Tuesday, January 21, 2020

Resensi Buku Di Bawah Bendera Hitam

Resensi Buku Di Bawah Bendera Hitam



Oke, lanjut lagi ke resensi buku yang selesai saya baca di tahun 2020. Buku ini berjudul "Di Bawah Bendera Hitam", bicara tentang kumpulan tulisan anarkisme semasa Hindia Belanda dulu. Di susun oleh Mas Bima Satria Putra. Tulisan yang dikumpulkan terdiri dari Ernest. E.E. Douwes Dekker, Alimin Prawirodirdjo, Darsono, Herujuwono dan Soekarno. Buku yang saya baca ini cetakan kedua pada Maret 2019 yang terdiri dari 66 halaman. Tipis memang, tapi saya membutuhkan membacanya dua kali dan masih belum mudeng juga. Hehe


Sisi yang menarik dari buku ini, selain terdiri dari tulisan masa Hindia Belanda. Buku ini tidak memiliki ISBN seperti halnya buku dari penerbit mayor atau indie lainnya. Bahkan, tertulis dengan jelas "FUCK ISBN" pada halaman awalnya. Jika melihat covernya saja, tampak dengan jelas dominasi warna merah yang merepresentasikan perjuangan dan perlawanan. Pada pojok kanan atas buku tersebut, dapat kita baca juga "Bukan Milik Negara". Entah apa maksud Pustaka Catut selaku penerbitnya, yang jelas bagi saya. Buku ini semacam perlawanan terhadap sebuah rezim pun Idiologi. Sisi menarik yang lainnya, ada versi terjemahan Bahasa Indonesia dan Versi Bahasa Belanda pada essai yang ditulis oleh Douwes Dekker.


Untuk harga dan dapat dibeli di mana, saya hanya dapat menjawab jikalau buku ini tersebar lewat komunitas-komunitas literasi dan pergerakan. Sedangkan saya mendapatkan buku ini dari kawan saya di Yogyakarta yang kebetulan jualan buku.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Saya Kepengen Wik Wik


Buku ini (Mungkin) akan menjawab sebagian kebingungan darimana perjuangan gerakan anti-otoritarian di Indonesia berasal dimulai. Kebanyakan tulisan sejarah mengenai ini selalu menyampaikan bahwa anarkisme muncul di Indonesia bersamaan dengan masuknya subkultur punk. Terlepas itu benar atau tidak. Kekuatan anarkisme surut akibat pengaruh berhasilnya Bolshevik memegang kendali Revolusi 1917, anarkisme punya kekuatan yang meluas di tanah-tanah koloni karena gerakan anarkisme yang mengakar kuat di negara-negara imprealis, khususnya Spanyol dan Belanda. Apalagi jika kita mengingat pengaruh anarkisme di Asia pada akhir abad 19 dan dekade pertama abad 20 cukup kuat, adalah sebuah ketidakmungkinan anarkisme tidak sampai di Indonesia.


Buku pertama yang menyinggung ini di dapatkan dari kumpulan tulisan Jacques Leclerc, Mencari Kiri. Leclerc menulis bahwa Tan Malaka mencoba mendekati gerakan buruh sindikalis pada 1945'an, yang bisa dibilang, terisolir, namun punya basis yang cukup kuat di kalangan buruh khususnya di Surabaya. Lebih lanjut lagi, didapatkan  informasi bahwa gerakan ini sudah diawali dari benih-benih anarkisme yang sudah ada sejak zaman kolonial Hindia Belanda. Bahkan, pengaruhnya cukup terasa di dalam tubuh PKI. Dan anehnya lagi, sebenarnya hal ini sudah sering disebut dalam berbagai literatur sejarah gerakan kolonial. Ruth McVey, Harry Poetze, bahkan Soe Hok Gie adalah mereka yang dengan jeli menangkap kecenderungan itu. Tapi tidak ada satupun yang benar-benar secara spesifik menulis mengenai ini. 




Ada lima penulis di sini, semuanya adalah anarkis (atau setidaknya pernah menjadi anarkis), kecuali Soekarno.


Ernest Douwess Dekker, seorang anarkis Indo-Eropa di Hindia Belanda, yang lahir di Pasuruan pada Oktober 1879. Mulanya, Dekker hendak belajar teknik di Belanda. Tetapi karena kekurangan dana, ia tidak bisa berangkat. Baru pada Februari 1910 ia bersama istri dan dua anaknya bisa meninggalkan Jawa dan pergi berkeliling Eropa. DIjk mencatat bahwa Ernest mengunjungi Belanda, Belgia, Saxon, Prussia, Bavaria dan Swiss, dan setelah beristirahat sejenak dengan kembali ke Belanda, Ernest lalu melanjutkan perjalanan ke Inggris dan negara-negara Skandinavia.


Perjalanannya membuatnya melakukan kontak dengan tokoh gerakan radikal anti-kolonial. Di Paris ia bertemu dengan Shyamaji Krishnavarma, yang dianggap sangat berbahaya karena menginspirasi pembunuhan Ajudan Sekretaris Kolonial Inggris, dan salah seorang pendukung swadeshi, gerakan boikot ekonomi Inggris di India. Pada Januari 1916, ia mengulangi pembicaraan yang telah mereka lakukan, dan menyatakan bahwa secara politis, Douwess Dekker adalah seorang anarkis.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Banjir dan Cerita-Cerita di Dalamnya


Pada September 1911, Douwess Dekker menerbitkan Het Tijdshcrift di Bandung. "Dia bisa memanfaatkan sejumlah kontributor internasional dengan opini kiri, jika bukan anarkis dan libertarian; dan yang lainnya dengan yang lebih esoterik," tulis Dijk. Kita bisa mengamati tulisan-tulisan dari Prancis, Jerman, Timur Tengah, Afrika Utara, Rusia, hingga Hongkong, membahas tema-tema ilmiah dan spesifik, seperti politik seksual, kajian filsafat, dan budaya. Ada artikel yang membahas membahas mengenai kontrol kelahiran, anti-militerisme, agama serta ulasan mengenai Fransisco Ferrer, seorang anarkis yang aktif bergerak dalam bidang pendidikan yang dihukum mati di Madrid oleh rezim monarki Spanyol.


Singkatnya, Het Tijdshcrift adalah sebuah majalah ilmiah yang terlampau maju pada zamannya, ketimbang sekeda. karangan-karangan dengan topik kolonial vs pribumi.


Dalam publikasinya itulah seorang radikal dengan kumis yang melintang seksi ini mengeluarkan pandangan-pandangan politik militannya. Ia menyerukan oposisi yang aktif melawan penyelewangan kekuasaan kolonial. Berbagai tulisannya secara bebas menggunakan kata-kata seperti demonstrasi, agitasi, revolusi, perlawanan pasif, mogok, sabotase, boikot dan pemberontakan, serta menegaskan bahwa kekerasan bersenjata harus digunakan. Untuk seseorang yang tinggal di Hindia Belanda, aksesnya untuk membaca jurnal anarkis Mother Earth yang dikelola Emma Goldman dari Amerika Serikat, menambah bukti bahwa ia punya jaringan yang luas dengan tokoh-tokoh anarkis, atau paling tidak membaca literatur radikal internasional.


Saya kira sementara ini dulu, mohon pembaca blog setia saya dapat menambahi yang sekiranya belum saya tulis.


Sekian terimakasih.
Salam hangat dan jangan lupa ngopi.
Ali Ahsan Al Haris
21 Januari 2020


Resensi Buku Di Bawah Bendera Hitam Resensi Buku Di Bawah Bendera Hitam Resensi Buku Di Bawah Bendera Hitam Resensi Buku Di Bawah Bendera Hitam Resensi Buku Di Bawah Bendera Hitam Resensi Buku Di Bawah Bendera Hitam 
Resensi Buku Di Bawah Bendera Hitam Resensi Buku Di Bawah Bendera Hitam 
Resensi Buku Di Bawah Bendera Hitam Resensi Buku Di Bawah Bendera Hitam Resensi Buku Di Bawah Bendera Hitam 












No comments:

Post a Comment