SEPERTI RODA BERPUTAR (Catatan di Rumah Sakit)
Bagi pembaca setia laman mojok dot co tentu
mengenal siapa Jurnalis besar bernama Rusdi Mathari. Beliau telah meninggal
dengan sugudang prestasi dan karya, termasuk buku-buku Almarhamum yang membuat
kita sebagai pembaca merenungkan ulang, untuk apa kita hidup?Seperti Roda Berputar
Ketika Cak Rusdi sedang sakit dan crew mojok menjenguknya
di rumah sakit, dia menyampaikan keinginan untuk menuliskan sebuah karya fiksi,
sebuah novel. Dan dia akan menuliskan novel itu dengan cara dicicil. Lalu,
katanya lagi, bagaimana kalau potongan-potongan novelnya itu dimuat di Mojok
dot co terlebih dahulu.
Para crew mojok dot co menyanggupi, dan
berjanji menerbitkannya. Juga menghubungi Prima Sulistya, pemimpin redaksi Mojok
dot co, menyampaikan niat Cak Rusdi. Prima pun menerima tawaran Cak Rusdi,
bahkan membuatkan rubrik khusus Infus. Tayang setiap hari Senin.
Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Buku Laki-Laki Memang Tidak Menangis, Tapi Hatinya Berdarah, Dik
Para crew mojok tahu Cak Rusdi bersusah payah
agar tetap menulis. Kebiasaan dia menulis harus duduk dengan posisi punggung
tegak, di depan laptop atau komputer, dan suasana yang tenang, tidak bisa
dinikmatinya lagi. Saat itu, dia hanya bisa mengandalkan telepon genggam untuk
menulis. Tangan kirinya memegang telepon genggam, jempol kanan dia gunakan
untuk mengetik.
Keinginan untuk menyampaikan gagasan dan menulis
tetap membara di diri Cak Rusdi.
Pada hari-hari selanjutnya crew mojok dot co menerima
kiriman artikel melalui pesan WhatsApp. Beliau masih sama seperti hari-hari
ketika ia masih sehat. Selalu gelisah dengan apa yang ia tuliskan. Sekarang mengirim
naskah, beberapa waktu kemudian dia mengirimkan naskah lagi. Naskah yang sudah
dia revisi.
Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Buku Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam
Naskah tersebut terakhir kali kami terima pada
3 Desember 2017. Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada 2 Maret 2018, Cak Rusdi
pergi meninggalkan crew mojok dot co dan para penggemarnya. Juga meninggalkan
bakal novel yang belum rampung.
Meskipun Cak Rusdi sempat bercerita tentang konsep
novelnya, para crew mojok dot co juga punya berbagai keterbatasan untuk
mewujudkan. Para crew khawatir tidak sanggup menambal naskah sehingga menjadi satu
kesatuan cerita yang utuh. Karena itu, para crew menerbitkan buku ini.
Setidaknya, untuk melunasi janji. Selebihnya, agar menjaga semangat menulis dan
berkarya crew mojok dot co, yang masih muda dan masih diberi nikmat kesehatan.
Sederhananya, buku ini adalah kisah jenaka yang
Alm. Cak Rusdi tulis. Dibalik tumor ganas yang beliau hadapi, karakter
tulisannya tetap tidak berubah. Kritis, jenaka dan membuat kita selaku pembaca
untuk merenungi ulang apa saja yang telah kita lakukan untuk keluarga dan
berlaku sebagai hamba dari sang pencipta!.
Banyak pembaca yang mereview buku ini dengan
suasa hati yang hampir seragam. Mereka merasa sedih yang mendalam. Saya akan
tuliskan ulang beberapa.
Sampai sekarang, ada dua
tempat yang sangat saya hindari dalam hidup saya, yaitu rumah sakit dan
pengadilan. Berurusan dengan aparat penegak hukum bagi saya sama buruknya
dengan petugas medis. Jika bisa dihindari, lebih baik menghindar. "Seperti
Roda Berputar" karya Rusdi Mathari ini bagi saya merupakan sebuah mimpi
buruk, manifestasi dari kekhawatiran-kekhawatiran saya ketika berurusan dengan
petugas medis. Kesulitan biaya, menanggung penyakit berat, dan harus bergantung
pada BPJS tentu merupakan hal yang tidak ingin kita hadapi. Dengan kondisi
semacam itu, Cak Rusdi menceritakan kisahnya saat di rumah sakit dengan detail
tapi tetap humanis. Saya seolah bisa merasakan betul bagaimana kondisi rumah
sakit yang kacau dan penuh dengan penderitaan. Sayang, Cak Rusdi sudah pergi sebelum
menyelesaikan karya-karyanya yang lain. Meskipun begitu "Seperti Roda
Berputar" tetaplah sebuah memoar singkat yang membekas, karena
"kematian hanya bisa direnungkan oleh mereka yang masih hidup. (Evan
Kanigara).
Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Novel Cinta Lama Karya Puthut EA
Membaca buku Cak Rusdi ini
mengingatkan kejadian yang hampir sama seperti yang dialami oleh kakek dan
keluarga saya sebagai pengguna jasa jaminan kesehatan yang dikelola oleh
Pemerintah. Betapa hati saya hancur melihat kakek saya yang sudah lanjut usia
ini mengeluh selama tiga hari tiga malam di ruang IGD rumah sakit rujukan di
kota saya, dengan kondisi kedua tangan yang nyeri tidak bisa lagi digunakan dan
perut yang selalu sakit karena terluka akibat terlalu banyak mengonsumsi obat
anti nyeri dengan dosis yang tinggi, tanpa resep dokter. Jangan dibayangkan IGD
tempat kakek saya ini ruangan yang nyaman. Meskipun ruangan ini ukurannya
sekitar 10x10m, tapi ruangan ini diisi oleh belasan pasien dengan berbagai
macam jenis penyakit ditambah beberapa keluarga yang menunggui masing-masing
pasien. Bahkan sebelum masuk di ruangan tersebut, Kakek saya sempat di
tempatkan di lobby pintu rumah sakit. Iya, benar-benar tempat lalu lalang orang
keluar-masuk rumah sakit. Sesekali kakek saya dijenguk oleh mba-mba perawat
yang rutin mengecek tensi kakek saya setiap pagi dan sore. Jangankan untuk
tidur, makan dan minum saja kakek saya tak mampu karena mencium berbagai
bau-bauan yang tidak enak di ruangan IGD. Kami sekeluarga mencoba memberi
pengertian kepada Kakek untuk sabar sampai mendapatkan ruangan khusus yang nyaman
nantinya.
Melihat kondisi kakek yang
semakin banyak ngomel, Bapak saya sudah tidak tahan lagi. Beliau berencana
untuk mencabut berkas pendaftaran kakek saya, kemudian mendaftarkannya lagi
sebagai peserta umum, non asuransi. Namun pihak rumah sakit menolak dengan
alasan bagaimana pun juga peserta maupun non peserta jaminan kesehatan tetap
harus memakai kartu sakti itu karena pelayanannya akan sama saja.
Tepat pada hari ketiga, kakek
saya menyerah. Ia pingsan di kamar mandi rumah sakit pada saat dibopong Bapak
dan Om saya untuk buang air. Fesesnya sudah menghitam dan keras sehingga susah
untuk dikeluarkan (dalam bahasa jawa disebut gegelen). Bapak saya mengaku,
kakek saya langsung pingsan selepas memaksakan diri untuk mengeluarkan fesesnya
tersebut. Baru kali ini saya melihat Bapak menangis sejadi-jadinya sambil
membopong kakek keluar dari kamar mandi yang bersimbah kotoran disekujur
kakinya. Barulah kemudian kakek saya dipindahkan di suatu ruangan khusus dan
dipasangkan selang oksigen di mulutnya. Stetoskop ditempel di dada dan dokter
mendapat kesimpulan bahwa jantung kakek saya melemah. Cepat-cepat dokter
mengeluarkan alat sejenis defibliator, untuk menstimulasi detak jantung kakek
agar kembali normal. Beberapa kali alat pacu jantung itu ditempelkan ke dada
kakek. Alhamdulillah kakek masih bisa terselamatkan. Ruangan itu lebih mirip
gudang penyimpanan daripada ruang khusus pasien kritis. Tabung dan selang
oksigen, bahkan kardus berserakan dimana-mana. Sambil membersihkan kaki dan
dubur kakek, lantas memakaikannya popok. Saya tercekat menahan tangis. Saya
belum siap kehilangan.
Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan
Dua hari kakek saya di ruangan
itu dan dan hanya terbaring tanpa daya. Kakek sudah tidak mampu lagi
menggerakan anggota tubuhnya kecuali berkedip. Saya mengajaknya ngobrol sambil
memegang tangannya yang dingin. Berharap dia lekas membaik walau nafasnya kian
tersengal-sengal.
Dini hari beliau mendapatkan kamar yang sangat nyaman di rumah sakit yang sama
dengan bangunan yang masih baru. Kakek saya terbaring lemah dan dipasang infus
baru yang cairannya berwarna kekuningan, tidak lagi bening seperti biasanya.
Makin parah 'kah beliau?
Dua malam kakek saya bermalam di
kamar itu. Kata pasien yang sudah lebih lama disitu, hampir selalu ada pasien
yang keluar-masuk ruangan. Kakek saya adalah orang kelima yang masuk. Ya,
mereka yang dipindahkan ke ruangan lain setelah dokter menyatakanya meninggal
dunia, kemudian diisi oleh pasien lain yang sama kritisnya. Sudah dapat
dipastikan bahwa orang itu sering mendengar isak tangis keluarga yang ditinggalkan,
hampir setiap malam. Bagaimana perasaan pasien disini? Saya pikir akan lebih
tertekan. Bukan hanya pasiennya tentu saja, tapi juga keluarga yang menunggui.
Melihat kondisi kakek yang cukup
baik, saya memutuskan untuk pulang karena sudah berhari-hari tidak mandi. Esok
paginya saya mendapati kakek telah berpulang, tanpa saya disisinya. Saya tidak
ingin menyalahkan siapapun disini. Siapa yang tahu takdir Tuhan 'kan? Sakit itu
memang mahal ya. Siapa pula yang mau repot-repot mengurusi orang tua yang sudah
tinggal menanti ajalnya? (Elisma Herdinawati)
Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Novel Para Bajingan Yang Menyenangkan
Dan terakhir review dari, Trian
Lesman : Buku kecil ini membawa perasaan yang berbeda dari buku lain. Bagaimana
tidak, Cak Rusdi seperti menceritakan sendiri detik-detik kematiannya. Di
tengah hidupnya yang tak berdaya, Cak Rusdi masih menyempatkan untuk menulis.
Ia tidak bisa tidak menulis. Ketika tak bisa menulis di depan laptop dengan
duduk, ia mengetik dengan ponsel. Ketika jari-jarinya sudah tidak mampu
digerakkan secara layak, ia hanya menggunakan jempolnya. Bahkan ketika ia
benar-benar tak sanggup, ia minta ceritanya dituliskan orang lain.
“Saya harus
mengetik, harus bertahan dan hidup.”
Terimakasih Banyak
Malang, 19 Agustus 2020
Ali Ahsan Al Haris
No comments:
Post a Comment