Tuesday, July 9, 2019

Qomar, Adalah Wajah Lawakan Pendidikan Kita




Lagi-lagi Ijazah palsu menjadi trending topic di negeri +628, dan yang paling menjadi focus pembahasan hari ini adalah pelawak kenamaan negeri ini, Bang Qomar. Saat pertama kali mendengar Bang Qomar menjadi terduga kasus pemalsuan Ijazah, pertama kali yang saya fikirkan adalah, ternyata Bang Qomar selain jago ngelawak di atas panggung, dia juga jago ngelawak di dunia nyata, lha buktinya dia membuktikan bahwa pendidikan negeri ini memang lawakan.

Pentolan group lawak Empat Sekawan itu di tangkap personel kepolisian Resor Brebes di Cirebon. Mantan politisi dari Partai Nasdem itu kini mendekam di Mapolres Brebes untuk menjalani pemeriksaan untuk dimintai keterangan, bukan untuk melawak di depan para penyidik. Hehe

Qomar, Pentolan Group Lawak Empat Sekawan

Qomar diduga melakukan pemalsuan Surat Keterangan Lulus (SKL) untuk kepentingan pencalonan Rektor Universitas Muhadi Setiabudi (UNMUS) Brebes. Semua perbuatan pemalsuan SKL tersebut Bang Qomar lakukan sendiri, dari mulai desain sampai print tanpa jasa orang lain. Kalau tahu seperti itu, Bang Qomar saya jadikan asisten pribadi saya saja, jaga-jaga jikalau ada tugas dadakan dari Pak Bos tempat saya memburuh.

Lucunya, berkat editing SKL sendiri Bang Qomar berhasil menjadi Rektor Umus, Brebes oleh Yayasan pada 1 februari 2017. Dari sini kita bisa belajar, usaha tidak akan menghianati hasil. Tapi, namanya juga culas dan Tuhan maha adil. November 2017 saat Bapak Rektor Qomar memimpin wisuda, pihak Yayasan mulai curiga karena Qomar tak kunjung dapat menunjukan soal Ijazah Master dan Doktoralnya.

Sebagai seorang yang pernah susah payah merasakan pahitnya mendapatkan Ijazah, mungkin Bang Qomar merasakan apa yang saya rasakan sebelumya. Terlebih lagi jika memilih untuk menempuh pendidikan Master dan Doktoral di tengah-tengah aktifitas menjadi Politisi dan berkeluarga. Bang Qomar tentu malas mikir kalau nanti kuliah beneran, akan susah membagi waktu dimana harus mengerjakan tugas kuliah, kuis dadakan dari dosen, nunggu dosen bimbingan tesis dan seabrek tugas lainya. Kuliah itu berat, Cok. Tidak seindah FTV.

Jadi, pertama kali saya mendengar Bang Qomar memalsukan SKL untuk keperluan mencalonkan Rektor. Tentu saya ngakak dan gemas merasakanya, orang ini memang nekat dan menjadi pelawak sesungguhnya, sampai-sampai di era yang serba canggih seperti ini berani melakukan pemalsuan. Lha wong tesis plagiasasi saja ketahuan, kok ini dengan santainya memalsukan ijazah. Nekat apa begok, Bang?



Jepara Masih Kota Ukir?



*Ali Ahsan Al Haris


Ditengah-tengah kesibukan saya menjadi buruh, aktifitas menulis dan membacaku akhir-akhir menjadi skala minoritas. Maklumlah, namanya juga ikut orang, kalau buka usaha sendiri mungkin waktu membaca dan menulisku tidak akan sekacau sekarang ini, etsss. Tidak ada jaminan juga jika memiliki usaha sendiri lantas ekspetasi upgrade diri semacam tadi menjadi skala prioritas. Sudahlah, kita kembali masuk track dari tulisan ini.

Apa sudah pantas, jika pemuda-pemudi Jepara, terkhusus masyarakat Jepara itu sendiri berwacana untuk memperjuangkan Jepara lewat ukir? Mengapa hal ini saya tanyakan? Karena berangkat dari observasi saya pribadi, dengan banyaknya industri garmen berekspansi ke kota ukir, masyarakat Jepara memang memiliki opsi dalam memilih pekerjaan. Akan tetapi di sisi lainya, sektor kreatif seperti relief di Jepara menjadi sektor yang bisa saya bilang, sangat serius terkena dampaknya dalam hal, mencari sumberdaya manusia yang mau memilih profesi tukang ukir.
Salah Satu Hasil kerajinan Ukir Kab Jepara

Perlu kita ketahui bersama, Jepara saya ibaratkan memasuki badai iklim usaha furnintur yang ekstrim. Tempat saya lahir ini telah mengalami kesulitan stok bahan baku produksinya, dimana bahan baku ini menjadi elemen yang sangat penting untuk berjalanya usaha ukir itu sendiri, apalagi jika bukan kayu.

Setelah di hajar dengan kesulitan mencari bahan baku utama yang murah, pengusaha mebel asli Jepara di hajar lagi dengan masuknya para kompetitor-kompetitor dari Negara asing. Tentu hal ini bermula dari politik pasar bebas dunia yang mengharuskan Indonesia mau tak mau harus ikut gabung. Kalau tidak gabung bagaimana? Tentu Indonesia secara perpolitikan global akan mengalami kesulitan dalam mengekspor produknya ke luar negeri, sedangkan di dalam negeri kebanjiran produk-produk asing dan aseng, hihihi.

Impact dari masuknya modal asing ke Jepara membuat pengusaha lokal kalah dalam segala lini, kalaupun bisa bersaing hanya di irisan-irisan kecil saja. Modal asing yang masuk ini akan dapat dengan muah membeli semua, dari pasar dan tenaga kerja. Toh, nyatanya sekarang memang seperti itu.

Pemerintah pusat beberapa kali memang menurunkan suku bunga untuk para pengusaha dalam negeri, namun hal tersebut tak pernah konsisten mengingat perpolitikan dalam negeri yang suka tak jelas sehingga membuat kebijakan di sektor ekonomi terkena imbasnya juga. Berbeda dengan para pemodal asing, mereka mendapatkan pasokan dana yang besar dari Bank negaranya dengan bunga yang lunak.

Para pemodal asing dari Jerman, Cina, Korea, Jepang dan Amerika yang merebak di Jepara mendirikan pabrik-pabrik di beberapa kecamatan dengan mudah membeli bahan baku produksi berupa kayu log untuk diolah dengan kekuatan modalnya yang besar. Mudahnya mencari bahan baku produksi, berbanding lurus dengan pabrik-pabrik asing mencari tenaga kerja karena pabrik tersebut produksinya lancar, honor mingguan pun ikut aman. Berbeda dengan pabrik-pabrik mebel yang dimiliki orang lokal, kesulitan membeli bahan baku juga berbanding lurus dengan mencari tenaga kerja.

Nah ini bagian paling seru yang ingin saya ceritakan. Modal asing juga banyak menggeser para pemain lokal yang dulunya kelas kakap. Jepara dulu dikenal orangnya yang kaya raya, tajir dengan rumah bertingkat karena banyak orang lokal yang menjadi eksportir. Naas, sekarang posisi mereka hanya menjadi pemain lini kedua, menjadi sub-eksportir di pabrik asing. Nasib para perajin yang dulunya banyak di pabrik-pabrik lokal dan pelosok kampung Bumi Kartini, kini menjadi buruh di pabrik-pabrik asing yang banyak bercokol di Jepara. Para poemasok yang dulunya menjadi juragan kecil di pelosok kampung kini menjadi mandor di pabrik. Semua telah perlahan direkrut oleh pengusaha asing.

Kini, Jepara sedang di gandrungi investor asing yang bergerak di bidang tekstil dan garmen. Lantas, apa yang terjadi di jepara sepuluh tahun kedepan. Apa masih layak kita beri predikat Jepara kota ukir, atau apakah Jepara Masih Kota Ukir?



Thursday, May 30, 2019

Meridhai Allah


Meridhai Allah
*Ali Ahsan Al Haris

Beberapa hari yg lalu saya bertemu dengan salah satu penjaga parkiran di institusi pendidikan. Saya sendiri tidak mengenal betul siapa bapak ini, tapi obrolan kami sangat akrab karena ternyata bapak jukir ini kenal baik dengan salah satu senior saya waktu sekolah dulu.

Saya mengenal betul siapa senior yg dimaksud oleh bapak ini, selain sekolah, senior saya ini sangat aktif membantu para jukir untuk memperjuangkan kesejahteraan mereka. Dari mulai gapok, tunjangan bulanan dan kejelasan kontrak para jukir. Dari hasil perjuangan senior saya dan kawan-kawan inilah para jukir mendapatkan kesejahteraanya, ya bisa di bilang tidak seperti yang lalu itu.



Karena bapak ini menjadi ring 1 para jukir untuk berjalan bersama sama dengan senior saya, dan hasilnya memang sudah jelas terasa. Maka obrolan saya dengan beliau seperti kawan lama yang sudah tidak jumpa.

Nah yang menarik, saat saya bertanya perihal gaji yg sekarang diterima apakah cukup untuk kebutuhan bulanan beliau. Kesimpulan yg saya dapat dari beliau, hidup itu harus ridha meridhai setiap apa yg di dapat, kalau sekali saja tidak ridha dengan yg kita dapatkan, itu bisa menjadi petaka untuk diri sendiri dan keluarga. Apa yg di maksut petaka disini? Matinya hati akan rasa syukur atas semua nikmat yg Tuhan berikan, itu intinya.

Kita sering menuntut lebih ke Allah, sekali doa kita tidak di kabulkan oleh Allah, kita sering sambat dan selalu mengeluh kenapa kenapa kenapa dan kenapa kok tidak bisa, tidak seperti mereka, kenapa susah dan susah.

Mbokya kita itu belajar meridhai Allah, jangan suka curiga sama Allah.
Lantas saya bertanya pada beliau, "Pak, sampeyan kuwi meridhai Allah atau malas berusaha sehingga apa-apa sampeyan syukuri sehingga malas berusaha lebih giat?
Bapaknya diam, saya nya bengong. Saya seruput kopi yg sedari tadi dingin, mata bapaknya tajam menikam saya, dan kami tertawa bersama. Hahaha


Proses Proses Proses


Proses Proses Proses
*Ali Ahsan Al Haris

Dulu saya sering dan bahkan menyukai, atau bisa dikatakan mencari orang untuk berdebat dengan saya. Tentu dengan kapasitas yg saya ketahui, hal tersebut muncul karena lingkungan saya yg sering menekankan rutinitas membaca, menulis dan membedah buku, artikel, jurnal atau peristiwa kekinian.


Proses tersebut berlangsung cukup lama, hampir 3 tahun berjalan. Dalam ziarah saya dan kawan-kawan warkop ke warkop, sisi tembok ukm ke ukm bahkan emperan trotoar sering saya dan kawan-kawan singgahi. Berbagai tipikal manusia saya temui, perbendaharaan istilah dan wacana saya serap dan cecap dengan gampang dan sulitnya. 

Proses tersebut sedikit banyak membentuk diri saya menjadi manusia angkuh dalam mempertahankan argumen, tapi banyak sisi kehidupan juga yg saya banyak melehek. Hehe

Menjelang kesini saya semakin sadar, tentu kesadaran saya ini bukan berarti pembenaran atas kesalahan proses saya yang dulu. Oke, anggap saja ini hipotesa.
Perihal berdebat, berforum, berdiskusi dan musyawarah. Kebenaran pendapat yang setiap manusia bawa hanya berkutat pada kebenaran

1. Kebenaranmu sendiri (Personal)
2. Kebenaran anda (non personal), dan
3. Kebenaran itu sendiri

Tapi, nah ini yg menarik. Semakin kesini jadi bergeser kepada
1. Kebenaranmu sendiri
2. Kebenaran anda, dan
3. Pembenaran itu sendiri

Jadi kita kudu gimana?

Ngopi seg ae ya, mumpung belum imsyak.



Menahan


Menahan
*Ali Ahsan Al Haris


Masih dalam suasana Ramadhan, ritual wajib tahunan bagi umat islam di seluruh dunia. Puasa menjadi laku filosofis tersendiri, dimana Allah mewajibkan para hambanya untuk berpuasa, lantas apa manfaat dari puasa itu sendiri? Apakah hanya perihal kesehatan? Apakah hanya terkait tahan menahan makan, nafsu atau minum? 
Sampai-sampai Allah mewajibkan kita semua untuk berpuasa.

Jika saya ambil sedikit saja makna dari puasa, maka saya akan ambil makna sederhana yg bagi saya menjadi center of point itu sendiri. Yes, dia adalah "Menahan".
Menahan jika saya ejawantahkan ke dalam konteks sekarang, lebih tepatnya mode, fesyen, gaya berbusana, tentu perilaku menahan akan sangat bermakna.

Lokasi di Bukit Kapur Jaddih Bangkalan

Ambil contoh seperti ini, di berbagai platform sosial media banyak kita temukan penjual baju, celana, tas, sepatu, alat komunikasi dll. Para platform dan penjual bekerjasama dengan influencer untuk menjajakan dagangan mereka, dengan harapan para penggemarnya akan membeli. Itu hanya salah satu metode pemasaran saja.

Pertanyaanya, kita sebagai konsumen apakah sudah sadar mana yang sekiranya itu "KEBUTUHAN" & "KEINGINAN".

Kalau pembaca sudah ada yg pernah Ngaji Ihya' karangan Al Imam Ghazali, tentu kita akan mengenal quotes yg sangat terkenal, "Kenali hatimu, maka kau akan kenal dirimu. Kenali dirimu maka kau akan kenal Tuhanmu"

Petuah tersebut saya elaborasi dengan perilaku menahan, dengan cara membedakan mana kebutuhan dan keinginan.
Kalau kelasmu makan di angkringan, ya nikmati. Jangan karena gengsi lantas makan di coffee. Kalau bajumu masih layak pakai, kenapa harus beli baru demi menghindari gunjingan temanmu.

Urip kok bok gae sudah dewe toh, Bro.

Nabi Muhammad mengajarkan kita untuk makan sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang. Kita kudu bisa menahan mengadopsi hal di luar kebutuhan kita.
Mungkin dengan cara itu, kita bisa mengenali hati kita dan diri kita untuk kemudian lebih dekat dengan Allah.

Jadi, berapa harga outfid lo, Cok?

Hehe.

Urip kok sebercanda ini ya.


Menulis


Menulis
*Ali Ahsan Al Haris


Instagram, facebook dan twitter menjadi platform terbesar dalam hal foto dan share tulisan terbesar dekade ini, setidaknya ini menurut saya.

Siapa sangka ketiga sosial media diatas yang secara hakikat menjadi ranah untuk sharing hal bermanfaat, kini bergeser menjadi tempat untuk adu gengsi. Dulunya di lihat sebelah mata, ternyata sekarang menjadi sarana mendulang uang dengan cara berjualan produk maupun jasa.

Dari pergeseran-pergeseran tersebut, satu yang saya tangkap tak lekang di telan zaman. Yes, share tulisan yg bermanfaat dari orang-orang yg getol dan konsisten bersua lewat jejaring sosial media dewasa ini.

Lokasi di Tebing Arosbaya Bangkalan Madura

Bahkan saya memiliki kesimpulan jika ingin mengetahui karakter seseorang secara sekilas saja hanya dengan mencari tahu konten sosial medianya.
Begitu mudah bukan, tinggal saya lihat siapa yg mereka follow di akun instagramnya, saya baca postingan facebook mereka, saya cari tahu twittwar mereka ke siapa saja, tuntas saya dapat menilai karakter kawan-kawan saya.

Begitu juga dengan menulis, terlebih kawan-kawan saya di MAJ yang getol menulis di wall facebook mereka. Ada yg fokus membahas kesehatan seperti Kang Muhammad Islam Rifa'i atau fokus sharing kegiatan sehari-hari macam Kang Kafi Kita Mereka semua dan kawan-kawan MAJ tetap konsisten dengan gaya tulisanya masing-masing.

Tidak perlu mengemis like dari para netizen, tidak perlu menjadi fakir sanjungan untuk tetap aktif menjadi kontributor platform masing-masing. Tetap setia dengan cara masing-masing, karena itulah kunci bahagia.

Kalau saya sendiri sih, menulis dengan santai saja. Tidak harus dengan pembahasan berat, karena bagiku kunci hidup bahagia ya dengan melucu. Kalau tak lucu, berarti hidupmu kaku.

Ketika kritik dibungkam.
Tulisan di judge tanpa di timbang.
Di tuduh subversif dan mengganggu umat.
Satu kata.

LAWAK.


Anti Sambat-Sambat Club


- Anti Sambat-Sambat Club –
*Ali Ahsan Al Haris


Sudah hidup tujuh tahun lebih di perantauan, jauh dari hangatnya kopi buatan ibu saya yang setiap pagi dibuat oleh Ibunda, jauh dari obrolan tentang masa muda Ayah saya sewaktu muda, dan kangen tentang harumnya deterjen mesin cuci rumah yang hampir tiap sore saya ubek-ubek untuk mencui pakaian seisi rumah.

Hidup dirantau, bertemu keluarga baru, pengalaman dan cerita-cerita baru yg tiap hari silih berganti, dari mulai omelan istri, ribetnya anak yang bengal, tagihan awal bulan yang mencekik leher, partner kerja yg munafik dan sejuta cerita kehidupan keluar dari mulut-mulut manusia yg anti di sebut sebagai "Geng Anti Sambat-Sambat Club".

Lokasi di Maksimal Coffee, dengan Cak Anjas dan Cak Hadi

Perbedaan umur, pengalaman dan pergaulan menjadikan diri saya di tempa pengalaman yg sangat berarti. Baik buruknya hidup berefek pada nasib di kemudian hari, namun perjuangan tak akan terhenti hanya masalah, perut.

Jika meja dan kursi bisa bicara, mungkin mereka lelah dengan keluhan demi keluhan yg kami obrolkan, jika gelas kopi ini bersaksi di akhirat kelak, saya yakin gelas tersebut akan lantang bicara di hadapan Tuhan jika saya adalah manusia sampah yg suka sambat. Hehe

Tapi beginilah hidup.
Kudu dibawa bercanda.

Kalau kata Mbah Nun, "Masio lunyu eo tetep di penek, Rek".
Oleh karenanya juga, saya sebagai salah satu masyarakat Maiyah tenar dengan filosofi pohon Belimbing.
"Penekno belimbing kuwi, lunyu-lunyu penekno"

Padahal sambat tidak menyelesaikan masalah, kok ya iseh sambat ae, Rek.
Hehe