Sunday, August 13, 2017

Tentang Buku Sekolah & Tualang

Sastrawan Jalanan part 5



Aku dan kalian masih manusia biasa, belum sampai pada taraf menjadi dewa bahkan nabi. Rasa malas yang datang di akhir pekan menjadi anugrah bagi pemuda sepertiku, memang mau jalan sama siapa? Haha. Bukan berarti rasa malas yang menyerbu linier dengan pengantar yang aku tulis ini, toh memang kenyataanya seperti itu. Rasa malas beraktifitas berakibat pada ketumpulan fikir dalam menulis, aktifitas ini persis yang di utarakan oleh kawanku, “… terlalu lama menganggur membuat ketumpulan berfikir dan rasa psimis yang berkepanjangan …”

Aku masih belum bertemu dengan si penulis, dengar-dengar dia sudah ada di Malang. Biasanya kalau penulis sudah di Malang tiba-tiba nyelonong ke kontrakanku, senyum-senyum manja bertanya kabar dan menawarkan mau ngobrol di mana kita, Pak.

Tapi yasudahlah, kali ini ada dua puisinya yang sengaja aku publish. Pertimbanganya sederhana, karena puisi yang masuk draft publish hari ini terlalu pendek, khawatir membuat pembaca tak menerima esensinya, cenderung kentang, mungkin.

Puisi yang kedua mengingatkanku saat aku masih kecil dulu, masih menjadi murid dasar dan paling sering merubah cita-cita. Hal tersebut bertambah saat aku naik ke jenjang yang lebih tinggi, semakin tinggi jenjang pendidikan formal semakin sering pula kita berganti cita-cita, iya kan. Petikan puisi tentang Buku Sekolah dapat menjadi bahan refleksi kita semua, terkhusus generasi sekarang, bersekolah dan bekerja menjadi hal yang tak bisa di pisahkan. Lantas kalian yang membaca blog ini mau marah dan berujar “… aku sekolah tinggi-tinggi untuk melawan pembodohan, bukan untuk mencari pekerjaan …” itu boleh-boleh saja, karena hal itu benar adanya. Ya ya ya ya kan.
Sekali lagi terimakasih, selamat pembaca. Ali Ahsan Al Haris


Puisi 1
Tualang

Setiap rindu akan tersesat di perempatan
Karena di jalan segalanya adalah peristiwa
Bahkan juga ketiadaan

Dan percayalah bahwa denyutku pulang berkali kali
Mengetuk pintu rumah tanpa surat dan pemberitahuan

Ruang dan waktu
Sandiwara di atas pusara

Sebab siapakah pemilik rencana di antara semua ini

08 Januari 2014



Puisi 1
Tentang Buku Sekolah
                                        :with Ilham Gabriell                                                                                    

Buku sekolah
Buku sekolah adalah
Buku pelengkap cita cita:
Jadi dokter
Jadi tentara
Jadi polisi
Jadi jenderal
Jadi presiden
Jadi insinyur
Jadi profesor

Buku sekolah
Buku sekolah adalah
Buku sangat kaku
Membuat tumpul pikiran
Dan mental manusia
Sampai sampai para murid
Kering monoton imajinasinya

Dulu ketika sekolah
Aku pernah ditertawai seorang guru
Dan teman sekelas
Karena menjawab
“aku ingin jadi petani sukses di rumah sendiri”
Waktu di sela-sela pelajaran
Kami sempat ditanya
Tentang cita cita

Cita citaku belum ada
Di dalam buku sekolah
Dan guru guru pun
Rupanya gengsi menyinggung itu

April 2016-2017


Saturday, August 12, 2017

Tuhan yang Bergemuruh (Puisi)

Sastrawan Jalanan Part. 4


Pembaca yang budiman, semoga kesehatan dan keberkahan selalu memberkahi kita semua. Status saya dalam tulisan ini hanya sebagai pihak kedua yang mempublikasi, saya hanya menambahi kalimat pengantar semacam ini. Tujuanya agar pembaca dapat menerima secara perlahan dan jelas siapa kiranya sosok penulis yang aku labeli Sastrawan Jalanan, agar tidak ada lagi yang mengira bahwa puisi-puisi yang ada dalam postingan adalah karya saya.

Bagian awal saya lupa menceritakan bagaimana penulis dapat mendarat di Kota Malang, padahal itu bagian penting bagaimana karya-karyanya tercipta. Dari beberapa kawan yang pernah dekat denganya dan penulis sendiri yang memang sengaja saya tanyai, ia sampai di Malang dengan tujuan merantau untuk mencari kerja. Meski berasal dari keluarga yang terbilang berkecukupan tak membuat penulis santai bersandar pada saudara dan orangtuanya. Penulis memilih merantau berjualan es tebu ke Yogyakarta, hasil jualan dari kota yang terkenal dengan segudang seniman dan penerbit buku-buku terkenal itu, tak cukup untuk ia tabung. Penulis kembali ke Madura, mulai dari sini saya mulai kehilangan sumber cerita mengingat beberapa narasumber yang saya tanyai juga tak begitu faham apa saja yang penulis lakukan selama kembali ke Madura.

Saat penulis kembali ke Malang, ia bekerja di caffe yang biasa di buat nongkrong kaula-kaula muda. Sebagai salah satu perintins caffe tentu si penulis menjadi orang penting dalam manajemen.

Coba kita ingat-ingat, saat kita nongkrong di caffe, bersama kawan-kawan atau pasangan kita. Beberapa kali tentu pernah kita temui sisa makanan dan minuman yang jikalau kita lihat masih layak sekali untuk di makan, sederhananya sayang untuk di lempar ke tong sampah. Sisa-sisa makanan dan minuman itulah yang sering di makan oleh penulis, bahkan ia sering membawanya pulang ke kos tempatnya menginap. Sebagai pelayan caffe tentu hal semacam itu penulis alami bahkan menjadi kebiasaanya menyimpan sisa-sisa makanan yang ia anggap masih layak untuk di makan.

Kebiasaan dari penulis itu membuat lingkungan kerjanya megucilkanya, kawan-kawanya mengannggap bahwa apa yang penulis lakukan adalah hal aneh dan cenderung menjijikan. Beda lagi dengan penulis, ia sadari kalau para pelanggan caffe tempatnya bekerja selalu bermuka dua, membeli makanan dengan harga ratusan ribu namun selalu menyisakan dengan alasan yang tak jelas.
Begitulah sisi aneh dari sang penulis puisi-puisi ini, ada hal yang sulit untuk kita nalar. Namun kita akan sadar jika menerka itu semua dengan rendah hati dan rasa syukur. Bukan seperti kasus tadi, sandiwara meja makan.


*******************************
Tuhan yang Bergemuruh

Di dalam perburuan di dunia
Manusia mulai berubah jadi gerombolan
Gerombolan malaikat mati kutu
Yang mencakar cakar perasaan
Yang gagal mereka mengerti
Yang membatalkan doa doa
Yang dikira ada masa kadaluarsa

Tuhanpun mulai bergemuruh
Senja macet di perapatan perapatan
Polusi masuk dalam kendaraan
Juga ke dalam rumah rumah

Dan di ruas ruas jalan  
Ribuan kaki berderap
Seolah menantang gempa
Ribuan tangan mengepal
Ribuan telunjuk menuding
Ke lubang langit yang malah sumbat
Jiwa jiwa lain dibuat gigil olehnya

Tuhanpun makin bergemuruh
Pada saat bersamaan dari seberang jalan
Terdengar derit rimbun bambu

Terdapat liang sempit di bawahnya
Di mana sudah terbujur sebuah kepastian
Bagi begitu angkuhnya setiap tuntutan

Tuhan pemilik setiap gemuruh
Setelah kasihmu sering dikhianati
Jangan lagi kau biarkan semua ini  
Di dalam makin terkikisnya ketulusan
Saling berbagi apalagi mengasihi

Bukankah semua hanya karena inginkan_
Engkau

September  2015 

Wednesday, August 9, 2017

Tukang Cukur (Puisi)

Sastrawan Jalanan Part 03

Saat aku pertama kali mempublikasi puisi-puisi ber label sasatrawan jalanan ini, aku dapat kabar dari kawan dekatnya. Aku bilang dekat karena selama di Malang, penulis sering kali menginap di kosan kawan saya ini. Dia ikut tertawa saat aku benar-benar memberanikan diri untuk mem publikasi karya-karya dia. Tentu bagi sebagian kalangan, termasuk kalian yang sedang membaca blog saya, akan terheran-heran apa makna dari semua puisi-puisi yang ia tulis. Namun akan aku beritahu sedikit saja mengapa karya si penulis begitu berarti, terkhusus bagiku.

Karya-karya ini muncul di saat tak tentu hidup, tak tentu dalam sehari kau dapat makan seberapa besar suapan nasi, belum lagi jika berfikir nanti malam akan tidur dimana, ngopi dengan siapa dan tentu. Siapa yang mau sekedar nongkrong bicara tentang dunia literasi yang makin hari serasa makin tiada guna.

Namun lebih dari itu semua, aku masih menunggu kabar bagaimana jika si penulis benar-benar membaca langsung kalau karya-karyanya yang selama ini ia tutup rapat-rapat di dalam flasdis berkaratnya, tiba-tiba terposting tanpa seizinya. Sungguh, entah ekspresi murka, mengutuk atau malah tak sudi lagi untuk berkawan denganku.

Ini adalah puisi ketiga dari ratusan puisi yang sempat aku colong dari flasdisnya, dalam memahami karya semacam ini. aku tak begitu pandai, aku sudah mencoba belajar ke beberapa sastrawan Malang untuk memahami sebuah puisi, namun sayang keberkahan itu belum aku dapatkan. Selamat membaca, semoga dari postingan berlabel Sastrawan Jalanan ini kita dapat mensyukuri hidup bahwa, masih banyak saudara kita di luar sana yang demi meluruskan punggung dan memejamkan mata untuk sekedar istirahat saja masih kesusahan. Namun mereka tak pernah lelah dalam belajar dan mensyukuri hidup. Terimakasih.



Tukang Cukur

Setelah kucukur rambutmu
Betapa tegang hidup ini
Pandang mataku berkunang kunang
Kursi yang baru saja kau duduki adalah titik lindu
Guntur dan gulungan mendung tebal
Datang dengan frekuensi yang tinggi
Lampu disco dimainkan langit secara tiba tiba

Di seberang sana di tengah pelataran seluas lapangan
Terlihat sebuah wayang sendirian sedang menyalakan matahari
Setelah itu kakinya menendang nendang bola
Di kamar ganti selesai menendang nendang bola
Dihimpunnya asbak palu bor catut dan gergaji
Kemudian dengan semua itu dia duduk bersila
Di atas hamparan rumput sintetis agak berbau
tak ada persediaan secangkir kopi
Tak ada sebungkus kretek Indonesia asli
Oh betapa tegang hidup ini

Sebelum kau beranjak dari kursi cukur
Tolong bacakanlah untukku baris baris kalimat
Yang melompat lompat di wajah monitor di atas sana
Atau ambilkan sebuah buku atau apapun asal tebal
Untuk menutupi pandanganku pada sesuatu
Yang akan mengebor pelipisnya sendiri itu
Kenapa tak datang saja kantuk menyelamatkanku

Dia tak sedang bunuh diri
Tapi dia sedang menjalani sejenis mati
Setelah baru saja dia hatam belajar tentang cara menjadi martir
Dengan tujuan mengabarkan pentingnya menyelamatkan diri sendiri
Bagi siapapun di tengah pergaulan hidup yang penuh sangsi
Amboi... ngomong ngomong benarkah menjelang ajal
Bisma terbaring di hadapan para pandawa
Dengan ribuan panah menancap di sekujur tubuhnya


***

Konon ada seorang tukang cukur
Yang setiap hari asik menakar tap tap hidup
Pada tiap kepala di kios potong rambut sempit bilik kayu
Potongan potongan kata berserakan
berserpihan di lantai akibat badai buatan
Yang berasal dari kipas angin made in sendiri
Lantas hanya dengan itu semua si tukang cukur merasa
Seolah olah dirinya seorang penyair

Dan memang setiap orang yang olah-bicara di dunia ini
Pada dasarnya adalah penyair
Tapi kalau kau menyimpan hasrat yang menggebu gebu
Untuk bertemu seorang penyair di kediamannya
Maka kau akan menemukan seorang tukang cukur saja di sana
Yang terus terusan menunggu kedatangan seorang kekasih
Dan kalau beruntung seorang kekasih benar benar datang
Tubuhnya pasti akan gemetar secar tiba tiba
Kakinya kejang mulutnya wagu dan sebagainya
Bila kau terlanjur di sana tolong bantu pegang pundaknya

Lalu bisikkanlah beberapa kata peringatan di bawah ini ke telinganya
“beeb kenapa kamu lupa mencukur rambutmu setelah kau cukur rambutku
Berikan gunting sasak mesin cukur dan sisir itu padaku
Maka akan kupersembahkan lidah asin-manisku ini
Untuk memangkas rapi halusinasi dunia beserta seluruh bualanmu”



Juni 2015

Tuesday, August 8, 2017

Ular Polos (Puisi)

Sastrawan Jalanan Part. II

Penulis biasa aku sapa dengan panggilan, Bung. Aku sendiri juga tak terlalu faham mengapa panggilan tersebut serasa akrab dengan dirinya, mungkin karena dia lebih senior dari saya dan terlebih lagi penulis sering berpindah pindah kota dan tempat ngopi hanya demi mencari jati diri.
Pernah memang aku berfikiran kalau penulis sedikit gila, memiliki obsesi menjadi idealis sejati di zaman entah berantah seperti ini. Tapi, itu semua bisa saja terjadi, cita-cita besarnya memiliki komunitas yang berisikan para pemuda-pemuda yang ingin mengangkat harkat martabat petani di desanya menjadi tujuan utama si penulis berjejaring dan banyak-banyak silaturahmi.
Sekarang, dengan pekerjaan menjadi juru parkir dia masih berharap suatu saat komunitas yang selama ini dia idam-idakan akan cepat terbentuk dan berkontribusi bagi masyarakat.
Ini adalah puisi kedua yang saya upload, aku tak mengedit naskahnya sama sekali. Aku hanya berhak membaca dan mempublikasi lewat blog sederhanaku ini. semoga kalian yang membaca, dan tentu si penulis semoga Tuhan memberi kesempatan untukmu memberi akses membaca tulisanmu sendiri, dari ratusan puisimu yang sebenarnya enggan untuk kau publikasi.
Salam hormat dariku, Bung.
Ular Polos

Yang
Berkenaan
Dengan
Jalan bawah tanah
Desis   
Malam  hari
Guyur  
Yang  belajar
Memasuki  sunyi hujan
Di  antara
Kuyup
Dan  hawa dingin
Yang  rimbun

Waktu
Menjadi  racun
Racun  
Licin-licin
Di  lipatan keinginan
Kebenaran  berjelma
Perutmu  yang memanjang
Di  dalam perutmu
Terdapat  kisah
Yang  dibalut kulit berbuku
Tersusun  dekatdekat
Apakah  sejarah
Apakah  darah
Dengan  bergeriap
Tubuh  menjalar
Di  kaki mimpi
Yang  
Bersangkutan
Dengan
Suhu
Yang
Setiap  saat berubah
Dalam  dirimu
Ucapkanlah
Rapat-rapat karena;

Suara
Terlanjur  gemar melangkah
Di  siang hari
Dan  memeriksa
Imunitas
Ke  malammu

Bagian  atas tubuhmu
Terlihat  penyok
Menjelang  subuh
Sudahkah  setiap pawang memaku kepalamu
Di  tengah jalan raya kelam aspal
Di  telantar tengah malam
Dengan
Ekormu  yang jerih
Akan
Kamu
Lilit  sendiri
Segala  luka
sebagaimana julurmu
melingkari  darah
lidahmu  mengecap sejarah
Patuklah   


Maret  2014


Monday, August 7, 2017

Upaya Meruntuhkan Sekolah (Puisi)

Sastrawan Jalanan Part. I

Aku mengenal penulis tak lebih satu tahun, pertemuanku berawal dari warung kopi langgananku. Saat aku sibuk dengan handphoneku yang rusak selama dua bulanan, aku sibuk mengutak atik, berharap dia kembali normal demi menyebarkan virus baca lewat instagram dan blog yang sedang anda baca ini. penulis berasal dari Madura, aku tak begitu faham dia sebenanrya siapa, kerja atau sekolahpun tidak. Malang menjadi tempat persinggahanya setelah Yogyakarta, saat itu dia sedang membaca buku karangan sang maestro, Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik. Aku tahu buku setebal itu akan membutuhkan waktu yang lama hanya untuk sekedar membaca dan memahaminya. Terakhir aku bertemu denganya saat mengambil sepeda motor temanku yang dia pinjam, dia bekerja menjadi tukang juru parkIr di salah satu caffe di Kota Batu. Entahlah, manusia sebrilian dia menjadi juru pakir yang tentu ganjinya tak seberapa, belum lagi cemoohan dari para kawan-kawan kerjanya sendiri.
Tulisan ini hanya sebatas pengantar, aku memang berniat mempublish karya-karya dia yang mayoritas puisi, ada beberapa cerpen namun belum aku baca lagi. Aku membuat label khusus dia, aku sendiri bingung mau memberi nama apa. Mungkin sastrawan jalanan lebih tepat. Selamat membaca.

Upaya Meruntuhkan Sekolah
*Sastrawan Jalanan

(orang tuaku petani. mereka selalu ingin berangkat ke ladang pagi sekali. maka aku yang waktu itu masih bocah, selalu disuruh ikut kakakku ke sekolah, sebagaimana juga kakakku sewaktu masih bocah ikut kakakku yang lain atau temannya mungkin, yang sudah lebih dulu masuk sekolah. katanya, biar aku punya banyak teman dan bermain sama teman-temanku itu.” di ladang banyak nyamuk gunung dan hewan buas lain yang suka memangsa anak kecil”  tambahnya pula. lama-lama akupun dengan senang ikut ke sekolah. sampai beberapa waktu kemudian aku resmi “didaftarkan” menjadi murid sekolah. ini awal mula secara sekilas dari apa yang kuungkapkan dalam fragmen beberapa lirik jengkel di bawah ini)

Perang yang kau datangkan
Lewat siasat lamis romantis
Namun mengandung jerit tangis
Telah membuatku ingin cukup sekali
Menubrukmu hancur sambil tidur
Membuatku ingin cukup sekali
Merubuhkanmu lebur di medan kasur

Sebab perang yang kau datangkan
Mungkin beginilah akhirnya
Aku akan menegang di luar pagar
Kau bergeletak berantakan
Dalam kabut zaman yang kusut hangus

Dalam perang dan perang  
Kita mungkin sama akan lunglai tiada daya
Namun tak seperti kecemasan para penonton
Aku segera bangkit di saat yang tepat
Membawa kabar bahagia untuk orang tua
Akan mengolah hidup dengan usaha dan doa sendiri
Seperti mereka telah dengan indah dan gigih
Mencontohkan dalam sepanjang hidupnya

Maret 2016-2017


Ulasan tentang si penulis akan saya bahas dalam setiap postingan saya selanjutnya, tentu masih seputar tulisan-tulisan si Sastrawan Jalanan.
Salam hangat untukmu kawan, semoga kau juga membaca tulisan ini.

Saturday, July 29, 2017

Hamba

Hamba

Entah, seperti itulah Hamba merasa
Bagaimana lagi seorang Hamba harus memaknai sebuah kehendak
Kehendak ego yang cederung merusak semua yang kini ada
Terlampau besar apa yang Hamba yakini sebagai identitas, sekarang menjadi menjadi eksistensi diri semata.
Lantas, apa yang Hamba tuturkan menjadi sebuah pertanyaan besar
Bagaimana lagi Hamba harus melangkah
Hamba yang sering lupa akan rasa syukur
Hamba yang sengaja lupa bagimana berterimakasih
Hamba yang lupa bagaimana berharap ke yang Maha
Hamba harus bagaimana?
Seperti inilah Hamba, tentu Hamba pesimis dalam menjalani hidup
Sampai kapan? Sungguh, Hamba juga tak faham dengan apa yang sekarang hamba lakukan
Banyak factor yang  membuat Hamba harus sadari, jika itu adalah kehendakMu
Hamba, harus bagaimana?
Hamba yang lupa caranya bersyukur
Hamba yang lupa caranya berterimakasih
Namun, Hamba masih berusaha untuk tak lupa dengan Mu. Tuhan
Sekali lagi, kasihanilah Hamba. Tolonglah Hamba

Seperti Engakau mengasihani para kekasihmu, tolong hamba. Tuhan

Friday, July 14, 2017

Warga Negara Yang Baik (Nipu)

Warga Negara Yang Baik (Nipu)

*Ali Ahsan Al Haris

Mungkin aku perlu belajar lebih dalam lagi untuk menjadi warga negara yang baik. Mungkin aku yang terlampau bodoh sehinga tidak faham apa yang telah pemerintah hari ini kerjakan, bekal ilmu jurnalistik yang tidak kunjung aku kuasai membuatku selalu muak atas pemberitaan media masa sekarang. Ya bagaimana tidak, kalau aku pintar dalam hal tersebut tentu aku takan memiliki keinginan untuk menjadi warga negara yang baik.

Aku coba memahami saat ada media mainstream, offline maupun online memberitakan tentang presiden kita. Bayangkan, hanya mau mengantri kopi, sekedar jajan dan makan gorengan di pedagang kaki lima, naik kereta api klas ekonomi menjadikan beliau artis pemenuh headline media-media kita.
Terbayangkan gak sih kalau itu semua kadang membuat kita merasa konyol dan cenderung berfikir itu adalah hal memalukan, seperti halnya status facebook kawanku “Bisa gak sich setiap apa yang kita lakukan tidak berujung status di facebook?”

Apa presiden dan petinggi negeri ini gak tahu atau memang gak mau tahu tentang kerusakan hutan di negerinya sendiri, rusaknya terumbu karang, banyaknya pungutan liar, proyek jalan yang cenderung asal jadi, terlebih naikya bahan pokok, komoditas utama pula.

Hai bapak dan ibu yang terhormat di negeri ini, bisa kan membeli kopi dengan meminta tolong staff kalian, makan gorengan masakan cheff pribadi kalian tanpa harus susah antri demi liputan berita semata. Waktu yang ada pada kalian dapat dipergunakan untuk memikirkan masalah-masalah negeri ini. Cari solusi yang tepat agar negeri ini tak tercekik hutang yang makin tahun makin bertambah, masa anak baru lahir saja sudah menanggung hutang negara. Meyedihkan bukan.

Akh tapi ya sudahlah. Rasa-rasanya aku memang kudu belajar menjadi warga negara yang baik kok, Pak. Dulu aku berfikiran bahwa menghargai dan mebela kalian itu adalah hal yang menjijikan, posisi kita lho sama sebagai warga negara.


Tapi mulai sekarang, aku akan menjadi warga negara yang baik. Setidaknya aku akan berusaha mempercayai pemberitaan Bapak dan Ibu, entah apapun itu. Begitu ya, Pak.