LAKI-LAKI MEMANG TIDAK MENANGIS, TAPI HATINYA
BERDARAH, DIK
Laki-Laki Memang Tidak Menangis |
Buku yang tidak terlalu tebal ini menceritakan
istri dan anak Cak Rus. Daya romantis & kekanakannya sungguh melankolis dan
mengurai air mata. Kritiknya dalam bentuk satire juga tak hilang dan sudah
menjadi nafas dari setiap tulisan-tulisan yang Cak Rus tulis.
Dari 80 essai dan yang Cak Rus tulis, ada beberapa essai yang saya sukai, bahkan essai pendek ini terbilang memukau. Seperti kebiasaan saya dalam meresensi kumpulan cerpen, kali ini saya akan memilih beberapa essai tuisan Alm. Cak Rusdi yang bagiku menginspirasi.
Baca Tulisan Saya yang Lain: Resensi Buku Menjerat Gus Dur
Takdir
Ada yang berkata, takdir kita terikat dengan tanah
seperti kaum kita yang tinggal di atasnya. Yang lain berkata, takdir seperti
benang yang ditenun jadi kain, terikat dengan banyak orang. Itulah hal yang
kita cari atau kita perjuangkan untuk mengubahnya. Ada yang tak pernah
menemukan takdirnya, tapi ada yang dituntun menuju takdirnya.
Putri Merida menyampaikan narasi itu di awal-awal
film Brave, Fahri. Dia masih remaja. Dan meskipun kau tak menonton film itu,
mestinya kau tahu, tak setiap laki-laki ditakdirkan punya masa lalu yang kelam.
Mereka yang mengalaminya pun, pada akhirnya sanggup berdamai dengan masa lalu
mereka. Mengubahnya. Berjuang dengan hati yang berdarah-darah, meski barangkali
sebagian dari mereka tak menangis. Mereka dituntun menuju takdirya dengan cara
yang tak pernah kau bayangkan dan mungkin juga kau sesalkan, maka berdamailah,
Fahri. Berdamailah.
11-12 Tahun
Aku tulis surat ini padamu untuk mengingat perjumpaan
kita dua belas tahun lalu dan sumpahku padamu sebelas tahun yang lewat. Kita
bukan siapa- siapa, Dik, dan tak penting menjadi apa. Sebelas tahun atau dua
belas tahun, itu bukanlah waktu sebentar untuk kita yang terlalu lekas menjadi
renta. Kita telah melewatinya bersama dengan penuh peluh, dengan lebih banyak
lelehan air mata.
Hari ini, Dik, aku kembali mengingat hari wadad
kita, hari ketika wajahmu yang sentosa dibebat melati dan pupur doa. Rambutmu
wangi Kasturi dan dupa. Lalu, sebelas tahun atau dua belas tahun lamanya, kamu
dan aku terkunci di zaman yang sombong. Orang-orang berpidato tentang kutukan
dan pujian; tapi benarkah hati dan masa depan manusia punya kuasa hukum dan pengadilan?
Masya Allah, Dik, apa kamu ingat ketika aku
peluk dirimu sembari kuciumi lehermu yang putih. Saat aku melepaskan tali
kutangmu kali pertama? Waktu berahiku mengusap payudaramu yang wangi tandan kelapa,
kamu bertanya, "Mengapa orang-orang itu merasa memiliki sambil menerkam
yang lain?"
Dan setelah sebelas tahun atau dua belas tahun lamanya,
para serigala terus menyeringai melihat orang yang terisak dan berteduh sejak
kemarin sore di bawah kardus yang robek.
Hidup manusia memang lucu ya, Dik. Ketika orang-orang
bergegas membeli biskuit dan susu, dan para petualang berebut roti, aku justru
tak pernah membawakan apa-apa untukmu dan anakmu. Lalu sebelas atau dua belas
tahun lamanya, kita kemudian selalu bisa menertawakan hidup kita sendiri,
meskipun selalu dengan lelehan air mata.
Ya Allah, Dik, sebelas atau dua belas tahun,
benar bukan waktu sekejap ternyata. Aku memang tidak pernah menggandeng
tanganmu seperti yang selalu kamu minta. Tapi kamu kini tahu, setelah sebelas atau
dua belas tahun kita telah selalu melewatinya bersama sambil menari dan
berputar seolah di sorga. Dan semua itu lebih penting dari hanya bergandengan tangan
tentu saja.
Perempuanku
Aku mengingatmu malam ini ketika bulan separuh yang
menggantung di langit di atas genteng rumahmu yang sepi, menggodaku. Angin
menerbangkan harum pandan yang tumbuh di halaman. Kita telah melewati beratus-ratus
jam sejak aku menyingkap BH-mu dan mengusap payudaramu menjelang subuh.
Suaramu memanggil namaku. Merambat ke dinding
jiwaku. Aku terus menciumi lehermu yang berpeluh. Kita menumpahkan kegelisahan
jiwa yang sama di atas kasur dipan di kamarmu yang dilapisi seprai yang nyaman.
Aku mengerti rasa cemasmu. Badai kita sama. Bergemuruh
dan mengguncang haluan. Tak ada yang aku tawarkan padamu. Aku lelaki pendayung sampan
yang mengajakmu mengarungi samudera kehidupan, sebab kita telah melewati
kesumpekan masing-masing. Hidup hanyalah soal di atas dan di bawah.
Lalu sore itu, kita rebah di sofa berwarna
dongker. Engkau berkata mencintaiku sambil menyorongkan susumu ke wajahku.
Nafasmu wangi kembang tembakau. Sukmaku dipacu dari puncaknya yangpaling dalam.
Melayang-layang penuh gelora. Kita berbicara tentang hari-hari yang panjang dan
terik yang mungkin akan kita lalui setelah sore itu.
Aku mengingatmu, perempuanku, karena beratus- ratus
jam yang telah kita lalui di atas kasur kamarmu yang semerbak dupa. Engkau
duduk di pangkuanku. Aku memeluk pinggulmu. Tanganmu mencengkeram pundakku.
Engkau menari sampai pagi. Saat itu aku tahu, padamu ada sebagian darahku.
Sama
Duhai Allah, ampunilah semua muslim, ampuni
semua orang yang beriman, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati.
Begitulah muslim dan mukmin berdoa selepas
sembahyang.
Mereka saling mendoakan dengan doa yang sama,
dengan pengharapan yang sama, lalu setelah itu mereka saling membunuh, mendendam,
membenci, menghujat dan mengkafirkan.
Allah memang lucu, tapi banyak manusia
menganggap Allah terlalu serius.
Terimakasih banyak
Malang, 19 Agustus 2020
Ali Ahsan Al Haris
No comments:
Post a Comment