Saturday, November 26, 2016

Mencium Belahan Pantat Nabi Palsu

Mencium Belahan “Pantat” Nabi Palsu
*Ali Ahsan Al Haris

Cukup mudah dan sangat mudah untuk diterima dalam lingkungan baru. Alih-alih lingkungan tersebut di isi oleh para kalangan penggila nama. Cukup kau usik mereka dengan cerita humor karanganmu akan kebaikanmu, cukup sudah bagimu merebut hati mereka atas jasa cerita bohongmu.

Cerita itu aku temui sejak aku masih menyusu pada payudara ibuku, toh hal-hal semacam itu memang sudah layak dan patut di sandang oleh orang semacam dirimu. Yang kini ponggah menatap calon kerajaan baru dengan raja dan nabi palsu.

Tapi mana ada aku terang-terangan untuk mau berselisih denganmu (aku pecundang), terlebih mereka yang aku anggap sebagai kalangan nomaden yang haus akan ilmu untuk menjadi nabi palsu. Semacam halnya para penganut komunis-sosialis di Kuba yang menganggap Che Guevara sebagai nabi karena aksi heroiknya, dan kamu ingin seperti Che yang mencoba mempraktikan marxist ala gayamu namun gagal menurut pemahamanku (aku bodoh).

Aku akan kembali pada maksut tulisanku, namun apa daya karena aku terlalu emosi melihat tingkahmu sehingga membuatku tak konsen menulis tentangmu. Semoga saja emosiku ini menularkan dan memahamkan apa yang aku maksut, terkhusus pada kamu dan kaum-Mu.

Seperti halnya patung Multatuli di jalan Koerjespoortsteeg yang sedang memandangi para pelacur, bagiku kau seperti pelacur  yang dimaksut Sigit Susanto dalam buku yang sedang aku baca. Ya, pelacur Borjuis. Apa yang kau kerjakan dan apa yang kau alami sehari-hari sangatlah jauh berbeda, kau terlalu memaksa demi sebuah Nama.

Setelah dongenganmu berhasil menaklukan para nabi-nabi mu, sedikit lagi kau akan menerima fatwa dari mereka untuk menjadi kalimat legitimasimu dalam berdakwah. Itu sah-sah saja, tapi bolehkan aku tersenyum manis rasa sinis di depan layar laptopku? Aku harap nabimu mengizinkanku.

Akh sudahlah, mengapa aku harus membuang waktu untuk memikirkanmu. Aku rasa aku sudah teracuni oleh sifat kikir dan dengki sesuai fatwamu [Kalian semua suci, dan aku penuh dosa(DN. Aidit)]. Atau bisa jadi, aku telah masuk perangkapmu. Kau perlu tahu [Idealismeku tiada batasanya(Ernesto Che Guevara)].


Malang, 26 Nov 2016

Ali Ahsan Al Haris



Kamu

KaMU

Bagaikan api dalam tungku, hanya air yang dapat memadamkan ku.
Sosokmu membuatku kagum akan suatu hal, yang itu adalah bakatmu.
Terlebih lagi memang parasmu, toh semua itu hanya aku yang tahu.
Sekarang aku diam-diam mengamatimu dari jauh, sejauh pos pendakian itu.
Kesibukanmu itu, selalu membuatku penasaran akan suatu hal, dan itu kamu.
Salahkan aku jika bertanya, siapa nama pasanganmu? Atau sudikah aku jika dekat denganmu.

Oh Tuhan, betapa hinanya aku menganggumi yang bukan hak ku.
Atau memang Engkau sengaja menyiksaku dengan hal macam itu.
Terkhusus kamu, aku ingin membisikan sesuatu yang sejatinya tak ingin orang lain tahu

Aku sayang kamu.
Cukup kau tahu, karena sedari itu aku diam-diam menjadi pengagum mu.
Karena yang kutahu, yang kutahu dan yang kurasa hanya mencintaimu.
Bersyukur, aku sudah jujur dengan diriku.


Malang, 25 November 2016


Ali Ahsan Al Haris

Kalau Jodoh Pasti Bertemu

Kalau Jodoh Pasti Bertemu
*Ali Ahsan Al Haris [ed]

Adinda dan Adam sudah pacaran semenjak mereka kelas 1 SMA dan tahun ini memasuki tahun ke-3. Mereka adalah pelajar kelas XII di sebuah sekolah di Sabang, kota paling barat Indonesia. Hubungan mereka berjalan cukup baik, sama halnya seperti kebanyakan pasangan lain yang suka menghabiskan waktu bersama. Makan, jalan, mendiskusikan banyak hal bersama. Baik urusan sekolah ataupun luar sekolah.

Tahun ini adalah tahun yang akan lumayan berat. karena pasalnya sebentar lagi mereka akan mengikuti ujian akhir. Setiap bertemu pun mulai ada pembicaraan-pembicaraan tentang keinginan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Setelah berusaha cukup giat mereka lulus dengan nilai yang memuaskan.

“Din, aku ingin membicarakan sesuatu denganmu.” Suara Adam memecah keheningan di antara mereka.

“Iya Dam, katakan saja.” Jawab Adinda.

“Ini hari terakhir kita di sekolah, dan mungkin…” Adam menghentikan ucapannya.

“Mungkin apa?” desak Adinda penasaran.

“Aku akan melanjutkan kuliah ke luar Aceh.” Hening, hanaya ada suara ombak yang bersahutan di bibir pantai Pulau Weh. “Adinda, aku minta keikhlasanmu untuk hubungan kita.” Lagi-lagi suara Adam memecah lamunan Adinda.

“Baiklah, aku mengerti maksudmu.” Jawab Adinda sambil berusaha bangkit.

“Adinda tunggu.” Pinta Adam sambil menarik lengan Adinda.

“Apa lagi?” tanya Adinda dengan nada suara yang sedikit agak parau karena menahan tangis.

“Aku masih sangat mencintaimu, sama seperti 3 tahun terakhir..” Belum selesai kata-kata Adam, Adinda sudah menjawab mantap.

“Mari kita buktikan cinta kita dalam penantian ini, dan jika kita memang berjodoh aku dan kamu akan bertemu lagi pada saatnya nanti.” Jawaban Adinda mengakhiri percakapan panjang mereka, Adam hanya terdiam melihat Adinda berlalu.

7 tahun Adinda lewati dalam kesendirian, hanya bertemankan kesunyian, buku-buku dan Nanda sahabatnya semenjak kuliah. Sekarang Adinda dan Nanda adalah rekan kerja di sebuah Rumah Sakit Swasta. Suatu ketika entah kenapa Adinda terikat akan sosok Adam, ia membatin “Masihkah ia mencintaiku?”. Dan Bruuukk… Adinda menabrak seseorang, alangkah kagetnya Adinda ketika melihat sosok yang ditabraknya adalah laki-laki yang beberapa detik yang lalu menjadi lamunannya.

“Adinda” “Adam.” Terdengar bersamaan. Itu pertemuan pertama mereka setelah terpisah 7 tahun oleh jarak dan waktu. Terliahat jelas di mata keduanya ada segudang rindu yang mereka simpan untuk satu sama lain. Dari ketidaksengajaan itu sampai ke pertemuan-pertemuan yang sengaja mereka aturkan. 1 bulan sudah mereka merajut kembali apa yang dulu sempat mereka simpan.

Sore itu Adinda hendak pulang ke rumah seusai bertemu Adam. “Assalamu’alaikum”.

“Wa’alaikum salam.” Sambut ibu Adinda.

“Dinda, ada yang mau Ayah dan Ibu bicarakan sama kamu, bisa duduk sebentar” pinta Ayah. Dengan anggukan Adinda duduk di sebelah Ibunya sedangkan Ayah di depan keduanya.

“Begini Nak, kamu kan pernah bilang bahwa siapa saja yang datang melamarmu tidak akan kau tolak selama ia orang yang baik dan kami setuju, bukan begitu?”.

“Iya Ayah,” jawab Adinda dengan perasaan yang sudah tak menentu.

“Sekarang Ayah dan Ibu sudah sepakat akan menjodohkanmu dengan anak dari teman kami, apa ada yang ingin Dinda sampaikan? atau jika Dinda mau Ayah bisa meminta foto dari calon suamimu.”

“Tidak perlu Ayah, Dinda yakin siapapun yang kalian pilihkan untuk Dinda pasti yang terbaik karena semua orangtua pasti menginginkan kebahagiaan untuk anak-anak mereka.”

“Perasaan Adinda malam itu begitu kalang kabut, bukan karena khawatir pada pilihan orangtuanya tapi ia terus memikirkan bagaimana cara memberitaukan kepada Adam. Tanpa Adinda tau di rumah yang terpisah Adam juga dijodohkan oleh orangtuanya. Beberapa hari setelah kejadian tersebut mereka bertemu dan saling bercerita tentang keadaan mereka yang tak mampu menolak permintaan orangtua masing-masing.

“Semua persiapan sudah siap. Pengantin laki-laki, penghulu, saksi dan wali nikah Adinda yaitu Ayahnya. Adinda tidak diizinkan ke luar kamar sebelum Akad nikah selesai, dengan perasaan yang tak menentu Adinda pasrah menunggu. 

“Akadnya sudah akan dimulai” bisik pengiring Adinda.
Sesaat sebelum berangkat Adam masih berharap bahwa nama yang disebutkan orangtuanya sebagai calon pendampingnya adalah orang yang selama ini ia cintai, hanya saja ada keraguan di hati Adam karena mengingat ia hanya tau nama kekasihnya Adinda namun tak tau nama walinya.

“Selang beberapa jam Akad pun dimulai. Adam menjawab lantang dengan satu tarikan nafas saja. “Kalian sudah sah jadi suami istri.” Ini adalah detik-detik menegangkan untuk Adinda dan Adam karena mereka akan bertemu tanpa saling tau. Ibu menggandeng Adinda ke luar kamar. Betapa kaget dan bahagianya mereka ketika melihat satu sama lain.

“Subhanallah” batin keduanya.

“Dialah Adindaku” lirih Adam.
Ya robb, inikah hadiah untuk keikhlasanku” batin Adinda. Dengan berlinang air mata Adinda mencium tangan suaminya dan saat Adam mencium kening Adinda ia membisikkan sesuatu.

“Ana uhibbuki fillah (aku mencintaimu karena Allah)”.

“Ahabbakalladzi ahbabtani lahu (Semoga Allah mencintaimu yang telah mencintaiku karena-Nya)” jawab Adinda. Oleh [Wirdatun Jannah]


Thursday, November 24, 2016

Cinta Yang Buta

Cinta Yang Buta

Laura dan Maura, sosok kembar identik tapi memiliki sifat yang berbeda. Laura mempunyai sifat yang pendiam. Lebih suka menikmati kesendiriannya dengan membaca buku. Karena itulah Laura tidak mempunyai banyak teman dan mendapat julukan kutu buku dari teman-temannya sekelasnya. Berbeda sekali dengan Maura yang lebih suka kumpul bersama teman-temannya. Mudah bergaul dan selalu ceria. Karena sifat mereka yang sangat berbeda inilah orang-orang tak begitu sulit membedakan keduanya.
Malam itu adalah malam yang spesial bagi Maura. Akhirnya orang yang ditunggu-tunggu telah datang. Hendry datang dengan membawa setangkai bunga mawar merah di tangannya. Dengan senyum bahagia Maura menerima bunga yang dibawa Hendry dan menggandeng lengan Hendry dengan mesra.
“Laura! Laura!” teriak Maura memanggil.
Laura yang sedang asyik membaca buku di kamarnya pun terpaksa menyudahinya dan segera menghampiri Maura.
“Ada apa sih Maura? Pakai teriak-teriak segala,” ucap Laura dengan kesal.

“Nggak ada apa-apa sih. Aku cuma mau ngenalin pacarku sama kamu.” Maura lalu menggandeng kembali lengan Hendry, “Namanya Hendry, teman sekelas kita. Sekarang sudah menjabat sebagai wakil ketua OSIS. Kamu kenal kan?”
“Ya. Sejak kapan kalian jadian?” tanya Laura, matanya terlihat sedikit berkaca-kaca menatap ke arah Hendry.
“Seminggu yang lalu.” Maura lalu menarik tangan Hendry dan meninggalkan Laura sendirian di teras.
Beberapa saat Laura terdiam, kemudian tersenyum memaksa. Laura lantas masuk dan membiarkan Maura dan Hendry yang sudah duduk berduaan di ruang tamu. Mereka terlihat sangat mesra. Tak henti-hentinya Hendry memuji Maura hingga terdengar oleh Laura. Diam-diam Laura sejak tadi memperhatikan mereka. Perasaannya kacau balau. Rasa marah dan sedih bercampur aduk hingga tak terasa meneteskan air matanya. Bagaimana tidak, Hendry adalah lelaki yang diam-diam dicintainya selama ini ternyata sudah berpacaran dengan saudari kembarnya. Walaupun mereka kembar, Laura tak pernah menceritakan perasaannya pada siapa pun. Begitu pula sebaliknya, Maura juga tak pernah bercerita tentang perasaannya pada siapa pun termasuk kepada Laura.
Maura pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan yang akan dihidangkannya untuk Hendry. Melihat hendry duduk sendirian di ruang tamu, Laura menghampiri Hendry. Laura pun mencoba menggoda Hendry, tapi Hendry selalu menghindar.
“Maaf, aku hanya menyukai Maura. Sebaiknya kamu tinggalkan aku sendiri, sebelum Maura datang!” usir Hendry dengan halus.
Laura lantas pergi meninggalkan Hendry dalam perasaan jengkel.
Di dapur Maura asyik menyiapkan makanan untuk Hendry. Melihat Maura yang sibuk menyiapkan makanan, Laura menghampiri dan membantunya. Tanpa sepengetahuan Maura, Laura menambahkan sesuatu pada minuman yang dibuat Maura. Setelah semuanya selesai, Maura mengantarkan makanan dan minuman yang dibuatnya kepada Hendry. Laura menatap punggung Maura dengan seringai licik. “Nikmati saja hari terakhirmu dengan Hendry tersayang. Sebentar lagi kau tidak akan bisa bersamanya lagi.” Laura terkikik pelan. Laura lantas kembali ke kamarnya dengan senyum yang tak henti-hentinya tergambar di wajahnya.
Maura menyuapi makanan pada Hendry dengan mesra. Hendry begitu senang mendapat perlakuan mesra dari pacarnya itu.
“Hend, kamu cobain deh minuman yang aku buat! Pasti enak,” pinta Maura manja. Hendry pun segera meminumnya. Tetapi setelah beberapa teguk, Hendry meletakkan gelas itu ke atas meja. Hendry merasa lehernya tercekik begitu kuat, nafasnya pun tersengal-sengal. Akhirnya tak bisa bernafas sama sekali. Maura yang melihat Hendry sudah tak bernyawa lagi menangis histeris sambil menggoyang-goyang tubuh Hendry.
“Laura! Cepat kemari!” panggil Maura menangis histeris.
Laura segera menghampiri Maura. Laura terkejut ketika melihat Hendry sudah tak bernyawa lagi. Laura lantas menenangkan Maura yang terus menangis.
Rumah Laura dan Maura dipenuhi oleh tetangga. Mereka berdesakan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di rumah mereka. Tak lama kemudian polisi datang. Polisi lalu memindahkan mayat Hendry dan menggeledah seisi rumah. Tak lupa makanan dan minuman yang dimakan Hendry diamankan oleh polisi untuk penyelidikan. Laura membantu polisi menunjukkan semua ruangan yang ada di rumahnya. Pada akhirnya sampai di kamar Maura, polisi menemukan sebotol racun di dalam lemari pakaiannya. Belum sempat berkata, Maura ditangkap polisi. Maura pun berontak, berusaha membela diri.
“Pak, tolong lepaskan saya! Saya tidak tau apa-apa kenapa Hendry meninggal,” jelas Maura menangis.
“Kemungkinan Hendry meninggal karena keracunan, dan saya menemukan botol racun ini di lemari pakaian anda. Jadi anda jelaskan saja di kantor polisi,” ucap polisi itu sambil membawa Maura ke mobil polisi.
Maura sangat terkejut dan syok mendengar perkataan polisi itu. Maura tidak tahu apa-apa tentang racun itu. Maura sudah sangat terpukul dengan kematian Hendry yang tiba-tiba, dan sekarang dituduh sebagai pembunuh Hendry.

“Laura, tolong aku! Kumohon! Aku tak bersalah,” pinta Maura.
Laura hanya diam sambil menatap Maura yang tengah menuju ke kantor polisi dengan senyum sinis di bibirnya.

“Selamat tinggal Maura sayang. Sayang sekali, seharusnya kamu yang mati di tanganku,” pikirnya dengan penuh kebencian.
Beberapa polisi membawa sekantung plastik mayat yang berisi mayat Hendry lewat begitu saja di hadapannya. Laura hanya bisa menatap plastik mayat Hendry di kejauhan dan berkata dengan pelan “Lebih baik kau mati, daripada aku harus melihatmu bersama dengan gadis lain. Kalau aku tak bisa memilikimu, maka tak ada seorang pun yang boleh memilikimu.” [Oleh : Betry Silviana].




Ketika Cinta Menyapa

Ketika Cinta Menyapa
Mentari pagi mulai menampakkan wajahnya, burung-burung kecil mulai menyanyikan lagu riang, di sebuah kamar megah terlihat seorang pemuda bernama Vino yang masih asyik bermesraan dengan bantalnya, sepertinya dirinya enggan membuka mata sipitnya. Namun akhirnya ia mulai terganggu dengan sinar mentari yang begitu terang, ia mulai membuka matanya, wajahnya sangat kusut. Setelah beberapa saat mengumpulkan nyawanya, ia mulai beranjak ke dalam kamar mandi untuk membersihlkan diri. Setelah beberapa menit mandi, ia mulai berpakaian, dan ke luar dari kamar megahnya.
“Reno” Ucap Vino memanggil adik satu-satunya, tak berapa lama seorang pemuda berperawakan tinggi menghampirnya
“Ada apa kak? Udah siap?” Tanya pemuda yang bernama Reno
“Udah donk, kamu udah?” Tanya Vino kembali, Reno hanya menganggukan kepalanya. Hari ini mereka akan pergi berlibur ke sebuah pulau yang terkenal dengan keindahannya, yaitu pulau Bunaken.
“Kalo gitu, ayo berangkat” Ucap Vino dengan penuh semangat. Setelah itu mereka langsung menaiki mobil sport warna merah milik Vino.
Setelah 2 jam perjalanan, akhirnya mereka sampaidi pulau Bunaken, sampai disana perjalanan melelahkan mereka terbayar sudah oleh hamparan pasir puntih yang berkilau seperti berlian dan pulau yang begitu indah. Vino tak ingin melewatkan pemandangan indah ini, ia langsung mengambil kamera canonnya, dan memotret.
“Kak, ke pondokan yuk” Ucap Reno, Vino hanya menganggukan kepalanya karena ia sedang berkonsentrasi melihat hasil potretannya, hingga saat berjalan ia tak sengaja menabrak seorang wanita hingga kameranya terjatuh dan rusak
“Astaga, kameraku” Vino tercengang melihat camera kesayangannya kini sudah hancur berkeping-keping “Eh, sorry ya, aku bener-bener gak sengaja” Ucap wanita tadi, Vino menolehkan kepalanya, namun saat melihatt wajah gadis itu, ia terdiam melihat paras cantik gadis itu. Gadis itu heran melihat Vino yang tidak membalas perkataannya
“Heiii” Ucapnya sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Vino “Ehhh iya” Vino segera tersadar dari lamunannya dan tersenyum manis, sedangkan gadis itu heran melihat perilaku Vino
“Eung, maaf ya, gara-gara aku kamera kamu jadi rusak” Ucap gadis itu sambil menundukkan kepalanya “Eh iya, gak papa kok, ini salah aku karena aku gak perhatiin jalan tadi, oh iya nama kamu siapa?”
“Aku Veni” Ucap Veni sambil mengulurkan tangannya
“Aku Vino, salam kenal” Ucap Vino membalas uluran tangan Veni
“Kamu lagi liburan ya?” Tanya Veni sambil melepaskan uluran tangannya
“Iya, mumpung lagi libur, soalnya aku penasaran banget sama pulau Bunaken yang katanya indah, tapi ternyata memang indah banget”
“Bunaken memang indah, aku senang bisa tinggal di pulau ini” Ucap Veni sambil tersenyum “Eh, kamu tinggal disini?”
“iya, aku tinggal disini, sekalian jagain villa ayahku” Ucap Veni, Vino membulatkan mulutnya, entah kenapa Vino merasa sangat senang berada di samping Veni, mungkin saja Vino telah jatuh cinta pada pandangan pertama.
Semenjak perkenalan singkat mereka, Vino memutuskan untuk menginap di pulau Bunaken selama 2 minggu, Vino dan Veni sudah sangat dekat, mereka sama-sama telah jatuh cinta, namun tak ada yang berani mengungkapkannya, hingga suatu saat Veni ingin bertemu Vino di tempat biasanya, saat bertemu Veni, Vino sangat terkejut melihat wajah Veni yang begitu pucat
“Ven, kamu gak papa?” Tanya Vino dengan nada khawatir, Veni hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya
“Vin, ayo kita duduk disini” Ucap Veni sambil duduk di atas pasir putih, Vino mendudukan bokongnya di atas pasir, Veni meraih tangan Vino, saat bersentuhan dengan tangan Veni, Vino bisa merasakan tubuh Veni yang begitu dingin, hingga ia melepas jaketnya dan memakaikannya di tubuh Veni
“Vin, aku mau ngomong sesuatu sama kamu” Ucap Veni dengan mata yang menatap lurus kedepan “Ngomong apa ven?” Tanya Vino heran, biasanya Veni tidak pernah meminta izin untuk berbicara Kepadanya
“Vin, mungkin ini saat terakhir aku untuk hidup di dunia, aku mohon jangan pernah kamu menangis saat aku pergi nanti” Ucap Veni, ia mulai meneteskan airmatanya, Vino heran mendengar penuturan Veni
“Maksud kamu apa ven? Kamu gak boleh ngomong gitu”
“Vin, sebentar lagi aku akan hidup bahagia bersama Tuhan di surga, aku terkena kanker stadium akhir” Veni mengeluarkan airmatanya lebih deras, Vino terdiam, ia tak bisa berbicara apapun mendengarkan ucapan Veni
“Vin, sebelum aku pergi, aku ingin kamu tahu satu hal, aku mencintaimu vin, terimakasih karena kamu sudah hadir di hidupku, mencintaimu itu seperti keajabian untukku dan kehadiranmu membuat gadis penyakitan seperti menjadi mempunyai harapan” Ucap Veni, ia mengenggam tangan Vino erat, Vino memeluk tubuh dingin Veni “Ven, aku juga mencintaimu, maafin aku karena aku begitu pengecut untuk menyatakannya kepadamu, mencintaimu juga merupakan keajaiban bagiku, aku berterimakasih kepada Tuhan karena ia mau mempertemukan kita” Ucap Vino sambil mengelus rambut indah Veni, namun ia terkejut melihat rambut Veni rontok
“Aku lega, karena cintaku terbalas, walaupun pertemuan kita singkat, aku mohon jangan lupain pertemuan ini vin”
“Aku gak mungkin lupain kamu ven, dan aku mohon jangan putus asa, aku yakin kamu akan sembuh” “Vin, aku udah gak ada harapan untuk sembuh, mungkin sebentar lagi Tuhan akan memanggilku. Vino aku mencintaimu” Veni merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya, ia menangis dalam diam, hingga ia menutup matanya, Vino pikir Veni sedang tidur namun perlahan pelukan Veni merenggang dan nafas Veni sudah berhenti berhembus, Vino tau hari ini sudah datang, hari dimana Veni akan bahagia bersama Tuhan dan hari dimana Vino kehilangan cintanya, sesuai dengan pesan Veni, Vino tidak akan menangis, ia tidak mau di surga sana Veni sedih melihat pria yang ia cintai menangis.
Mencintai Veni membuat Vino belajar bagaimana mencintai seseorang dengan tulus, dan mengatasi rasa sakit. Vino tahu jika Tuhan menciptakan pertemuan dan perpisahan, namun ia merasa kecewa, mengapa ketika cinta menyapa, cinta itu juga harus hilang?. Namun Vino tetap bersyukur karena ia telah dipertemukan dengan wanita setegar dan secantik Veni di pulau yang indah ini, selama hidup Vino pulau Bunaken akan menjadi kenangan untuknya dan Veni akan menempati tempat khusus di hatinya. [Oleh : Cyntia]

Monday, November 21, 2016

Cinta Dalam Cerita

Cinta Dalam Cerita

Ada hidup demi menyambung hidup semata
Mengacuhkan nasihat tua untuk saling berbagi atas nama cinta
Tak serahim bukan berarti harus tak bercinta dalam setiap nada cerita
Karena batin seorang Ibu melebihi analisismu tentang-Nya,
Yang bahkan Tuhan sendiri enggan untuk memarahinya
Kau tahu betapa aku juga mencintainya, namun apa disangka ada ego yang berkata “Cukup untuk aku tahu”
Sendiriku disini, menjadi pertekelir demi sebuah cita
Oh cinta, kadang kau datang tiba-tiba tanpa harus mengetahui apa yang kurasa
Kau bilang padaku, mana yang harus aku priotaskan
Kamu, dia, mereka atau kita saja. Cukuplah
Sayang di sayang, nestapa hanya nestapa. Kau disana membidik aku dengan jerat penuh dialektika
Kurasa cukup, tapi bukan berarti sampai disini kita berjumpa
Aku yakin akan ada kisah yang lebih menarik, terutama menyangkut kita berdua
Terlebih dan tekhusus, ini semua demi Ibu.
Ibu ku dan Ibu mu

Malang, 21 November 2016

Ali Ahsan Al Haris

Sunday, November 20, 2016

Buku Dalam Taman

Buku Dalam Taman

Kalau efek globalisasi itu benar adanya, aku mengamini
Ke astaralanmu memang ku rasa ada dan menusuk keberadaanku
Sengaja aku memang datang menghampirimu, kau mempersilakan
Sekarang aku sendiri yang kau buat bingung, aku harus bagaimana
Satu hal yang paling lucu dan berkenan di hatiku, tentunya hal ini subjektif
Suaramu begitu terngiang dalam alunan sinyal elektromagnetik dalam mengantar subuhku
Kau siksa aku sedikit demi sedikit, aku bisa anggap hal ini kau menjebakku
Apakah aku boleh mengenalmu lebih dekat? Bertanya diriku
Kau mempersilakan dan kau sudi meluangkan waktu menemuiku
Betapa bahagianya aku, itu sudah tentu
Demi dendam yang membara, rindu memang harus dibayar
Kalau beliau berkata, hujan bulan November ini menghamilkan rindu
Aku bersyukur kau sudi menemuiku, dalam taman yang sama sekali tak aku kenal
Sekarang aku hanya berfikir, bisakah aku masuk dalam kehidupanmu
Setidaknya hanya untuk menemanimu, saja
Aku mulai bingung harus menuangkan rasa macam apa lagi kehadapmu
Karena yang ku tahu hanya, rindu padamu
Selamat bagiku karena kau telah menerimaku, mengenalmu
Sekarang, buku yang kau pegang. Aku harap dapat mengingatkanmu padaku
Aku harap itu dan hanyalah itu harapanku
Terimakasihku untukmu, idamanku

Malang, 20 November 2016
Ali Ahsan Al Haris