Wednesday, March 16, 2016

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE SCENE 10

*Alie Ahsan Al-Haris

Sumber Ilustrasi Gambar : segiempat[dot]com


Scene 10

Son. Aku sudah baca naskahmu sebanyak tiga kali. Aku tak tahu harus mengedit kolosal percintaanmu ini dari mana. Dibilang hidup tak juga hidup. Aku hanya dapat bicara betapa pintarnya kau mempertajam karakter perempuan idolamu ini. Kau sebut dia Pukat. Kau bilang dialah perempuan yang sampai saaat ini menggelorakan jiwamu. Apakah kau baru pertama kali jatuh cinta. Aku tak tahu. Apa memang kau adalah seorang pujangga. Son. Terserahlah. Itu hak para pembaca. Yang jelas aku sudah berusaha sebaik mungkin mengedit naskahmu. Timbul dalam hati ini rasa takut dan khawatir Son. Bukan karena takut didepak dari kantor bersebab naskah konyolmu. Tapi aku takut membuatmu kecewa Son. Kecewa karena hasil editingku akan menghilnagkan betapa tulusnya kau menuliskan ini untuk perempuan pujaanmu. Si Pukat. Pukat Cinta.

Mengingat naskah kiriman Sonson yang terlalu panjang. Maka aku muat dalam harian sebanyak empat kali berturut-turut. Terhitung dari senin sampai kamis.  Banyak email masuk menanggapi terbitnya cerpen karangan Sonson. Aku akan bahas tanggapan itu dilain kesempatan saja.

Naskah Sonson. Laki-laki yang sampai detik ini tak aku ketahui berumur berapa. Asli Surabaya atau orang perantauan. Dengan gaya tulisanya telah mendatangkan banyak reaksi dari para pelanggan harian Apa Kabar Surabaya. Buruk, membangun dan penasaran denganya. Itu urusan nanti saja. Yang jelas sekarang, kalian harus tahu. Berikut naskah Sonson yang naik cetak. Aku ketik ulang, hampir menyerupai naskah aslinya yang dia kirimkan lewat email. Cermatilah ketulusanya.

Naskah sederhana ini kutunjukan untuk gadis pujaanku, tahu bukan mengerti.
Sebuah confessions yang jujur, berharap kau membaca ini dengan suasana hati yang nyaman.
Salam dariku.

PUKAT CINTA
“Hanya dengan hati orang dapat melihat dengan tepat; sesuatu yang sejati tak dapat dilihat dengan mata”.

Apakah ada buku yang membahas tentang  filsafat cinta? Kalau memang ada apakah buku tersebut dapat menjawab perasaan ku yang sedang merasakan cinta sesaat ini, lagi-lagi ada sosok yang menggodaku untuk ingin lebih dekat denganya. Berawal dari pertemanan yang ku rasakan, sekarang malah menjurus ke perasaan alam bawah sadar, sosoknya membuatku terus menerus ingin berjumpa dirinya, aku mencoba menahanya, tapi perasaan ini malah semakin berontak, terus berontak.

Apakah dia disana juga memikirkanku? Aku rasa tidak, atau bisa jadi benar. Manakala perasaan lawan jenis yang konon memang amat sulit untuk di fahami malah membuat ku penasaran dengan apa yang sebenarnya dia fikirkan, berbagai cara untuk menebarkan pukat demi hasil tangkapan yang melimpah membuat nurani ini semakin penasaran denganya.

Apakah perasaan ini hanya sementara? kiasan dari bunga yang sedang mekar-mekarnya, tapi mengapa begitu lama, sampai-sampai dalam tidurku berjumpa denganya, bertukar sapa dan senyum yang begitu indah nan sulit untuk dilupakan.

Apakah teori psikologi yang sering mengatakan bahwa jika kita berniat untuk melupakan yang ada malah sebaliknya itu benar, apakah kisah ini sama dengan Vita Brevis yang di tulis Gaarder, sesekali aku mencoba untuk membencinya agar perasaan tak jelas ini hilang dengan segera, tapi aku sadar ini tipuan kecil, tipuan bagi nuraniku. Bagaimana tidak! Aku berusaha membencinya, tapi dalam hati merindunya. Pembohong besar.

Kecintaan Antonio Gramsci terhadap masyarakat proletar mungkin agak mirip dengan kisahku, meskipun dalam realnya aku hanya memaksa agar mirip saja, konteksnya lain, aku terperangkap dalam belenggu sosoknya, sungguh. Sosoknya yang membuatku bingung karena yang ku bicarakan pada akhirnya hanya berputar-putar saja, benar bukan?

Perasaan ini menyiksaku, parasnya yang menawan membuatku terbayang terus menerus. Bayanganya malah membuat hatiku terluka karena takut harapan ku tak berjodoh dengan kenyataan, rasa sakit ini nampaknya telah menjadi nanah sehingga memborok parah di perasaanku, tapi karena rasa sakit ini pula akhirnya ku dapat kebal dari sakit karena selalu membayangkan parasnya, mati rasa.

Gie, sampai mati menyetubuhinya memang belum pernah merasakan merajut cinta bersama, perasaan yang terlalu di pendamnya malah menjadi bomerang buatnya. Apakah aku akan seperti dia? Saya harap tidak, mungkin secara longitudinal dia tahu apa maksudku, tapi secara harfiah aku juga ingin mengetahui apa jawabnya, apakah dia rela membiarkanku mati tanpa harapan? Semoga tidak, tapi di sisi lain aku juga berfikir apa sosok sejenisnya memang suka permainan yang sembunyi-sembunyi seperti yang kita lakukan ini. Dentuman momentum mana yang harus aku tunggu? Sesabar apa lagi aku harus menunggu pukat yang selama ini ku tebar untuk di angkat.

Aku hanya ketakutan buta, sungguh. Pukat yang selama ini ku pasang takut kalau dia anggap hanya macam Vita Brevis semata. Lantas aku harus bagaimana? Kalau ku angkat terlalu cepat, aku takut tak sesuai harapanku, kenyataan berkehendak lain, cuaca belum stabil, masih riskan, aku takut.

Apakah filsafat hanya membahas tentang asal muasal kehidupan? Apakah filsafat tidak pernah bertanya matrial dari cinta? Apakah cinta termasuk matrealisme metafisik semata? Apakah yang kulakukan sebodoh itu? Damn, cemburu buta apakah sebuah kebodohan juga, lantas mengapa ada rasa cemburu jikalau tak ada sebabnya. Apakah hukum sebab-akibat tak berlaku lagi jika membahas tentang cinta, membahas tentang sosoknya, parasnya. Sampai kapan kebodohan ini membelengguku? Sampai kapan aku harus berjumpa dia dalam tidurku! Padahal yang ku inginkan adalah berjumpa langsung denganya, memandang sosoknya, melihat parasnya yang selama ini telah menyakitiku.

Tapi kalau ku fikir-fikir kenapa juga aku takut bertatap muka langsung denganya? Padahal aku mengharapnya, sungguh. Kenapa aku harus sembunyi-sembunyi sewaktu bertemu denganya, mungkin dia sebenarnya juga ingin bertemu denganku –oh betapa sombongnya diriku. Aku takut jika perasaan ini memborok saat memandang langsung parasnya, cukup dengan tulisan sederhana ini aku meluapkan emosiku, ku harap begitu.

Malam ini, hawa dingin kota perantauan terasa menusuk ke tulang sumsum yang mengharap sebuah penjelasan tentang arti dari sebuah perasaan pengharapan. Sosoknya mulai merasuk dalam sanubariku lagi, pertemuan pada hari itu masih terkenang berat di otak, lemparan senyum manis yang dia tunjukan padaku membuatku terbius sesaat, lekukan wajahnya yang teramat manis masih terkenang jelas sampai aku ketikan tulisan ini yang entah aku tunjukan untuk siapaaku pun tak tahu.

    Aku mengaharap malam ini dia menghubungiku, sungguh. Pengharapan ini semoga terkabul meski dia sedang ada kesibukan entah apa aku juga tak tahu, karena jelas, aku hanya berharap di malam yang dingin ini dia mengingatku walau sebentar.

    Aku berusaha mengingat kejadian saat aku bertemu denganya –di kampus. Meski memang terkadang sakit tapi entah kenapa aku suka mengingat kejadian tersebut, bahkan berusaha untuk terus mengingatnya. Aku mencoba menyetabilkan perasaan senang ini, aku harap bayang-bayang semu itu tak kunjung pergi dariku agar aku tetap bisa mengigatnya.  Aku ingat saat itu menaiki tangga lantai dua gedung Ki Hajar Dewantara untuk pergi ke ruang kuliah 1B, saat aku hendak berbelok ke arah ruang kelas tiba-tiba ada sosok manis yang melempar senyum bidadari kepadaku –oh sungguh indahnya.

Sebenarnya aku punya banyak kenangan tentangnya, salah satunya sewaktu kita bertemu di taman baca hendak pergi ke kegiatan kawan-kawan, sebelum beranjak pergi dia menyapaku, dia melempar senyum padaku sembari memintaku untuk ikut di kegiatanya. Dalam kegiatan tersebut akupun tak mensia-siakan pandanganku ke parasnya, sungguh betapa indahnya hidupku pada saat itu, meski hal tersebut kalah saat aku bertemu denganya di lantai tujuh kampus.

Satu hal yang membuatku penasaran denganya, aku berfikir dia adalah ahli di bidang psikologi, hal ini aku utarakan karena dia sering menebak fikiranku, aku juga tak terlalu yakin dengan hal tersebut, tapi secara longitudinal kenyataan itu ada. Dia menyebutku keppo –entah kenapa dia menyebutku seperti itu, tapi bahasa keppo sekarang memang sedang tenar layaknya karya sastra kontemporer. Entah julukan itu dia artikan kepadaku sebagai maksud jelek atau baik saya juga tak terlalu faham, pastinya aku hanya merasa senang karena dari julukan itulah aku dapat lebih akrab denganya –tentunya untuk lebih masuk ke kehidupanya.

Memang sebelumnya aneh juga mengapa sosok yang aku impikan untuk dapat aku miliki menyebut aku keppo, tapi setelah aku tanya dia hanya menjawab karena aku orangnya sok tahu. Sok tahu bagiku adalah sebuah watak, karena memang dasarnya aku adalah orang yang sok tahu dan sombong, ya aku mengakui hal tersebut karena aku berusaha untuk jujur pada diri ku sendiri, seperti aku jujur mengutarakan apa yang kualami lewat tulisan yang tak ada tujuan mau ditunjukan kemana –hanya untaian kalimat yang ku rasa kalimat putus asa seorang pembohong besar.

Selama ini memang aku simpan rapi kisah ini, aku tak berani membicarakan dengan orang lain walau itu adalah teman kepercayaanku. Aku hanya percaya pada kertas ini, dia hanya diam dan setia menemaniku menerima limpahan emosiku yang tak stabil, kertas ini adalah teman baiku, dia dengan sabar tak membalas jika dalam menulis aku marah padanya karena tak ada kejelasan aku menulis ini dikirimkan untuk siapa. Yang jelas, aku menulis hanya ingin menyatakan perasaanku pada sosok tersebut.

Terkadang  aku hanya termenung di saat aku tak menorehkan tinta di atasnya, aku hanya diam membaca tulisanku kembali. Aku mengecek apa kisah ini telah jujur aku sampaikan ke kertas tak berdosa ini, agar nanti aku tak di tuntut olehnya karena telah mempergunakanya untuk hal yang tak berguna, biarlah kertas ini yang bicara pada sosok yang kunanti, ya hanya itu yang bisa kulakukan, sekarang adalah waktuku untuk bercerita tentang siapa sosok yang ku idamkan ke kertas sederhana yang setia menemaniku.

Kisah ini ku namakan“Pukat Cinta”, pada permulaan semester lima aku ikut berpartisipasi di sebuah lembaga kampus, kebetulan saat itu pasca pembentukan pengurus baru sehingga program kerja yang menumpuk menanti para pengurus baru –termasuk aku. Dibantu oleh teman-teman kita membuka Staff Muda sebagai ajang maggang untuk anggota muda yang duduk di semester tiga, di saat proses screening aku mulai melihat sosoknya, tinggi dan berbadan tegap, mempunyai ciri khas senyuman yang menyenangkan serta mempunyai cara jalan yang khas diantara cewek lain.

Seingatku, waktu itu aku sedang berfikir apakah dia sudah mempunyai pasangan! Atau lebih tepatnya sudah mempunyai pacar atau tunangan mungkin. Rasanya memang aneh membayangkan hal seperti itu, padahal untuk berkenalan saja belum ku lakukan. Tapi entah kenapa juga pemikiran yang menurutku agak radikal selalu membayangiku, mulai dari sinilah perasaan itu muncul.

      Hal pertama yang menarik mataku adalah cara dia duduk menunggu giliran screening, aku melihat dia tersenyum manis ke teman lawan bicaranya, wajahnya yang kelihatan tegas adalah alasanku kedua tertarik padanya, waktu itu dia memakai celana panjang dan style kerudung yang sedang di gandrungi para mahasiswi-mahasiswi sekarang. Aku sadari bahwa ada sesuatu yang istimewa tentang dia, sesuatu magis yang memikat tapi tak terjelaskan.

Satu hal yang perlu di ketahui adalah cara dia memandangku dan seolah-olah dia telah memilihku dari semua orang lain yang berada di sekretariat saat screening. Beberapa menit dia menatapku lurus seakan ingin memberitahuku sesuatu, kami saling menatap tajam beberapa menit, dan barangkali akulah yang mengalihkan pandangan untuk pertama kali. Dalam pandangan tersebutlah aku merasa yakin kalau ada sesuatu yang terikat diantara kita berdua. Hal aneh yang ku alami setelah memalingkan wajah sisi hidung sebelah kananku keduten –menurut kepercayaan orang jawa ini menandakan akan bertemu seorang kekasih. Hal ini membuatku yakin –dialah kekasihku.

Aku dan dia sepertinya lebih tinggi dia, atau mungkin sama karena kita tak pernah mengukur tinggi badan bersama, selain itu aku juga tak mengetahui berapa tinggi badanya. Yang jelas dia mempunyai badan agak kurus dariku, kulit tubuhnya sawo matang, mencirikan orang Indonesia banget. Cara dia berjalan menunjukan ketegasan dan keteguhan pribadi, sorot matanya tajam menandakan dia sedang mengoreksi orang yang sedang di lihatnya.

Senyumnya menghadirkan sepasang matahari dan rembulan secara bersamaan di hatiku, dia mengigatkanku pada gerhana rembulan dan gerhana matahari yang menyorot tajam ke permukaan bumi; dia memang manis dalam segala hal, sungguh.

     Satu koreksi darinya ialah, mengapa dia selalu melempar senyum begitu sok kenal dan mengundang? Apakah dia benar-benar tersenyum kepadaku atau dia tersenyum karena ada sesuatu yang lucu dariku, atau jangan-jangan dia tak tersenyum kepadaku?, itu adalah salah satu kemungkinan yang harus ku pertimbangkan, padahal aku dandan tak terlalu norak, tampangku juga biasa saja, atau mungkin dia tertawa melihat tingkahku yang kocak ? Jika hal ini benar, berarti selama ini senyuman yang membius itu adalah sebuah kekonyolan bagiku –aku terlalu percaya diri.

Seingatku, aku tak pernah berjabat tangan denganya untuk menanyakan siapa nama atau meminta nomor handphone-nya, sebelum adanya screening aku bertemu dia di kepanitaan Ospek mahasiswa baru, ya itu saat pertama kali kita bertemu, pandangan pertama kali ku sudah dapat menebak bahwa dia adalah orang yang humoris tegas, tentunya hal ini kulakukan dengan sikap sok tahuku. Dia menjabat menjadi kordinator divisi acara, pada berlangsungnya rangkaian ospek aku tak bertemu dia sama sekali karena memang aku banyak berada di dalam ruangan. Tapi tak lama pasca ospek berakhir pendaftaran untuk staff muda dibuka sehingga Tuhan mempertemukan kita berdua lagi.

      Tidak diragukan lagi, rasa magis yang tak terjawab pasca bertemu pertama kali denganya. Tuhan mempertemukan kita karena tuhan ingin aku mencari jawaban padanya mengapa dia begitu magis sekali bagiku. Data para pendaftar staff muda aku bawa semua, spontan aku langsung membaca biographinya, di secarik kertas tersebut aku jadi tahu informasi pribadi terkait dirinya, dari mulai nama lengkap; nomor handphone; alamat facebook dan twitter. Manuver pertama kulakukan, aku add dan follow terlebih dahulu media sosialnya untuk mengetahui kesibukan apa serta lontaran kalimat apa yang ia lakukan di dunia maya. Setidaknya  caraku ini termasuk berhasil, sosok yang aku idamkan ini mulai akrab denganku meski tak seberapa dekat, sms dan media social (medsos) adalah cara-caraku untuk mengetahui kepribadianya secara sekunder, hal ini biasa di lakukan oleh Freud untuk menganalisis kepribadian seseorang.

Sering mengikuti kesibukanya di media sosial dan menanyakan kabar lewat sms lama kelamaan membuahkan hasil, hubungan pertemanan kita semakin erat bahkan kata renggang diantara kita hampir tidak ada lagi. Meski terkadang aku sering malu sendiri jikalau mengobrol denganya. Ekspresi wajahnya serasa mengucapkan sesuatu padaku, seolah dia ingin berbicara yang sangat rahasia, terlepas isyarat itu konyol atau tidak aku tetap menganggap dia juga bersimpati padaku. Tidak diragukan bahwa dia pikir aku ini mengaharap cinta darinya, sorot matanya dan lemparan senyumnya memang menandakan hal tersebut, lantas jikalau dia memang tahu kalau aku memendam perasaan cintaku untuknya mengapa sikapnya hanya biasa saja? Apakah karakter kaum hawa memang seperti ini? Mungkin benar juga yang dikatakan Erich Fromm, bahwasanya kaum wanita itu hanya pasif sebelum mendapatkan reaksi dari kaum laki-laki yang membuat dia candu ke kita. Tapi, lagi-lagi hanya ada satu tujuan dalam fikiranku: aku harus sesegera mungkin mendapatkan cinta dari sosok yang aku idam-idamkan ini.

      Meski aku telah mempelajari banyak lekuk kehidupanya dari medsos, aku masih tidak tahu seberapa baik mengenal dirinya, karena memang medsos tak bisa menjadi jaminan untuk mengenal secara mendalam kebenaran karakter dari seorang hawa, tapi keadaan ini tak separah sewaktu pertama kali aku mengenalnya –aku tak mengenal apapun tentangnya. Akan tetapi, kemungkinan yang dapat kusimpulkan sementara tentangnya adalah, dia cewek yang tak bertipikal romantis –agak tomboy mungkin. Tentunya kesimpulan sembrono tersebut ku cetuskan dengan hati-hati agar jalan untuk merebut hatinya berjalan mulus dan lancar tanpa halangan yang berarti, ini adalah langkah sangat penting untuk mengetahui karakter seorang hawa sebelum kalian ingin berjalan jauh denganya. Tapi jika cinta berkehendak lebih cepat, banyak pasangan yang mempelajari karakter masing-masing saat hubungan itu berjalan, ada yang sukses dan sebaliknya, aku menjadi takut kalau cinta berkehendak lebih cepat sehingga aku tak sempat belajar mendalam terkait kepribadianya, yang ujung-ujungnya nanti dia malah tak nyaman denganku –menyedihkan bukan.

Aku menepis bayangan-bayangan pesimisme yang melanda batinku, itu tidak tertahankan. Dan kurasa rasa pesimis mengalahkanku, aku mulai hilang harapan saat aku sms dia tapi di balasnya dengan lama, bahkan beberapa kali tak dibalasnya, hal tersebut berlanjut terus menerus sehingga membuatku hampir putus asa. Entah, mungkin karena aku terlalu takut tak mendapatkan cintanya, bisa juga karena aku terlalu hati-hati dalam berkomunikasi denganya, padahal hal ini ku lakukan agar dia nyaman dengan cara komunikasiku –ternyata tidak.

      Aku memang benar-benar kalah telak, aku tak tahan dengan cara dia membalas sms ku, aku tipe-tipe tak suka menunggu tanpa kejelasan apalagi dengan waktu yang lama. Keputusan ku ambil, aku mencoba untuk tak sms dia selama kurang lebih satu bulan setengah, hal ini aku lakukan untuk mengatur psikologisku kembali agar rasa percaya diriku timbul kembali, dalam lose contact tersebut aku sempat beberapa kali bertemu dengan bidadari pujaanku di kampus, dia terlihat cantik sekali, masih seperti dulu, lemparan senyum dan sorotan matanya yang dia arahkan padaku membuatku sungguh-sungguh serasa jatuh dalam peluknya, aku benar-benar telah di mabuk olehnya.

Lama ku tak sms dia, aku tiba pada pemikiran bahwa si gadis pujaanku ini mempunyai sifat yang suka di goda, atau setidaknya dia adalah wanita yang bertipe seperti Vita Brevis. Kalau demikian masuk akal juga bukan, kebiasaanya memang mengarah pada hal tersebut, maka tak salah pula jika aku menggunakan jurus godaan seribu bayangan miliku untuk menggoda dirinya supaya dia tertarik denganku, jika aku harus berfikir hati-hati lagi yang ada belum tentu kesimpulanku benar, yang ada hanya pesimisme yang merontokan sanubari –ini adalah sebuah gugatan cinta dariku pujaanku. Akan tetapi, tentu ada banyak variasi. Aku harus berusaha mengerti dan melihat fakta lain tentangnya. Barangkali, dia telah mempunyai pasangan memang benar adanya, lantas perjuangan dan usahaku selama ini hanya sia-sia. Ya, mengapa tidak? Aku takbisa mengasumsikan bahwa dirinya itu jomblo sehingga aku bebas langsung mengutarakan perasaanku padanya. Asumsi-asumsi ini akan matang dengan sendirinya meski memerlukan waktu yang lama. Sebenarnya pemikiran ini menjalar seperti getaran listrik di sekujur tubuhku –dia memang sudah mempunyai pacar atau mungkin dia sudah tunangan yang berjanji saat dia lulus akan menikah, oh betapa mengerikan sekali jika hal ini selalu ku bayangkan, toh lebih baik aku mencoba tanya langsung padanya saja daripada fikiran tak jelas meracuniku.

Aku selalu jagoan dalam hal analisis dan menggabungkan fakta-fakta, atau lebih tepatnya adalah aku merasa jagoan dalam hal ini. Meski faktanya sering salah kaprah, kita harus percaya dirikan? Ya, maka dari itu aku menyebut diriku jagoan dalam hal analisis bukan. Bukan hanya dalam kasus dengan gadis pujaanku, melainkan aku pernah tepat memprediksi jikalau aku akan bolos kuliah jam tujuh pagi karena aku baru tidur jam lima pagi, teryata prediksi ku berhasil, aku tak masuk kuliah karena aku bangun jam sepuluh siang –jenius atau bodoh?

Mungkin gaya penulisanku sedikit aneh dan sedikit berbumbu lebay tentang kronologis hubungan kita. Tapi, aku mengenangya sebagai sebuah kisah yang menggelikan, nyaris seperti film bisu, dan seperti itulah aku ingin memandangnya.

      Ini tidak berarti aku merasa enteng ketika menuliskanya. Sebenarnya, aku benar-benar tak terlipur –untuk lebih jujurnya. Aku tidak sedang mencoba untuk menyembunyikan, tapi itu bukan sesuatu yang perlu di khawatirkan. Kamu takan pernah melihat betapa aku bingung terheran-heran saat bayanganmu membius malamku, dan aku akan bisa mengontrol diriku sendiri.

      Perasaan cintaku padamu sebenarnya takterbendung, apakah kamu ingat, saat aku sms sering membuat bercandaan tentang pukat, pancing atau alat tangkap nelayan sejenisnya, mengapa aku lebih suka memanggilmu pukat? Karna filosofi pukat adalah interpretasi dari pukat cincin, yakni mendapatkan hasil tangkapan dengan cara mengelilingi ikan dalam bentuk melingkar sehingga ketika pukat siap di angkat hasil ikan incaran akan terjebak di dalam pukat itu sendiri dan tak bisa keluar, ini tentunya dengan perjuangan yang besar pukatku. Aku mengibaratkan perjuanganku seperti itu, perjuanganku untuk mengejar cintamu, sungguh. Tapi untuk mengutarakan saja aku tak berani, aku takut. Mungkin sebenarnya kau merasakan cintaku, mungkin kau juga menungguku untuk mengutarakanya, tapi entahlah pukat, aku tak berani, aku hanya bisa membual semata.

Kemudian,menjadi kebiasaanku, setiap kali aku belajar tentang perikanan, aku teringat akan pukat cincin, aku teringat tentangmu. Ini terjadi berkali-kali, tapi aku tak pernah cerita padamu saat kau sms atau di saat ada kesempatan bertemu, aku lebih memilih diam karena aku malu menceritakanya, aku malu kau tertawakan pukatku yang manis. Pernah kubilang seperti ini padamukan “Terkadang pemahaman setiap orang beda, menurutmu sepele, tapi aku menganggapnya serius. Aku tidak mau ketidak sepahaman kita malah menjadikan ruwet”, entah kau ingat atau tidak tentang kalimat sederhana itu, yang jelas itu kusampaikan dengan perasaan pengharapan kau mengerti perasaanku pukatku yang manis.

Hari demi hari dan pekan demi pekan berlalu, dan suatu jumat pagi aku ke kampus kuliah Komunikasi Jurnalistik di gedung Ki Hajar Dewantara lantai empat kelas 3E, saat berjalan menuju kelas aku terperangah, aku melihat sosok wanita yang manis nan cantik –itu pukatku yang manis. Aku pikir kau tak memerhatikan aku, tapi yang ada kau malah melempar senyum segar buatku, dan sungguh senyum yang dapat melumerkan gedung karena jika seluruh isi gedung melihatnya, senyuman yang dapat menghentikan seluruh aktivitas seisi gedung, aku berjalan terjingkat, sempat terasa beberapa detik aku terbius oleh senyumu yang menggoda, sungguh kau memang ahli dalam membiusku pukatku yang manis. Aku tidak punya pilihan lagi, aku mesti masuk kelas Karena aku sudah telat sekitar tujuh belas menit lamanya. Setidaknya pagi itu adalah pagi yang teramat sangat menyenangkan bagiku, terasa raga ini mendapat suntingan motivasi yang berlebih sehingga dalam perkuliahan aku merasa sangat semangat meski terkadang aku tak konsen karena berharap saat perkuliahan selesai kau masih berada di sana menungguku, harapan konyol.

Dan begitulah, harapan konyol kau menungguku di sana ternyata nihil. Kenapa juga sewaktu aku dikelas tak sms kamu dahulu untuk menungguku –betapa bodohnya aku. Saat aku sms kamupun ternyata sudah berada di kos, ya memang keberuntunganku tak berlanjut, cukup senyum segarmu tadi pagi yang telah membuat pagiku segar bersemangat.

Pasca pertemuan jumat itu, aku mulai merasa percaya diri, aku tidak merasa malu lagi padamu, senyum segarmu telah membuatku seperti memiliki semacam kekuatan adialami, entah kau punya kekuatan apa sehingga membuat diriku lebih percaya diri.
Sebuah teka-teki, pikirku, teka-teki dahsyat!
Setelah perjumpaan singkat di gedung itu, yang terbayang di hidupku adalah kamu semata, aku terus memanggil namamu –pukat.

Aku tidak akan bosan menuliskan tentangmu di kertas sederhana ini, meski itu membutuhkan waktu yang terlalu lama. Tapi aku berpikir dan bernalar dan suatu hari aku tiba pada kesimpulan berikut: kesempatan bertemu yang tak di sengaja kemarin membuat nuraniku ingin segera mengutarakan cintaku padamu, kamu tahu? Perasaan ini ngebet banget ingin berucap sayang padamu secara langsung, tapi sayangnya aku tak berani, hal tersebut hanya kulakukan lewat sms sja, kau membacanyakan –pukat yang cantik.

Ini hanyalah satu dari sekian teori dan kesimpulan yang kutuliskan dari awal sampai detik ini, tetapi terkadang aku juga berpikir bahwa keraguan kau menerima cintaku lebih besar daripada perasaan untuk segera mengutarakan cinta padamu. Aku tak perlu menjelaskan lebih detail mengapa aku menjadi tiba-tiba canggung, aku rasa kau dapat mengerti sendiri kenapa aku tiba-tiba seperti ini.

Tapi setidaknya kau mengerti pukatku! Bagaimana aku sungguh mencintaimu, banyak faktor-faktor yang membuatku tak berani, atau lebih tepatnya menjadi banci. Padahal aku tak pernah tahu ada seorang cowok yang begitu takut untuk mengutarakan cintanya, biasanya cowok kan selalu percaya diri bukan? Tapi kenapa aku tiba-tiba tak berkutik dan memikirkan seribu satu alasan untuk mengutarakan perasaanku padamu. Aku hanya punya satu tebakan pukat, jika aku mengutarakan perasaanku padamu pasti kau menolaknya dengan alasan kau lebih nyaman untuk beteman denganku, atau mungkin kau memang sudah punya pendamping yang lain yang mungkin kau sengaja sembunyikan dariku. Kupikir tebakanku ini cukup meyakinkan, dan aku bahkan bisa merasakan sejumput kecemasan mengenai kebenaran hal tersebut.

Sebagai catatan, perlu kujelaskan bahwa apa yang kukatakan tentangmu tidak saya buat-buat agar kisah ini seru. Memang ada beberapa yang tak kuungkapkan padamu karena kisah selanjutnya hanya ingin aku yang tahu dan mengerti. Aku bisa mengabaikan seluruh waktuku hanya untuk memikirkanmu pukat. Jika kuceritakan, cerita ini akan jadi sangat panjang dan berkelok-kelok. Aku sengaja menulis ini karena kertas ini adalah teman setiaku, dia setia menerima curhatanku tentangmu jikalau aku sedang memikirkanmu pukat.

Kau masih ingat saat aku bertanya bagaimana dan kapan aku bertemu kamu? Mungkin itu pertanyaan konyol, sebenarnya aku merasa sangat malu mengatakan hal tesebut padamu pukat, tapi karena aku juga lupa bagaimana kita bertemu akhirnya aku pun bertanya padamu bukan, kau ingat pukat, kau mengatakan :”makanya minum cerebrovit, seingatku waktu ospek maba 2013. Sebenarnya gak pengen kenal denganmu, tapi keadaan yang membuat kitakenal, yaudah”. Barulah saat itu terpikirkan olehku bahwa barangkali kita memang berjodoh –lagi-lagi sifat percaya diri yang berlebih mencumbuku. Hal tersebut tak bertahan lama pukat, lagi-lagi rasa pesimis datang karena kau tak membalas sms ku yang terakhir, mungkin kau sudah tertidur, ya karna jam memang sudah menunjukan dini hari, besok juga kau harus UTS bukan.

      Kau tahu pukat, karena terlalu terbayang olehmu sampai bayanganmu terbawa di mimpiku, kau datang di mimpiku dengan senyuman yang dapat membius seluruh gedung seperti pertemuan kita dulu. Dalam mimpiku, kita bergandengan tangan, kau menggenggam tanganku dengan erat dan lembut   – seolah-olah kita sedang melayang tanpa bobot di luar angkasa, kita seolah-olah telah meminum susu antarplanet dan memuat seluruh semesta di dalam hari kita berdua, kita saling melempar senyum serta bercengkrama menikmati dunia yang seperti milik kita berdua, mungkin kedengaranya agak lebay. Ya, tapi memang itulah yang kurasakan, sungguh pada saat bangun pun aku masih bisa merasakan belaian tanganmu, hangatnya bekas eratan tanganmu di tanganku masih pula bisa kurasakan.

Tapi, mestinya aku sudah tahu hal ini takan terjadi. Tentu saja, rasa cintaku padamu telah kalah oleh rasa pesimisku. Untuk apa pula aku harus bermimpi seperti itu kalau hal tersebut takan terjadi. Mungkin tulisan ini menggambarkan bahwa betapa cintaku padamu begitu besar pukat, sungguh.

      Kamu sebenarnya siapa si gadis pukat yang begitu transendental? Pertanyaan ini selalu kutanyakan kepada diriku sendiri, sosokmu telah membuatku jatuh cinta, kau adalah gadis yang penuh dengan pertanyaan, kehadiranmu adalah misteri buatku. Aku punya banyak waktu untuk memikirkan pertanyaan itu. Dan perlahan-lahan, dengan berlalunya hari-hari, aku tidak pernah kesulitan menemukan jawabanya, kau adalah wanita yang selama ini kucari, tapi pertanyaan apakah kau ditakdirkan untuk ku atau tidak itu adalah sebuah pertanyaan lain.

      Pada akhir pekan aku sering pergi ketaman baca sekedar membaca buku atau mengetik cerita pendek , sebenarnya aku berharap kau mau ikut denganku, yang aku ingin bicarakan di sini bukan tentang senang-senangnya, melainkan aku ingin bicara banyak padamu, aku ingin bertanya seribu satu pertanyaan kepadamu mengapa kau bisa membuatku terbius seperti saat ini. Tapi sayang, minggu kemarin kau menolak permintaanku karena kau sudah punya janji dengan yang lain. Hal tersebut seolah-olah membuatku pupus, kejengkelan yang kubawa ke taman baca membuat taman itu serasa penuh dengan bunga penderitaan dan hinaan, tapi mau bagaimana lagi, kalau sudah rejeki ya emang gak kemana bukan.

Sejak saat itu, aku mulai merasa tak perlu lagi mengajakmu keluar, karena memang kau pasti menolak dengan berbagai alasanmu. Tak apa, mungkin sebaiknya memang seperti itu, kau akan meringankan sakitnya perasaanku pukat, sakit karena menahan gejolak cinta ini. Cerita ini memang berbelit pukat, kuharap kau tak bingung, dan kuharap kau juga tak bosan dengan cerita-cerita putus asaku. Sebenarnya aku telah banyak mencoba untuk berfikir jernih pukat, aku mencoba mengatakan kepada diri sendiri bahwa aku tidak bisa berharap banyak padamu, kamu akan tahu alasanku yang sebenarnya mengapa dalam cerita ini dipenuhi degan rasa pesimisku. Aku selalu memikirkamu.Tidak, kau takan menerima cintaku bukan.

Pukat, kecantikanmu telah membius hidupku. Rasa pesimisku yang tinggi dikarenakan aku takut kau menolak cintaku, cintaku yang berlebih untukmu membuat terkadang cemburu buta menyerangku. Lebih baiknya kulihat dirimu yang seperti ini, entah aku sebenarnya juga bingung, apa bedanya kita berhubungan spesial dengan hal yang sedang kita lakukan saat ini. Kau membuatku semangat dalam menjalani hidup pukat, kau adalah wanita yang mempunyai senyum termanis yang pernah kutemui pukat. Aku melihatmu, aku melihatmu tertawa manis meski itu hanya bayangan semata. Di saat aku tak bisa tidur, aku sering menulis tentangmu pukat, menulis betapa indahnya bisa berdampingan denganmu.

Aku menilaimu sebagai cewek yang cuek, tegas, tak romantis dan mempunyai dedikasi yang tinggi. Mungkin anggapanku memang benar adanya. Meski kau tak menerimaku cintaku pukat, tapi aku akan selalu mencintaimu –selalu. Meski aku tak berani mengutarakan isi perasaanku padamu, tapi aku telah berani mencintaimu pukat.

Aku tak berdoa pada tuhan agar terhindar dari rasa ketakutan pukat, aku tak ingin bebas dari rasa takut. Aku ingin tetap seperti ini, mencintaimu dengan ketakutan. Semua pesimisme ini tidaklah buruk pukat, pikiranlah yang membuat menjadi semacam ini.

Catatan yang rumit dan berkelok ini segera berakhir pukat, kau takan lagi membaca suku kata yang sulit difahami, sekarang kau bebas mengomentari sebuah gugatan dari cintaku. Sekarang kau dapat meremehkan tulisan sederhanaku, atau kau bisa cuek tanpa komentar.

Aku sulit untuk mengenalmu, aku sulit memahamimu, aku sering salah beranalisis tentangmu, aku belum tahu pasti karaktermu. Hanya satu yang kutahu pukat, besarnya cintaku melebihi luasnya pandanganmu terhadapku.

Kau itu cantik, kau itu manis, kau baik pada teman-temanmu, dedikasimu tinggi, aku hanya ingin berucap, sungguh, aku hanya ingin berucap kalau aku sungguh amat sayang padamu Nanda Aulia. I love you, sungguh.

Salam manis dan hangat dariku, aku tak berharap kau faham pukat. Aku hanya ingin kau tahu, tahu kalau aku itu benar-benar mencintaimu, Nanda.

Aku sudah berusaha untuk mengedit sebaik mungkin naskah kiriman Sonson. Maafkanalah aku Son jika tak sebaik dan semaumu yang kau fikirkan. Setidaknya aku sudah berusaha. Son.

Reading Scene 08 on Cerita 08
Reading Scene 09 on Cerita 09
Bersambung ke Scene 11




Tuesday, March 15, 2016

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE 09

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE


Sumber Ilustrasi Gambar : segiempat[dot]com


*Alie Ahsan Al-Haris


Scene 09

Hari senin tiba juga. Dimana aktifitas diseluruh negara ini berjalan dengan jutaan target dan berbagai ekspetasi perkembanganya. Ada yang sukses melampaui target, tak luput pula terbuang dari persaingan bisnis.

“Selamat siang pak. Dapat aku bertemu Pak Joni wakil redaktur dikantor ini. Aku sudah buat janji dari jumat minggu lalu.” –aku bertemu pada salah seorang dibagian sumberdaya manusia kantor ini. Cukup besar, banyak lalu lalang disana-sini. Sementara ini mayoritas pegawai yang aku lihat perempuan, sibuk didepan computer masing-masing.

Joni mengahampiriku. Kita berdua langsung bergegas masuk rungan yang agak besar disamping tempatku duduk. Aku mengira ini adalah ruangan kepala bagian SDM. Benar fikirku. Joni panjang lebar menjelaskan segudang pengalamanya pada orang yang menetukan aku akan diterima tidaknya dalam kantor ini.

“Dia ini teman baiku semenjak mahasiswa. Takan rugi jika Apa Kabar Surabaya merekrutnya. Mungkin tiga bulan ini kita berinya job untuk meliput politik di Surabaya yang memang akhir-akhir ini marak karena menjelang pilkada.” –Joni berusaha meyakinkan dengan sepenuh hati. Salut sekali aku pada temanku ini, dia memang serius ingin membantuku.

Lembar perjanjian kontrak aku tanda tangani untuk kerja sampai tiga bulan kedepan. Dengan gaji satu juta lima ratus aku terima saja tanpa perlawanan. Kalau aku bandingkan dengan gaji semasa aku jadi kepala ruangan jauh beda memang. Tak apalah.

Satu hari kerja aku ditargetkan oleh kantor untuk dapat tiga konten berita. Aku rasai hal ini tak terlalu berat bagiku. Pengalamanku dulu masih membekas diluar kepala bagimana harus mencari berita yang marketeble di calon pembaca maupun untuk mengangkat perusahaan ini.

Sabtu  aku pulang ke Gresik untuk sekedar menengok rumah dan mampir ke Rosa. Kita saling bercerita bagaimana pekerjaan dikantor. Rosa merasakan tak adanya keganjilan dengan Iva. Memang Rosa rasai Iva tak mengetahui hubunganku denganya. Kalaupun tahu, bisa jadi Rosa sudah didepak tanpa hormat dari perusahaan elektronik terbesar di Indonesia tempat kita kerja.

“Kau menikmati pekerjaanmu Gas ? –Rosa menanyaiku dengan penasaran –sepertinya wajahmu tak memperlihatkan kesusahan seperti bulan lalu.”

“Sampai saat ini aku menikmatinya Ros. Aku banyak belajar dari kantor Koran itu. Dari pengalamanku dulu menjadi angggota pers mahasiswa yang secara pengalaman masih dangkal. Sekarang aku sudah belajar banyak darinya.”

“Kau tak menggoda perempuan-perempuan dikantor itu kan Gas ?” –ledeknya Rosa padaku.

“Kalau aku mau menggoda Ros. Mungkin sudah berapa perempuan yang aku kencani, tapi apalah kelakuan seperti itu. Sudah banyak sejarah kelam yang aku alami dan kubuat pelajaran.”

Surya datang dengan menenteng kantong kresek warna putih di kanan kiri tanganya.  Kemudian “Halo Gas, gimana rasanya kerja jadi wartawan ?. seru gak sich.” –sambil meletakan barang belanjaan di atas kursi bagas mengahampiriku untuk berjabat tangan dan bertanya memulai.

“Kerja itu kerja. Serunya gimana ya kau harus jadi wartawan dulu dek. Baru kau akan merasakan bagaimana indah dan mulianya memberitakan sebuah informasi pada khayalak umum.” –Surya mengamati dengan serius. Menganggap aku ini sebuah pemateri yang sedang memberikan kuliah padanya.

“Tahu jawabanya seperti itu aku takan bertanya padamu Gas. Bolehlah sekali-kali aku diliput. Nanti kau beri judul pengusaha muda dari Gresik, menantang minoritas” –dikatakanya hal tersebut seolah-olah dia sedang berada  didepan meja redaktur saja. Dia dengan gamblang menceritakan apa yang harus aku tulis nanti saat aku jadi meliputnya.

“Kau ini ngapain nak. Bagas itu baru saja kerja di sana, setidaknya dalam kontraknya habis untuk tiga bulan kedepan dia harus mencari berita-berita bermutu. Bukan malah memberitakan warung-warung tendamu yang menjamur di Gresik dan Surabaya nak.” –Rosa memotong pembicaraan Surya denganku yang sedari tadi semangat-semangatnya.

Selepas maghrib aku diajak Surya keliling mengontrol warung-warung tenda di sekitar Gresik kota baru. Sebagai anak muda, Surya terbilang sukses dengan usaha yang dia jalani hampir tujuh tahun ini. Pemilik warung tenda sebanyak tiga puluh tiga buah yang tersebar di Gresik dan Surabaya. Selain itu Surya juga aktif bisnis online menjual berbagai produk kesenian dan buku-buku dari yang terbilang langka sampai diobral murah. Apalagi. Usaha-usaha diluar sana juga masih banyak, pantas saja keluarga ini dipandang dilingkunganya.

Kami berdua makan disalah satu warung tendanya. Terlihat ramai memang. Menu yang disajikan juga banyak varian, mulai dari ayam, bebek, rajungan sampai kelinci ada. Pelanggan tinggal pilih mau makan apa tanpa repot harus merogoh kocek dalam-dalam.

Tak lama kemudian kami berdua pulang. Surya menawarkan aku untuk menginap  dirumahnya. Aku menolak secara halus dengan alasan rumahku yang telah kutinggal beberapa hari pastinya akan banyak debu disana-sini. Surya tetap memaksa. Mungkin ada hal yang ingin dia bicarakan lagi –fikirku –aku loloskan permintaanya untuk menginap.

Rosa masih terjaga. Dia sibuk membaca buku dengan membiarkan tayangan tv yang sekarang gantian menontonya. Kami saling tukar pandang dengan Rosa. Dia memakai kaca mata baca. “Kau baca apa Ros ?.” –tanyaku memulai padanya. Lama ia terdiam, kemudian “Entah mengapa penulis ini begitu suka membuat para tokohnya hidup dalam keserdahanaan. Bukan hanya itu Gas –Rosa sekarang menguliahiku –sudah empat karanganya aku baca dan setting ceritanya sebelas dua belas dengan buku ini. Yang ditonjolkan pasti kesusahan semua. Serasa dia memang sengaja untuk membuat para pembacanya putus asa dengan hidup Gas. Pasrah tak berusaha.” –kali ini aku melihat Rosa menjadi kritikus sebuah karya. Bacaanya memang tak kuragukan lagi. Hal ini terlihat dari banyaknya buku yang dia koleksi. Terlebih mayoritas adalah sastra dan sejarah –“Itu kan gila Gas. Apa dia tak berfikir kalau tulisanya dibaca khayalak umum.”

“Yang lucu itu kamu Ros” –wajahnya menatap tajam melihatku. Kerut alisnya seakan macam busur panah yang ditarik menuju sasaran tembak menukik kebawah –“sudah tahu karya-karyanya takan jauh beda dengan karya sebelumnya, mengapa kau baca juga.”

Rosa diam melanjutkan bacaanya. Aku berdiri menuju rak-rak buku yang berada dibelakang Rosa. Kuamati judul-judulnya. Aku amati cover dan jenis kertasnya. Buku sebanyak ini, mungkin ada delapan ratusan buku. Dengan berbagai judul. Asli Indonesia maupun terjemahan dengan kualitas kertas bagus tanpa aku temui satu bukupun yang bajakan.

“Kau Gas. Jangan sekali-kali menulis seperti dia. Kau harus fahami bahwa tulisanmu dibaca orang banyak. Kau memiliki pembaca. Menulislah dengan hati, editlah dengan otak. Boleh sekali-kali kau dengan jujur menulis menurut apa yang hatimu rasakan. Tapi jangan seperti penulis ini. Menggelikan.”

Aku dengarkan nasihat Rosa. Masih kupilih-pilih buku yang sekiranya cocok untuk aku baca. “Gas … gas … mengapa kau diam saja. Apakah kau masih membela penulis ini.” –Rosa masih menunggu tanggapanku. Pernyataanya menurutku tak perlu untuk aku tanggapi, bukankah itu tergantung maksut hati penulis mau bicara apa lewat karyanya.

“Maaf Ros. Aku tahu bacaanmu sudah beribu buku. Pengetahuanmu akan tulisan dan sastra tak kalah jauh dengan para penulis buku itu sendiri. Namun kau perlu tahu. Sastra adalah salah satu bentuk seni. Sastra datang untuk jadi pelengkap hidup. Sastra datang menjadi penyeimbang diantara ketidakseimbangan hidup, pendapat dan pandangan Ros. Mengapa hal seperti itu harus kau tanyakan padaku Ros. Pastinya kau tahu sendiri.”

Keesokan harinya aku pulang kerumah. Satu minggu aku tinggal debu sudah mulai mewujudkan dirinya diantara perabot dan buku-buku yang tak sempat aku tata rapi dan pindahkan.   Kau ini memang seperti kemalasan. Terlena sedikit saja dengan cepatnya kau suramkan pandangan ini. Aku bersihkan debu-debu yang entah terbang darimana. Setidaknya aku harus bergegas. Aku berencana bermalam di Surabaya. Di kamar sewaanku.

Senin kembali menghampiri. Aku ke kantor untuk absen terlebih dahulu. Kulihat batang hidung Joni belum kelihatan. Ruang redaksi juga masih sepi. Sepertinya mengasyikan kerja dalam kantor, tak terbakar sinar matahari. Duduk santai ditemani kopi dan musik yang kerjaanya hanya edit-editing naskah saja. Fikiran itu segera aku buang jauh-jauh. Ingat !! kau ini masih masa training, jadi jangan macam-macam. Aku nasehati diri sendiri.

Aku telah selesaikan masa kontrak tiga bulan. Dengan rasa syukur dan bahagia aku panjatkan ke Tuhan yang Maha Besar atas segala karunianya. Orang pertama yang kuhampiri adalah Joni. Sengaja aku konsultasi denganya terkait karierku kedepan dikantor ini. Lama kita saling bertukar fikiran, aku ceritakan bagaimana pengalaman tiga bulan ini yang benar-benar membentuk mental dan kepribadianku.

“Bagus Gas. Kau tak pernah sekalipun menciderai garansiku dengan orang manapun. Aku sangat bangga padamu. Ayo saya temani kau kebagian SDM. Barangkai disana kita dapat diskusi kecil dengan kepalanya.” –Joni ikut bahagia atas capaian pribadiku selama masa training ini. Tapi hal ini dapat berbeda lagi menurut penilaian bagian SDM.

Kami berdua bersama Joni bicara banyak hal dengan kepala SDM. Yang kutunggu-tunggu akhirnya datang juga. Bukanlah hasil kerja atau pujian dari kepala bagian. Namun jenjang karierku. Aku ditempatkan diruang redaksi. Aku dberikan tanggung jawab untuk mengisi kolom Opinion Society. Atau bisa disebut orang dengan pendapat para masyarakat.  

Aku kabarkan hal baik ini ke Ibu dirumah, Tante Dina dan Rosa. Aku ceritakan bagaimana awal mula masa trainingku sampai ruang redaksi. Tanggapan dari mereka bertiga luar biasa berkenan. Terutama ibu. Sosok perempuan yang telah mendidiku untuk bekerja keras setidaknya aku coba jawab mulai hari ini.

Terhitung aku sudah berhak mengelola redaksi sepuluh hari pasca kepala SDM bicara padaku secara langsung. Sebelum benar-benar terjun, aku baca-baca Koran-koran terbitan Apa Kabar Surabaya sampai satu bulan kebelakang. Ternyata triknya cukup mudah. Tinggal pasang pengumuman pada setiap Koran yang naik cetak, sedikit diberi informasi persyaratan atau tema dan naik cetak. Segampang itukah –fikirku.

Email yang masuk pertama kali datang dari penulis yang hanya ingin dipanggil dengan nama Sonson. Sebelum aku unduh naskahnya, aku baca jelas-jelas dan cermat deskripsi yang dia tuliskan. Kalau aku tulis ulang deskripsinya maka kurang lebih seperti ini.

“Teriring salam dan Do’a bagi Redaksi Apa Kabar Surabaya. Perkenalkan saya Sonson. Cukup singkat dan mudah diingat. Saya bermaksud untuk menawarkan naskah saya ini kepada team redaksi untuk nantinya di publish dalam Koran Apa Kabar Surabaya. Penulis sadari naskah ini akan menyalahi kebiasaan dari Apa Kabar Surabaya  yang biasa menampilkan opini-opini bermutu dan berkualitas yang memang sangat layak dibaca oleh para masyarakat. Namun sekali lagi, saya harap team redaksi Apa Kabar Surabaya membacanya terlebih dahulu. Kalaupun tak dapat terbit, setidaknya karyaku sudah dibaca oleh orang lain selain penulis sendiri.”

Tulisan dari Sonson kurang lebih seperti itu. Aku sadari deskripsinya sangat bagus untuk sekedar meyakinkan orang yang membacanya. Tapi apakah kualitas tulisanya akan sama dengan naskah yang dia kirim ke emai redaksi. Aku juga tak tahu.

Ada dua puluh tuhuh email masuk menganteri untuk dibaca dan naik cetak. Aku cek kesemuanya terlebih dahulu namun tak ada yang cocok untuk senin ini naik cetak. Iseng aku unduh naskahnya Sonson. Dia beri judul PUKAT CINTA. Aku sempat tertawa membaca judulnya. Sepertinya Sonson ingin Apa Kabar Surabaya menerbitkan cerpennya.

Naskah kiriman Sonson berkutat pada percintaan. Pencarian cinta. Cinta yang tak bertepi dan berujung. Kasihan sekali penulis ini. Aku pastikan Son. Naskahmu akan terbit senin esok. Tunggu saja. Kau menunggu kabar. Begitupun aku, ini perjudian besar bagiku. Tanggung jawab pertama sebagai pemegang kendali redaktur opini masyarakat. Yang ada aku malah menerbitkan kolosal percintaanmu dengan perempuan yang aku juga tak tahu secantik apa.

Beruntung mana. Naskahmu dibaca orang banyak. Atau malah aku yang ditendang dari kantor ini hanya karena naskah konyolmu.

Reading Scene 07 on Cerita 07
Reading Scene 08 on Cerita 08

Bersambung ke Scene 10


Sunday, March 13, 2016

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE

*Alie Ahsan Al-Haris


Sumber ilustrasi gambar : segiempat[dot]com


Scene 08

Aku laksanakan saran Rosa untuk memangkas rambut dan merapikan kumisku. Berharap saja dengan aku mencukurnya dapat mudah mencari kerja. Meski aku tahu hal itu tak ada hubunganya sama sekali. Mana ada zaman sekarang mencari kerja hanya bermodal tampan dan rapi. Dunia apa itu. Memang ada ya.

Salon langganan depan perumahan kumasuki. Dapat dibilang ini adalah salonya para perempuan. Aku tahu karena banyaknya perempuan yang memakai jasa salon ini hanya untuk sekdar keramas ataupun perawatan. Namun aku berfikiran lain, aku lihat didepan tak ada petunjuk bahwa salon ini khusus perempuan. Tak salah jika aku pakai jasa salon ini untuk merapikan style rambutku. Hasilnya juga bagus, meski aku jarang kesalon dan berdandan. Setidaknya aku dapat mengapresiasi kerja para pegawainya.

Lepas dari salon aku temui Rinjani. Dia seorang lelaki ulet dan dikenal dengan pergaulan serta kelakuan yang baik semenjak kita mahasiswa dulu. Pemilik nama singkat Joni. Tak terlalu tinggi, kisaran seratus enam puluh lima namun bertubuh gempal. Kalau orang melihatnya akan mengira anak ini China Jowo. Ya, kulitnya yang putih banyak orang mengira temanku ini keturunan china namun bermuka jawa. Aku berniat untuk sekedar ngopi dan mencari lowongan kerja ke dia. Karena memang Joni rumahnya berdekatan dengan rumahku di Gresik, sekalian saja aku samperi.

Semenjak mahasiswa dulu kita aktif di pers kampus. Tak banyak pengalaman memang. Berita-berita yang kita publis mayoritas berkutat seputar polemik kampus dengan kegaduhanya yang tak kunjung usai. Ribut golongan sana sini tanpa kelihatan titik temunya. Liputan-liputan kita juga tak patut dibilang liputan berkualitas, hanya bermodal kertas sisa catatan kuliah dan bolpoin tanpa adanya kamera bahkan perekam suara sudah menjadikan kita berdua bak wartawan professional. Lucu memang kalau aku ingat hal itu.

Tuhan memang takan jauh-jauh memberikan rezeki ke hambanya. Temanku Joni ini yang lebih serius di pers mahasiswa, sekarang menjadi wakil redaktur Koran Apa Kabar Surabaya yang naik cetak setiap hari. Sekelas dan seumuran denganku sudah menjadi wakil redaktur. Luar biasa sekali.

Pertemuan nanti sore aku hendak menawarkan diri kepada Joni agar diterima menjadi wartawan dikantornya. Masalah skill aku masih ingat dan faham diluar kepala. Yang akan membedakan dengan nanti kalau aku diterima adalah teknis lapangnya saja, terlebih kalau berita itu naik cetak dan ada nama peliput berita. Namaku.

Tepat jam empat sore aku gas sepeda motorku ke salah satu coffe di kawasan kota baru Gresik. Aku datang duluan di cofffe tersebut, aku cek handphone tak ada notifikasi sama sekali. Aku pesan kopi susu hitam ke kasir, tolah-toleh mana tempat duduk yang sekitranya cocok buat ngobrol santai aku cari. Tepat, ada tempat duduk diujung lurus kanan kasir dekat dengan aquarium berisi ikan mas. Aku seduh kopi dan kuhisap rokok, kepulan asap rokok kubuat mainan sembar-sembur kanan kiriku. Tak peduli orang-orang pada melihatku, jelas-jelas aku sedang menikmati soreku, kalian dilarang sewot.

Empat batang rokok sudah tertancap dalam asbak, serasa teriak kepala merahnya karena aku tusuk-tusukan sampai mati. Dalam mainanku pada rokok dan asbak terlihat Joni memarkir sepeda motornya tepat disamping motorku. Ia copot helmnya. Dia sekarang memakai kacamata, tampak beda memang. Kalau teman-teman mahasiswaku melihatnya, tak salah kalau akan mengamini anak ini benar-benar china jawa, ditambah dengan kacamata yang dipakainya ini.

Joni lambaikan tanganya didepan kasir. Aku berikan dia tanda bogem, itu berarti aku terlalu lama menunggunya. Jalanya masih seperti dulu, tegap dengan kepala agak diangkat keatas sedikit. Seperti orang mau berkelahi. Itu memang cirri khasnya.

“Haloo vrooh, gimana kabarnya nich pak manajer ?. tambah sehat aja nich, gajinya naik terus tuch.” –Joni memulai sambil meletakan tas hitamnya kesamping kursi yang ia duduki.

“Allhamdulillah bagus Jon. Lama bener kau, uda jadi wakil direktur aja telat gini. Sibuk banget ya ?.” –aku menimpali Joni.

Obrolan awal kami banyak cerita tentang kenangan lama semasa kuliah dulu, tak terasa sudah kangen aku sama teman-teman yang sekarang entah kerja apa. Temanku ini ternyata sudah selesai kuliah S2 ambil jurusan Komunikasi Politik di salah satu universitas negeri di Surabaya.

“Kurangajar. Diam-diam kau lanjut sekolah lagi ya Jon. Ngimpi apa kamu bisa seserius itu mengejar gelar.” –aku meledek Joni yang meringis-meringis melihatku sambil menyeduh kopinya.

“Bukan masalah gelar Gas. Aku baru sadar saat kerja gini Gas.”

“Emang sadar apanya Jon ?. Sadar kalau dulu kulaih gak pernah serius ya.” –ledeku pada Joni. Kita berdua tertawa terbahak-bahak. Meja depan kita sampai-sampai melirik kita berdua karena heran melihat candaan kita.

“Itu betul Gas. Namun bukan hanya itu –Joni mulai nampak serius menjawab –kau tahu kita dulu jadi anank pers kerjaanya kalau gak ngeliput demonya anak-anak, pasti ngeliput bentrok eksak versus sosial. Masih ingat waktu Angga ketua pers kita dipukuli anak mesin gara-gara memberitakan pemukulan mahasiswa mesin ke teknik sipil terlalu jujur. Dan kau pasti ingat juga saat sekretariat kita dilempar batu surat kaleng gara-gara ngeliput ospek jurusan anak pertanian yang terkenal sadis –aku mencoba mengingat-ingat kejadian yang Joni utarakan. Entah kenapa pembicaraan ini membakar sentimentalku terhadap para pejabat kampusku dulu. Joni melanjutkan –hanya karena meliputnya. Meliputnya Gas, belum sampai naik cetak.”

“Iya Jon. Aku ingat dengan semua kejadian itu. Menakutkan memang, kita beruntung karena mengalami langsung momen itu.” –Joni menghisap terus rokonya, dia perokok akut sepertiku. Namun aku tak separah dia, kalau satu bungkus dapat aku pakai dua hari. Lain pada Joni, satu hari dia dapat menghabiskan tiga bungkus rokok. Aku sadari itu, pemikir memang identik dengan rokok dan kopi. Dan kita dulu mengalami hal tersebut.

“Aku lanjut kuliah karena semua kejadian dulu dan saat aku kerja Gas. Kalau dulu musuhku adalah seniorku, para dosen dan pejabat rektorat. Sekarang musuhku para politikus, pejabat daerah sampai mafia Gas. Aku tak boleh buta hukum, aku tak boleh kalang kabut dalam framing berita Gas. Dunia ini sudah semakin gila, dan kita harus ikut gila juga Gas. Kau tahu itu, aku dan kau adalah generasi Gila.” –cerocohnya semakin membuatku bingung, lama tak bertemu Joni menjadi pribadi yang meletup-letup dan mudah sekali dalam berargumen.

“Terlebih lagi sekarang posisiku wakil redaktur Gas.  Kau kan tahu juga Gas kalau berita sudah naik cetak lalu ada masalah yang dicari bukan wartawanya, tapi aku Gas. Ya, teman lamamu ini bertanggung jawab atas itu semua Gas.” –kali ini beda. Joni terlihat bersombong atas capaian dirinya, bagus sekali. Ancaman besar dia utarakan padaku dengan segala resikonya yang akhirnya ditutup kalau bukan dia siapa lagi. Kau memang tambah gila Jon. Terlebih gaya bicaramu.

“Maaf Jon. Bukan bermaksut memotong romantisme masalalu kita  dengan segala pengalaman gila yang pernah kita lalui berdua. Aku mau minta tolong ke kamu Jon.” –aku sengaja memotong pembicaraan Joni. Dalam hati memang menyesal, takut membuyarkan kesenangan batinya yang lama telah kita pendam bersama-sama.

“Oke Gas. So, ada apa ini. Mungkin ada yang bisa aku bantu. Kalau mampu pasti aku bantu Gas. Jangan kau meragukan aku.” –aku senang saat Joni mau menanggapiku dengan serius.

“Pertama jangan kau sekali-kali tanyakan mengapa aku meminta tolong ke kamu Jon –dia mengangguk terheran-heran –aku butuh kerjaan dengan cepat Jon. Setidaknya sesuai passion ku dengan dunia kita Jon. Dunia journalistic.”

Joni terlihat mau bicara. Mulutnya terangkat seakan mau mengeluarkan segala perttanyaan yang ada diotaknya, kemudian “Stop Jon. Kau harus hargai permintaanku tadi untuk tidak menanyakan mengapa aku butuh pekerjaan.” –dia terdiam seakan menyesali responku.

Kami lama terdiam, aku nikmati kopi dan rokoku. Begitupun Joni, dia seduh rokok nya sambil membuka tas hitam yang dia bawa. Terlihat secarik kertas terhambar di atas meja kita. Dan “Mulai senin besok kau dapat ke kantor, temui aku setelah makan siang. Akan aku perkenalkan kau dengan bagian sumberdaya manusia. Aku rasa kau akan betah disana.” –jawaban Joni membuatku lega. Setidaknya ada pekerjaan untuku menyambung nyawa.

***

Rumah Rosa nampak sepi dari luar, tak terlihat Giman lalu lalang seperti biasanya. Terpaksa aku buka gerbang sendiri. Motor kuparkir di halaman belakang. Benar saja, rumah ini terasa tak ada penghuninya. Aku panggil-panggil Surya dan Giman tak ada jawaban menyusul. Ruang santai menjadi tempat tujuanku, kupilih buku-buku koleksi Rosa. Tepat, ternyata dia punya koleksi buku sastrawan favoritku. Kesibukanku membaca melupakanku bahwa dari tadi Rosa ada dibelakangku.

“Mengagetkan saja kau ini Ros. Darimana saja kok dipanggil gak ada suaranya, rumah sepi begini. Pintu gerbang tak terkuci. Jangan salah jika ada maling bertamu Ros.” –kesalku padanya.

“Hahaha –Rosa tertawa meledek –aku dari depan Gas. Aku tahu kalau tadi kau masuk, memang sengaja aku diam. Lagi ada perlu milah-milah dokumen biar nanti dikantor gak ribet dengan seabrek kerjaan Gas.” –aku jadi teringat pemecatanku. Kesalku pada Iva tak dapat aku maafkan, terlepas apakah memang dia dalang dibalik ini semua atau tidak. Yang jelas praduga tak bersalahku ada kalanya benar.

“Kapan mulai masuk lagi Ros ? –tanyaku padanya. Kali ini dia terlihat seperti dulu. Sehat, ceria dengan setiap bicaranya selalu diiringi senyum manja dan barisan gigi kecil berbaris putih. Syukurlah Rosa sudah sehat, aku turut senang.

“Mungkin senin sudah masuk Gas.”

“Sama donk, aku senin akan wawancara di media cetak apa kabar Surabaya Ros –Rosa terlihat menahan tawanya, matanya hilang ditelan senyum manisnya. Dia tutup mulutnya yang terbuka lebar seakan tawanya tak lagi dapat dibendung –setidaknya aku dapat menyambung hidup lagi.”

‘Kau serius kerja di media itu Gas ? –tanyanya tak percaya sambil menahan tawanya –bukankah itu media terkenal Gas. Emang kau ada basic menulis.”

Akhirnya aku ceritakan panjang lebar padanya bagaimana aku mahasiswa dulu. Joni juga tak luput aku sampaikan bagaimana peranya dalam menemaniku berproses di pers mahasiswa dulu pada Rosa. Terlihat dia sangat fokus mendengarkan ceritaku. Kefokusanya menambah daya tariknya, sungguh manis sekali perempuan ini. Rosa  terpendam dalam anganya, sekali-kali dia kerutkan keningnya saat aku bercerita tentang gesekan antara pers dan mahasiswa. Dia menghela nafasnya naik turun sesuai irama ceritaku. Helaan nafasnya semakin panjang sehingga buah dadanya terangkat keatas saat aku cerita pernah digebuki senior mahasiswa pertanian saat ospek jurusanya aku liput dengan Joni. Kau sungguh anggun Ros. Menganggumkan.

“Ternyata kau punya pengalaman yang menganggumkan ya Gas. Salut aku.” –Rosa memujiku dengan anggukan kepala dan tatapan mukanya yang aduhai.

“Jangan pernah kau lupakan keluarga ini. Jika  pekerjaanmu lenggang, mampirlah dan jenguklah adik-adikmu Gas.” –harapanya padaku seakan aku akan meninggalkanya saja.

“Mana mungkin aku  melupakan keluarga sebaik ini Ros. Kau sudah aku anggap sosok ibuku sendiri, kekasih, pasangan hidup bahkan mentorku.” –Rosa tersipu malu saat aku bilang sudah menganggapnya kekasihku sendiri. Padahal aku masih bocah kemarin.

“Bagas … bagas … kau memang jagonya gombal.”  -Rosa menimpali

Reading Scene 06 on Cerita 06
Reading Scene 07 on Cerita 07
Bersambung ke Scene 09


Saturday, March 12, 2016

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE

*Alie Ahsan Al-Haris


Sumber Gambar Ilustrasi : segiempat[dot]com


Scene 07

            … … … … … … … … … … … … … … … …
“Tolong aku Gas.” –Rosa memang hendak turun dari ranjang, mungkin untuk sekedar jalan-jaalan melepas rasa pegal di punggungnya. Ia ulurkan kedua tanganya padaku.

“Oh Rosa, mengapa tiba-tiba kau begitu ringkih seperti ini, mana kekuatanmu yang kemarin-kemarin. Kau kelihatan tua Ros.”

“Bagimana tak kelihatan tua, aku sudah punya anak tiga, dan sekarang tambah satu anak lagi. Kau. Gas.” –Rosa tak melirik saat ia utarakan hal tersebut. Nampak pipinya kemerahan saat bilang aku menjadi anak keempatnya. Toh memang aku ini pantas menjadi anak Rosa, mengingat umurku dengan Surya yang tak jauh beda.

“Biarkanlah aku duduk disofa bersamamu Gas. Tuntun aku, kepalaku pusing kalau berdiri terlalu lama. Panggilkan perawat untuk datang kesini Gas.” –aku melaksanakan apa yang Rosa minta. Setelah aku dudukan dia di sofa, kedua kakinya ia taruh diatas meja. Terlihat sejajar dan lesu.

Perawat datang dengan membawa buku besar. Dalam kalunganya terdapat kain yang melilit lehernya. Entah itu apa. Fikirku itu hiasan namun gagal faham. Tak cocok sama sekali ia kenakan.

“Tentu saja, bu Rosa  –perawat itu ternyata dari tadi dialoq dengan Rosa –kalau ibu dalam dua hari kedepan mau istirahat total dan sedikit megurangi jam berkunjug para tamu maka akan dengan cepat pula ibu akan pulang”.

Kurangajar, ternyata aku ini dianggap mengganggu istirahatnya Rosa. Perawat ini tak tahu kalau dari awal Rosa dirawat tak ada tamu lain selain aku.

“Baik bu. Saya tinggal dulu. Kalau ada perlu lagi bisa pergunakan telfon  yang ada disamping ranjang –perawat tersebut berpamitan pada Rosa –selamat siang.”

Benar saja, perawat itu hanya berpamitan pada Rosa. Dia tak mengindahkan aku sama sekali yang sedari tadi berada disamping Rosa. Kurangajar.

“Hahahaha … kau ini dikira pengganggu atau apa ya Gas. Sampai-sampai perawatnya malas melirik kau, apalagi menyapa. Aduch Gas gas, kasihan sekali nasibmu ini. Cobalah kau pangkas rambutmu itu, sedikit juga kau rapikan jenggot dan kumismu. Aku yakin para wanita akan lebih tertarik melihatmu.” –Rosa tertawa melihat tingkah perawat yang mencuekan aku. Aku fikir arahan Rosa agar aku merapikan rambut, jenggot sama kumis bagus juga untuk dilaksanakan. Hahaha –kekehku.

***

            Selepas kejadian dikantor. Iva tak berolok lagi, apalagi mencari diriku. Aku kelelahan setelah dari kantor langsung ke Rumah Sakit. Dan  sekarang aku menikmati waktu kesendirianku di teras rumah. Aku seduh kopi susu panas dan kuhisap batang per batang terus sampai dada ini sesak terlalu banyak asap rokok yang masuk.

            Kau memang perempuan gila Va. Senekat itu kau meminta benihku. Apa nanti kata orang kalau hal itu benar terjadi.

            Tak terasa suara adzan subuh bersaut-sautan. Aku sadari diriku tertidur di kursi ruang tamu. Lengan ini sakit sekali saat aku gerakan. Aku coba pejamkan mata, namun aku sadari dingin tak kuasa aku rasakan.

            Selepas  Shalat subuh aku lanjutkan aktifitas lain sampai menjelang berangkat ke kantor.  Aku sengaja berangkat agak pagi agar terhindar macetnya Gresik yang luar biasa binalnya.

            Aku masuk ruangan. Terlihat rapi bersih habis dibersihkan oleh cleaning service kantor. Pekerjaan ini berlalu seperti biasa, tanpa ada job baru, masalah baru ataupun target baru. Jam istirahat aku lalui seperti kemarin, ke kantin minum kopi dan menghabiskan beberapa batang rokok yang aku bawa dari rumah. Sisa jam istirahat yang sebentar lagi habis aku pergunakan untuk shalat.

            Selepas shalat aku langsung menuju ke ruangan. aku lirik-lirik terus dari tadi tak muncul batang hidungnya Iva. Kemana orang ini. Biasanya dia suka sekali mondar mandir dari ruang depan sampai gudang. Mungkin dia malu bertemu denganku, fikir sederhana ku saja.

            Aku nyalakan TV flaat fasilitas kantor sambil memilah-milah dokumen project baru. Aku amati proposal-propsal dari para konsultan yang berencana membangun pabrik baru kami di Banyuwangi mengingat pangsa pasar didaerah Indonesia timur dari tahun ketahun mulai menggeliat. Ada lebih dari duapuluh konsultan yang tertarik dengan pengembangan pabrik baru kita. Memang aku yang berhak meloloskan siapa saja yang mendapatkan tender ini. Tak salah jika awal dan akhir project aku selalu dapat uang pelicin yang terhitung lumayan banyak.

            Saat aku taruh proposal yang selesai aku baca di samping meja. Terlihat ada surat yang ditunjukan padaku. Aku biarkan saja karena aku sedang fokus membaca proposal satu persatu –mungkin itu undangan meeting untuk para kepala bagian –yang sedari tadi memang aku sudah peggang.          

            Saat aku ada waktu untuk membaca surat tersebut. Ternyata itu bukanlah surat undangan meeting para kepala bagian diperusahaan ini. Aku tak kuasa membaca surat tersebut. Apakah ini memang benar adanya. Mengapa. Mengapa surat ini yang datang. Kepalaku terkulai lemas. Tanpa daya serasa ambruk menghantam meja kerja. Aku tak percaya hal ini.

            Aku dipecat dari perusahaan. Iya. Memang benar apa yang surat ini sampaikan. Namun apa yang membuatku dipecat ?. kinerjaku selama ini menunjukan hasil yang baik, aku tak menggelapkan dana atau bermasalah dengan  orang diperusahaan ini. Fikiran kacauku tiba-tiba membimbingku perlahan-lahan pada suatu titik dimana Iva adalah dalang dibalik semua ini. Yap, tepat sekali. Aku tak tahu terlepas kesimpulanku ini benar adanya atau malah salah kaprah. Aku jadi takut sendiri kalau-kalau Iva bercerita kesuaminya aku pernah seranjang denganya. Namun aku rasa hal itu takan mungkin, kalau memang Iva berani bilang hal itu kesuaminya. Bukan aku saja yang terlempar dari perusahaan ini, bisa jadi Iva akan juga terlempar dari Rumah dan perusahaan suaminya.

            Fikiranku melayang-layang entah kemana. Meski dipecat sambil diberi pesangon. Tetap saja aku tak kuasa menahan kesedihan dan amarah. Aku rasa ini adalah hal sepele kalau memang benar Iva adalah dalang dibalik ini semua. Hanya karena aku tak mau menolongya maka dia dengan sesukanya membuang aku. Sungguh keterlaluan.

            Aku kemasi barang-barang pribadiku yang tertinggal dikantor. Tak cukup banyak memang. Bergegas aku berjalan meninggalkan ruangan yang tak lebih dari enam bulan aku tempati hasil jadi gundiknya Iva. Berjalan aku sampai bagian keuangan. Kuserahkan surat pemecatan itu dengan mimik muka merah padam tak kuasa ingin memukul siapa saja yang berani bertanya alasan mengapa aku dipecat dari perusahaan.

            Setelah aku cairkan pesangon. Aku pulang kerumah naik taxi. Memang mobil yang selama ini aku bawa adalah mobil kantor, tak pantas dan tak sudi aku mengendarainya.

            Pintu rumahku yang tak bersalah aku banting dengan keras. Terserah tetangga mendengarnya. Aku sangat kesal. Sekarang masalah datang lagi. Ya, pemecatan dan pengangguran.

            Tak terasa aku tertidur pulas. Jam tangan semasa kuliah dulu berjalan lambat menuju angka tujuh malam. Aku lupa kalau sore ini aku harus menjenguk Rosa. Bergegas aku mandi dan makan, cacing dalam perut ini sudah mengutuk untuk segera diberikan secercah makanan yang mungkin sejenak akan membuat mereka diam.

            Rosa menyambut kedatanganku dengan riang. Dia mengira kau takan datang. Sengaja memang aku tak bercerita tentang kejadianku dikantor. Aku khawatir membebani fikiranya. Saat dia riang bicara aku jadi berfikir apakah Rosa juga ikut dipecat dari perusahaan. Sebuah hal yang mungkin terjadi juga padanya.

            Aku sengaja menginap di Rumah Sakit. Rosa mengizinkan, bahkan memang berharap aku menungguinya. Giman yang dari tadi datang sibuk nonton acara lawak di televise ruang tunggu. Kali ini Surya dan adiknya tak kelihatan. Mungkin Rosa sudah mengabarinya kalau tak perlu ke Rumah Sakit.

            Saat Rosa tertidur. Aku keluar untuk menghubungi Dina. Sengaja aku mau bercerita tentang kejadianku dikantor. Entah kenapa kalau masalah yang mengoyak batin aku lebih percaya bercerita ke Dina. Aku ceritakan semua runtutan kejadian dari awal sampai akhir. Dia menanggapi layaknya seorang ibu melihat anaknya terlibat kesusahan. Aku dengar nada suaranya berat menangis. Betapa sedihnya Dina. Salahkan aku jika mengabari hal ini kepadanya. Kedekatanku denganya yang sejak lama telah membentuk suatu ikatan batin layaknya pasangan hidup. Beruntung aku telah mengenalnya.

            Dina menyarankanku untuk pulang kerumah saja. Dia menawariku pekerjaan mengepalai bisnis propertinya. Sekedar untuk obat kegalauan karena telah dipecat tanpa kejelasan dan meniti karier kembali tanpa harus pusing kerja apa. Aku sangat berterimakasih pada tawaran Dina. Namun aku belum siap memberikanya jawaban, ketidaksiapanku juga tak beralasan karena aku juga belum punya kerjaan yang jelas.

            Esok harinya Rosa sudah diizinkan pulang. Surya mengurus administrasi Rumah Sakit. Sedangkan adiknya, Ferdi. Menyetir mobil. Kami tiba dirumah. Giman sudah mempersiapkan semuanya. Cengkrama keluarga ini terasa sekali, saling melindungi dan peduli satu dengan lainya. Anak kepada ibu, kakak kepada adiknya dan ibu kepada anak-anaknya. Aku ikut merasakan senang. Memori terpecat dari pekerjaan serasa hilang tak aku fikirkan.

            “Aku perhatikan dari kemarin kau murung saja Gas. Apa yang sebenarnya kau fikirkan ? Maukah kau bercerita. Setidaknya beban difikiranmu akan sedikit terurai.” –Rosa memulai. Nampaknya dia telah mengetahui gelagatku yang dari kemarin menahan kapal karam dengan segudang permasalahan.

            “Apakah wajahku menceritakan sebuah kesusahan Ros ? –tanyaku padanya menjawab –aku sedang memikirkan kesembuhanmu Ros. Aku kangen dengan energimu kemarin yang meletup-meletup seakan menginspirasi setiap orang yang ada didekatmu.

            “Kau tak usah bohongi aku Gas. Harusnya kau sadar siapa lawan bicaramu. Aku adalah ibu beranak tiga. Sudah duapuluh tujuh tahun berumah tangga meskipun akhirnya kandas. Seorang perempuan paruh baya yang kerier pekerjaanya bertemu dengan banyak client dengan berbagai karakternya. Terutama laki-laki. Dusta sekali kau bohongi aku.” –aku tersadar kalau Rosa adalah perempuan yang tak dapat dianggap remeh. Teringat jelas saat dia mencercaku di Lamongan.

            “Maafkan aku sa. Aku hanya tak ingin menambah beban fikiranmu. Mulai dari detik ini. Kau tak perlu memanggil aku Bapak Bagas Bahiscara Gatra saat urusan  perusahaan. Karena memang mulai detik ini pula aku sudah tak bekerja disana. Ya, aku dipecat. Aku dipecat tanpa alasan yang jelas.” –aku mengatakanya sambil tertunduk lesu dan malu. Aku tak kuasa mengangkat kepalaku ke atas, yang kupandangi hanya lantai warna putih ruang santai di rumah Rosa.

            Aku tak tahu ekspresi Rosa bagaimana saat mendengar ceritaku. Mungkin dia juga berfikiran kalau dirinya dipecat, atau bahkan ikut menyertai kesedihanku. Yang jelas aku masih tak berani mengangkat kepalaku. Kepalaku hanya tertunduk melihat lantai dan kolong-kolong meja. Betapa sedihnya Rosa. Keberadaanku malah menambah kesedihanya, tak patut aku bercerita ini padanya.

            “Nasib apa yang menimpamu Gas –Rosa memulai setelah lama kita berdua terdiam –kau yang sabar ya Gas. Sekarang apa yang kau rencanakan. Kamu masih muda, masih banyak kesempatan yang lebih bagus untukmu. Daripada bekerja diperusahaan yang membuatmu terjerumus dalam kemaksiatan perselingkuhan itu.” –pernyataan Rosa yang terakhir membuatku sadar kalau Rosa sudah tahu mengapa aku dipecat dari perusahaan.

            “Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan Ros. Meski kau berikan seribu saranpun padaku. Aku tetap tak bisa dengan mudah menerimanya. Aku ingin menikmati masalahku ini terlebih dahulu. Kalau kau diposisiku Ros, pasti kau tahu bagaimana rasanya perasaanku.”

            Lama kita saling berdiam diri. Rosa sama sekali tak menunjukan perasaan sedih ataupun merasa kehilangan. Memang karakternya seperti itu atau jangan-jangan Rosa juga ada andil dalam pemecatanku. Fikiran liar mulai menyeruak kembali.

            “Jangan kau sekali-kali masukan aku dalam daftar hitam hidupmu Gas. Tak pernah aku menyakiti hati seseorang kalau dia tak memulai dahulu. Aku turut kehilangan dan sedih atas apa yang kau alami ini. Kau bisa bawa motor atau mobil didepan untuk kau pergunakan mencari kerja. Kalau kau butuh uang jangan sungkan untuk minta padaku. Jangan pernah kau masukan rumus malu dan sungkan padaku.”

            “Jangan kau lama menganggur Gas. Karena terlalu lama menganggur dapat menumpulkan mental dan otakmu. Camkan hal itu dalam-dalam Gas.”

Reading Scene 05 on Cerita 05
Reading Scene 06 on Cerita 06

            Bersambung ke Scene 08