Tuesday, August 25, 2020

Resensi Laki-Laki Memang Tidak Menangis, Tapi Hatinya Berdarah, Dik

 

LAKI-LAKI MEMANG TIDAK MENANGIS, TAPI HATINYA BERDARAH, DIK

 

Laki-Laki Memang Tidak Menangis
Buku ini berisi kumpulan essai pendek dari Almarhum Cak Rusdi Mathari yang sempat dikirim ke Buku Mojok dan belum sempat dibukukan. Ini adalah buku ketiga karangan Cak Rus yang saya baca setelah Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam & Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya. Membaca buku ini seperti menyelami sisi lain Cak Rusdi. Melankolis, lembut dan begitu landai jika dibaca. Seperti seorang remaja yang sedang kasmaran pada cinta pertamanya, Cak Rusdi menulis essai dalam buku ini.

Buku yang tidak terlalu tebal ini menceritakan istri dan anak Cak Rus. Daya romantis & kekanakannya sungguh melankolis dan mengurai air mata. Kritiknya dalam bentuk satire juga tak hilang dan sudah menjadi nafas dari setiap tulisan-tulisan yang Cak Rus tulis.

Dari 80 essai dan yang Cak Rus tulis, ada beberapa essai yang saya sukai, bahkan essai pendek ini terbilang memukau. Seperti kebiasaan saya dalam meresensi kumpulan cerpen, kali ini saya akan memilih beberapa essai tuisan Alm. Cak Rusdi yang bagiku menginspirasi.


Baca Tulisan Saya yang Lain: Resensi Buku Menjerat Gus Dur

 

Takdir

Ada yang berkata, takdir kita terikat dengan tanah seperti kaum kita yang tinggal di atasnya. Yang lain berkata, takdir seperti benang yang ditenun jadi kain, terikat dengan banyak orang. Itulah hal yang kita cari atau kita perjuangkan untuk mengubahnya. Ada yang tak pernah menemukan takdirnya, tapi ada yang dituntun menuju takdirnya.

Putri Merida menyampaikan narasi itu di awal-awal film Brave, Fahri. Dia masih remaja. Dan meskipun kau tak menonton film itu, mestinya kau tahu, tak setiap laki-laki ditakdirkan punya masa lalu yang kelam. Mereka yang mengalaminya pun, pada akhirnya sanggup berdamai dengan masa lalu mereka. Mengubahnya. Berjuang dengan hati yang berdarah-darah, meski barangkali sebagian dari mereka tak menangis. Mereka dituntun menuju takdirya dengan cara yang tak pernah kau bayangkan dan mungkin juga kau sesalkan, maka berdamailah, Fahri. Berdamailah.

 

11-12 Tahun

Aku tulis surat ini padamu untuk mengingat perjumpaan kita dua belas tahun lalu dan sumpahku padamu sebelas tahun yang lewat. Kita bukan siapa- siapa, Dik, dan tak penting menjadi apa. Sebelas tahun atau dua belas tahun, itu bukanlah waktu sebentar untuk kita yang terlalu lekas menjadi renta. Kita telah melewatinya bersama dengan penuh peluh, dengan lebih banyak lelehan air mata.

Hari ini, Dik, aku kembali mengingat hari wadad kita, hari ketika wajahmu yang sentosa dibebat melati dan pupur doa. Rambutmu wangi Kasturi dan dupa. Lalu, sebelas tahun atau dua belas tahun lamanya, kamu dan aku terkunci di zaman yang sombong. Orang-orang berpidato tentang kutukan dan pujian; tapi benarkah hati dan masa depan manusia punya kuasa hukum dan pengadilan?

Masya Allah, Dik, apa kamu ingat ketika aku peluk dirimu sembari kuciumi lehermu yang putih. Saat aku melepaskan tali kutangmu kali pertama? Waktu berahiku mengusap payudaramu yang wangi tandan kelapa, kamu bertanya, "Mengapa orang-orang itu merasa memiliki sambil menerkam yang lain?"


 Baca Tulisan Saya Yang Lain: Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam Oleh Rusdi Mathari


Dan setelah sebelas tahun atau dua belas tahun lamanya, para serigala terus menyeringai melihat orang yang terisak dan berteduh sejak kemarin sore di bawah kardus yang robek.

Hidup manusia memang lucu ya, Dik. Ketika orang-orang bergegas membeli biskuit dan susu, dan para petualang berebut roti, aku justru tak pernah membawakan apa-apa untukmu dan anakmu. Lalu sebelas atau dua belas tahun lamanya, kita kemudian selalu bisa menertawakan hidup kita sendiri, meskipun selalu dengan lelehan air mata.

Ya Allah, Dik, sebelas atau dua belas tahun, benar bukan waktu sekejap ternyata. Aku memang tidak pernah menggandeng tanganmu seperti yang selalu kamu minta. Tapi kamu kini tahu, setelah sebelas atau dua belas tahun kita telah selalu melewatinya bersama sambil menari dan berputar seolah di sorga. Dan semua itu lebih penting dari hanya bergandengan tangan tentu saja.

 

Perempuanku

Aku mengingatmu malam ini ketika bulan separuh yang menggantung di langit di atas genteng rumahmu yang sepi, menggodaku. Angin menerbangkan harum pandan yang tumbuh di halaman. Kita telah melewati beratus-ratus jam sejak aku menyingkap BH-mu dan mengusap payudaramu menjelang subuh.

Suaramu memanggil namaku. Merambat ke dinding jiwaku. Aku terus menciumi lehermu yang berpeluh. Kita menumpahkan kegelisahan jiwa yang sama di atas kasur dipan di kamarmu yang dilapisi seprai yang nyaman.

Aku mengerti rasa cemasmu. Badai kita sama. Bergemuruh dan mengguncang haluan. Tak ada yang aku tawarkan padamu. Aku lelaki pendayung sampan yang mengajakmu mengarungi samudera kehidupan, sebab kita telah melewati kesumpekan masing-masing. Hidup hanyalah soal di atas dan di bawah.

Lalu sore itu, kita rebah di sofa berwarna dongker. Engkau berkata mencintaiku sambil menyorongkan susumu ke wajahku. Nafasmu wangi kembang tembakau. Sukmaku dipacu dari puncaknya yangpaling dalam. Melayang-layang penuh gelora. Kita berbicara tentang hari-hari yang panjang dan terik yang mungkin akan kita lalui setelah sore itu.

Aku mengingatmu, perempuanku, karena beratus- ratus jam yang telah kita lalui di atas kasur kamarmu yang semerbak dupa. Engkau duduk di pangkuanku. Aku memeluk pinggulmu. Tanganmu mencengkeram pundakku. Engkau menari sampai pagi. Saat itu aku tahu, padamu ada sebagian darahku.


 Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Novel Seorang Laki-Laki Yang Keluar Dari Rumah


Sama

Duhai Allah, ampunilah semua muslim, ampuni semua orang yang beriman, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati.

Begitulah muslim dan mukmin berdoa selepas sembahyang.

Mereka saling mendoakan dengan doa yang sama, dengan pengharapan yang sama, lalu setelah itu mereka saling membunuh, mendendam, membenci, menghujat dan mengkafirkan.

Allah memang lucu, tapi banyak manusia menganggap Allah terlalu serius.

 

Terimakasih banyak

Malang, 19 Agustus 2020

Ali Ahsan Al Haris

No comments:

Post a Comment