Cinta Tak Ada Mati
Foto Saya Membawa Buku Cinta Tak Ada Mati |
Kutukan Dapur
Bagi yang sudah banyak membaca karya Mas Eka, tentu sudah
mengenali karakter daripada tulisan salah satu maestro penulis alumni Fakultas
Filsafat UGM ini. Bagi saya, nafas dari tulisan Mas Eka tidak jauh dari
politik, pemberontakan dan patriarki. Begitu pula dengan cerpen pertama pada
Kumcer Cinta Tak Ada Mati yang saya baca. Berkisah tentang Maharani yang
jalan-jalan ke museum kota berharap menemukan resep makanan, ia malah menemukan
sebuah catatan pemberontakan di mana salah satu tokohnya berkisah tentang
seorang perempuan bernama Diah Ayu. Ia tidak memberontak dengan senjata atau
bambu runcing, ia memberontak lewat bumbu-bumbu makanan, dan dapur tempatnya
memasak adalah arena peperangan nya.
Berlatar masa penjajahan, orang Eropa berbondong-bondong menjarah
negeri perawan - Mas Eka dalam hal ini meng anedotkan Indonesia - di mana dari
dasar laut sampai permukaan tanah apa yang kita temui dapat kita makan. Bahkan
lucu jika mendengar orang mati kelaparan di negeri perawan yang di mana saat
kalian melempar apapun akan tumbuh pohon yang dari buah, daun bahkan akarnya
bisa kita makan.
Baca tulisan saya yang lain: Resensi Corat-Coret di Toilet
Pada zaman kolonial, juru masak dianggap sebagai salah satu aset yang sangat berharga selain kekayaan dan jabatan. Bahkan, juru masak tidak diperkenankan pergi dari rumah dalam kondisi apapun. Termasuk sesumbar para tuan (kolonial) ke para koleganya saat mengundang para tamu undangan ke rumah menghadiri santap makanan.
Dari kebiasaan tuannya, Diah Ayu mulai paham bagaimana membuat
mereka mati tanpa di curigai oleh para tentara Belanda. Metodenya itu di rasa
lebih efektif membuat mati seseorang lebih banyak daripada perang di front.
Dengan meracik bumbu-bumbu rahasia, para Belanda itu bisa mati secara perlahan
dalam kurun waktu dua sampai tiga minggu. Di waktu senggangnya bertemu sesama
juru masak pribumi, Diah Ayu membagi bumbu-bumbu apa saja yang perlu diramu
untuk memulai pemberontakan. Ramuan yang dulu menjadi rahasia, kian hari semakin
menyebar dari juru masak satu ke rumah-rumah tempat juru masak pribumi bekerja.
Tepat pada hari Kamis. Mereka membunuh tuan-tuan mereka secara
serempak, tidak dengan pisau dapur, tapi dengan kuah jamur.
Cinta Tak Ada Mati
Eka Kurniawan sekali lagi berimajinasi liar dalam Cinta Tak Ada
Mati yang menyuguhkan cerita pendek (cerpen) tentang Mardio (Ending ceritanya
gila dan bikin saya ngakak), bujangan berumur tujuh puluh tahunan yang cinta
buta terhadap Melatie selama enam puluh tahun meskipun perempuan itu telah
menikah dengan seorang dokter dan memiliki keluarga bahagia.
Baca tulisan saya yang lain: Resensi Novel Lelaki Harimau
Latar tempat dalam cerpen ini mengambil pusat perkotaan modern
tahun 1950-an hingga 2000-an, tidak ada pantai, atau sedikitnya nuansa khas
Tasikmalaya yang kerap muncul dalam cerita utama buatan Eka Kurniawan.
Mardio dikisahkan sebagai perobek tiket bioskop yang menggoda
Melatie dengan menawarkan menonton gratis (karena perempuan itu tergila-gila
dengan film). Ada yang menggelitik ketika Darah dan Doa menjadi tontonan pada
kencan pertama mereka karena seakan-akan Mardio diibaratkan adalah antitesis
dari Kapten Sudarto yang terlibat cinta dengan dua gadis padahal telah
beristri.
Lucunya, Melatie juga seakan telah memiliki suratan takdir sebab
ia dilahirkan saat kedua orang tuanya menonton Melatie van Java. Melatie mungkin
tak ingin bernasib sial seperti Melatie dalam film tersebut, sebab mereka
sama-sama putri seorang juragan kaya maka satu hal yang ingin diubah Melatie:
Ia tak ingin mempunyai kekasih yang tidak dicintainya. Itulah sebab mengapa ia
dan Mardio mungkin memang tidak akan pernah bisa bersatu sebab film adalah
kunci nasib tragis percintaan mereka.
Resensi Novel Para Bajingan Yang Menyenangkan
Cinta Tak Ada Mati memang cukup panjang sebagai sebuah cerpen
tetapi kisah Mardio begitu humanis dan bahkan dapat diamini oleh orang-orang
yang sedang patah hati. Sama halnya dengan Kapten Sudarto, Mardio pun pada
akhirnya hanya manusia biasa yang bisa memiliki niat keji untuk mendapatkan apa
yang ia inginkan walau semua berakhir sebagai imajinasi liar yang enggan
diwujudkannya, entah itu perkara dosa atau ketakutan-ketakutannya akan
menyakiti perasaan si perempuan. Kini, satu pertanyaan membekas dalam benak
saya:
Adakah seorang laki-laki di dunia ini yang mampu mencintai
layaknya Mardio terhadap Melatie?
Baca Tulisan Saya yang lain: Resensi Novel LAPAR Karya Knut Hamsun
Surau
Memukau. Satu kata yang harus saya katakan pada cerpen berjudul
"Surau" itu. Mas Eka sangat ciamik berimajinasi dan memadupadankan
kata dalam menarasikan kisah anak kecil yang mengalami pergulatan batin saat
hendak mendirikan shalat ashar.
Bermula karakter Aku yang terjebak hujan saat hendak ke surau.
Pilihan ke surau dilatarbelakangi karena Ayahnya akan memecut tangannya karena
tidak mau pergi ke surau meluangkan waktu lima menitnya bersujud kepada Tuhan.
Perjalanannya ke surau, ia terjebak hujan lebat dan memilih meneduh ke emperan
surau. Selama berteduh, ia melihat guru ngajinya bernama Ma Soma sedang
mendirikan shalat Ashar. Dalam hatinya muncul perdebatan, "Apa salahnya
jika membuka sepatu, mengambil wudhu, dan mendirikan shalat?".
"Tapi untuk apa?" Ia kembali bertanya ke dirinya
sendiri.
Ia ingat jika niatnya ke surau hanya menghindari pukulan mistar
dari Ayahnya. Hujan adalah kesempatan untuk sekedar menghilang lima menit dari
pandangan Ayahnya agar dikira shalat.
Perasaannya berdebat lagi, ia khawatir Ma Soma melihatnya sedang
berteduh di pinggir surau dan tak segera mendirikan shalat. Pada titik ini, Mas
Eka menggambarkan karakter Aku merasa malu ketahuan Ma Soma karena tak segera
mendirikan shalat.
Apa yang menarik? Kisah ini Indonesia banget. Mas Eka dengan
ciamik menggambarkan apa yang anak-anak alami. Cerpennya membuat kita bertanya
bagaimana kewajiban agama dan sistem edukasi keluarga yang syarat kekerasan,
tetapi malah berbuah kenihilan. Sebab, karakter Aku digambarkan lebih takut
mistar sang Ayah daripada mencintai Tuhan. Filsafat sekali bukan?
Caronang
Ada lagi cerpen berjudul Caronang, sebuah kisah fantasi mengenai binatang liar
Caronang yang ditangkap dan dipelihara lalu ujungnya membawa petaka. Petaka
terjadi ketika di suatu hari yang keji, Caronang menarik pelatuk, menembak dua
kali, menghajar habis seorang balita hingga tiada. Nasib Caronang tentu
berakhir tragis juga dengan dibunuh dan disembelih. Manusia memang sebegitu
kejinya kerap menyalahkan pihak tak bersalah padahal ia yang pertama memulai
awal petaka. Kritisme Eka Kurniawan terhadap manusia tampak tak usai pada
cerita-ceritanya yang selalu dipenuhi oleh nuansa realisme magis.
Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Novel Babad Kopi Parahyangan
Bau Busuk
Cerita pendek berlatar Halimunda, lokasi yang mengingatkan kita
pada novel Cantik Itu Luka. Bagi pembaca karya Mas Eka, saya yakin pembaca
sudah mengambil benang merah kumpulan cerpennya. Seperti yang pernah saya tulis
sebelumnya, Mas Eka tulisannya tidak jauh dari tema sejarah, filsafat,
patriarki dan genre realisme magis.
Bau busuk adalah cerpen tentang pembantaian orang dan simpatisan
komunis di Halimunda. Di bunuh hanya karena mereka di luar pakem, dikira atheis
dan kontra revolusioner. Mayat mereka dibiarkan berserakan di jalanan, keluarga
mereka tak berani menguburkan para korban sesuai dengan agama yang mereka anut.
Masyarakat setempat juga tak sudi menguburkan mayat orang-orang komunis itu,
kok gitu, para sanak famili mereka yang masih hidup saja tak sudi mereka temui,
mereka di anggap hina dan patut mati konyol.
Jimat Sero
Cerpen ini keren, serius sangat keren. Alur ceritanya tak bisa di
duga. Terlebih endingnya, membuat kita sebagai pembaca berimajinasi entah ke
mana-mana. Bercerita tentang karakter Aku, Rohman dan Raisa.
Karakter Aku yang dicitrakan
memiliki tubuh kecil, ringkih, tidak terlalu tinggi dan sering menjadi
bulan-bulanan teman sekolahnya. Melihat hal tersebut, neneknya mengajaknya ke
sebuah sumber mata air. Di sana ia bertemu dengan penjaga sumber mata air,
anaknya bernama Rohman yang awalnya sudah kelas empat, di suruh Nenek dari
karakter Aku untuk turun dua tingkat di kelas dua dan duduk di samping cucunya
sembari menghajar sampai babak belur jika ada yang berani menganggu cucunya.
Sebagai penutup, saya rasa
kumpulan cerpen ini hanya diperbolehkan untuk dibaca yang sudah memiliki umur
minimal 17 tahun. Mengapa? Banyak narasi berbau dewasa. Hahaha.
Terimakasih
Malang, 24 Agustus 2020
Ali Ahsan Al Haris
No comments:
Post a Comment