Friday, February 26, 2016

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE (Scene 02)

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE

(Scene 02)



*Ali Ahsan Al-Haris


-Sebuah ontologi pencarian jatidiri seorang anak bangsa, dikucilkan oleh bangsanya sendiri, dikucilkan oleh manusia sesama bangsanya yang katanya peri kemanusian dan peri keadilan. Sebuah cara pandang berbeda namun beresensi sama dalam menanggapi maraknya kasus LGBT Lesbian, Gay, Bisexsual dan Transgender.  


PERHATIAN !!!
Penulis mohon maaf dengan amat sangat besar jika ada nama, lokasi, setting kejadian yang hampir sama atau menyinggung kepada pembaca. Karena penulis menganggap sebuah tulisan adalah salah satu jalan bagi umat manusia untuk menyampaikan sebuah pesan moral menuju kebaikan.

Bacalah dengan bijak. Salam hangat dari saya, teruslah membaca dan menulis.

Scene 2
Sumber Ilustrasi Gambar : segiempat[dot]com


            “Ouuwwh gak ada apa-apa tan hehe” –sahutku menimpali kejaran pertanyaan tante Dina.

            “Udah akh, kayanya Bagas uda ngantuk tuh. Besok tante telfon lagi ya, jangan lupa nomor ini di save lho Gas, awas aja besok kalau tante telfon gak mau ngangkat” –pembicaraan tersebut terdengar bukan lagi sebagai perintah, lebih tepatnya disebut dengan rayuan.

“Iya tante Dina. Sorry Bagas belum bisa nemenin telfonan sampai larut lagi, cuaca dirumah sedang dingin-dinginya tan. Besok kalau telfon diluar jam kerja aja tan –saranku pada tante Dina agar tak mengganggu pekerjaanku- sementara gini aja dulu ya tan, thanks and see you Ibu Dina”

Dengan segera aku langsung matikan telfon terlebih dahulu tanpa menunggu jawaban tante Dina. Terserah juga mau beranggapan apa padaku, karena yang jelas kebiasaan telfonya itu memang diluar ambang normal. Sehari saja kalau diladeni bisa telfon sampai dengan lima kali, itupun dengan durasi yang dapat dibilang lama.

Jam ditagan kiriku sudah menunjukan pukul 01.40 dinihari, detik demi detiknya seakan malu untuk berjalan karena terus menerus aku pandangi dengan harapan besar besok bisa bangun dengan kondisi badan fresh karena berencana mau pergi ke Lamongan keperluan kunjungan kerja dari kantor. Kaki ini aku paksakan untuk turun dari kursi reot yang telah dimakan umur ini, bisa saja penampilan dengan kekuatanya yang terlihat sebanding harus kalah teori dengan kursi yang kurang lebih dua jam saya duduki ini. Aku langkakhkan kakiku menuju pintu rumah, dinginya lantai terasa sekali di kakiku yang memang telanjang tak menggunakan sandal japit yang biasa aku gunakan jika didalam rumah. Langkah demi langkah aku rasakan dingin ini memang bukan hanya dirasakan oleh telapak kaki, leher dan telinga juga aku rasakan dingin yang luar biasa. Entahlah, aku teruskan jalanku yang tak sempurna ini masuk kedalam rumah.

Aku buka daun pintu yang berbentuk seperti pedal gas sepeda motor –kloookk- terdengar derit suara kenop pintu yang aku tarik kebawah. Aku tutup pintu dari dalam, terlihat didalam rumah masih berantakan karena belum sempat aku bereskan, kardus-kardus bekas barang baru dan plastic berserakan dimana-mana. Aku melihatnyapun cuek, aku lalui dengan kesombongan membiarkan kekotoran rumahku sendiri yang baru aku beli dua tahun yang lalu ini.

***
Kelelahan hari ini membuatku harus tidur agak lama, aku bangun jam tujuh pagi. Dengan sigap aku bangun dari tempat tidurku berjalan ke arah dapur mengambil minum. Aku tenggak air mineral isi ulang hampir tiga gelasan. Serasa sudah terasa normal, aku ambil handuk di teras belakang yang aku pasangi tali agar bisa kugunakan sebagai jemuran.

Istirahat lebih membuat badan terasa segar dan semanat memang. Benar pula apa yang guru-guru saya bicarakan saat aku masih menempuh pendidikan menengah. Sesampai kantor aku langsung masuk ruangan pribadiku, sekelas kepala bagian memang sudah memiliki ruangan sendiri. Panjangnya kisaran empat meter dengan lebar tiga meter. Terlalu kecil untuk seukuran ruangan bagi pekerja sesibuk saya. Selepas jam istirahat aku bertemu dengan bagian perlengkapan untuk mengambil barang yang harus saya bawa ke Lamongan.  Ternyata selain dapat barang aku juga dapat teman perjalanan, Ibu Rosa, perempuan kepala empat itu memang sudah kerja lama diperusahaan ini. Aku kenal beliau sudah sejak lama, namun ruangan dan job dish yang beda membuat kita jarang ketemu dan bertukar sapa.

Tepat pukul jam dua siang aku gas mobil kantor bersama Ibu Rosa dari Gresik ke Lamongan. Dalam perjalanan aku mulai obrolan dengan Ibu Rosa.

“Sekarang sudah naik gaji belum Bu Rosa” –tanyaku padanya.

“Belum Pak Bagas, masih nyantol di Rp. 3.250.000 nich” –sahut Bu Rosa dengan senyumnya yang menyeruak bagai bunga kenanga yang menebar keharuman ditengah malam-  Meski umurku masih 27 tahun, dengan jabatan yang lebih tinggi dari Bu Rosa membuatnya hormat padaku.

Dengan bercanda akupun menimpali Bu Rosa, -“Yang sabar Bu Rosa, itukan uda gaji yang tergolong tinggi daripada karyawan lain bu. Diluar kantor gini lebih nyaman kalau Bu Rosa panggil saya dengan Bagas saja bu, sungkan kalau Bu Rosa harus manggil saya pakai Pak Bagas, terlihat sudah berumur saja bu hehe” –kekehku pada Bu Rosa.

“Yah Pak Bagas ini bisa aja lho, saya ini kan bawahan Pak Bagas dikantor. Wajib donk saya panggil pakai Pak. Kalau manggil mas Bagas nanti dikira orang Pak Bagas ini anak saya haha” –bicaranya diakhiri tawa kecil Bu Rosa yang anggun, bola matanya yang hilang ditelan senyumnya serta barisan gigi kecil Bu Rosa semakin membuat sosok Ibu Paruh baya ini semakin anggun dimataku.

“Yaudah gini aja Bu Rosa. Kita buat kesepakatan. Tanpa mengurangi hormat saya kepada Bu Rosa yang memang lebih senior dari saya. Tolong saat diluar kantor seperti ini Bu Rosa panggil saya dengan nama Bagas, sedangkan saya panggil Bu Rosa dengan nama Rosa saja. Gimana Bu ?” –tawarku pada Bu Rosa seakaan ini transaksional saja.

Perjalanan ke Lamongan sampai saat ini masih lancar-lancar saja, kemacetan dibeberapa sudut jalan juga tak terlihat. Aku jalankan mobil dari kantor dengan kecepatan normal saja, tujuanku memang santai dan menikmati perjalanan ini bersama Bu Rosa.

“Okelahh cocok Pak Bagas, Ibu setuju kalau kesepakatanya seperti itu. Mulai sekarang diluar jam kantor saya panggil Mas Bagas hahaha” –tawanya Bu Rosa memberikan ribuan tafsir bagiku, entah merasa nyaman dengan ksepakatan yang aku sendiri buat untuk aku paksa Bu Rosa ikuti. Atau malah secara ak langsung aku telah merendahkan posisiku sendiri sebagai Kepala Bagian diperusahaan elektronik multinasional ini-  Entahlah, pikirku sederhana saja. Saya dapat akrab dengan teman jalan dinasku, Ibu Rosa Marlina Trisnawati.

Rosa melanjutkan pembicaraanya, “Iya mas Bagas, kalau kesepakatan seperti itu aku mau. Asalkan kita saling tetap menghargai, sebagai atasan dan bawahan kita dikantor ataupun sebagai teman diluar pekerjaan. Saya paling gak suka kalau orang yang baru akrab denganku terus macam-macam denganku mas. Sudah berapa kali saya mengalami hal seperti itu, entah orang menganggap saya ini wanita apa. Mentang-mentang saya orangnya cantik dan mudah akrab dengan orang dikiranya aku mau aja di apa-apain” –tuturnya malah menjadi semacam curhat colongan dalam mobil.

Dalam hatiku berfikir, ternyata sosok perempuan berkepala empat ini pintar sekali dalam membentengi dirinya dari perlakuan kasar laki-laki hidung belang yang sering bersamanya entah urusan pekerjaan atau urusan lain. Hanya dengan curhatan semacam itu aku merasa di sanksi oleh dakwaan yang Rosa lancarkan. Entah kenapa aku merasa ke sanksi dengan ucapanya. Moment curhat colongan Rosa membuat kita diam lebih dari lima detik, namun satu detiknya terasa satu abad saja bagiku. Entah, kenapa perasaanku campur aduk seperti ini. Apa gara-gara aku sering berhubungan dengan tante Dina bak pasangan sehingga aku memiliki perasaan seperti ini.

Lagi-lagi, aku berada dilingkungan perempuan-perempuan dengan siksaan batin akibat pelecehan seksual kaum adam.

Aku jadi teringat tante Dina yang setahun perjalanan pernikahanya sudah di duakan suaminya, mental-mental orang Indonesia utamanya orang Jawa yang sukanya sok kuat padahal dalam hatinya hanya dapat menangis sudah dilakukan tante Dina kurang lebih delapan belas tahun.

Tak sadar dalam lamunanku berkendara, Rosa diam-diam melihatku dengan tatapan tajam serius bak mengintrogasi setiap gerak gerik bibir dan bola mataku. Sepersekian detik aku meliriknya dengan mata kiriku, aktifitasnya hanya memutar-memutar handphone Samsung miliknya. Saat memutarnya sempat terlihat cincin pernikahanya yang masih ia pakai. Cincin tersebut terlihat indah dengan jari-jari mungil putih yang manis. Ohhh, mengapa fikiranku terlalu mengaggumi sosok yang baru aku akrapi tak lebih dari sehari ini.

“Bu Rosa mikirin apa tohhh” –sahutku memecah lamunanku sendiri.

“Tukan keliatan kalau laki-laki memang tak pernah setia pada janji yang ia buat sendiri” –jawabnya dengan tenang tanpa menoleh kepadaku. Apa yang perempuan ini fikirkan tentangku sehingga seperti ini.

“Maksutnya apa sich kok malah jawab pernyataan seperti itu” –sahutku padanya.

“Tadi yang ngebet buat kesepakatan untuk diluar kantor manggil Rosa siapa yaa ? Ada yang tau gak !! Ternyata semua lelaki memang begini, suka gombal, isinya cuman modal omong dan modal kontol. Sama aja” –jawabnya dengan sangat men-sanksi serasa berhadapan pada seseorang yang benar-benar telah melakukan kesalahan fatal.

“Hahahahaha, sorry Rosaaa. Sorry sorry tadi sempet lupa kalau kita telah menyepakati untuk diluar kantor memanggil nama sapaan saja. Tapi kenapa hal sesepele itu harus dijawab dengan ketus dan penghakiman yang dapat-dapat membuat kaum adam rontok mentalnya Ros ?” –jawabku pada Rosa.

Kenapa orang yang baru akrab dengan saya berani dengan lancang bicara hal seperti ini padaku. Apa Rosa tak sadar bahwa saya ini adalah atasanya, bisa saja saya bilang ke Bu Iva agar membujuk suaminya memecat Rosa dari pekerjaanya. Namun sisi hatiku yang lain merasakan bahwa pembicaraan Rosa adalah sebuah guratan hatinya yang mungkin terdalam. Apa dia memang mudah akrab dengan orang yang baru dikenalnya, kalau memang benar wajar saja kalau ceritanya tadi selalu dilecehkan oleh para lelaki hidung belang. Bicaranya saja asal ceplos seperti orang Batak, namun watak dan kerendahanya mencitrakan orang Jawa. Akhhh….., mengapa aku malah menjadi inteligen untuk diriku sendiri. Gagal faham saja aku ini.

***
Selesai urusan di Lamongan, saya dengan Rosa menginap di hotel dekat wisata Tanjung Kodok. Dari luar, penginapan ini tampak besar dan megah. Dan memang benar, hotel ini memiliki beberapa villa yang langsung menghadap kelaut sehingga menjadi ketertarikan tersendiri. Saat melihat kanan kiri akhirnya saya putuskan manginap di kelas VIP, saat saya tanya Rosa apa pendapatnya. Dia hanya menjawab –“Kita satu villa aja Gas” –mulutku serasa terkunci dan diam seribu bahasa. Ini apa-apan, dari berangkat tadi sempat perang dingin gara-gara cercaanya padaku karena lupa kesepakatan yang aku buat, tapi kenapa ini malah ingin menginap satu Villa denganku. Apa jangan-jangan Rosa ingin menyimpan anggaran dari kantor yang memang telah kantor siapkan untuk perjalan dinas kita.

Kita diantarkan pelayan hotel, laki-laki muda yang tak terlalu tinggi dengan rambut terlihat basah dan murah senyum, memakai seragam berwarna biru laut dengan sabar dan ramah mengantarkan kita untuk masuk Villa, saya sempatkan untuk mengajak Rosa mengobrol. “Kenapa memilih satu Villa Ros ?” –tanyaku padanya yang terlihat sibuk mengaggumi pemandangan sunset yang malu-malu keluar tertutup awan sore.

“Yahh selain irit, kita di Lamongan kan gak lama Gas. Ngapain juga ngebuang uang cuman buat tidur aja, kan bisa dialihkan ke beli oleh-oleh atau yang lain. Nanti di SPJ tembak aja pakai kwitansi langganan depan kantor kita” –jawabnya dengan kekeh.

Akupun hanya dapat bengong mati kutu. “Saya kira uang perjalanan dinas ini sengaja kamu save karena ada keperluan lain yang mungkin jauh lebih penting Ros. Tapi takterduga kau dan aku sama aja kelakuanya, suka nembak-nembak kwitansi gak jelas hahaha” –kekehku padanya.

Rosa juga ikut tertawa mendengar apa yang aku ucapkan. Bola matanya yang hilang ditelan senyum anggunya membuatku tambah kaggum padanya.

Kami tiba di ruang tengah Villa yang kita pesan, pelayan Hotel mengantarkan kami sembari menunjukan mana kamar mandi, dapur, ruang santai. Dijelaskanya satu persatu dengan sopan, tenang dan rijit. Sebelum dia minta izin pergi meninggalkan kami, aku rogoh saku kiriku mengambil uang puluhan ribu sebagai tip buatnya.

“Ini tip buat kamu. Tak  terlalu besar, tapi bisalah untuk rokok kamu, thanks sudah dilayani dengan baik”

“Terimakasih banyak pak, maaf malah merepotkan. Oh iya pak saya lupa. Kalau kamar disebelah kanan tadi hanya single bed, biasa digunakan untuk anak-anak. Untuk bapak dan ibu yang pasutri bisa pakai kamar depanya, itu double bed pak. Terimakasih pak, saya tinggal dulu. Kalau perlu bantuan dapat pergunakan telfon di ruang tengah. Selamat sore”

Saat pelayan hotel menjelaskan tentang kamar dan ukuran bed-nya, saya lihat jelas Rosa mengedipkan mata kirinya padaku. Entah itu kode apa, yang jelas mimik muka Rosa menuturkan senyuman seribu satu tafsiran. Senyum itu memikatku, tapi aku tak mau gegabah menyimpulkan bahwa Rosa juga mengaggumiku.


Bersambung to scene 3

Wednesday, February 24, 2016

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE


*Ali Ahsan Al-Haris


-Sebuah ontologi pencarian jatidiri seorang anak bangsa, dikucilkan oleh bangsanya sendiri, dikucilkan oleh manusia sesama bangsanya yang katanya peri kemanusian dan peri keadilan. Sebuah cara pandang berbeda namun beresensi sama dalam menanggapi maraknya kasus LGBT Lesbian, Gay, Bisexsual dan Transgender.  


PERHATIAN !!!
Penulis mohon maaf dengan amat sangat besar jika ada nama, lokasi, setting kejadian yang hampir sama atau menyinggung kepada pembaca. Karena penulis menganggap sebuah tulisan adalah salah satu jalan bagi umat manusia untuk menyampaikan sebuah pesan moral menuju kebaikan.
Bacalah dengan bijak. Salam hangat dari saya, teruslah membaca dan menulis.



Scene 1

Sumber Gambar : segiempat[dot]com
Tiba-tiba saja handphone Bagas berbunyi, dengan rasa kantuk yang teramat berat Bagas mencoba mengambil handphonenya yang berada dalam saku celana jeans kumal yang ia pakai selama lima hari. Saat Bagas melihat nomor yang menghubunginya ditengah dinihari dengan rasa dingin yang menusuk tulangnya, tiba-tiba saja Bagas malas untuk mengangkat telfon dari nomor baru tersebut. Bagas memang memiliki kebiasaan tidak mau mengangkat telfon dari nomor baru sebelum tahu nomor tersebut kepunyaan siapa. Kebiasaan aneh memang, namun Bagas merasa itu adalah hal paling aman untuk terhindar dari orang-orang iseng yang suka menggangunya.

Lagi-lagi nomor tersebut selalu menghubungi bagas serasa ingin mengabarkan suatu hal yang sangat penting. Dengan jengkelnya Bagas pun mengangkatnya, dengan malas pula bagas menunggu nomor tersebut untuk bicara terlebih dahulu. “Haloo …. Halooo, Gas Bagaasss. Udah males ngangkat telfon dari tante yaaa. Uda gak kangen lagi sama tante Dina yaa” –suara  tersebut sontak membuat Bagas terhenyak dari rasa kantuknya yang amat terasa berat karena seharian tadi lelah keliling meng-handle banyak kerjaan. Ya, suara itu bernama panggilan Dina. Perempuan yang pernah Bagas kenal lewat sebuah forum radio swasta di kota kelahiranya. Perempuan dengan nama samaran Dina tersebut berpostur agak gemuk, dengan tinggi hampir sama seperti bagas, 175 cm. rambutnya pendek sebahu, Nampak hitam dan agak ikal di ujungnya. Berkulit khas orang Indonesia, sawo matang. Pemilik mimik muka yang suka senyum, badanya terlihat agak gemuk jika sedang menggunakan rok mini skirt. Terlihat manis dan seksi jika sedang menggunakan jeans dan kaos polo, memperlihatkan pantatnya yang mulai kendor kebawah namun tetap menawan dengan payudaranya yang besar dan terlihat padat dengan bantuan BH yang ia kenakan. –“Ekh ini tante Dina yaaa, maaf tan saya kira yang telfon tadi siapa. Habisnya pakai nomor baru siiihh, emang nomor yang lama kenapa tan ? –tanya Bagas pada tante Dina. Saat Bagas menerima telfon dari Dina dia sedang berada diteras rumahnya, duduk dibangku yang agak reot berpapan pohon jati dengan panjang kisaran dua meter dan lebar yang tak kurang dari satu meter dengan banyak lobang disana sini bekas galian rayap. Sembari  menghisap rokonya, Bagas antusias melanjutkan perbincangan dengan Dina yang pernag akrab lama dengan Bagas sebelum bagas pindah luar kota karena ada suatu pekerjaan.

-iya nich Gas, kebetulan tante lagi di Sidoarjo rumahnya suami tante yang orang chines singapura yang dulu sering tante certain ke Bagas itu lho. Suami tante lagi mau beli rumah burung wallet di daerah Kriyan, nakh tante ikut aja dech sekalian minta jatah, soalnya setelah Bagas sibuk kerja dan Tomi juga jarang ngasih jatah ke tante sekarang tante jadi kesepian Gas. –Pungkasnya dengan nada centil dan merayu.

Mendengar hal tersebut saya hanya tertawa sambil mencairkan suasana diantara perbincangan kita. Dulu saat saya masih banyak dirumah memang sering menjadi lelaki panggilan langgananya tante Dina, dari tante Dina juga saya kenal banyak Ibu-ibu paruh baya. Mulai dari istri pengusaha, DPR, sampai istri Kapolresta pun pernah minta jasa saya untuk dikencani. Sedangkan yang dimaksud Tomi oleh tante Dina adalah laki-laki lain langganan dari tante Risa istri Kapolresta di kota saya yang kemudian diambil oleh tante Dina dijadikan gundiknya pasca kepergian saya.

“tante di Sidoarjo sudah lama ?”. Tanya saya mengalihkan pembicaraan.

“uda empat hari di Sidoarjo Gas, aku ama suami nginep di hotel deket alun-alun sidoarjo, soalnya mobilisasi suami ama yang punya rumah wallet banyak dilakuin deket alun-alun, jadi suami pilih penginepan deket sini juga”

“di Sidoarjo cuman berdua atau sama si jagoan tan ? (Julukan dariku untuk anak tante Dina) ?
Dengan nada agak kesal tante Dina memotong bicaraku “kamu kok tanya gito to Gas, kan bisa tanya-tanya yang lain. Tanya kabar tante kek, mau ngeladeni tante lagi atau gak, sok-sok manjaain tante sama rayuan gombalmu dulu itu atau apalah. Kamu banyak berubah Gas, apa sekarang kamu jadi simpenan Ibu-ibu yang lebih tajir Gas ?”

 Ternyata siasatku dari tadi untuk mengalihkan pembicaraan agar tak menjurus ke hal masalaluku gagal. Tante Dina dengan sigap mengarahkan agar hubungan kita berdua yang dari dulu sempat renggang karena kesibukanku terjalin kembali.

“Sorry tan, bukan bermaksut apa. Lama tak ada kontak seenggaknya wajar donk Bagas tanya kabar-kabar yang laen. Baru aja telfon uda ngebet pengen aja tante ini hahaha”. –aku jawab dengan ledekan dan tawa, namun tante Dina menanggapi hal tersebut sebagai lampu hijau bahwa dia masih ada kesempatan untuk kencan dengan saya lagi.

“Gini lho Gas, kamu kan tahu sendiri kalau sebenarnya tante sama suami tante uda gak ada kecocokan lagi. Kita bertahanpun karena kasihan sama jagoan yang masih kelas satu SMP belum patut untuk mengerti kondisi pernikahan kita yang memang sudah diujung tanduk. Tante nyusul ke sidoarjo selain memang kangen sama uangnya suami juga pengen minta jatah batin suami Gas. Tante bosan kalau harus oral terus, apa lagi mau jadi lesbian seperti Ida yang dulu suka godain kamu itu, tante ogah Gas” –dari suaranya terdengar jelas olehku bahwa tante Dina sedang nelangsa perasaanya.

“hahahaha, Bagas gak dijadiin simpenan siapa-siapa tan. Cuman terkadang memang di ajak kencan istrinya bos Bagas. Dapetnya gak banyak, itung-itung ngeladeni istri bos sambil ngerayu-rayu agar Bagas naik jabatan aja” –balasku kepada tante Dina.

“ternyata kelakuanmu dari dulu yang bermodal rayuan maut itu tak pernah kau tinggalkan ya Gas, selalu aja bisa ngerayu ibu-ibu berduit. Oh iya gas, gimana kabarnya Ibu Risa, apa masih hubungan sama Tomi atau udah ganti sama laki-laki lain Gas ? dengar-dengar sekarang Tomi jadi gundiknya Retno si pengusaha Hijab itu lho Gas, masak kamu gak tahu”

-pembicaraan tante Dina justru malah informasi baru buatku. Aku juga kaget saat tante Dina bilang bahwa Tomi sekarang jadi gundiknya ibu Risa yang notabenya adalah owner perusahaan hijab terkenal di Surabaya. Sosoknya yang muslimah yang secara kasat mata orang melihat takan percaya dan menyangkan kalau Ibu Risa adalah wanita seperti yang tanta Dina bicarakan.
Perbincangan via telfon ini malah mebuatku semakin meninggalkan rasa kantuk dan dingin yang dari tadi menyergapku. Entah karena rasa kangen pada tante Dina muncul kembali atau informasi bahwa seorang pengusaha perempuan yang terkenal dengan produk hijabnya ini membuatku semakin penasaran.

“Gas …  gasss … kamu masih disana kan gas ? Haloo … Bagass…” –tante Dina mencariku dalam suaranya yang melolong tak tahu waktu yang sudah menunjukan pukul 01.34 dinihari.

“Iya tan, Bagas masih disini” –sahutku.

“Kamu ngapain kok diem aja Gas, mikirin apa toh. Mikirin tante atau mikirin kabar yang tante utarakan tadi Gas ?” –sahutnya tante Dina dalam kepercayaan dirinya.


Bersambung to scene 2

Thursday, December 31, 2015

Suhu, Mentor Pertama Ali di Kota Bunga

Suhu, Mentor Pertama Ali di Kota Bunga
Part II (end)

*Ali Ahsan Al-Haris

Hasil pengumuman menyatakan aku lolos SNMPTN di  Kampus bernama raja-raja Majapahit tersebut. Hal ini aku belum sadari apa dibalik ini semua. Aku hanya mengucap syukur sedalam-dalamnya kepada Allah ternyata orang geblek sepertiku masih diberi kesempatan kuliah di kampus negeri.

Hal ini mulai tersadar saat Suhu mengajak aku untuk ke Gunung Semeru; rumah para dewa; gunung tertinggi di Pula Jawa, gunung beken yang pertama kali aku tanjaki. Perjalan ke Ranukumbololah aku menyadari hal ini, bahwa dulu aku pernah berdoa kepada Allah untuk diberi kesempatan nanjak ke salah satu gunungnya. Allah memberi kode morse kepadaku dengan dipertemukan dengan Mas Teguh, Adiknya yang bernama Tomi, diterima di Brawijaya dan tak lain tak bukan orang yang dimanahi oleh Allah adalah sosok yang saya ceritakan ini -Suhu. Ternyata aku faham mengapa harus kuliah di Malang, ya inilah alasanya, aku menganggap Allah mengabulkan do’aku.

Sebagai gunung beken yang pertama kali aku tanjaki, jujur saja aku tak tahu menahu teknik packing dan mendaki yang benar dengan medan yang jauh berbeda aku alami semenjak di SMK dulu. Suhu mengajariku dengan sabar, mulai dari cara packing, melipat dan memasukan tenda sampai ke cara mendirikan tenda. Tak banyak memang yang suhu ajarkan padaku. Karena aku merasa, selain dia lelah membawa cariel sendirian, ada misi lain di balik itu semua; salah satu analisisku yakni belajar step by step. Pendakian semeru suhu hanya megajariku A, pendakian besok B begitupun seterusnya.

Pengalaman yang membekas buatku dan suhu adalah pintu tenda yang tidak bisa di tutup karena resletingya rusak. Parahnya  lagi pendakian pertamaku adalah musim hujan, dan benar saja. Malam pertamaku di gunung di sambut dengan hujan deras, angin lebat dengan pintu tunda yang rusak tak bisa ditutup menemani kita di Kali Mati. Bagi pembaca yang pernah mendaki gunung, tahu kondisi semeru seperti apa maka akan dapat merasakan betapa gokilnya aku dan suhu alami pada malam itu.  

Hal tersebut bukan menjadi halangan bagi kita, malahan itu menjadi momen yang sampai sekarang menjadi bahan tertawaan saat aku bertemu denganya.

Pendakian pertama ke Semeru, gunung yang selama ini aku cita-citakan ternayata sesuai do’a awal ku pada Allah. “Izinkanlah aku ke salah satu gunungmu; Semeru”. Ternayata memang benar, aku tidak diperkenankan menginjak puncanya. Mahameru. Aku berfikiran, selain fisik yang kurang kuat, Allah hanya mengizinkan aku mengunjungi gunungnya saja, masalah puncak di pending dulu.

Pendakian ke Semeru lain waktupun akhirnya aku dapat puncaknya; Mahameru. Sudah dapat puncak, akupun sempat penasaran bagaimana rasanya sampai puncak sebelum matahari terbit, menikmati sunrise, mungkin itu adalah hal yang menyenangkan. Toh hal ini kesampaian juga pada pendakianku selanjutnya, entah kenapa Allah memberiku hal ini dengan mudahnya. Namun saat aku merasa do’aku ingin ke Semeru, puncak dan dapat sunrise sudah terpenuhi semua. Sampai saat ini aku malah takut untuk nanjak lagi ke Semeru, entah kenapa hal ini aku rasakan karena yang jelas semua keinginanku sudah  tercapai semua di Semeru. Dan aku rasa itu cukup bagiku, bahkan lebih. Untuk membungkus keinginan ke Semeru kembali, aku sering bohong pada teman-teman maupun adik tingkatku dengan beribu-ribu alasan kalau akan di ajak nanjak ke Semeru lagi hahaha.

Oke lanjut, Perjalanan pulang, aku di traktir makan sama bakso Malang sama suhu. Sungguh terasa nikmat tiada tara, serasa seumur hidup ini tak pernah melihat dan makan yang namanya Bakso. Mungkin ini karena efek rasa capek yang tiada tara.

Sampai di kos dan selebihnya, suhu bercerita tentang perjalan kita ke semeru. Namun dia bukan hanya bercerita, ternyata aku mulai faham karakter suhu itu bagaimana. Hal ini aku sadari dengan cerita-cerita perjalan kita gunung namun ada serpihan-serpihan maksut dan nasihat yang sengaja ia tujukan padaku. Seperti “Naik gunung itu perang batin leh, perang antara fisik dan niat”, “di Gunung itu kita akan tahu karakter kita dan teman-teman kita”, “Tujuan naik gunung ya pulang, bukan puncak”, “Sabar dan do;a jadi kunci utama kalau naik gunug leh”. Itu hanya beberapa dari ribuan unyaian kalimat yang ia sampaikan padaku.

Pengalaman saya denganya kiranya apa lagi ya, sebenarnya ad banyak hal yang sulit untuk aku sendiri aku utarakan pada tulisan ini, namun setidaknya hal ini dapat menjadi inspirasi pembaca semua bahwasanya teman adalah segala hal diatas segala hal.

Masalah iklhas-ikhlasan, Suhu adalah sekian banyak dari banyak orang yang menurutku paling ikhlas selama berada di kota bunga. Pernah aku mengalaminya saat dia rela sepeda motornya di pinjam berhari-hari bahkan berminggu-minggu oleh temanya; malahan bukan hanya sekedar di pinjam, yang ada dipinjam plus merusakan. Dan ujung-ujungnya Suhu yang mengganti dengan uangnya sendiri. Hal itu juga pernah aku alami dengan sendirinya. Berat rasanya, tapi kenapa dia bisa ya.

Jujur saja aku bingung harus menulis dari celah mana lagi, karena saya rasa semua celah itu sudah dipenuhi olehnya, kebaikanya padaku serta perhatinya yang curahkan padaku melebihi lebih dari teman. Namun ada hal yang paling aku curigai dan cenderung curigai dari dia, pembacaan karakter orang yang sering dia lakukan. Entah pembaca percaya atau tidak, dia adalah orang yang jago membaca fikiran seseorang. Aku adalah saksi mata yang masih hidup untuk menceritakan hal ini kepada pembaca.

Bagi pembaca yang sudah mengetahui siapa Suhu dan bagaimana karakternya mungkin sedikit banyak akan meng-amini hal ini. Namun bagi pembaca yang tidak tahu siapa dia, aku jamin seratus persen akan heran seheran-heranya dan cenderung merasa hal ini kontradiksi besar karena ketidak percayaan yang kalian emban di pundak kalian masing-masing.

So, aku merasa cukup untuk menyudahi cerita singkat ini. Semoga naskah sederhana ini dapat member pelajaran kepada kalian semua bahwa teman itu sama berharganya dengan diri kalian. Kalaupun dari pembaca ada yang sedang bermusuhan dengan teman kalian maka segeralah untuk saling bermaafan.


Sekian terimakasih dari saya, budayakan membaca dan menulis. Karena membaca akan menyelamatkan kalian dari kebodohan , sedangkan menulis akan menyelamatkan kalian dari pusaran sejarah zaman. Thanks Go ahead brother

Behind the gun @aliahsanID

Suhu, Mentor Pertama Ali di Kota Bunga

Suhu, Mentor Pertama Ali di Kota Bunga
Part I

*Ali Ahsan Al-Haris

Bertemu lagi dengan saya, maaf maksut saya bertemu lagi dengan tulisan saya. Pada tulisan ini sedikit banyak saya akan melanjutkan sebuah cerita-cerita tak bertuan. Kali ini saya akan membahas salah satu dari sekian teman/ sahabat  Saudara bahkan mentor bagi saya yang tak lain tak bukan saya sebut dirinya dengan SUHU.

Mengapa saya menyebut tokoh yang akan saya ceritakan ini dengan julukan Suhu dikarenakan tokoh tersebut adalah sekian dari banyak orang yang aku temui sekaligus aku belajar darinya dalam berbagai hal dengan notabe Gila, gila karena secara logika takan sampai aku fikirkan.

Mari kita mulai, Bismillahirrahmanirrahim. Saya bertemu denganya pada tahun 2011, untuk tanggal dan bulanya saya lupa. Seingatku pada saat itu bulan Ramadhan pertamaku di Kota Malang; salah satu kota ter Gila yang pernah aku sambangi dengan berbagai misterinya.

Sosoknya bertubuh kurus tinggi, kulitnya sawo matang seperti kebanyakan orang Bumi Putera. Rambutnya pada saat itu agak panjang tak rapi. Biasa berpakaian yang menurutku waktu itu cenderung aneh dan lucu. Mengapa cara berpakaianya aku anggap lucu karena tidak mencerminkan kebanyakan mahasiswa yang stylish dan rapi. Jujur pada pertama kali bertemu denganya aku berkesan padanya bahwa orang ini cenderung sulit untuk bergaul. Sosoknya yang pendiam dengan pandangan yang mengoreksi setiap hal yang dilihatnya menambah keyakinanku bahwa orang ini memang sulit di ajak ngobrol.

Pada saat itu dia memiliki kebiasaan jarang pulang ke kos, dengar-dengar menyelidik ternyata aku tahu bahwa dia suka tidur di UKM, kos temenya dan ternyata dia juga punya kontarakan lagi di luar kos yang kita tempati bersama. Kebiasaanya tersebut sebenarnya bukanlah masalah bagiku, karena sedikit banyak aku sudah tahu bahwa dunia mahasiswa memang di sibukan dengan berbagai kegiatan akademik maupun aktivis, dan aku memang menilai dari awal kalau dia adalah salah satu aktivis kampus di Kota Malang.

Singkat cerita aku mulai akrab denganya karena dia memiliki kebiasaan menonton film dan membaca buku di dalam kamar. –Perlu  pembaca ketahui, kamar anak kos berada di lantai dua; kamarnya berada paling ujung dekat balkon kos. Balkon digunakan anak-anak kos untuk sekedar duduk santai sambil ngopi, ngerumpi, baca buku, merokok atau mengawasi keadaan bawah. –saat aku mau ke balkon untuk melihat lihat kondisi di bawah, pintu kamarnya yang tidak tertutup rapat membuatku dapat melirik sekilas apa yang ia kerjakan. Di antara anak kos, dia salah satu pemilik dipan dengan ukuran lebar, dipan berukuran persegi yang salah satu ujungnya datar di fungsikan dia untuk menaruh laptopnya sembari nonton film. Sedikit-sedikit aku beranikan untuk tiba-tiba nyelonong masuk kamarnya tanpa mengucap salam [Hal ini kalau sekarang aku fikir memang konyol dan tak sopan, tapi itulah Ali] sambil ikut nimbrung nonton juga. Aktivitas ini lama kelamaan diketahui oleh dia, aku pun di sapa olehnya untuk di ajak gabung nonton. Kalau gak salah waktu itu kita nonton film Fast and Furios, entah itu seri berapa aku lupa. Berawal dari situlah aku mulai akrab denganya.

 Sebenarnya kalau berniat menulis cerita ini sesuai pola novel dan penguatan tokoh jujur saja aku tak sanggup, bukan berarti aku tak sanggup atau sejenisnya. Karena begitu banyak pengalaman dan kenangan yang aku alami denganya. Sebagai rasa penghargaan dan rasa terimakasih yang mendalam untuknya maka cerita sederhana ini semoga dapat tersampaikan padanya. Kenapa kok gak bilang langsung saja ? karena aku punya cara sendiri yang menurutku lebih tepat dan apresiative dalam berterimakasih. Semoga.

Setahuku, ingat setahuku lho ya !! hehe. Dia berasal dari background yang berkeluarga bagus dan harmonis, anak terakhir dari tiga bersaudara. Memiliki sosok kakang dan mbakyu. Berasal dari daerah dekat lubang 65 dan yang paling penting untuk pembaca ketahui juga. Dia memiliki sosok ikhlas luar bisa gila, pemikiranya yang idealis di lengkapi dengan kejujuran yang tiada tara membuatku hormat padanya.

Bicara pengalaman apa saja yang pernah aku alami denganya, ribuan kenangan yang memang harus saya tulis. Namun aku hanya akan menulis beberapa saja yang menurutku begitu membekas di hatiku sampai saat ini. Hal ini bukan berarti yang tak saya sebutkan tidak berarti. Ini masalah penerimaan pribadiku, karena bisa saja yang kutulis nanti menurutnya itu biasa saja dan sebetulnya banyak hal yang harusnya di akui olehnya hal itu diperjuangkanya untuku namun malah aku menganggapnya bisa saja.

Pendidikan karakter dengan Naik Gunung, dulu waktu aku SMK kelas 2 sering ngeNet. Selain mengerjakan tugas-tugas sekolah aku sering buka-buka gambar gunung yang terkenal di Indonesia, dan pada saat itu yang aku buka adalah gunung Semeru. Tepat saat aku melihatnya aku berdoa agar Allah mengizinkan aku untuk bisa kesana. Lanjut saat aku kelas tiga SMK, aku melakukan agenda tahunan sekolah yakni Pelatihan Sistem Ganda (PSG), semacam maggang bagi anak SMK yang memakan waktu  4-5 bulan. Kelompoku PSG nya di taruh di Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Beberapa minggu di sana aku bertemu dengan orang yang berprofesi sebagai Supliyer ikan untuk pabrik, biasa aku panggil dengan sapaan akrab Mas Teguh. Singkat cerita aku mulai akrab denganya, aku di tawari maen ke rumahnya yang jaraknya kisaran 2 Km dari basecampku. Ternayata ekh ternayata, dia memiliki hobi naik gunung. Kebetulanya juga dia memperlihatkan foto-foto pendakianya di Gunung Semeru. Entah kenapa Allah mempertemukan aku dengan mas teguh, sepertinya doaku untuk naik semeru mulai terwujud. Dia mengenalkan padakau adiknya yang pada saat itu semester 7 sedang kuliah di Universitas Brawijaya Malang. Adiknya mas teguh yang bernama Tomi bilang ke aku “Kalau nanti lulus dan mau lanjut coba saja di Brawijaya dek,  ada Fakultas Perikanan kok [Mas Tomi merekomendasikan saya pada Fakultas Perikanan dikarenakan saya adalah siswa SMK Jurusan Perikanan], Selain itu mas juga aktif di Impala- [Pada saat itu aku hanya mengangguk saja sok tahu apa itu Impala] –nanti masuk Impala juga biar hobi kamu saat SMK dapat tersalurkan secara baik”.


Singkat cerita akhirnya aku lulus SMK, berkeinginan untuk lanjut sekolah lagi. Mulai dari sekolah Pelayaran Sorong Papua, Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta, Akademi Perikanan Sidoarjo, Sekolah Tinggi Statistik aku coba semua dan hasilnya gagal. Opsi terakhir hanya daftar SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Pada saat itu aku memilih jalur IPA yang hanya boleh diperkenankan memilih dua jurusan saja. Sedikit cerita saja, pemilihan kampus mana dan jurusan apa sempat aku bingungkan juga. Ibu saya menyarankan di Universitas Diponegoro saja, alasanya dekat rumah dan banyak kenalan akrab Dekan-dekan di sana. Bapak saya menyaranankan di IAIN Walisongo Semarang (Sekarang UIN Walisongo), alasanya karena Bapak banyak orang dalam yang nanti bisa bantu. Akhirnya aku tetapkan juga aku hanya memilih jurusan di Undip saja. Lain waktu Mas saya telfon untuk nyoba di Brawijaya saja, alasanya “Mosok dua pilihan Undip kabeh nang, sijie Brawijaya ae cobak”. Akhirnya aku tetapkan untuk memilih Undip dan Brawijaya.

Wednesday, December 16, 2015

Melihat Lebih Dekat Usaha Rumput Laut Kota Tarakan Kalimantan Utara

Melihat Lebih Dekat Usaha Rumput Laut Kota Tarakan Kalimantan Utara


*Ali Ahsan Al-Haris



Dari Kiri : Saya, Jasmin (Co. POKDAKAN Mekar Indah), Rifa'i (Penyuluh)
Penantian dari kecil akhirnya dapat terwujud untuk menginjakan kaki di tanah Borneo. Provinsi yang terkenal akan tambang batu bara dan minyaknya ini aku injak betul pada hari Ahad 13/12/15 entah pada waktu itu jam berapa aku lupa. Menginjakan kaki pertama di Bandara Balikpapan untuk kemudian lanjut terbang ke Bandara Tarakan sebagaimana kota yang akan aku tuju.

            Di Tarakan kurang lebih aku tiga hari, sebetulnya kesempatan ini terbantu karena ada beberapa keperluan juga sehingga sekalian saja untuku jalan-jalan. Saat turun di Bandara Tarakan aku sempat bingung mau menginap kemana. Kalau tujuanya sudah ada, yakni mencari Jl. Jenderal Soedirman untuk nantinya mencari penginapan yang murah-murah.

Berada di Gudang Rumput Laut yang Siap di Kirim
Dalam kebingungan yang kualami, aku hanya ditemani oleh kepulan asap rokok Sampoerna yang aku beli dari Malang. Tolah tolehku akhirnya mendapatkan hasil, ada dua cewek yang kelihatanya sedang nunggu orang untuk di jemput di sebelah kanan pintu keluar bandara. Perlahan aku hampiri mereka, aku bertanya kalau Jl. Jenderal Soedirman dari bandara deket atau tidak. Salah satu cewek menjawab lokasinya dekat, menghabiskan waktu kurang lebih lima belas menit kalau naik Taxi. Lalu aku berfikir sejenak –kalau naik Taxi saja lima belas menit, berarti kalau jalan kaki bisa memakan waktu kurang lebih setengah jam jalan kaki, lumayan dekatlah kalau seukuranku –kemudian bertanya kembali kira-kira tarif Taxi sampai kesana berapa ya mbak, kemudian dijawab mbaknya yang satunya lagi –kalau gak salah habis kisaran enam puluh lima ribu rupiah mas –dengan banyak pertimbangan dan seduhan rokok akhirnya aku putuskan untuk tidak naik Taxi dan meyudahi pembicaraanku pada mereka berdua, aku ucapkan terimakasih pada mbaknya yang sudah memberi informasi padaku. Semuanya berlalu termakan waktu, aku berjalan keluar bandara, sempat ada Taxi dan tukang Ojek menghampiriku menawarkan jasanya. Tanpa fikir panjang akupun menolaknya, aku jalan terus sampai ada bapak-bapak berpostur besar berkepala agak botak bagian depanya menawarkan angkot ke saya. Waktu bapak angkot tanya tujuan saya, aku menjawab untuk menginap di dekat Jl. Jenderal Soedirman. Bapaknya bilang –ayo mas saya antar saja, empat puluh ribu saja mas. Mau ? –dalam fikirku mengumpat mahal sekali, sekelas Taxi mobil Avanza saja hanya enam puluh lima rupiah kok, ini ada angkot menawarkan harga yang delapan puluh persen hampir menyamainya –dalam umpatanku tadi aku pun berfikir lagi, jam tangan consina yang aku pakai sudah menunjukan jam sepuluh malam, sampai kapan aku harus lontang-lantung di Kota lain, dalam kebingunganku aku beranikan untuk tawar menawar dengan bapaknya, alasan jitu yang saya pakai adalah harga Taxi, singkat cerita akhirnya aku mentok pada harga dua puluh ribu rupiah. Allhamdulillah, lumayanlah. Namun harga tersebut termasuk bonus bagiku, karena bapaknya bersedia mencarikan penginapan untuku dengan harga maksimal per malam seratus lima puluh ribu rupiah. Lucunya, aku menemukan harga yang cocok juga, yakni per malam seratus lima puluh empat ribu rupiah hahaha. Its oke, karena iitu adalah harga paling murah dari sekian banyak penginapan di Jl. Jenderal Soedirman.

Jalan Tanah Yang Saya Maksud
Saat aku menulis naskah ini, terhitung sudah aku dua puluh jam di Kota Tarakan. Tadi pagi sampai siang aku habiskan waktu untuk jalan-jalan ke lokasi budidaya rumput laut di Kota Tarakan. Kalau dari penginapanku, ambil saja arah Universitas Borneo, perjalan ke Universitas Borneo sudah beraspal bagus, namun saat ada pertigaan kalau ambil kanan ke arah kampus dan ke kiri ke arah pantai jalanya mulai beraspal namun sedikit rusak. Yang paling mengesankan adalah jalan ke lokasi para warga yang menekuni usaha budidaya rumput laut, jalanya bertanah, bergelombang dengan kubangan air di sana-sini pasca hujan membuat perjalan menyenangkan. Perut ini serasa di kocok betul, track tersebut saya alami kurang lebih tujuh kilometer untuk sampai ke lokasi ketua paguyuban kelompok tani rumput laut.
Jalan Tanah Mulai Mausik ke Lokasi Pembudidaya

Dalam perjalannya banyak saya lihat para-para [Tempat menjemur hasil panen rumput laut] beserta peralatan pendukungnya. Bau rumput laut jemuran yang khas membut suasana perjalan terasa nikmat meski cuacanya panas sekali.

Para-Para Untuk Menjemur Rumput Laut
Rumah di sekitar perjalanan mayoritas masih kayu dan seng sebagai atapnya, namun yang menggelitik rasa penasaranku adalah banyaknya rumah panggung di sana. Apakah memang benar kalau orang asli Kalimantan rumahnya Panggung ?, selidik demi selidik ternyata lokasi budidaya rumput laut banyak orang pendatang dari suku bugis. Ekh ekh ekh, makanya kok rumahnya pada panggung semua, ternyata sejak kakek-neneknya dulu memenag merantau ke Kalimantan dan  mendirikan komunitas masyarakat bugis di sana.

Puas dengan kunjunganku ke rumah ketua paguyuban pembudidaya rumput laut aku pulang kembali ke penginapan, perjalanan pulang lebih meletihkan fisiku. Kondisi jalan yang saya ceritakan di atas ditambah lagi dengan turunya hujan. Bayangkan saja, menyenangkan bukan hahaha.

Membuat Kordinat Dengan GPS
Sore menjelang maghrib aku gas sepeda motor sewaanku untuk keliling Kota Tarakan, akhirnya tujuanku berhenti di Pasar Tradisonal Dayak. Mengapa pasar ini menjadi tujuanku, alasanya hanya simple; karena namanya saja yang membuat rasa penasaran hahaha. Meskipun sore hari, ternyata kondisinya ramai betul, setahuku kan yang namanya pasar aktifnya hanya pada pagi sampai siang hari, lha ini kok sampai menjelang maghrib, apa karena memang Pasar Dayak aktifnya pada sore hari saja ! tentuya hal ini tak aku tanyakan pada siapapun.

Pelabuhan Malundu Kaltara
Puas memandangi keramaian pasar, aku gas kembali sepeda motor sewaanku untuk mencari makan. Disana sini banyak aku temui warung-warung makan yang mencirikan khas orang Jawa. Dalam perjalananya aku menemukan ada yang jualan Mie Ayam Ceker. Karena menarik perhartianku, aku belokan sepeda motorku ke parkiran Mie Ayam tersebut. Karena pada saat itu sedang ramai pembeli, aku posisikan diriku di belakang penjual Mie Ayam yang sedang meracik Mie dan bumbu untuk siap dihidangkan ke pelanggan yang sudah memesan duluan.

Membuat Kordinat di Pelabuhan
Lucunya, aku di sapa pelanggan yang sedang duduk menunggu pesananya datang sambil bicara padaku kalau dia pesan es teh dua gelas. Dalam hatiku aku hanya diam keheranan sambil menatap kosong wajah orang  yang pesan es teh. Dalam beberapa detik pelanggan tersebut tertawa padaku, sontak aku ikut tertawa juga namun dalam hati bingung sendiri apa yang aku tertawakan. Namun yang membuatku geli, ternyata penjual Mie Ayam dan beberapa pelanggan lain ikut tertawa juga padaku. Dalam hati ini berfikir, ternayata tertawa tadi dikiranya aku adalah si penjual Mie Ayam ya hahaha. Aneh sekali, apa gara-gara penampilanku yang gembel ini sehingga dikira pejual Mie Ayam yah ahahaha.

Nampak Kapal Pengangkut Gas LPG dari Balikpapan ke Tarakan.
Namun dibalik itu semua, aku menemukan sesuatu yang amat mahal. Ternyata salah satu pelayan Mie Ayam adalah orang sekotaku. Dia mengenaliku kalau orang Jawa Tengah kelihatan dari logat gaya bicaraku. Singkat cerita aku bertanya kalau dia Jawa Tengah mana, dia menjawab kalau dia adalah orang sekotaku. Merantau ke Tarakan setelah seminggu dinyatakan lulus dari SMP, bersama ke empat temanya bermodal nekat dan keahlian sebagai Tukang Kayu dan dia sendiri Mengukir membulatkan tekadnya untuk mengadu nasib di Kota orang. Sebelumnya dia belum bekerja di Mie Ayam, dulu sempat ikut mengukir namun tak bertahan lama dikarenakan sepi orderan. Dengan model kerja borongan [Buruh Lepas, yang pastinya bekerja saat sedang ada orderan saja] –yang akhirnya inisiatif dia sendiri untuk mencari pekerja lain demi sesuap nasi. Diterimalah dia di salah satu restoran yang kebetulan berdekatan dengan penginapanku, di sana dia bekerja empat tahun. Gaji yang ia terima dari profesinya menjadi koki sebagian ia kirimkan ke neneknya di kampong. Pertanyaanya, mengapa gajinya ia kirimkan ke neneknya ? yeeee, mari kita kupas.

Sosok yang saya ceritakan ini bernama Dayat, dia lahir di Tarakan buah perkawinan ayahnya [Asli sekotaku] dengan ibunya yang asli dari Tarakan. Saat Dayat berumur dua tahun, ibu kandungnya meninggal dunia. Kemudian ayah Dayat mengajak pulang ke kotaku. Perlu pembaca ketahui juga, Dayat sampai sekarang tidak tahu dimana Kuburan Ibu kandungnya berada dan keluarga dari Ibunya alamatnya dimana. Mengapa Dayat memilih Tarakan sebagai kota perantauanya salah satunya adalah untuk mengetahui lokasi kuburan Ibu kandungnya beserta keluarga dari Ibu kandungnya yang masih hidup. Anehnya juga mengapa ayah Dayat tak mau meberitahu sampai Dayat sebesar ini. Sungguh kasihan aku mendengarkan ceritanya.

Yang lebih memilukan lagi, saat Dayat bercerita kalau neneknya yang selama ini mengasuh Dayat sampai lulus SMP sedang sakit-sakitan. Fikiranya selalu memikirkan neneknya terus.  Wajar saja, selama lima tahun di Tarakan, Dayat belum sempat untuk pulang ke kampong halaman dikarenakan berat di ongkos, obat kangenya di barter dengan kiriman yang tiap bulan ia kirimkan ke neneknya. Saat saya tanya kapan rencana pulang, Dayat menjawab Tahun Baru ini ingin pulang, sudah kangen betul dengan neneknya.

Cerita tentang Dayat saya rasa sudah cukup, untuk aktifitas selanjutnya masih ada banyak hal yang harus selesaikan.

 Banyak hal yang aku temui di sana. Untuk cerita lebih lanjut sementara ini aku sudahi dulu dikarenakan coffe tempat aku ngopi dan menulis akan segera tutup. Entah, coffe kok tutupnya jam sepuluh malam. Padahal secara fisik dan harga sudah termasuk level menengah atas.

Salam hangat dari saya; Ali Ahsan Al-Haris dari Kota Tarakan Kalimantan Utara.
Budayakan membaca dan menulis, Go Ahead Brother

Behind the gun @aliahsanID