Tuesday, August 25, 2020

Resensi Buku Seperti Roda Berputar Karya Rusdi Mathari

 

SEPERTI RODA BERPUTAR (Catatan di Rumah Sakit)

 

Seperti Roda Berputar
Bagi pembaca setia laman mojok dot co tentu mengenal siapa Jurnalis besar bernama Rusdi Mathari. Beliau telah meninggal dengan sugudang prestasi dan karya, termasuk buku-buku Almarhamum yang membuat kita sebagai pembaca merenungkan ulang, untuk apa kita hidup?


Ketika Cak Rusdi sedang sakit dan crew mojok menjenguknya di rumah sakit, dia menyampaikan keinginan untuk menuliskan sebuah karya fiksi, sebuah novel. Dan dia akan menuliskan novel itu dengan cara dicicil. Lalu, katanya lagi, bagaimana kalau potongan-potongan novelnya itu dimuat di Mojok dot co terlebih dahulu.


Para crew mojok dot co menyanggupi, dan berjanji menerbitkannya. Juga menghubungi Prima Sulistya, pemimpin redaksi Mojok dot co, menyampaikan niat Cak Rusdi. Prima pun menerima tawaran Cak Rusdi, bahkan membuatkan rubrik khusus Infus. Tayang setiap hari Senin.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Buku Laki-Laki Memang Tidak Menangis, Tapi Hatinya Berdarah, Dik


Para crew mojok tahu Cak Rusdi bersusah payah agar tetap menulis. Kebiasaan dia menulis harus duduk dengan posisi punggung tegak, di depan laptop atau komputer, dan suasana yang tenang, tidak bisa dinikmatinya lagi. Saat itu, dia hanya bisa mengandalkan telepon genggam untuk menulis. Tangan kirinya memegang telepon genggam, jempol kanan dia gunakan untuk mengetik.


Keinginan untuk menyampaikan gagasan dan menulis tetap membara di diri Cak Rusdi.


Pada hari-hari selanjutnya crew mojok dot co menerima kiriman artikel melalui pesan WhatsApp. Beliau masih sama seperti hari-hari ketika ia masih sehat. Selalu gelisah dengan apa yang ia tuliskan. Sekarang mengirim naskah, beberapa waktu kemudian dia mengirimkan naskah lagi. Naskah yang sudah dia revisi.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Buku Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam


Naskah tersebut terakhir kali kami terima pada 3 Desember 2017. Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada 2 Maret 2018, Cak Rusdi pergi meninggalkan crew mojok dot co dan para penggemarnya. Juga meninggalkan bakal novel yang belum rampung.


Meskipun Cak Rusdi sempat bercerita tentang konsep novelnya, para crew mojok dot co juga punya berbagai keterbatasan untuk mewujudkan. Para crew khawatir tidak sanggup menambal naskah sehingga menjadi satu kesatuan cerita yang utuh. Karena itu, para crew menerbitkan buku ini. Setidaknya, untuk melunasi janji. Selebihnya, agar menjaga semangat menulis dan berkarya crew mojok dot co, yang masih muda dan masih diberi nikmat kesehatan.


Sederhananya, buku ini adalah kisah jenaka yang Alm. Cak Rusdi tulis. Dibalik tumor ganas yang beliau hadapi, karakter tulisannya tetap tidak berubah. Kritis, jenaka dan membuat kita selaku pembaca untuk merenungi ulang apa saja yang telah kita lakukan untuk keluarga dan berlaku sebagai hamba dari sang pencipta!.


Banyak pembaca yang mereview buku ini dengan suasa hati yang hampir seragam. Mereka merasa sedih yang mendalam. Saya akan tuliskan ulang beberapa.


 Sampai sekarang, ada dua tempat yang sangat saya hindari dalam hidup saya, yaitu rumah sakit dan pengadilan. Berurusan dengan aparat penegak hukum bagi saya sama buruknya dengan petugas medis. Jika bisa dihindari, lebih baik menghindar. "Seperti Roda Berputar" karya Rusdi Mathari ini bagi saya merupakan sebuah mimpi buruk, manifestasi dari kekhawatiran-kekhawatiran saya ketika berurusan dengan petugas medis. Kesulitan biaya, menanggung penyakit berat, dan harus bergantung pada BPJS tentu merupakan hal yang tidak ingin kita hadapi. Dengan kondisi semacam itu, Cak Rusdi menceritakan kisahnya saat di rumah sakit dengan detail tapi tetap humanis. Saya seolah bisa merasakan betul bagaimana kondisi rumah sakit yang kacau dan penuh dengan penderitaan. Sayang, Cak Rusdi sudah pergi sebelum menyelesaikan karya-karyanya yang lain. Meskipun begitu "Seperti Roda Berputar" tetaplah sebuah memoar singkat yang membekas, karena "kematian hanya bisa direnungkan oleh mereka yang masih hidup. (Evan Kanigara).


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Novel Cinta Lama Karya Puthut EA


Membaca buku Cak Rusdi ini mengingatkan kejadian yang hampir sama seperti yang dialami oleh kakek dan keluarga saya sebagai pengguna jasa jaminan kesehatan yang dikelola oleh Pemerintah. Betapa hati saya hancur melihat kakek saya yang sudah lanjut usia ini mengeluh selama tiga hari tiga malam di ruang IGD rumah sakit rujukan di kota saya, dengan kondisi kedua tangan yang nyeri tidak bisa lagi digunakan dan perut yang selalu sakit karena terluka akibat terlalu banyak mengonsumsi obat anti nyeri dengan dosis yang tinggi, tanpa resep dokter. Jangan dibayangkan IGD tempat kakek saya ini ruangan yang nyaman. Meskipun ruangan ini ukurannya sekitar 10x10m, tapi ruangan ini diisi oleh belasan pasien dengan berbagai macam jenis penyakit ditambah beberapa keluarga yang menunggui masing-masing pasien. Bahkan sebelum masuk di ruangan tersebut, Kakek saya sempat di tempatkan di lobby pintu rumah sakit. Iya, benar-benar tempat lalu lalang orang keluar-masuk rumah sakit. Sesekali kakek saya dijenguk oleh mba-mba perawat yang rutin mengecek tensi kakek saya setiap pagi dan sore. Jangankan untuk tidur, makan dan minum saja kakek saya tak mampu karena mencium berbagai bau-bauan yang tidak enak di ruangan IGD. Kami sekeluarga mencoba memberi pengertian kepada Kakek untuk sabar sampai mendapatkan ruangan khusus yang nyaman nantinya.


Melihat kondisi kakek yang semakin banyak ngomel, Bapak saya sudah tidak tahan lagi. Beliau berencana untuk mencabut berkas pendaftaran kakek saya, kemudian mendaftarkannya lagi sebagai peserta umum, non asuransi. Namun pihak rumah sakit menolak dengan alasan bagaimana pun juga peserta maupun non peserta jaminan kesehatan tetap harus memakai kartu sakti itu karena pelayanannya akan sama saja.


Tepat pada hari ketiga, kakek saya menyerah. Ia pingsan di kamar mandi rumah sakit pada saat dibopong Bapak dan Om saya untuk buang air. Fesesnya sudah menghitam dan keras sehingga susah untuk dikeluarkan (dalam bahasa jawa disebut gegelen). Bapak saya mengaku, kakek saya langsung pingsan selepas memaksakan diri untuk mengeluarkan fesesnya tersebut. Baru kali ini saya melihat Bapak menangis sejadi-jadinya sambil membopong kakek keluar dari kamar mandi yang bersimbah kotoran disekujur kakinya. Barulah kemudian kakek saya dipindahkan di suatu ruangan khusus dan dipasangkan selang oksigen di mulutnya. Stetoskop ditempel di dada dan dokter mendapat kesimpulan bahwa jantung kakek saya melemah. Cepat-cepat dokter mengeluarkan alat sejenis defibliator, untuk menstimulasi detak jantung kakek agar kembali normal. Beberapa kali alat pacu jantung itu ditempelkan ke dada kakek. Alhamdulillah kakek masih bisa terselamatkan. Ruangan itu lebih mirip gudang penyimpanan daripada ruang khusus pasien kritis. Tabung dan selang oksigen, bahkan kardus berserakan dimana-mana. Sambil membersihkan kaki dan dubur kakek, lantas memakaikannya popok. Saya tercekat menahan tangis. Saya belum siap kehilangan.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan


Dua hari kakek saya di ruangan itu dan dan hanya terbaring tanpa daya. Kakek sudah tidak mampu lagi menggerakan anggota tubuhnya kecuali berkedip. Saya mengajaknya ngobrol sambil memegang tangannya yang dingin. Berharap dia lekas membaik walau nafasnya kian tersengal-sengal.


Dini hari beliau mendapatkan kamar yang sangat nyaman di rumah sakit yang sama dengan bangunan yang masih baru. Kakek saya terbaring lemah dan dipasang infus baru yang cairannya berwarna kekuningan, tidak lagi bening seperti biasanya. Makin parah 'kah beliau?


Dua malam kakek saya bermalam di kamar itu. Kata pasien yang sudah lebih lama disitu, hampir selalu ada pasien yang keluar-masuk ruangan. Kakek saya adalah orang kelima yang masuk. Ya, mereka yang dipindahkan ke ruangan lain setelah dokter menyatakanya meninggal dunia, kemudian diisi oleh pasien lain yang sama kritisnya. Sudah dapat dipastikan bahwa orang itu sering mendengar isak tangis keluarga yang ditinggalkan, hampir setiap malam. Bagaimana perasaan pasien disini? Saya pikir akan lebih tertekan. Bukan hanya pasiennya tentu saja, tapi juga keluarga yang menunggui.


Melihat kondisi kakek yang cukup baik, saya memutuskan untuk pulang karena sudah berhari-hari tidak mandi. Esok paginya saya mendapati kakek telah berpulang, tanpa saya disisinya. Saya tidak ingin menyalahkan siapapun disini. Siapa yang tahu takdir Tuhan 'kan? Sakit itu memang mahal ya. Siapa pula yang mau repot-repot mengurusi orang tua yang sudah tinggal menanti ajalnya? (Elisma Herdinawati)


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Novel Para Bajingan Yang Menyenangkan


Dan terakhir review dari, Trian Lesman : Buku kecil ini membawa perasaan yang berbeda dari buku lain. Bagaimana tidak, Cak Rusdi seperti menceritakan sendiri detik-detik kematiannya. Di tengah hidupnya yang tak berdaya, Cak Rusdi masih menyempatkan untuk menulis. Ia tidak bisa tidak menulis. Ketika tak bisa menulis di depan laptop dengan duduk, ia mengetik dengan ponsel. Ketika jari-jarinya sudah tidak mampu digerakkan secara layak, ia hanya menggunakan jempolnya. Bahkan ketika ia benar-benar tak sanggup, ia minta ceritanya dituliskan orang lain.


“Saya harus mengetik, harus bertahan dan hidup.”

 

Terimakasih Banyak

Malang, 19 Agustus 2020

Ali Ahsan Al Haris

No comments:

Post a Comment