Monday, August 24, 2020

Resensi Kumpulan Cerita Pendek Cinta Tak Ada Mati Eka Kurniawan

 

Cinta Tak Ada Mati



Foto Saya Membawa Buku Cinta Tak Ada Mati
Buku kumpulan cerita ini memuat 13 cerita pendek, diantaranya: Kutukan Dapur, Lesung Pipit, Cinta Tak Ada Mati, Persekot, Surau, Mata Gelap, Ajal Sang Bayangan, Penjaga Malam, Caronang, Bau Busuk, Pengakoean Seorang Pemdat Indis, Jimat Sero & Tak Ada yang Gila di Kota Ini. Buku karangan Mas Eka ini adalah buku ke empat yang saya baca setelah Cantik Itu Luka, Lelaki Harimau dan Corat-Coret di Toilet. Tanpa menilai mana cerpen yang bagus diantara ketiga belas kumcernya, di bawah ini adalah cerpen yang bagiku sangat menarik untuk kalian baca.



Kutukan Dapur

Bagi yang sudah banyak membaca karya Mas Eka, tentu sudah mengenali karakter daripada tulisan salah satu maestro penulis alumni Fakultas Filsafat UGM ini. Bagi saya, nafas dari tulisan Mas Eka tidak jauh dari politik, pemberontakan dan patriarki. Begitu pula dengan cerpen pertama pada Kumcer Cinta Tak Ada Mati yang saya baca. Berkisah tentang Maharani yang jalan-jalan ke museum kota berharap menemukan resep makanan, ia malah menemukan sebuah catatan pemberontakan di mana salah satu tokohnya berkisah tentang seorang perempuan bernama Diah Ayu. Ia tidak memberontak dengan senjata atau bambu runcing, ia memberontak lewat bumbu-bumbu makanan, dan dapur tempatnya memasak adalah arena peperangan nya.


Berlatar masa penjajahan, orang Eropa berbondong-bondong menjarah negeri perawan - Mas Eka dalam hal ini meng anedotkan Indonesia - di mana dari dasar laut sampai permukaan tanah apa yang kita temui dapat kita makan. Bahkan lucu jika mendengar orang mati kelaparan di negeri perawan yang di mana saat kalian melempar apapun akan tumbuh pohon yang dari buah, daun bahkan akarnya bisa kita makan.


Baca tulisan saya yang lain: Resensi Corat-Coret di Toilet


Pada zaman kolonial, juru masak dianggap sebagai salah satu aset yang sangat berharga selain kekayaan dan jabatan. Bahkan, juru masak tidak diperkenankan pergi dari rumah dalam kondisi apapun. Termasuk sesumbar para tuan (kolonial) ke para koleganya saat mengundang para tamu undangan ke rumah menghadiri santap makanan.


Dari kebiasaan tuannya, Diah Ayu mulai paham bagaimana membuat mereka mati tanpa di curigai oleh para tentara Belanda. Metodenya itu di rasa lebih efektif membuat mati seseorang lebih banyak daripada perang di front. Dengan meracik bumbu-bumbu rahasia, para Belanda itu bisa mati secara perlahan dalam kurun waktu dua sampai tiga minggu. Di waktu senggangnya bertemu sesama juru masak pribumi, Diah Ayu membagi bumbu-bumbu apa saja yang perlu diramu untuk memulai pemberontakan. Ramuan yang dulu menjadi rahasia, kian hari semakin menyebar dari juru masak satu ke rumah-rumah tempat juru masak pribumi bekerja.


Tepat pada hari Kamis. Mereka membunuh tuan-tuan mereka secara serempak, tidak dengan pisau dapur, tapi dengan kuah jamur.


Cinta Tak Ada Mati

Eka Kurniawan sekali lagi berimajinasi liar dalam Cinta Tak Ada Mati yang menyuguhkan cerita pendek (cerpen) tentang Mardio (Ending ceritanya gila dan bikin saya ngakak), bujangan berumur tujuh puluh tahunan yang cinta buta terhadap Melatie selama enam puluh tahun meskipun perempuan itu telah menikah dengan seorang dokter dan memiliki keluarga bahagia.


Baca tulisan saya yang lain: Resensi Novel Lelaki Harimau


Latar tempat dalam cerpen ini mengambil pusat perkotaan modern tahun 1950-an hingga 2000-an, tidak ada pantai, atau sedikitnya nuansa khas Tasikmalaya yang kerap muncul dalam cerita utama buatan Eka Kurniawan.


Mardio dikisahkan sebagai perobek tiket bioskop yang menggoda Melatie dengan menawarkan menonton gratis (karena perempuan itu tergila-gila dengan film). Ada yang menggelitik ketika Darah dan Doa menjadi tontonan pada kencan pertama mereka karena seakan-akan Mardio diibaratkan adalah antitesis dari Kapten Sudarto yang terlibat cinta dengan dua gadis padahal telah beristri.


Lucunya, Melatie juga seakan telah memiliki suratan takdir sebab ia dilahirkan saat kedua orang tuanya menonton Melatie van Java. Melatie mungkin tak ingin bernasib sial seperti Melatie dalam film tersebut, sebab mereka sama-sama putri seorang juragan kaya maka satu hal yang ingin diubah Melatie: Ia tak ingin mempunyai kekasih yang tidak dicintainya. Itulah sebab mengapa ia dan Mardio mungkin memang tidak akan pernah bisa bersatu sebab film adalah kunci nasib tragis percintaan mereka.


Resensi Novel Para Bajingan Yang Menyenangkan


Cinta Tak Ada Mati memang cukup panjang sebagai sebuah cerpen tetapi kisah Mardio begitu humanis dan bahkan dapat diamini oleh orang-orang yang sedang patah hati. Sama halnya dengan Kapten Sudarto, Mardio pun pada akhirnya hanya manusia biasa yang bisa memiliki niat keji untuk mendapatkan apa yang ia inginkan walau semua berakhir sebagai imajinasi liar yang enggan diwujudkannya, entah itu perkara dosa atau ketakutan-ketakutannya akan menyakiti perasaan si perempuan. Kini, satu pertanyaan membekas dalam benak saya:


Adakah seorang laki-laki di dunia ini yang mampu mencintai layaknya Mardio terhadap Melatie?


Baca Tulisan Saya yang lain: Resensi Novel LAPAR Karya Knut Hamsun


Surau
Memukau. Satu kata yang harus saya katakan pada cerpen berjudul "Surau" itu. Mas Eka sangat ciamik berimajinasi dan memadupadankan kata dalam menarasikan kisah anak kecil yang mengalami pergulatan batin saat hendak mendirikan shalat ashar.


Bermula karakter Aku yang terjebak hujan saat hendak ke surau. Pilihan ke surau dilatarbelakangi karena Ayahnya akan memecut tangannya karena tidak mau pergi ke surau meluangkan waktu lima menitnya bersujud kepada Tuhan. Perjalanannya ke surau, ia terjebak hujan lebat dan memilih meneduh ke emperan surau. Selama berteduh, ia melihat guru ngajinya bernama Ma Soma sedang mendirikan shalat Ashar. Dalam hatinya muncul perdebatan, "Apa salahnya jika membuka sepatu, mengambil wudhu, dan mendirikan shalat?".


"Tapi untuk apa?" Ia kembali bertanya ke dirinya sendiri.


Ia ingat jika niatnya ke surau hanya menghindari pukulan mistar dari Ayahnya. Hujan adalah kesempatan untuk sekedar menghilang lima menit dari pandangan Ayahnya agar dikira shalat.


Perasaannya berdebat lagi, ia khawatir Ma Soma melihatnya sedang berteduh di pinggir surau dan tak segera mendirikan shalat. Pada titik ini, Mas Eka menggambarkan karakter Aku merasa malu ketahuan Ma Soma karena tak segera mendirikan shalat.


Apa yang menarik? Kisah ini Indonesia banget. Mas Eka dengan ciamik menggambarkan apa yang anak-anak alami. Cerpennya membuat kita bertanya bagaimana kewajiban agama dan sistem edukasi keluarga yang syarat kekerasan, tetapi malah berbuah kenihilan. Sebab, karakter Aku digambarkan lebih takut mistar sang Ayah daripada mencintai Tuhan. Filsafat sekali bukan?


Caronang
Ada lagi cerpen berjudul Caronang, sebuah kisah fantasi mengenai binatang liar Caronang yang ditangkap dan dipelihara lalu ujungnya membawa petaka. Petaka terjadi ketika di suatu hari yang keji, Caronang menarik pelatuk, menembak dua kali, menghajar habis seorang balita hingga tiada. Nasib Caronang tentu berakhir tragis juga dengan dibunuh dan disembelih. Manusia memang sebegitu kejinya kerap menyalahkan pihak tak bersalah padahal ia yang pertama memulai awal petaka. Kritisme Eka Kurniawan terhadap manusia tampak tak usai pada cerita-ceritanya yang selalu dipenuhi oleh nuansa realisme magis.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Novel Babad Kopi Parahyangan


Bau Busuk

Cerita pendek berlatar Halimunda, lokasi yang mengingatkan kita pada novel Cantik Itu Luka. Bagi pembaca karya Mas Eka, saya yakin pembaca sudah mengambil benang merah kumpulan cerpennya. Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, Mas Eka tulisannya tidak jauh dari tema sejarah, filsafat, patriarki dan genre realisme magis.


Bau busuk adalah cerpen tentang pembantaian orang dan simpatisan komunis di Halimunda. Di bunuh hanya karena mereka di luar pakem, dikira atheis dan kontra revolusioner. Mayat mereka dibiarkan berserakan di jalanan, keluarga mereka tak berani menguburkan para korban sesuai dengan agama yang mereka anut. Masyarakat setempat juga tak sudi menguburkan mayat orang-orang komunis itu, kok gitu, para sanak famili mereka yang masih hidup saja tak sudi mereka temui, mereka di anggap hina dan patut mati konyol.


Jimat Sero

Cerpen ini keren, serius sangat keren. Alur ceritanya tak bisa di duga. Terlebih endingnya, membuat kita sebagai pembaca berimajinasi entah ke mana-mana. Bercerita tentang karakter Aku, Rohman dan Raisa.


Karakter Aku yang dicitrakan memiliki tubuh kecil, ringkih, tidak terlalu tinggi dan sering menjadi bulan-bulanan teman sekolahnya. Melihat hal tersebut, neneknya mengajaknya ke sebuah sumber mata air. Di sana ia bertemu dengan penjaga sumber mata air, anaknya bernama Rohman yang awalnya sudah kelas empat, di suruh Nenek dari karakter Aku untuk turun dua tingkat di kelas dua dan duduk di samping cucunya sembari menghajar sampai babak belur jika ada yang berani menganggu cucunya.


Sebagai penutup, saya rasa kumpulan cerpen ini hanya diperbolehkan untuk dibaca yang sudah memiliki umur minimal 17 tahun. Mengapa? Banyak narasi berbau dewasa. Hahaha.

 

Terimakasih

Malang, 24 Agustus 2020

Ali Ahsan Al Haris

No comments:

Post a Comment