Saturday, January 4, 2020

Harga Diri Lelaki Dalam Buku Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam

Harga Diri Lelaki Dalam Buku Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam


Buku kedua di tahun 2020 yang selesai saya baca adalah Karangan wartawan senior yang namanya sudah dikenal luas, Alm. Rusdi Mathari (Cak Rusdi). Saya belum pernah bertemu dengan Cak Rusdi. Saya hanya mengenal beliau dari bukunya, tulisan di blog beliau dan cerita dari kawan-kawan Cak Rusdi seperti Mas Puthut, Mas Agus Magelangan, Nuran Wibisono dll. Dari pelbagai cerita dan buku Cak Rusdi yang saya baca. Semuanya hampir sepakat mengatakan bahwa Cak Rusdi selain keras dan kritis. Beliau adalah orang yang jenaka. Apalagi jika bertemu dengan kawan-kawan lama beliau macam Mas Puthut.


Saya belum mendapatkan informasi yang pasti di mana Cak Rusdi kuliah, yang jelas jurusannya Teknik Sipil. Kampusnya ada yang bilang ITN atau Brawijaya dan kena Drop Out lantaran pemberitaan miring yang menimpa beliau beserta kawan-kawannya.


Kejadian itu bermula pada suatu malam, Cak Rusdi dan beberapa orang kawannya baru saja minum-minum, pulang ke kosan. Cak Rusdi yang merasa mabuk berat memilih tidur. Yang tidak diketahuinya, beberapa orang kawannya membawa seorang perempuan. Beberapa penduduk kemudian menggerebek mereka. Cak Rusdi yang sedang tidur turut kena ciduk. Ia bingung, tentu saja. Mereka semua dibawa ke kantor polisi. Seorang wartawan kemudian menulis kejadian itu dengan dengan judul bombastis, bahwa sejumlah mahasiswa perantauan pesta seks, alkohol dan narkoba. Cak Rusdi marah besar, sebab kabar itu sangat bohong. Lantas kemudian Cak Rusdi mencari wartawan itu dan menantangnya berkelahi. Mereka berkelahi hebat sampai wartawan itu dihantam Cak Rusdi hingga tersuruk ke selokan. Termasuk kawan Cak Rusdi yang membawa seorang perempuan ke kosan, hancur lebam di gebuk Cak Rusdi.


Kejadian tersebut menjadikan Cak Rusdi minggat dari kampus dan merantau ke Jakarta menjadi wartawan yang memegang teguh prinsip. Cak Rusdi pantang menulis berita bohong dan terburu-buru, seperti wartawan yang ia gebuk dan tersungkur kedalam selokan itu.


Karir wartawan Cak Rusdi terbilang mentereng, sempat bekerja di media besar dan memiliki posisi penting. Selain aktif menulis di media, Cak Rusdi juga dikenal sebagai orang yang lihai dalam hal investigasi. Reportase Cak Rusdi terbilang berani dan rapi saat dibaca. Tulisan Cak Rusdi juga dapat kita baca di web pribadi beliau.


Buku yang saya baca ini terbitan Buku Mojok tahun 2018 terbitan pertama, dan saya baru selesai membaca 3 Januari 2019.


Buku "Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam" adalah hasil reportase Cak Rusdi yang terdiri dari sembilan belas naskah ditulis pada tahun 2007 hingga 2014.
Naskah tersebut di antaranya: Pertama, Perjumpaan Cak Rusdi terhadap orang-orang yang terkena AIDS kemudian mereka dikucilkan. Ada banyak kisah yang diangkat mulai dari dalam negeri hingga luar negeri.


Kedua, cerita tentang persaingan bioskop yang cukup sengit antara Bioskop 21 dan Blitz Megaplex.


Ketiga, kisah-kisah menyedihkan dari panti-panti yang dikunjungi Cak Rusdi. Dan, mungkin akan membuat pembaca menguras air mata.


Keempat, cerita tentang keberanian Usman Hamid menghadapi Muchdi PR dalam usaha pengungkapan kematian Almarhum Cak Munir Said Thalib.


Kelima, kisah tentang Antasari Azhar yang terdiri dari tiga naskah. Kisah yang berisi intrik-intrik politik antara Antasari Azhar dengan lawan-lawan politiknya.


Keenam, sejarah band terkenal God Bless yang mana Cak Rusdi adalah pendengar setia lagu-lagunya.


Ketujuh, bercerita tentang kegemaran Cak Rusdi dalam mengunjungi pasar tradisional di dekat rumahnya. Menurut Cak Rusdi, pasar adalah tempat di mana orang jujur berdialog dan bertatap muka.


Kedelapan, sebuah liputan mendalam tentang pembalakan hutan di Kalimantan yang terdiri dari empat naskah.


Kesembilan, liputan dari Madiun Jawa Timur yang mengulas ketiadaan listrik. Padahal daerah yang dituju hanya sepelemparan bola sepak dari jalan besar.


Kesepuluh, sebuah kisah dari Solo tentang pengaruh Jokowi terhadap pembangunan di Solo.


Kesebelas, cerita tentang reklamasi Teluk Jakarta yang menuai konflik hingga saat ini.


Kedua belas, sebuah liputan dari DI. Aceh tentang jejak rekam peristiwa pasca tsunami yang melanda 26 Desember 2004.


Terakhir, sebuah liputan tentang diskriminasi terhadap sebuah kelompok. Reportase yang mengulas kelompok Syiah di Sampang ini menguak apa yang sebenarnya terjadi di Sampang, Madura, Jawa Timur beberapa tahun silam.


Dengan membaca sehimpun  reportase Cak Rusdi membuat kita kagum dengan kegigihan dan keuletannya demi menyusun sebuah tulisan. Selain itu, saya sendiri akhirnya mendapat sudut pandang baru dalam membaca dan menganalisa sebuah kasus lewat reportase yang dibuat oleh orang yang memang ahli dalam bidangnya.


Dari beberapa bab yang ada, saya sangat menyukai bagaimana Cak Rusdi menceritakan kisah para orang-orang tua yang menghabiskan hidupnya di panti. Hati ini menjadi tergerak untuk selalu hormat kepada orangtua dan menghargai semua profesi pekerjaan. Selain itu, kisah kelompok Syiah di Sampang menjadi cahaya baru bagi saya yang selama ini kurang paham apa yang sebenarnya terjadi dan melatarbelakangi kasus tersebut.

Saya kira hanya itu yang bisa saya tuliskan.

Sekian terimakasih.

Ali Ahsan Al Haris
Malang, 3 Januari 2020.

Resensi Buku Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam Rusdi Mathari, Resensi Buku Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam Rusdi Mathari, Resensi Buku Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam Rusdi Mathari, Resensi Buku Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam Rusdi Mathari, Resensi Buku Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam Rusdi Mathari, Resensi Buku Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam Rusdi Mathari, Resensi Buku Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam Rusdi Mathari, Resensi Buku Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam Rusdi Mathari, Resensi Buku Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam Rusdi Mathari, 

Friday, January 3, 2020

Cerita Dari Pasar Tradisional

Cerita Dari Pasar Tradisional


Saya masih menjadi anak desa, meski dalam realitanya menjadi kaum urban. Saya masih merasa menjadi anak desa, meski tempat tinggal saya dikepung lautan beton yang menjulang tinggi. Saya masih merasa menjadi anak desa, meski terkadang belanja di pasar modern. Saya masih merasa menjadi anak desa, karena Indonesia adalah bagian dari desa saya.

Sore hari (2 Januari 2019), selepas memposting tulisan saya berjudul "Lelaki Tua dan Kebiasaan Anehnya". Senior saya, memposting pada dinding facebook sebuah foto tampak kemacetan yang mengular dari gang depan rumahnya sampai pasar tradisional yang kira-kira jaraknya mencapai 100 meter. Pada foto tersebut tertulis kurang lebih kalimat yang menginformasikan berkah libur tahun baru yang membuat pasar tradisional di desanya padat merayap oleh pengunjung.

Saya sebagai anak desa, tentu sangat senang membaca postingan senior saya itu. Jadi teringat saat saya jalan ke pasar tradisional bersama istri. Mencium aroma pasar yang sangat khas, bau bawang, amis ikan, daging, kol busuk, kencing manusia yang mengering bercampur dengan peluh wangi buah. Melihat para pedagang dan konsumen berdialog dan bertatap muka secara jujur. Saya sangat menyukai tempat dan suasana semacam itu. Sungguh menikmatinya.

Postingan senior saya mendapat banyak like dan komentar. Selain yang ia posting informatif, secara personal dia juga dikenal dikalangan orang-orang desa. Berbicara dengan apa yang dia posting, foto kemacetan itu juga menimbulkan antrian panjang di kolom komentar facebooknya. Mereka kompak membicarakan satu hal. Para pedagang di pasar tradisional itu menjual dagangannya dengan harga (Yang katanya) mahal. Berapa prosentase kenaikannya, saya tidak memiliki informasi pasti. Jika saya ada kesempatan, ingin sekali berkunjung ke pasar tradisional di desa senior saya itu. Semoga saja kesampaian.

Saya bukan orang ekonomi, bukan juga peneliti koperasi dan distribusi produk. Namun pengalaman saya keluar masuk pasar tradisional, kenaikan harga dapat terjadi oleh beberapa faktor. Bisa karena inflasi (Itu sangat jelas), kelangkaan produk dan naiknya BBM.

Tapi jauh sebelum senior saya memposting foto tersebut pada dinding facebooknya. Senior saya pernah bercerita kalau daerahnya lebih maju dibanding dekade sebelumnya. Terbukti dengan banyaknya pabrik tekstil dan sepatu yang masuk ke daerahnya. Hal ini senada dengan banyak terserapnya tenaga kerja di Kabupaten tempat senior saya tinggal. UMK naik, banyak ditemukan gerai elektronik dan makanan yang dulunya sepi, dan kongkritnya jalanan semakin macet berkat semakin mampunya masyarakat membeli sepeda motor.

Jika hukum pemasaran bicara permintaan dan penawaran. Wajar jikalau akan mahal suatu produk jika banyak permintaan. Selain itu, semakin meningkatnya tingkat pendapatan per kapita pada suatu daerah. Dapat dipastikan akan semakin tinggi pengeluaran pada daerah tersebut. Masalahnya, senior saya pernah bercerita jikalau daerahnya sudah banyak pabrik dan itu berpengaruh pada meningkatnya pendapatan di daerah senior saya tinggal.

Ini saya yang salah menangkap informasi, atau masyarakat sekarang se enaknya sendiri dalam menawar dagangan di pasar tradisional. Menganggap rendah dan murahan apa yang pedagang jual. Sehingga mereka kejam dan arogan menawar dengan harga rendah.


Atau jangan-jangan. Pedagang dan kita sebagai konsumen sama arogannya dengan Pemerintah yang menganggap remeh suatu hal berlabel tradisional?

Thursday, January 2, 2020

Resensi Buku Seorang Laki-Laki Yang Keluar Dari Rumah Puthut EA

"Laki-Laki dan Dendamnya Dengan Mantan Pacar Pada Buku Seorang Laki-Laki Yang Keluar Dari Rumah"


"Karena tidak selalu ada hubungan antara pernikahan dengan cinta. Cinta ya cinta. Menikah ya menikah. Hanya orang yang beruntung jika saling mencintai lalu menikah."




Saya dipertemukan dengan karyanya Mas Puthut dari bukunya yang berjudul Makelar Politik di tahun 2009, dan buku yang saya baca ini adalah buku kesekian kalinya yang saya baca. Saya memang belum membaca seluruh karyanya yang kurang lebih berjumlah tiga puluh dua buku itu, namun buku berjudul "Cinta Tak Pernah Tepat Waktu" dan "Seekor Bebek Yang Mati Dipinggir Kali" adalah karya favorit saya.

Bicara resolusi 2020, khususnya perihal literasi. Saya ingin setiap buku yang selesai saya baca di tahun 2020 akan saya resensi dan bagikan lewat platform sosial media. Sebenarnya hal ini sudah pernah saya rutinkan dari tahun 2012, namun tidak bertahan lama. Hanya bertahan kurang lebih di tiga belas buku. Jika ada kesempatan dan uang, dalam sebulan saya bisa membeli sebelas buku, tapi kapan membacanya itu yang jadi pertanyaan. Oleh karena itu, saya harap resolusi 2020 dengan membaca dan meresensi menjadi cambuk agar saya lebih semangat dan tertib dalam meresensi.
Buku "Seorang Laki-laki Yang Keluar Dari Rumah" terbitan "Buku Mojok" pertama kali terbit pada tahun 2017, dan 1 Januari 2020 saya baru selesai membacanya. Buku yang saya foto terbitan ke dua, dan kemungkinan akan bertambah lagi seiring makin terkenalnya Mas Puthut, Situs Mojok dan saya akui sendiri, karya Mas Puthut selalu menghadirkan kelucuan tanpa mengurangi sisi kritisnya. Jadi wajar jika banyak kalangan yang selalu menunggu buku terbarunya Mas Puthut.

Sedikit berbagi pengalaman. Biasanya saat hendak memutuskan membeli dan membaca buku, saya akan banyak mencari referensi tentang penulis atau buku yang akan saya beli lewat Mbah Gugel. Nah beda kasus jika saya membeli bukunya Mas Puthut, saya akan langsung menyambarnya di rak buku dan membawanya ke kasir. Hal ini saya lakukan khusus kepada penulis-penulis yang pengalaman saya membaca karayannya, tidak pernah membuat saya kecewa.

Buntut dari tidak mencari referensi tentang buku "Seorang Laki-laki Yang Keluar Dari Rumah" ini, saya dibuat bingung karena plot ceritanya kok gak nyambung antara part satu ke dua, tiga dan seterusnya. Sempat saya "Mbatin" ke Mas Puthut kok menerbitkan karya sebusuk ini. Akhirnya saya putuskan mencari hasil resensi dari para blogger di Mbah Gugel. Ternyata, bukan buku "Seorang Laki-laki Yang Keluar Dari Rumah" memiliki plot cerita jelek. Melainkan saya yang salah dalam teknik membacanya. "Anda bisa membaca novel ini dari setiap bab bernomor ganjil sampai tuntas baru kemudian membaca bab genap; atau membaca novel ini sebagaimana lazimnya, dari awal sampai akhir; atau tidak membacanya sama sekali, dan itulah orang-orang yang merugi”, itulah kutipan yang saya dapat dari para blogger dan dari situs mojok sendiri.

Langkah pertama yang saya lakukan adalah menekuk kertas pada bab ganjil. Begitu selesai, saya baru ngeh dan paham dengan plot ceritanya. Memang luar biasa keren, jarang-jarang saya mendengar ada buku dengan teknik membaca semacam ini.

Bayangan awal saya sebelum membaca buku ini adalah tentang perjalanan seorang lelaki (Suami), yang mencari nafkah untuk keluarganya kemudian menemui pelbagai hambatan. Ekspetasi saya benar, namun ada banyak sisi cerita di mana saya seperti ditarik kedalam cerita dan berposisi sebagai tokoh Pandu. Kita juga dapat menemui tokoh dalam cerita yang notabennya, itu semua adalah karakter rekaan kawan-kawan Mas Puthut sendiri. Sebut saja Rusli, Alm. Cak Rusdi Mathari, Kali (Anak Mas Puthut), Winda (Nama samaran untuk istri Mas Puthut) dan beberapa tokoh lain yang tidak saya kenal.

Sebelumnya mohon maaf jika resensi yang anda baca ini tidak mendetail. Tapi saya akan mencoba mengulas ulang scene cerita yang bagiku sangat menarik dan membekas.

"Seorang Laki-Laki yang Keluar dari Rumah” bercerita tentang dua sudut pandang karakter yang mewakili dua bagian bab berbeda, yaitu ganjil dan genap. Dua karakter ini saling berhubungan, namun cerita di setiap bab dari bagian mereka bisa berdiri sendiri.

Hal yang membuat “mungkin” beberapa orang kesulitan untuk membaca novel ini secara normal adalah penggunaan kata ganti orang pertama yang mewakili dua karakter berbeda. Kunci untuk membedakan mereka adalah bab ganjil atau genap. Namun seiring berjalannya waktu pembaca akan memahami karakteristik dua tokoh yang ternyata punya perbedaan sangat signifikan. Saat saya membaca cerita dari bab ganjil, sangat tampak jika karakter AKU pada bab ganjil menunjukan sifat selalu pesimis dan wasa-was terhadap hal yang dihadapinya. Kontras sekali dengan tokoh AKU pada bab genap.

Tema cerita yang diusung cukup berat, karena banyak membahas tentang politik, kepercayaan, budaya, cinta, dan persahabatan. Namun bukan Mas Puthut, jika tidak membuat tema yang berat menjadi mudah diterima.

Pemilihan kata yang tepat tidak berlebihan, tidak puitis seperti “Cinta yang Tidak Pernah Tepat Waktu”, membuat novel ini menekankan bahwa ini adalah cerita yang serius. Makanya bahasanya harus lugas dan mudah dicerna. Namun bukan berarti tidak ada kalimat yang cemerlang untuk dikutip, ada banyak, beberapa kalimat luar biasa yang akan memberikan semacam pemikiran panjang tentang kehidupan dan apa yang kita jalani selama ini.

Novel ini banyak menekankan bahwa keluarga adalah bagian paling terpenting yang harus didedikasikan semua orang untuk mencapai sesuatu yang mereka yakini sebagai kebahagiaan. Bahwa hidup manusia di dunia ini untuk mati dengan meninggalkan segala kebaikan.

Sebelum saya tutup, scene yang paling saya ingat dan menjadi residu kenangan adalah saat tokoh pasutri bernama Mas Budiman (Suami), Mbak Rukmi (Istri) dan Bumi (Anak mereka). Keluarga tersebut sedang dilanda musibah dengan sakitnya Mas Budiman. Anehnya, sakitnya Mas Budiman bukanlah sakit biasa, melainkan sakit karena menyimpan kenangan dengan mantan pacarnya dulu yang kini telah menjadi suami orang lain dan ibu dari anak-anak mereka berdua.

Scene tersebut sangat membekas karena Mas Puthut dengan cerdas melontarkan wacana "Apakah masih penting kata cinta untuk pasangan pasutri yang sudah memiliki anak satu?".
Terkahir, dan ini sangat menarik ...

"Karena tidak selalu ada hubungan antara pernikahan dengan cinta. Cinta ya cinta. Menikah ya menikah. Hanya orang yang beruntung jika saling mencintai lalu menikah."

"Kamu yakin?"


"Ya. Ada banyak temanku yang melakukan itu. Mereka menikah karena ya harus menikah. Sudah saatnya menikah. Mungkin ada sedikit cinta atau perasaan sayang satu sama lain. Tapi menurutku, rumah tangga dibangun dan didirikan tidak ada hubungannya secara erat dengan urusan saling mencintai. Ibarat makanan. Kita harus makan. Persoalan enak atau tidak, tidak ada hubungannya secara langsung. Beruntunglah pas kita makan dapat makanan enak. Tapi kalau tidak, ya kita tetap harus makan."


Terimakasih.
Malang, 2 Januari 2019.

Resensi Buku Seorang Laki-laki yang Keluar Dari Rumah, Resensi Buku Seorang Laki-laki yang Keluar Dari Rumah, Resensi Buku Seorang Laki-laki yang Keluar Dari Rumah, Resensi Buku Seorang Laki-laki yang Keluar Dari Rumah, Resensi Buku Seorang Laki-laki yang Keluar Dari Rumah, Resensi Buku Seorang Laki-laki yang Keluar Dari Rumah, Resensi Buku Seorang Laki-laki yang Keluar Dari Rumah, Resensi Buku Seorang Laki-laki yang Keluar Dari Rumah, 

Lelaki Tua dan Kebiasaan Anehnya

Lelaki Tua dan Kebiasaan Anehnya


Saya mendengar kisah ini dari Bapak saya, atau bisa dibilang saya mencuri dengar obrolan antara Bapak dan Ibuk di meja makan. Bapak bercerita ke Ibuk tentang kawannya bernama X macak (Pura-pura) budheg (Tuli) di depan kawan-kawannya.

Sebelum saya lanjut, saya sengaja tidak memberitahu siapa bapak bernama, X itu. Padahal saat Bapak bercerita dapat dengan jelas saya dengar nama karakter yang dimaksud plus di mana karakter tersebut bekerja beserta jabatannya. Karena konteks tulisan ini bagiku agak sensitif, sesekali saya memang perlu mengelabuhi para pembaca siapa karakter utama yang saya ceritakan ini. Tujuannya jelas, agar karakter yang saya ceritakan ini tidak malu dikemudian hari. Selain itu, saya tidak ingin Bapak dan Ibuk saya stres mendengar anaknya diancam (Lagi)  akan dipenjarakan karena ada yang protes berkat tulisan yang saya tulis. Lha terus mengapa kudu menuliskan hal tersebut jika ingin menyembunyikan tokoh utama? Jelas kok, biar pembaca tahu bahwa banyak diantara kita yang anti kritik. Bahkan bisa jadi itu dirimu, raimu dewe.

Oke fokus.

Bapak saya mengenal X tidak terlalu lama, banyak dari kawan X menyebut jika X memiliki gangguan pendengaran setelah menjabat sesuatu. Informasi tersebut Bapak dapatkan dari kawan dekat X dan beberapa orang yang sebatas mengenal X. Kabar burung menyebut jika X terkena serangan astral dari rivalnya yang kala itu memperebutkan jabatan tersebut. Bapak sempat mempercayai kabar burung tersebut karena mayoritas menyebut demikian. Jadi, dalam beberapa kesempatan ngobrol dengan X, Bapak sering menggunakan nada bicara yang agak tinggi agar terdengar oleh X.

Sebagai keluarga dari lingkungan konservatif, kami memang mempercayai adannya gangguan semacam itu. Tapi diam-diam Bapak memendam rasa penasaran yang teramat tinggi. Apakah benar si X ini mengalami gangguan pendengaran, atau hanya akal-akalannya saja. Bapak adalah pembaca buku kelas berat, mungkin kebiasaan tersebut terbentuk sejak menempuh kuliah filsafat dulu. Jika Bapak adalah pengagum filsafat timur, saya kebalikannya yang terlalu fanatik dengan filsafat barat. Bahkan, banyak buku-buku di almari saya yang tiba-tiba hilang. Saat saya tanya ke Bapak siapa yang pinjam, jawaban Bapak santuy, "Gak hilang, cuman Bapak sembunyikan saja. Kamu tidak usah membaca itu. Gak berfaedah". Yah, saya menganggap itu adalah jawaban seorang Ayah ke Anaknya yang tidak ingin melihat anaknya tersesat dalam labirin eksistensialisme semu.

Rasa penasaran yang tinggi itu, Bapak pergunakan mengetes X apakah benar memilki gangguan pendengaran atau tidak. Dalam beberapa kesempatan ngobrol dengan X, Bapak diam-diam mengamati si X dapat mendengar nada suara yang rendah. Hal tersebut terjadi beberapa kali, Bapak sempat membuat hipotesa bahwa apa yang X lakukan adalah akal-akalannya saja. Sampai pada puncak rasa penasarannya, Bapak menanyakan secara langsung ke X apakah gangguan pendengarannya itu benar atau bohongan.

Sampai cerita ini ditulis, saya belum menemukan jawaban yang hakiki apa alasan utama Bapak memiliki rasa penasaran sebesar itu ke seseorang yang tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga kami. Buang-buang energi saja, batinku.

Meski masih sebatas dugaan, saya yakin Bapak memiliki dasar yang kuat mengatakan jika X hanya akal-akalannya saja macak budheg. Usut punya usut, X banyak yang tidak suka jika dia menjabat sesuatu. Sadar posisinya terkepung tanpa koalisi yang pasti, jurus utama yang hanya X bisa lakukan adalah, macak budheg. Tentu macak budheg disini bermakna simbolik, bukan gangguan pendengaran asli. Melainkan mendoktrin diri sendiri untuk tidak sakit hati dan dendam ke siapapun yang mengatai diri kita jelek, hina, busuk dan makian lainnya.

Lantas, apakah macak budheg masih efektif kita lakukan hari ini? Bagi sebagian orang iya. Tapi ada yang menarik. Kawan saya pernah bercerita, Korps alumni organisasinya yang tergabung dalam WhatsApp group sebagian besar tidak suka ke Y. Ketidaksukaan itu muncul karena gerakannya Y yang terlalu licin dan mendominasi. Ketidaksukaan itu beredar luas di meja warung kopi, meja proyek, parkiran sampai toilet berdiri.


Macak budheg memang perlu, apalagi kita tahu jika masyarakat kita sebagian banyak hobi ngerasani, tanpa berani melakukan aksi. 

Friday, December 27, 2019

Bacaan Kok Gini-Gini Aja

Bacaan Kok Gini-gini Aja


Terkadang saya berpikir buku-buku yang saya baca selama ini apakah berkembang atau begini-begini saja. Dalam artian apakah saya hanya penikmat realis, surealis dan sejarah, atau bacaan saya berkembang ke genre lainnya. Jika kalian bertanya apakah bacaan saya sejak SD sampai sekarang berubah genrenya, tentu iya. Tapi beberapa kawan seumuran saya masih ada saja yang membaca novel remaja, malah adik saya yang masih SMA kelas dua, sudah khatam "Dunia Sophie" karangan Gaarder yang notabennya buku tersebut lebih dikenal dikalangan para Mahasiswa Filsafat. Tentu contoh ini bukan berarti mengkerdilkan para pembaca yang saya maksut, tapi dua contoh yang saya sebutkan adalah contoh nyata sehingga muncul inisiatif tulisan sederhana ini.

Dari pengalaman saya pribadi dan contoh di atas, timbul pertanyaan lagi apakah kita tidak berkembang dalam mengakses bahan bacaan. Ada yang tidak tumbuh, ada yang tidak berkembang, ada yang terlambat sehingga kita membonsai dalam bahan bacaan itu-itu saja. Apakah salah jika seseorang yang berumur tiga puluh an membaca novel remaja, pun anak yang berumur delapan belas tahunan salah jika membaca Das Kapital nya Marx? Tentu ini pertanyaan menarik, tapi jika kita pikir lebih mendalam lagi ada beberapa hal yang (Mungkin) melatar belakangi masalah ini semua. Lingkungan dan pendidikan formal kita menjadi sumber yang menjadikan kita tidak berkembang dalam hal bacaan. Pengamatan saya pribadi (Tentu ini tidak ilmiah sekali), sangat jarang saya temukan para anak-anak yang sekolahnya sampai SMA atau para Santri (Contohnya adik saya sendiri) yang hidupnya di dalam pondok pesantren dapat membaca buku-buku semacam Metamorfosis dari Kafka, Arus Balik nya Pram, Haji Murat nya Tolstoy, Politik Kuasa Media karangan Noam Chomsky bahkan buku-buku karangan Francis Fukuyama dan Samuel Huntington. Tentu alasan di atas saya tidak mengada-ada, banyak dari mereka yang bahkan tidak tahu siapa penulis yang namanya sedang hangat di perbicangkan di jagad sastra, adik saya hanya mengenal para pengarang-pengarang besar dari kalangan arab, sedangkan kawan-kawan di desa saya hanya mengenal judul bukunya saja, penulisnya? Kalian tentu dapat menebak jawabannya. Sekali lagi, contoh yang saya sebutkan bukan berarti mendiskreditkan beberapa pihak. Saya hanya bicara contoh bahwa lingkungan dapat membentuk pola bacaan kita apakah berkembang atau tidak. Alasan kedua adalah pendidikan formal, menjadi seorang pelajar yang setiap disiplin ilmu dan pendapatnya harus berdasar ilmiah (Buku, Jurnal, Hasil Seminar dll) menjadikan kualitas dan akses bacaan pelajar menjadi sangat beragam, belum lagi jika para pelajar tersebut tergabung dalam kelompok diskusi, karya ilmiah remaja atau teater yang mengharuskan mereka semua kudu banyak rujukan dan studi kasus. Oke, sampai disini saya harap pembaca dapat membedakan dengan jelas apa yang saya maksut.

Selesai dengan faktor yang mempengaruhi akses bacaan, muncul lagi pertanyaan "Buku apa yang cocok dibaca oleh anak dewasa dan anak-anak?". Lha yo, pertanyaan yang bagiku membingungkan, bahkan jawabannya akan sama membingungkannya.

Sampai saat saya menuliskan ini, belum ada literatur ilmiah atau pendapat dari beberapa tokoh yang saya sepakati perihal bacaan yang cocok untuk orang dewasa dan anak-anak. Mengapa begitu sulit mengklasifikasikannya? Bagiku sederhana, ini bukan seperti kita sekolah Madrasah di mana "Jika seorang anak tidur dan mimpi basah (Keluar Sperma) lantas kita sepakati bahwa anak tersebut sudah baliq (Dewasa)" atau "Seorang perempuan haid dan dia sudah diwajibkan shalat lima waktu", tentu tidak sesederhana itu. Belum saya temukan ukuran baku anak di bawah dua puluh tahun harus membaca buku ini dan itu, pun sebaliknya.

Seperti halnya di tulisan-tulisan saya sebelumnya, masalah bahan bacaan itu masalah selera. Saya akan berkata jelek ke buku yang kalian baca meski kalian mendaku buku tersebut fenomenal. Karena ukuran bacaan bagus dan tidak itu masalah personal, masalah selera. Saya bahkan penulis besar tidak dapat membuat penyamarataan, buku mana yang seharusnya dibaca anak dua puluh tahun ke bawah: Gaarder atau Tere Liye?. Bahan bacaan untuk orang dewasa tidak hanya ditentukan tebal dan berat bahasan pada buku tersebut, kita sendiri yang menentukan, ke arah mana kita ingin berkembang dan tumbuh dalam hal bacaan. Jika sudah tahu, kita dapat menyusun semacam list buku apa yang akan kita baca selanjutnya. Sedikit contoh, saya memiliki seorang kawan yang getol sekali ingin mendalami peradaban-peradaban dunia, cara yang dia lakukan adalah dengan banyak bertanya ke seseorang yang di anggap menguasai bidang tersebut dengan membuat list buku apa saja yang harus dia baca. Artinya, kawan saya tahu apa yang mestinya dia baca, dia tahu bagaimana mengembangkan bacaannya secara sadar.

Terlepas buku mana yang harus di baca orang dewasa dan anak-anak, ada hal penting yang (Mungkin) sering kita lupakan. Yakni berwatak kanak-kanak saat membaca buku. Anak-anak yang selalu penasaran, berusaha menemukan hal baru sehingga kita dibuat terkejut dengan rahasia Illahi dan dunia.

Karena, pembaca yang tumbuh dan berkembang adalah tipikal pembaca yang memelihara roh anak-anak di dalam kepalanya. Yaitu roh ingin tahu yang sangat tinggi. Persis dengan apa yang disampaikan oleh Gaarder dalam buku "Dunia Sophie", filsuf abadi adalah anak-anak.


Terimakasih.
Salam hangat bagi pembaca semua.
Jangan lupa minum teh hitam tanpa gula, agar sadar jika hidup ini sudah pahit. Jangan kalian tambahi dengan masalah di luar diri anda yang akan membuat hidup semakin pahit.
Go a Head

Chanel Pornografi Itu Bernama KEMKOMINFO

"Chanel Pornografi Itu Bernama KEMKOMINFO"


Selepas cuti bersama dan libur natal, badan ini rasanya pegal sekali karena dua hari menempuh ratusan kilometer untuk sekedar menyenangkan batin, oh senaif inikah saya jadi kaum urban. Kembali ke kota perantauan, tepatnya 26 Desember 2019, di tengah kamar kecil saya meluruskan badan. Sembari bermain gawai, saya lihat ada notifikasi dari detik(dot)com yang memberitakan pencatutan nama Kementerian Komunikasi dan Informatika yang memiliki chanel di situs porno, Pornhub. Informasi tersebut pertama kali diketahui dari twitter dengan akun @sleepyheadbonzo yang mengcapture chanel atas nama Kemkominfo, dan parahnya akun atas nama lembaga plat merah tersebut sudah terverifikasi. Hahaha

Oh iya, aslinya hari ini saya ingin mempublish tulisan saya berjudul "Bacaan Kok Gini-gini Saja", tapi karena ingat kemarin siang membaca berita yang membuat jagad media viral, ya apa salahnya jika saya ikut meramaikan. Maklum, gini-gini saya pernah bekerja di media, jadi sedikit tahu bagaimana kerja seorang jurnalis agar tidak ketinggalan arus mainstream. Hehe

Mungkin yang sudah tahu atau pernah membaca "Philosophy in the Boudoir" karangan Marquis de Sade, akan membayangkan jika pornografi ini sebagai salah satu tukang ledek paling mengigit. Marquis de Sade melangkah lebih jauh dengan meledek sekaligus mengambil alih akal budi untuk meyakinkan kita bahwa tak ada yang lebih penting di dunia ini selain kenikmatan diri sendiri. Dalam kasus ini, viralnya chanel atas nama Kemkominfo di Pornhub membuat kita seolah-olah menjadi orang konservatif, mengutuk tindakan si pembuat chanel yang sampai saat ini masih belum diketahui.
Pada umumnya karya-karya pornografi diterbitkan secara anonim, selain untuk menghindari hukum, juga karena si penulis ogah untuk dikenal sebagai penulis yang membuat atau memasukan konten pornografi. Bagi pembaca yang pernah membaca buku "Saman" karangan "Ayu Utami", tentu akan paham bagaimana dia secara jelas menuliskan persenggamaan di karyanya, ya meski tidak terlalu vulgar. Tapi bagiku sudah cukup mewakili bahwa dia memasukan konten tersebut. Tentu sebagai pembaca yang bijak kita tidak serta merta menghakimi penulis ini atau yang lainya melakukan tindakan amoral, tidak. Bisa jadi karya-karya yang muncul dengan konten pornografi berangkat dari rasa marah terhadap moralitas korup, maraknya pelecehan seksual dll.

Sumber : @sleepyheadbonzo
Bicara pornografi memang tidak ada habisnya, apalagi di Indonesia yang mayoritas warganya beragama Islam. Bisa kalian lacak sendiri di Mbah Gugel jika negara kita adalah pengakses situs porno terbesar ke dua di dunia (Kalau saya tidak salah update lho ya). Saya jadi ingat saat menghadiri bedah buku "Aku & Film India Melawan Dunia" di Kafe Pustaka yang saat itu dihadiri langsung oleh penulisnya, Mahfud Ikhwan. Beliau berkata bahwa "Film India ibarat seperti film porno, diam-diam semua orang menyukainya tapi malu untuk mengakuinya". Tentu saya terlalu memaksa pernyataan beliau ke konteks tulisan ini, tapi begitulah film porno. Semua orang menyukainya, tapi malu mengakuinya. Haha. Parahnya lagi, di blog saya pernah menulis cerita pendek sebanyak dua belas part yang menceritakan tentang kehidupan seorang tante dengan brondongnya. Padahal saya tidak vulgar menceritakan kejadian esek-esek, saya hanya mencoba membuat pembaca blog terombang ambing antara dibikin merangsang atau emosi karena menunggu klimaks dari cerita pendek yang saya buat. Lucunya, cerita pendek tersebut menjadi lima besar tulisan saya selain Jilboobs yang berkonten dewasa alias 18+. Sehingga dari situ saya memiliki kesimpulan jikalau kita ini memang malu mengakui bahwa pornografi adalah idola kita.


Jadi, jika buku Philosophy in the Boudoir digunakan Marquis de Sade sebagai bahan kritik. Adanya chanel yang mengatasnamakan Kemkominfo bisa jadi adalah kritik bagi kita semua bahwa, jangan malu mengakui kita adalah penikmat pornografi.

Thursday, December 26, 2019

Ketika Saya Dituduh Nyinyir

Ketika Saya Dituduh Nyinyir


Tuduhan itu berasal dari seorang kawan yang membaca tulisan-tulisan di blog saya. Dia mengatakan jika mayoritas tulisan saya terlalu nyinyir ke pemerintah atau lingkungan sosial saya. Sempat jengkel waktu dia mengatakan seperti itu, mengapa dia mudah sekali menyimpulkan kalau apa yang saya tulis selama ini dianggapnya nyinyir, padahal saya menulis berdasar apa yang saya alami saja, kalau toh ada pernyataan pada tulisan saya yang mengejek beberapa orang atau lembaga. Bukankah hampir semua penulis melakukan itu. Mengapa ini menjadi masalah? Batinku. Tetapi setelah saya dengarkan apa yang dia maksud. Ternyata kawan saya ini menyarankan mengapa saya tidak menulis hal-hal yang lebih mendidik atau menyampaikan pesan moral.

Jika substansi menulis harus menyampaikan pesan, saya sepakat dengan pendapat kawan saya. Akan tetapi jika setiap tulisan harus mendidik dan menyampaikan pesan moral kepada pembaca. Tentu saya akan menjadi orang pertama yang membantahnya. Berbicara tema seperti ini sudah pernah saya perdebatkan dengan kawan-kawan sesama penulis dan pembaca, kami memiliki kesimpulan jika setiap manusia (Dalam hal ini penulis) memiliki strategi masing-masing dalam menyampaikan sebuah pesan kepada pembaca. Banyak kita temui penulis yang dengan gamblang menuliskan ribuan pesan moral dalam karyanya, ada juga dengan gaya satir, lelucon, fabel dll.

Banyak kita temukan penulis besar, dengan karyanya yang juga besar mendapatkan penghargaan dari lembaga swasta atau plat merah. Dalam sesi pemberian penghargaan tersebut, lumrah kita dengar testimoni dari ketua panitia atau sosok yang dianggap berpengaruh berbicara bahwa karya dari penulis tersebut diapresiasi karena membuat banyak orang tobat, hormat kepada guru, membuat banyak orang tergugah hatinya untuk lebih empati dan hal-hal lain yang penuh dengan pesan moral. Apakah saya harus menulis seperti itu, apakah hal semacam ini yang kawan saya maksudkan? Mungkin begitu.

Sah saja jika penulis berpihak pada hal semacam itu, mereka menggunakan tulisannya sebagai tungangan pesan. Tapi jangan salah, pengalaman saya menyimpulkan bahwa penulis semacam itu hanya akan menjadikan karyanya angkutan umum yang cenderung kejar setoran. Dari situlah yang membenarkan bahwa kita ini adalah anak bangsa yang suka dinasehati, suka diberikan pesan moral, sehingga lupa kalau hal semacam itu membuat kita lemah dan tumpul berpikir.

Sekali lagi, tulisan ini bukan dalam rangka menyerang balik pendapat kawan saya yang mengharuskan tulisan harus menyampaikan pesan mendidik dan moral.

Saya hanya berpikir, betapa bahayanya jika saya menuruti saran dari kawan saya. Karena akan ada standarisasi bagaimana cara menulis yang mendidik dan bermoral. Jika hal ini serius dilakukan oleh semua penulis, yang terjadi akan ada banyak sensor di semua buku. Bahkan, hal ini akan menjadi tirani bagi para penulis sendiri, korbannya tentu kita sebagai pembaca.

Perlu kawan saya tahu, banyak penulis besar dan amatiran seperti saya ini yang tujuan utamanya menulis untuk diri sendiri. Dan saya banyak menulis dalam rangka memperingatkan diri sendiri, sebagai rambu bahwa saya harus komitmen dengan apa yang saya tulis.


Salam hangat.
Jangan lupa ngopi tanpa gula, agar tidak menjadi korban quote.