandaran yang nyaman saat aku mulai bicara pada Bu Iva. Terlihat dia masih memandangingku dengan sorot mata penilaian, entah apa yang ia fikirkan.

“Berilah aku yang tak dapat diberikan suamiku padaku Gas. Berilah aku benihmu.” –sontak darahku terasa deras sekali mengalir naik turun dari jantung ke otak.”

“Bu … bu … Ivaaa ….”

“Apakah sampai hati kau tak mau menolongku Gas. Suamiku terlalu sibuk dengan pekerjaanya, aku terlalu diabaikan. Jangan salahkan aku jika aku harus mencari laki-laki lain untuk sekedar memenuhi hasratku”

“Ibu tak perlu curhat panjang lebar denganku karena masalah suami mau memberi jatah atau tidak itu urusan Ibu dengan suami. Tapi mestikah jalan ini yang harus kita tempuh ?”.

“Ini juga tanggung jawab kamu Gas. Kau telah tiduri aku, kau telah menikmati tubuhku, kau telah buat aku tak dapat lepas dari aroma tubuhmu. Munafik kau Gas kalau aku bicara hal ini kau indakan” –tiba-tiba saja perempuan ini menyerangku dengan sekejap kalimat.

“Biar aku keluar dari ruangan ini”
Bu Iva malah melompat menerjangku, posisinya sekarang tepat diatas pangkuanku. Kursi yang sedari tadi aku duduki serasa penuh menopang tubuh kita berdua. Wajahnya yang sekarang penuh dengan keringat tepat beberapa centimeter menyentuh wajahku yang gugup tak kuasa menahan antara ketakutan dan nafsu yang menggebu.

“Mengapa harus aku Va ? –aku sudah mulai tak memanggil dia dengan sopan – “bukankah diperusahaan ini masih ada laki-laki yang lebih ganteng dan siap melayani kau kapan saja seenakmu.”

“Aku lebih memilih mati daripada seumur hidupku menanggung malu. Kau boleh bunuh aku sekarang juga. Atau aku bunuh diriku sendiri. Apalah bedanya jika sama-sama mati”. Terdengar jelas nafas Iva pendek-pendek, megap-megap, wajahnya pucat dan pegangan lenganya pada leherku yang sedari tadi mencekramku untuk memaksa dipertemukanya bibirku dengan bibirnya terhenti sejenak. Keringatnya nampak membasahi dahi dan mukanya. Titik keringatnya itu mulai jatuh turun menyusuri leher menuju bongkahan dadanya yang menempel pada dadaku.

“Tolong Va, jangan berlaku seperti ini. Apa kata orang nanti ?”

“Hanya kaulah yang dapat menyebabkan orang tahu tentang kelakuan kita dibalik semua ini”.
Aku goncang-goncangkan bahunya yang setengah aku peluk.

“Ingat, Va, sepertinya cukup hubungan kita sampai detik ini jika maumu senekat ini”
“Aku telah pertimbangkan dengan waras Va, aku  mengehentikan hubungan ini hanya karenamu,” ia tatap aku dengan mata berkaca-kaca. “Dulu aku memang budak seksmu, namun detik ini aku hanya mengenalmu dengan nama sebatas teman. Aku rasa itu lebih baik”

“Kau telah mengusirku Gas, kau sama saja mengirimku ke kuburan untuk aku gali sendiri dan hidup di dalamnya”

“Tolonglah Gas, apakah kau tak mempertimbangkan kembali apa yang baru saja kau ucapkan itu ?”
“Kalau kau keluar dari pintu kantor gudang ini, meninggalkan tubuhku, kau sama menghinakan aku Gas”, tanganya tetap memegangi leherku. Matanya berkaca-kaca ketakutan dan tegang.

Dalam bayanganku muncul sosok Owner perusahaan yang aku tempati, Bos yang selama ini memberikan aku gaji, suami dari perempuan yang sekarang berada diatas pangkuanku yang memang tak kuasa aku tolak. Terlebih lagi adalah Rosa, ya. Kenangan cercaan Rosa tentang perilakuku yang rela menjadi budak seks Iva demi karier panjang dan jabatan. Dan selarang aku mulai merasakan getahnya, Iva tak mau meninggalkanku. Akupun harus bertanggung jawab dan menanggung malu jika Iva sampai hati mengadukan perilakuku pada suaminya, Bosku sendiri. Namun apa daya, yang ada didepanku ini, perempuan yang ada dipangkuanku adalah sejarah pendek yang pernah memberikan aku jabatan Kepala Bagian pemasaran.

“Kau serius Gas.”

“Ya, aku serius Va,” Jawabku

“Aku sangat takut Gas,” Katanya

“Kau tidak takut Va, namun kau menakutkan.”

“Kau tak hargai keterbukaanku. Aku percaya kau tak bermaksud menghinaku seperti ini Gas.”

“Sungguh, Va. Aku tak pernah berniat menghina orang yang telah baik padaku, terlebih kau.”
Iva memeleku dengan erat pada tubuhku, mengigil menahan ketakutanya sendiri pada penghinaan yang mungkin tiba. Desau nafasnya megap-megap menulikan telingaku.

“Gas … Bagasku sayang … Aku telah mencintaimu dengan sangat amat. Jangan pernah kau berfikir apalagi berkata bahwa aku adalah wanita jalang yang murahan. Jauh dari itu Gas. Apa aku hina dimatamu ?”

“Sudahlah Va, sampai kapan kau berada dipangkuanku? Tidak sekalipun aku pernah berfikir seperti yang kau bicarakan tadi. Kau justru orang yang berani Va.”

“Aku ingin kau jawab jujur Gas. Jawabanmu ragu-ragu, aku dapat merasakan keraguanmu lewat detak jantungmu yang terasa di dadaku. Kau ragu menjawabnya Gas. Seperti aku perempuan tanpa kehormatan saja.”

Dalam rasa lelahku sedari tadi memangkunya. Hampi-hampir saja aku ceritakan pada Iva kalau aku ingin berusaha kembali kejalan yang benar dengan tidak menjadi budak seksnya, tapi tak jadi. Kemudian aku mencoba mengalihkan padanya cerita alasanku kemarin ambil cuti kerja. Namun apa daya, imajinasi cerita itu serasa malas hinggap ke otaku. Aku coba menariknya, mengajaknya untuk duduk di kursi sebelahku. Namun yang ada dia malah semakin mengencangkan peganganya keleherku.

“Jangan sekali-kali kau paksa aku untuk melepaskan pelukan ini Gas. Aku merasa ini adalah benar, aku akan memelekmu untuk terakhir kali.”

Dalam hatiku, sampai kapan aku harus berhadapan dengan masalah lika-liku kehidupan yang mengerayangi berliku mengahantui alam sadar ini: hasrat dasar badani manusia hanya dapat difahami oleh manusia yang sedang megalami hal itu sendiri. Dia datang dengan sangat cepat, menggebu-gebu, menusuk-nusuk otak berbisik untuk segera kau ladeni. Itulah nafsu manusia. Aku lirik terus mata Iva yang berkaca-kaca menunduk … “Iva … va …” aku tak dapat meneruskan kata-kataku. 
Read Scene 01 on Scene 01
Read Scene 02 on Scene 02
Read Scene 03 on Scene 03
Read Scene 04 on Scene 04
Bersambung to scene 06




Friday, March 4, 2016

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE (Scene 04)

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE


*Ali Ahsan Al-Haris

-Sebuah ontologi pencarian jatidiri seorang anak bangsa, dikucilkan oleh bangsanya sendiri, dikucilkan oleh manusia sesama bangsanya yang katanya peri kemanusian dan peri keadilan. Sebuah cara pandang berbeda namun beresensi sama dalam menanggapi maraknya kasus LGBT Lesbian, Gay, Bisexsual dan Transgender. 

PERHATIAN !!!
Penulis mohon maaf dengan amat sangat besar jika ada nama, lokasi, setting kejadian yang hampir sama atau menyinggung kepada pembaca. Karena penulis menganggap sebuah tulisan adalah salah satu jalan bagi umat manusia untuk menyampaikan sebuah pesan moral menuju kebaikan.
Bacalah dengan bijak. Salam hangat dari saya, teruslah membaca dan menulis.

Sumber Ilustrasi Gambar : segiempat(dot)com


Scene 04
Pengalaman kemarin takan terlupakan dalam hidupku. Malam penghakiman moral yang dipimpin langsung oleh Rosa serasa sukses untuk aku mengakui kelakuanku selama ini pada orang yang aku kenal tak lebih dari dua hari.

***

Aktifitas kantor kembali seperti biasa, awal weekday aku ambil cuti untuk pulang kerumah mengurus administrasi perizinan tempat tinggal. Selesai mengurus aku sempatkan berkunjung ke rumah tante Dina. Sudah lama aku tak berjumpa padanya, terhitung saat aku diterima kerja di Gresik.

Mobil kantor yang aku bawa pulang sampai dihalaman rumah tante Dina. Terlihat pintu gerbang besar terbuat dari kayu Jati dengan warna khas alaminya. Sebelah kiri terlihat taman sederhana yang tertata rapi tumbuh pohon mangga manalagi dan bambu kuning dengan batang-batangnya yang kecil manis dengan daun terhuyung melambai mengikuti arah angin seakan pasrah dengan kehendaknya mau dibawa kemana.

Aku turun dari mobil, terlihat sosok perempuan tua berjalan kedepan pintu melihat siapa yang datang. “Ekh Mas Bagas, kok datang gak ngasih kabar orang rumah” –Ibu dari tante Dina menyambutku dengan senyum ramahnya, aku biasa memanggil beliau ‘Oma’, sapaan akrabku sejak pertama kali mengenal beliau.

Oma mengenalku sebagai teman karib tante Dina, dia tak mengetahui hubunganku yang sebenarnya dengan anak perempuan yang dia sayangi. Kalaupun Oma tahu, mungkin urusanya akan lebih panjang lagi. Bisa-bisa Oma tak sudi lagi melihatku karena tahu perilaku serongku dengan anaknya.

“Gimana kabar Oma ? semoga saja Tuhan selalu memberi kesehatan pada Oma dan keluarga”  -aku memulai pembicaraan terlebih dahulu.

“Allhamdulillah bagus Gas, sekarang Bagas sudah jarang main kerumah ya. Sibuk kerja buat nikah ya Gas –kekehnya saat bicara denganku. Saat itu Oma sedang memakai daster berwarna pink kombinasi merah dengan banyak bunga-bungaan yang aku kira tak cocok dipakai oeleh Oma yang umurnya sudah uzur. Terlalu mencolok dan norak –kok kita malah ngobrol diluar lho Gas, yuk kedalem aja sambil nunggu Dina. Dia lagi keluar sama suaminya”

Kami berdua berjalan kedalam rumah. Saat Oma bilang kalau tante Dina sedang keluar dengan suaminya fikiranku menjadi tak karuan membayangkan yang aneh-aneh. Sudah delapan tahun lamanya aku mengenal dan akrab dengan keluarga ini. Namun tak pernah sekalipun aku bertemu bahkan ngobrol rigan dengan suami dari perempuan yang menjadikan aku gundiknya. Rasa takut dan gugup mulai datang padaku, ini perasaan apalagi yang datang tak kenal waktu dan tak kenal situasi seperti ini. Emang perasaan Asu –fikirku.

Kami duduk diruang tamu yang berdampingan langsung dengan ruang santai keluarga ini. Dulu saat saya pertama kali kenal tante Dina, ruang tamu inilah yang menjadi saksi bisu perjalanan hidupku.

“Mbak Dina pergi kemana Oma ? emang sengaja Bagas gak ngasih tahu orang rumah terlebih dahulu, kebetulan saja Bagas ambil cuti kerja buat ngurus perizinan pindah penduduk. Mumpung dirumah jadi sekalian silaturahmi kesini, karena tak dapat dipungkiri keluarga ini adalah keluarga Bagas juga” –terlihat Oma tersanjung dengan pembicaraanku. Aku tahu cara menghargai orang yang telah baik padaku, aku tahu bagaimana caranya harus hormat pada orang tua, dan aku juga tahu bagaimana harus marah kepada orang yang meremehkanku. Yah, itulah prinsip hidupku.

“Kurang tahu Gas mbakmu itu kemana, tadi gak izin sama Oma dulu. Biasanya kalau gak ke showroom ya ke gudang ngecek barang”

“Ini Bagas uda line Mbak Dina kok Ma, cuman belum di read , mungkin lagi perjalanan atau lagi sibuk”

Sore itu aku habiskan ngobrol panjang waktu dengan Oma, kami berdua banyak saling tukar pengalaman semasa muda dan Oma juga tak sungkan-sungkanya menasehatiku bagaimana nanti memilih istri dan membina keluarga. Aku sangat hormat padanya, yah. Memang karakter Oma hampir sama dengan anaknya. Bijak dalam bertutur kata dan jujur dalam kondisi apapun, mungkin yang membedakan antara Ibu dan anaknya adalah pergaulanya saja. Hal ini kembali terbukti, bahwa pendidikan yang paling penting dan akan membentuk karakter manusia pertama keluarga dan kedua lingkungan. Kalau lingkungan rusak, dapat dipastikan manusia itu akan rusak pula. Dan ini terjawab pada sosok tante Dina yang banyak bergaul dengan pemakai narkoba dan Ibu-ibu sosialita yang lebih memilih serong daripada cerai. Setia ?, aku rasa itu tak masuk dalam rumus teman-teman tante Dina.

Selepas dari rumah Oma aku langsung balik lagi Gresik. Tak masalah kalau tak ketemu dengan tante Dina, aku juga merasa beruntung tak bertemu dengan suaminya. Meski cerita dari tante Dina kalau suaminya juga berperilaku sama denganya, tetap saja aku takut berhadapan langsung dengan suami tante Dina. Selain memang dia adalah suami sah secara agama dan hukum dari tante Dina, aku juga lelaki, lelaki yang dapat merasakan api cemburu. Terbakar cemburu itu hal yag wajar, sekali lagi sangat wajar.

Tengah malam aku  tiba dirumah, aku langsung rebahan karena sangat kelelahan. Terdengar ada suara pintu yang terketuk, aku biarkan saja, ketukan tak lebih penting dari rasa lelahku yang memang telah mencumbuku untuk segera istritahat mengingat besok harus kembali masuk kantor. Semakin aku menuruti keinginanku untuk istrirahat, semakin sering pula ketukan pintu itu terdengar. Ini orang tak tahu jam bertamu ya, kurangajar –fikiranku sudah muak dengan sangat mendengar pintuku diketuk tengah malam begini –tokk … tokk … tokk … tokk … kembali terdengar dan terdengar terus.

Aku buka pintu dengan perasaan marah, kalau tamu ini menyampaikan hal tak penting maka aku akan sangat  senang memberi bogem mentah pada si tamu tak tahu jam ini.

“Maaf Pak Bagas kalau malam –malam begini aku mengganggu istirahat bapak” –lelaki, aku taksir umurnya kurang lebih tiga puluh lima tahun, terlihat uban yang sudah mulai menggurita di sisi kanan kiri rambutnya, berpostur tak terlalu tinggi  dengan kulitnya yang kalah putih denganku. Bicaranya teratur dan sopan, gaya bicaranya menandakan orang sekolahan, dengan pandangan menunduk dia terus bicara memohon maaf padaku.

“Saya Legiman, panggil saja Giman pak. Saya tukang kebunya bu Rosa. Sekarang bu Rosa sedang jatuh sakit, ibu sudah dipaksa keluarga dibawa kerumah sakit tapi gak mau. Badanya demam tinggi pak, yang dipanggil-panggil nama bapak terus. Bapak Bagas Bahiscara Gatra” –sontak kemarahan yang meletup-letup dari tadi hilang diterpa kabar sakitnya perempuan yang aku seggani. Aku tak peduli denganya lagi dengan caranya mengetuk pintu rumahku. Aku juga tak peduli dia tahu alamat rumahku darimana dan masa bodoh juga kalau dia membohongiku, yang jelas lelaki ini menyebut nama Rosa, perempuan yang aku segani dan hormati. Padahal seingatku Rosa baik-baik saja, terakhir ketemu badanya masih sehat, tak sedikitpun mencerminkan tanda-tanda sedang didera kesakitan.

“Pak … Pak … Pak Bagas” –aku terbangun dari lamunanku, tak sadar kalau aku sedang diajak bicara Giman, sedari tadi aku terbius oleh lamunanku sendiri.

“Bagimana pak, aku mau minta tolong ke bapak untuk sudi kerumah sekedar menjenguk kondisi ibu, terlebih lagi dapat meminta tolong untuk bersedia merayu ibu agar bersedia kita bawa ke Rumah Sakit mengingat kondisi tubuh ibu yang sakit-sakitan.

Takperduli dengan rasa lelah dan kantuk aku berangkat ke rumah Rosa bersama Giman. Tanpa ganti baju aku langsung berangkat. Aku tawari Giman untuk satu mobil denganku,  Giman menolak dengan hormat karena membawa sepeda motor sendiri.

Jarak rumahku dengan Rosa terlampau jauh, kurang lebih ada dua puluh kilometer jauhnya. Untung saja tengah malam, sehingga aku dapat dengan bebas menginjak gas sekuat-kuatnya. Fikiranku berkecamuk kesana kemari, memikirkan sosok perempuan yang aku segani sedang jatuh sakit, tak mau mau dirujuk ke Rumah Sakit dan yang dipanggil hanya namaku seorang. Kenapa. Kenapa dengan perempuan ini, semakin gila saja kelakuanya.

Aku sampai dirumah Rosa setengah jam kemudian, terlihat Giman juga belum sampai. Maklum saja, aku membawa mobil sedangkan Giman tidak. Pagar rumah Rosa masih tertutup, tak ada orang yang inisiatif untuk membuka gerbang, aku coba demm lampu mobilku berkali-kali tetap saja kosong tanpa respon. Aku turun untuk menelfon Rosa dari luar, kucoba tiga kali tetap saja tak ada respon. Fikiranku mulai berinisiatif untuk langsung pergi kerumah sakit terdekat, karena mungkin saja Rosa sudah dirawat inap disana.

Dari arah selatan terlihat ada sepeda motor menuju kearahku, aku amati darijauh, semakin mendekat dan mendekat. Ternyata Giman, dia cengengesan melihatku bengong didepan gerbang.

“Maaf pak, ibu dan keluarga ada dirumah belakang. Percuma saja bapak klakson berkali-kali” –Giman dengan percaya dirinya berbicara seperti itu padaku, berbeda sekali dengan kelakuanya saat mengetuk pintu rumahku, seperti sudah kenal lama saja denganku. Aneh orang tua ini.

Giman mengambil kunci pagar dari saku celananya, dia buka gerbang rumah yang memang sedari tadi aku tunggu-tunggu. “Mari pak Bagas mobilnya langsung dibawa kerumah belakang” –sahut Giman sambil menunjukan arah jalan samping gazebo depan.

Setelah mobil aku parkir. Giman mengajak aku menuju salah satu ruang. Rumah yang cukup besar ini terlihat sepi dan sunyi. Kita sampai diruang paling belakang diujung rumah. Giman membuka pintu, kibasan udara yang keluar pintu tercium aroma obat dan keringat yang pasti akan mebuat orang merasa ngilu dan ingin muntah, termasuk aku.

“Siapa itu ?” –suara laki-laki menanyakan siapa yang membuka pintu. Ini pertama kali aku melihat anak-anak Rosa, didalam ruangan yang cukup besar itu terlihat memang didesain sebagai ruang perawatan untuk orang sakit. Hanya terdiri dipan, satu set meja kursi ruang tamu dan kamar kecil berada dipojok ruangan.

“Ini Giman, saya bersama pak Bagas. Sesuai perintah aden untuk menyusul pak Bagas” –Giman menjawab dengan rendah dan hormat pada salah satu anaknya Rosa.

“Allhamdulillah. Monggo masuk pak Bagas, perkenalkan saya Surya, Surya Fernando Joko. Terimakasih banyak pak Bagas telah sudi datang kerumah untuk menjenguk ibu yang memang sedari tadi memanggil-manggil nama bapak” –aku tak tahu ini anak Rosa yang keberapa, perawakanya tinggi, gagah, kulitnya putih bersih dengan bulu-bulu tanganya yang kelihatan , dari wajahnya kelihatan sekali banyak dapat turunan dari Rosa, terlebih lagi lekuk mata dan bentuk giginya yang kelihatan saat bicara denganku. Aku semakin percaya kalau Rosa memang menikah dan memiliki keturunan dari orang bule, orang Kanada.

“Iya dek Surya. Maaf aku datang terlambat, bagaimana keadaan ibu ?” –tanyaku pada Surya meski disisi sebelah kiriku terlihat Rosa sedang tidur.

“Ibu masih demam mas. Tak tahu kenapa tiba-tiba ibu sakit, sejak tadi pagi demam tinggi, kita ajak ke Rumah Sakit tak mau, yang disebut-sebut cuman Bagas … Bagas … Bagas Bahiscara Gatra. Kami tak tahu siapa itu Bagas, kami cari tahu siapa yang punya nama sebagus itu keteman-teman ibu dikantor dan kenalanya. Ternyata pemilik nama indah itu sedang ada didepanku, keindahanya namanya sesuai dengan ketampanan dan kewibawaan dari mas Bagas yang sudi datang kerumah kita yang sederhana ini” –Rosa ternyata memiliki seorang putra yang pandai memuji orang, pujianya membuatku kagum padanya. Aku jadi sangat senang dielukan olehnya, sama seperti ibunya yang pandai memuji orang. Tak salah juga dengan model perkataan seperti ini akan dengan mudah akrab dengan orang yang baru dikenal sekalipun.

Aku langsung mengahampiri Rosa yang sedang tidur, dia terlihat tak berdaya dengan mukanya yang pucat pasi, wajah cantiknya hilang ditelan kepucatan, bibir merah meronanya sedang dicumbu dengan warna putih pucat. Kasihan sekali perempuan ini. Kemana perginya kecantikanmu Ros, ayo bangunlah. Aku datang, laki-laki yang tak lebih seminggu kemarin kau hujat dan kau caci. Aku hadir Ros. Aku ada didepanmu. Bangunlah bangunlah …

Read Scene 01 on Cerita 1
Read Scene 02 on Cerita 2
Read Scene 03 on Cerita 3

Bersambung to scene 05

Sunday, February 28, 2016

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE


*Ali Ahsan Al-Haris

-Sebuah ontologi pencarian jatidiri seorang anak bangsa, dikucilkan oleh bangsanya sendiri, dikucilkan oleh manusia sesama bangsanya yang katanya peri kemanusian dan peri keadilan. Sebuah cara pandang berbeda namun beresensi sama dalam menanggapi maraknya kasus LGBT Lesbian, Gay, Bisexsual dan Transgender.  

PERHATIAN !!!
Penulis mohon maaf dengan amat sangat besar jika ada nama, lokasi, setting kejadian yang hampir sama atau menyinggung kepada pembaca. Karena penulis menganggap sebuah tulisan adalah salah satu jalan bagi umat manusia untuk menyampaikan sebuah pesan moral menuju kebaikan.
Bacalah dengan bijak. Salam hangat dari saya, teruslah membaca dan menulis.

Sumber Ilustrasi Gambar : segiempat(dot)com 


Scene 03
Selesai bersih badan, kita makan malam di Hallroom hotel. Terlihat banyak tamu juga selain kita berdua. Ruangan yang cukup besar ini terdapat mini panggung music sebagai pengiring makan malam. Di sebelah kanan mini panggung terlihat ada sebuah minibar yang menyediakan minuman kadar alcohol dari rendah sampai menengah.

Saya makan malam dengan pakaian santai, celana jeans biru dongker dan kaos warna putih sederhana. Sedangkan Rosa memakai miniskirt yang menurutku terlalu berlebihan digunakan untuk acara makan malam seperti ini. Perpaduan warna biru dibalut dengan kulitnya yang putih langsat menjadi tontonan orang-orang yang sedang makan malam. Aku sadar banyak orang yang menatap kosong padaku, namun bukan karena aku. Melainkan karena sosok perempuan paruh baya yang ada di sampingku.

***

Selepas makan kami langsung berjalan ke villa, jarak tempat makan ke villa yang kurang lebih lima puluh meter terasa berat untuk perut yang kenyang seperti saya. Ditengah perjalanan Rosa menggandeng tangan kiriku untuk segera sampai ke villa.

“Kenapa jalanmu lama sekali Gas ? Terlalu kenyang atau ingin lama-lama dijalan.”

“Makan tadi terlalu kenyang Ros. Agak sakit kalau jalanya terlalu cepat, santailah sedikit. Memang aka ada acara palagi di villa. Toh hanya ada kita berdua, kalau bukan tidur mau apalagi !!” –jawabku dengan santai padanya.

Jawabanku tak direspon olehnya, terlihat malah semakin cepat saja jalanya. Tangan kiriku yang dipegangnya ditariknya menyusuaikan irama jalanya sehingga membuatku terhunyung kedepan. Jalanya yang agak cepat membuatku dengan jelas melihat pantatnya yang besar namun kendor karena dimakan usia. Belahan pantatnya yang bergoyang membuatku tak kuasa memandangnya. ini ada ibu paruh baya namun memiliki lekuk tubuh seperti perempuan remaja saja –fikirku pada saat itu.

Sesampai di villa kita berdua duduk santai diruang tengah. Hanya ada meja setinggi kurang lebih satu meter setengah dengan panjang kisaran dua meter serta lebarnya dua meter dengan hiasan ukiran khas Jepara menjadi saksi bisu heningan kita berdua. Saya duduk di kursi yang bersebrangan dengan Rosa. Moment sederhana ini membuatku merasa jauh darinya, entah mengapa. Sosoknya yang dapat aku pandangi dari seberang meja nampak anggun diterpa cahaya lampu yang terasa tiba-tiba jauh dan asing dengan tatapan dinginya kepadaku.

“Kau mikir apa Gas ? Ada yang salah dengan penampilanku !! Apa sedari tadi kau berfikiran aneh tentang aku, apa kau berfikir bahwa malam ini aku seutuhnya milikmu karena aku berpakaian seperti ini” –pernyataan gila yang terucap dari Rosa. Lebih-lebih lagi hal diutarakan untuku. Apa yang sesungguhnya ia fikirkan tentangku. Dalam kebengonganku ia lanjut apa yang ia fikirkan tentangku.

“Sorry Gas, jangan kau salah anggap dan gagal faham denganku. Jangan sangka perempuan yang berpenampilan seksi seperti aku ini kau anggap rendah dan dapat kau rayu dengan jabatan dan uangmu. Terlebih lagi ancaman pemecatan sepihak. Aku tahu kelakuanmu diluar perusahaan, diam-diam kau telah selingkuh dengan Owner perusahaan yang kau tempati. Ya, kau selingkuhi istri bos mu sendiri. Kau rela jadi gundiknya, kau rela jadi budak seksnya agar dengan mudah naik jabatan. Kelakuan macam apa itu, lelaki macam apa kau ini Gas –terdiam seribu bahasa aku dibuatnya, perkataan demi perkataanya membuat lutut ini serasa lepas dari pasanganya, serasa aku sudah tak berdaya dibuat Rosa hanya dengan pernyataanya. Informasi dari mana yang membuat Rosa mencerca aku seperti ini –ternyata disana sini lelaki sama saja, bejat semua. Miris aku melihatmu seperti ini Gas. Pemuda ideal yang harusnya dapat member contoh pemuda yang lain malah memiliki perilaku yang teramat busuk. Busuk dan harusnya kau memang tak pantas hidup Gas. –perkataan demi perkataanya sontak membuatku semakin tak berdaya dihadapanya,

Aku berusaha untuk bicara, aku berusaha untuk melawan Rosa. Aku tak rela harga diriku direndahkan didepan wanita seperti ini. Mengapa tiba-tiba kekuatanku hilang, mengapa wibawa yang selama ini aku andalkan untuk dihormati tiba-tiba tak ada harganya didepan Ibu-ibu tua seperti dia.
Aku hanya dapat tertunduk, aku pandangi tubuh meja yang memperlihatkan serat-serat kayunya. Mata ini tak berani menatap rona mukanya, terlebih lagi menatap kedua mata Rosa yang kali ini terlihat menyeramkan. Aku atur ulang-berulang nafasku, sedikit-demi sedikit aku kumpulkan mentalku untuk menjawab  semua yang ia tuduhkan padaku. Mataku mulai naik melihat sosoknya, aku sapu mulai kunci villa yang tepat berada didepanku. Pandanganku lurus mulai berani melihatnya, terlihat tangan kirinya yang ada di atas meja sedang memainkan handphonya, diputar-putarkanya dengan jari jarinya, terlihat dari cara ia memainkan handphone bahwa dia juga sedang gugup.

Pandanganku menyapu keatas lagi, terlihat kalung mutiara yang Rosa kenakan.  Kalung tak terlalu panjang itu tepat melipir diatas bongkahan payudaranya yang membengkak ingin keluar. Meski beberapa detik aku pandangi dengan tenang payudaranya yang terlihat lebih besar, tetap saja mati rasa akan kenikmatan tak sudi mampir kediriku. Rasa ketakutan dan malu yang teramat sangat sedang dengan gagah menjajah sanubariku.

“Kamu tahu semua ini dari mana Ros ?” –entah kekuatan darimana aku dapat berbicara seperti itu padanya.

“Kau tak perlu bicara, dari mukamu sudah kelihatan kalau kau telah mengakui hal tersebut Gas” –jawaban Rosa menggelegar bak petir dalam badai. Siapa perempuan ini, mengapa dia sangat pintar menilai kepribadianku hanya dengan melihatku saja.

Malam ini akan menjadi catatan penting bagiku. Terlebih lagi perempuan yang sekarang berada disebrang meja tempatku duduk. Keberanianya membuatku salut dan malu padanya, rasa kekaguman terhadap keanggunan dan kecantikanya harus kalah terhadap sikap bijaknya. Entah apaa… apaaa yang harus keperbuat agar segera lepas dari jerat pengakuan gila ini.

“Aku sadar kau atasanku Gas, namun kau juga perlu ingat dengan kesepakatan yang telah kau buat sendiri di dalam mobil saat perjalan kita ke sini. Kau sendiri yang memaksa aku harus menuruti kesepakatan bahwa kita adalah teman diluar kantor. Aku bukan lagi anak buahmu dan kau juga bukan lagi dapat dengan rendah menganggapku perempuan murahan hanya dengan gaya pakaianku yang seksi ini Gas. Salah kau sendiri karena membuat kesepakatan konyol ini, dan kau harus terima ini. Terima kalau aku sudi mengingatkanmu bahwa yang kau lakukan selama ini adalah hal salah Gas” –Rosa bicara seperti serasa tak ada lawan bicaranya saja, terlebih aku. Mungkin dia tak menganggap kehadiranku. Atau memang dia sudah melupakan aku. Mengapa, mengapa moment makan malam yang sederhana itu berujung hal gila seperti ini.

Aku hanya dapat melamun, aku rasa lamunanku ini adalah jurus paling ampuh untuk menutupi rasa maluku yang teramat besar melandaku. Entah kenapa rasa Maluku ini bukan hanya kurasakan pada Rosa, aku juga malu pada tante Dina, pada Iva dan terlebih lagi pada bosku jika mengetahui ini semua. Aku harap Rosa adalah perempuan yang pandai menyimpan rahasia. Kalaupun hal itu benar adanya, mengapa dia dengan percaya diri memukul telak aku dengan kelakuan yang aku rasa tak patut diumbar seperti ini.

Rosa terus saja bicara, memang benar dia telah melupakan aku, dia seakan lupa bahwa ada manusia didepanya. Manusia yang jadi target busur panahnya. Itu aku, ya aku sebagai Bagas, Bagas Bahiscara Gatra.

“Asal kamu tahu Gas, dan aku rasa kau sudah tahu tentang kisah kelam hidupku. Aku dipersunting seorang bule asal Kanada. Pernikahanku dinodai dengan perselingkuhan suamiku. Dia rela menghianatiku karena tak mau digundik oleh atasanya. Suamiku rela merelakan tubuh istrinya sendiri dinikmati oleh bos-nya. Lelaki macam apa yang berfikir seperti itu. Otak bajingan yang dipenuhi belatung yang mau istrinya disetubuhi oleh orang lain. Parahnya hal itu atas sepengetahuan suaminya sendiri. Lelaki yang aku cintai dengan segala jiwaku” –Rosa sekarang terlihat lebih kalem, suaranya terdengar rendah berat dan serak. Sekilas aku lirik Rosa hanya memandangi handphone yang ia taruh disebelah tangan kananya. Pandanganya kosong tajam, rona matanya yang berwarna biru kecoklatan mencitrakan amarah dan dendam. Namun dengan jelas ia tak gentar untuk menceritakan hal tersebut, ia tak sedikitpun goyah dan malu mengumbar masa kelamnya. Semakin hormat saja aku padanya.

“Aku sudah memiliki anak tiga Gas, memang pada saat itu aku hanya jadi ibu rumah tangga mengingat gaji suamiku yang terbilang besar dan lebih untuk kita pakai dalam satu bulan. Aku lebih memilih cerai daripada harga diriku sebagai wanita Jawa terinjak-injak demi menuruti lelaki bejat seperti dia”

Mulailah dari sini aku berani mengangkat kepalaku untuk menatap Rosa. Perempuan aneh yang aku kenal tak lebih dari dua hari ini. Aku bersyukur dapat menguasai keadaan dan memulihkan mentalku yang telah habis dicabik-cabiknya.

Oh Rosaa, apa yang sebenarnya kau fikirkan. Sejarah apa saja yang telah membuatmu seperti ini. Asal kau tahu Ros, kalau sedari tadi aku dapat bicara. Aku ingin kau tahu bahwa aku sendiri ingin lepas dari pusaran iblis ini. Aku sudah mencoba, mencoba dengan keras Ros..


Bersambung to scene 04