Monday, April 20, 2020

Apa Yang Membuat Sebuah Tulisan Bagus?


Apa Yang Membuat Sebuah Tulisan Bagus?



Menuis tidaklah sulit, hanya rumit.


Tenang, tulisan ini hanya guyonan. Saya banyak belajar menulis dari banyak sumber, meski kenyataannya sampai sekarang saya masih merasa tulisan saya begini-begini saja dari dulu. Di facebook, saya banyak membaca tulisan yang bagus-bagus, mulai dari cerita tentang kehidupan sehari-hari, sebuah narasi tutorial, cerpen dan gosip. Terlepas tema apa yang teman-teman saya tulis pada beranda facebooknya, saya mencoba membuat point-point (Yang mungkin penting) dan dapat kalian jadikan contoh untuk mulai menulis. Jika teman-teman ingin menambahkan, tentu saya akan sangat senang hati.


Menjawab Pertanyaan
Yaps, saya menyukai tulisan -tulisan yang berseliweran di facebook pun pada media yang lain di mana tulisan tersebut dapat menjawab pertanyaan bagi kebanyakan orang. Tidak peduli seberapa menarik tulisan tersebut, ini bisa terjadi karena seorang user tidak memiliki pengalaman yang cukup dalam menulis sehingga tulisanya tidak banyak mendapatkan kredit atas usahanya dalam menulis dan menyampaikan ke khayalak umum. Padahal jelas-jelas apa yang ia tulis memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang lama kita tidak ketahui.


Tapi, sebagai penulis yang baik tentu kita harus berusaha seoptimal mungkin menyediakan argumen dan bukti yang relevan dengan apa yang kita sampaikan. Tidak serta merta kita ingin menjawab sebuah topik lantas dengan serampangan menulis hanya berpatokan pada sudut pandang yang subjektif. Tulisan kita harus menunjukkan bahwa kita (Setidaknya) telah memahami apa yang kita tulis. Tidak Sop Buntut agar pembaca juga dapat mengambil manfaatnya.


Struktur Yang Jelas
Tulisan ibarat sebuah bangunan, dibangun di atas fondasi yang kokoh disertai rencana yang dibuat dengan cermat. Poin-poin argumen apa yang kita tulis harus diatur dalam beberapa struktur yang logis dan persuasif. Jika kita berurusan dengan sejumlah masalah, hubungan di antara mereka harus dijelaskan dengan jelas. Koneksi antara setiap tahap argumen yang kita bangun dengan pertanyaan awal harus jelas selama esai.


Gaya Bahasa yang sesuai
Untuk tulisan akademik, penyebutan orang ketiga (Dia, Ia, atau Itu) daripada orang pertama (Saya) adalah gaya yang lebih disukai. Penggunaan saya sesekali mungkin dapat diterima jika pendapat pribadi telah diminta secara khusus. Kita harus mengingat audiens kita. Cobalah untuk membayangkan bahwa kita sedang berbicara dengan seseorang yang cerdas dan masuk akal, tetapi belum tentu memiliki informasi yang baik dalam subjek tersebut. Ingat bahwa tulisan kita harus akurat secara tata bahasa. Tanda baca yang buruk dan konstruksi kalimat yang lemah akan membuat kesan buruk. Bentuk kalimat dan metafora campuran harus dihindari. Kesalahan ejaan harus diperbaiki. Tapi tenang, saya jarang memakai metode ini karena selain tidak terlalu menguasai, saya menganggap hal ini sebagai rayuan untuk malas menulis karena takut salah dan diejek oleh ahli tata bahasa. Menulis dulu, jujur dalam tuisan dulu. Tata bahasa belakangan. Hehe


Pendapat Harus Di Dukung Dengan Bukti
Sebuah tulisan tidak boleh terdiri hanya serangkaian pernyataan yang tidak didukung dengan sebuah bukti. Kita perlu memberikan beberapa bukti untuk mendukung tulisan baik dalam bentuk rincian faktual, alasan kita sendiri, atau argumen orang lain. Dalam kasus yang terakhir ini, kita harus selalu mengungkapkan fakta bahwa kita menggunakan ide orang lain. Berikan atribusi dengan menggunakan sistem catatan kaki atau catatan akhir dan referensi yang akurat. Bagusnya jangan pernah mencoba mendaku kata-kata tertulis orang lain sebagai milik kita. Ini disebut plagiarisme - suatu bentuk ketidakjujuran intelektual yang sangat tidak disukai di kalangan akademis.


Jujur Dan Orisinal Adalah Tulisan Berkarakter
Salah satu keunggulan dari tuisan yang baik adalah tulisan tersebut menunjukkan karakter dari si penulis. Saya biasa menemui tulisan seperti ini, setiap orang yang membaca pasti akan terkagum-kagum dan memberikan kredit lebih. Sayangnya, tulisan yang lihai, lugas dan berkarakter seperti ini kemunculannya sangat jarang. Butuh kemampuan untuk mengidentifikasi berbagai masalah dan mendiskusikannya sebelum seseorang menuliskannya.


Ini bisa berarti dengan mengatur bahan-bahan ke dalam struktur yang koheren untuk sebuah tulisan. Hal ini akan menunjukan bahwa kita mampu membuat perbedaan dan wawasan yang penting bagi pembaca. Dalam membuat tulisan seperti ini pada awalnya memang tidak mudah, tetapi dengan latihan terus menerus, disiplin dan memiliki konsep yang bagus bukan tidak mungkin kita akan memiliki tulisan yang berkualitas. Tabik


Menjadi Pribadi Pembelajar Dan Perbanyak Membaca
Sadar atau tidak, sebuah tulisan diatur untuk mendorong dan mengarahkan setiap pembacanya untuk menilai, mengkritik dan menjustifikasi sebuah subjek. Jika kita banyak membaca buku, artikel, jurnal atau mengetahui sebuah fenomena secara mendetail dan memahami sebuah subjek yang akan kita tulis. Semua itu akan tampak secara gamblang lewat tulisan yang kita buat.


Menurut sepengetahuan saya, banyak tulisan yang berkualitas lahir dari penulis-penulis yang menghabiskan waktunya dengan buku, penelitian, pengalaman hidup termasuk perasaan bahagia pun tertindas oleh zaman. Para penulis hebat sering menunjukkan bukti keingintahuan mereka dengan melampaui batas-batas manusia kebanyakan.


Orisinalitas
Kembali lagi, sebuah tulisan banyak mendapatkan penghargaan atau apresiasi jika penulisnya kompeten dalam mengkritik, meng-elaborasi, meninjau argumen-argumen dari penulis terkenal sehingga melahirkan karya yang luar biasa dan terbilang anti mainstream, di luar pakem.


Namun, nilai tertinggi pada tulisan terletak pada kejujuran sang penulis. Terlepas ia hanya menulis cerita kerja bakti di kampungnya.


Akan tetapi, kegiatan menulis belakangan ini cenderung mendorong kita untuk menulis apa yang masyarakat resahkan dan apa yang pemerintah salah perbuat. Gobloknya, saya termasuk di antara manusia seperti itu, menulis tidak karena kesegaran rohani dan orisinalitas diri.


Tenang, tulisan ini hanya guyonan. Tidak ilmiah dan tidak patut kalian contoh.


Sekian Terimakasih
Ali Ahsan Al Haris
Malang, 20 April 2020

Sunday, April 19, 2020

Penis Mencari Selangkangan


Penis Mencari Selangkangan


“Sudah dua minggu saya menikahi Dewi Ayu, selama itu pula saya belum pernah tidur denganya”.


“Temanilah ia tidur Mas. Semenjak kalian menikah, ia selalau tidur sendiri di kamarnya” – Ucap ku pada suamiku yang sedang duduk bersila di halaman rumah sembari merokok dan membaca buku tebalnya.


“Iya, Dik. Malam ini Mas akan tidur dengan Dewi Ayu”.


Itu saja yang dikatakan suamiku, tak ada lagi percakapan antara kami setelah itu. Saya kembali ke ruang tamu, memandang lirih ke arah rak yang terisi penuh dengan buku menjulang sampai asbes. Dadaku terasa sangat sesak, namun anehnya air mataku tiada sedikitpun keluar padahal aku termasuk wanita 'baperan' yang sedikit-sedikit mewek, mudah sekali menangis dan curhat di sosial media seperti yang kalian baca. 

***

Dewi Ayu. Anak seorang juragan tuak di sudut kantor kadipaten adalah seorang maduku yang telah menikah dengan suamiku dua minggu lalu. Saya tidak ingat kapan tepatnya mereka menikah atau memang saya tidak mau tahu tentang pernikahan mereka berdua.


Dewi Ayu adalah wanita yang anggun, rambutnya hitam legam lurus panjang terurai, memiliki tinggi badan sekitar 179 Cm dengan berat badan 70 Kg yang membuatnya tampak cantik dan sangat seksi disokong payudaranya yang tampak besar dan membulat dari pakaian yang ia pakai, bola matanya bulat berbinar dengan warna mata biru yang ia dapatkan dari ibunya yang berasal dari Turki, alisnya hitam  tebal, bulu matanya tidak terlalu lentik, dan ia memiliki kulit yang mulus dan seputih susu.


Setiap lelaki yang melihatnya seolah terbius ramuan yang tak bisa dijelaskan, yang ia pikirkan hanya memperkosanya atau menikahinya. Jika berhasil memperkosanya, ia tidak perlu repot-repot mencurahkan cinta kepadanya, tapi jika ingin menidurinya setiap hari, maka ia harus menikahinya, entah dengan atau tanpa cinta.


Jika Dewi Ayu dilihat oleh para perawan, para perawan itu akan menghujat Tuhan kenapa tidak dilahirkan seperti dia. Jika yang melihatnya adalah para istri-istri tetangganya, ia banyak di cibir karena membuat para suami mereka dalam bersenggama selalu membayangkan sedang menyetubuhi Dewi Ayu. Padahal jelas, penis yang sedang keluar masuk vagina mereka adalah penis dari suaminya. Bahkan ada kabar beredar, vagina Dewi Ayu memancarkan cahaya yang sangat terang benderang membuat setiap lelaki yang berhasil melihatnya pingsan tak sadarkan diri.


Sementara diriku seperti wanita kebanyakan di negeri ini, tinggi 165 cm, memilki berat badan 56 Kg yang cukup membuat orang mengataiku gemuk dan tidak seksi. Jika saya pergi ke luar rumah untuk sebuah acara, saya harus memakai sepatu berjinjit agar tinggiku hampir menyamai suamiku, lebih tepatnya agar ia tak malu jika kawan-kawanya mengatainya memiliki istri yang pendek.


Dulu sebelum kita menikah, ia selalu memujiku jika aku adalah wanita yang baik, bersahaja dan salehah. Kita pertama kali bertemu saat saya menghadiri acara bedah buku di sebuah Café, saya tak sadar jika selama acara berlangsung ia memandangku dengan rasa penasaran untuk berkenalan. Beberapa waktu kemudian kita berdua kencan untuk pertama kalinya, pekerjaan utamanya menjadi sales pakan udang yang berkantor di jalan Ahmad Yani, dia juga memiliki usaha sampingan jual buku bekas, kalau pun ada yang baru itu hanya buku bajakan yang ia dapatkan dari Yogya.


Memasuki umur pernikahan yang ke delapan tahun, diriku yang dulu telah berubah, kata suamiku wajahku tidak secantik dulu. Pipiku sudah macam roti dorayaki nya doraemon, tidak se tirus dulu. Badanku sudah semacam gentong minyak curah di pasar tradisional, lipatan pada perutku sudah macam gas LPG 3 Kg. Selain itu suamiku juga merasa sekarang aku berubah menjadi istri yang sangat galak, dari bangun tidur sampai kembali ke peraduan saya banyak mengatur suamiku dengan SOP, tak heran dalam guyonanya ia berkata kalau aku lebih cocok untuk menjadi auditor saja. Meski keadaanku seperti demikian, kutahu cintanya padaku semakin dalam, terlebih saat kehadiran seorang putra yang sangat ganteng lahir dari rahimku. Motivasinya semakin bertambah untuk bekerja dan mencari sumber penghasilan lainnya, lelahnya terbayar lunas saat ia pulang kerja akan menjumpai putranya yang mirip sekali dengannya.


Hingga kehadiran seorang perempuan bernama Dewi Ayu, maduku yang tiba-tiba ada di rumah kami, aku pun tidak mengerti apa sebab alasannya suamiku tiba-tiba telah menikah dengannya. Sampai detik ini aku masih percaya jika ia hanya melaksanakan ajaran agama bernama Poligami. Sebagai seorang Muslimah yang sedari kecil belajar agama dari satu guru ke pondok yang lain, saya tentu mendukung apa yang suami saya lakukan meski dalam hati muncul perasan yang sangat berat dan tidak ikhlas. Atau, suamiku seperti lelaki di luar sana yang diliputi oleh nafsu birahi saat melihat Dewi Ayu. Atau jangan-jangan, sebelum ia menikah telah melakukan persetubuhan, apa jangan-jangan sebelum mereka menikah sudah ada jabang bayi di Rahim Dewi Ayu?


***


Malam itu, selepas dua minggu pernikahanya dengan maduku, ia benar-benar tidur dengan Dewi Ayu. Perasaanku benar-benar remuk, fikiranku membayangkan suatu hal yang selama ini tidak dapat saya bayangkan. Apakah Dewi Ayu benar-benar disetubuhi suamiku, apa suamiku benar-benar tega melakukan persenggamaan selain denganku? Sudah empat hari saya tidak menemuinya di ranjang, Anehnya saya tidak merasa marah sedikitpun, saya tidak boleh memiliki dendam ke suamiku bahkan maduku.


“Sepertinya lebih baik jika saya tidak tinggal di rumah ini selama beberapa minggu, mungkin satu bulan cukup”. – Batinku, saya tidak ingin menganggu suamiku dan Dewi Ayu menikmati masa indahnya, fase di mana saya dan suamiku sebut sebagai bulan madu yang tidak ingin diganggu oleh orang lain termasuk pekerjaan dan orang tua.


“Saya rasa satu minggu cukup untuk suamiku menikmati vaginanya Dewi Ayu. Konon setiap lelaki yang melihat membuat bumi berhenti pada porosnya. Atau semua kabar itu salah? jika benar mereka telah bersenggama, saya harusnya ikut merasakan bumi ini berhenti berputar. Tapi mengapa saya tidak merasakan hal itu? Kenapa yang saya rasakan hanya perasaan ini yang tercabik-cabik”.


Siang hari selepas saya menjemur baju, di hari keempat setelah suamiku tidur sekamar dengan Dewi Ayu, saya menemui suamiku untuk meminta ijin padanya agar dapat pulang, tinggal di rumah orangtuaku selama seminggu atau lebih dengan alasan aku sudah cukup lama tidak bertemu pun berkunjung ke rumah orangtuaku, aku kangeen ingin bertemu mereka. Suamiku memberiku ijin pulang dan tinggal di rumah orangtuaku sesuai permintaanku. Atas sikap suamiku ini cukup membuat perasaanku lebih baik, walau tetap saja suasana hatiku masih terasa hambar, tiada bermotivasi bahkan selera makanku yang selama ini cukup besar pun hilang sama sekali. Selama empat hari terakhir ini saya lupa apakah ada sesuap nasi yang sudah masuk di perutku atau tidak. Saya terlalu banyak membayangkan apa yang suamiku dan Dewi Ayu perbuat di dalam kamarnya.


Besoknya, aku pun bersiap berangkat bersama putraku menuju rumah orangtuaku yang tidak terlalu jauh. Dengan sekali naik bus dari depan rumah dan menikmati perjalanan pulang selama empat jam, bus antar provinsi yang kita tumpangi menghantarkanku ke kota yang terkenal hasil tangkapan lautnya. Suamiku tidak perlu repot-repot mengantar kita berdua ke sana.


Di tengah perjalanan ke rumah orangtuaku, tiba-tiba air mata menetes begitu deras, saya usap dengan selendang yang saya pergunakan untuk menggendong putraku. Airmataku turun semakin deras, dadaku semakin sesak diiringi pecah tangis yang membuat satu bus mengalihkan fokusnya ke saya.


Setelah tersadar dan cukup memiliki kekuatan, saya beranjak dari tempat duduk dan pergi ke belakang membuat kopi untuk suamiku. Novel tentang poligami itu saya tutup karena waktu sudah sore dan anak-anak belum mandi, suamiku yang sedari tadi di kandang sapi saya panggil untuk membantuku menyiapkan bahan masakan makan malam.


Kembali saya lirik novel itu dan hendak membacanya kembali. “Beruntung sekali saya memiliki suami yang setia dan tidak ada niatan berpoligami. Betapa sedihnya jadi tokoh utama dalam novel itu karena harus membagi cintanya ke perempuan lain”.  – Batinku.


Sekian terimakasih.
Ali Ahsan Al Haris
Malang, 18 April 2020.

Saturday, April 18, 2020

Resensi Novel Cantik Itu Luka Karangan Eka Kurniawan


Resensi Novel Cantik Itu Luka Karangan Eka Kurniawan



Biografi Pengarang
Eka Kurniawan lahir di Tasikmalaya, 28 November 1975. Ia memperoleh pendidikan dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan lulus tahun 1999. Skripsi Eka yang berjudul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis menjadi karya pertamanya, diterbitkan oleh Penerbit Aksara tahun 1999. Kemudian diterbitkan lagi oleh penerbit Jendela tahun 2002, dan diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2006.


Karya-karya Eka yang lain adalah Corat-coret di Toilet (Aksara Indonesia, 2000), Cantik itu Luka (Jendela, 2002; Gramedia Pustaka Utama 2004; dan diterjemahkan dalam bahasa Jepang dengan judul Bi Wa Kizu tahun 2006), Lelaki Harimau (Gramedia Pustaka Utama, 2004), Cinta tak Ada Mati dan Cerita-cerita Lainnya (Gramedia Pustaka Utama, 2005), Gelak Sedih dan Cerita-cerita Lainnya (Gramedia Pustaka Utama, 2005). Beberapa cerita pendeknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Swedia. Eka Kurniawan sekarang tinggal bersama isterinya di Jakarta, Ratih Kumala, yang juga seorang penulis.  


Cantik itu Luka membuktikkan eksistensi karya sastra Indonesia yang berkelas dunia. Telah diterjemahkan lebih dari 20 bahasa, novel pertama Eka Kurniawan ini jelas masuk dalam daftar buku wajib dibaca.


Mungkin benar apa adanya apabila terlintas sosok ‘Pramoedya Ananta Toer’ ketika membaca sederatan tulisan milik Eka Kurniawan terlebih lagi tulisan pertamanya adalah Sastra Realisme Sosial pada macam karya milik Pramoedya, sehingga lambat laun tulisan-tulisannya mungkin membawa rasa tersendiri bagi mereka yang telah akrab dengan tulisan Pram.


Begitu pula Cantik itu Luka yang pertama kali terbit tahun 2002 dan digadang-gadang sebagai salah satu tulisan otentik paling mengangumkan yang pernah ada dengan memaparkan serangkaian sejarah Indonesia secara detail dalam bentuk kisah fantasi yang surealis dengan mencampurkan filsafat dan mitos serta keagamaan berbenturan dengan penyimpangan seksualitas.


Cerita dibuka dengan pemaparan yang surealis :
“Ketika pada suatu sore di akhir pekan bulan maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu tahun kematiannya”.


Bergidik ngeri namun menimbulkan sejumlah deretan pertanyaan terutama mengenai waktu latar belakang kejadian yang sengaja tidak disajikan oleh sang penulis.


Lambat laun, pelan dan pasti sesuai dengan sinopsisnya terceritakanlah mengenai bagaimana kematian sosok Dewi Ayu, seorang pelacur yang terkenal akan kecantikannya di seluruh pelosok Halimunda. Dia mati setelah beberapa hari melahirkan anak keempatnya yang tidak diketahui siapa gerangan bapaknya. Anak tersebut lahir begitu buruk rupanya tidak seperti dengan ketiga anak gadis lainnya yang kesemuanya cantik. Itulah yang terjadi, meskipun secara ironik ia memberikan nama Si Cantik kepada anak yang baru dilahirkannya dan dia mati setelahnya atas dasar kehendaknya.


Hingga suatu masa dia hidup kembali, bertemulah ia dengan Si Cantik yang kini telah menjadi perempuan dewasa dengan sosok sesuai dengan doa-doanya : Anak bayi yang hidungnya menyerupai colokan listrik, telinganya sebagai telinga panci, mulutnya sebagai mulut celengan dan rambutnya menyerupai sapu dengan kulit serupa komodo dan kaki serupa kura-kura. Maka, berbanggalah dia atas itu semua.


“Tak ada kutukan yang lebih mengerikan daripada mengeluarkan bayi perempuan cantik di dunia laki-laki yang mesum seperti anjing di musim kawin.” – Dewi Ayu. (hal. 4)


Kenyataannya mau cantik atau tidak, kutukan tersebut selalu mengitari kehidupan Dewi Ayu, ketika Si Cantik ternyata hamil secara misterius tanpa gerangan mengetahui ayahnya – sama seperti yang terjadi dengan ibunya sendiri sepanjang hayat.
Maka, ketimbang melanjutkan perjalanan hidup Si Cantik, Eka selaku penulis memundurkan waktu pada masa sebelum Dewi Ayu menjadi sesosok pelacur  – ketika dia hanyalah sesosok gadis Belanda yang jatuh cinta pada seorang pria tua bernama Ma Gedik yang belum pernah ditatapnya dan dipaksa kawin dengannya akibat terobsesi dengan kisah cinta pria itu dengan Ma Iyang, yang menghilang ditelan kabut ketika lari bersama Ma Gedik diatas gunung demi cinta mereka berdua. Walaupun akhirnya, di hari selepas pernikahan mereka, Ma Gedik memutuskan kabur menjerit-jerit bagai tengah melihat setan dan terjun dari puncak bukit, terhempas ke bebatuan dan wajah-nya babak belur seperti daging cincang.


Konstruksi sejarah yang dinamis
Setelah itu cerita berjalan bagaikan mozaik yang terkonstruksi dengan dinamis. Pelan-pelan para pembaca akan dibawa kembali kepada masa kekuasaan Jepang di tanah ibu pertiwi.


Dewi Ayu yang merupakan produk asli Belanda terpaksa harus mendiami kamp selama dua tahun, dipaksa bekerja dan hidup dalam nelangsa kesusahaan tiada habis bahkan merelakan keperawanannya kepada petugas sipir demi mendapatkan dokter yang dapat mengobati ibu temannya (Ola) yang tengah sakit walau ironinya, ibu itu telah mati sebelum sang dokter sempat merawatnya.


Nasib kemudian membawanya pada rumah Mama Kalong dengan kehidupan yang lebih layak, akomodasi dan fasilitas manusiawi serta asupan  makanan sehat dan bergizi. Tidak hanya dia sendirian saja yang menikmati itu melainkan beberapa teman seumurannya, termasuk Ola. Dan itu semua dibayar dengan harga mahal, yaitu tubuh mereka atau dengan kata lain disitulah pertama kali Dewi Ayu menjadi seorang pelacur.


Inilah kali pertama pembaca akan menyadari tempo waktu yang ada pada Cantik itu Luka melalui penggambaran tokoh Dewi Ayu sebagai budak seks atau lebih dikenal Jugun Ianfu pada zaman penjajahan Jepang di Indonesia di tengah berkecamuknya perang Asia-Pasifik atau perang dunia kedua, tahun 1943-1945.


Jugun Ianfu berasal dari kata Jepang yang berarti ‘perempuan penghibur’ (comfort woman) tentara kekaisaran Jepang dimasa perang Asia Pasifik. Pada praktiknya, wanita-wanita ini bukanlah sekedar penghibur semata melainkan budak seksual yang brutal, terancana, dan terorganisir secara rapih.


Sama halnya dengan Dewi Ayu, pada kesejarahannya para Jugun Ianfu ini dijanjikan banyak hal seperti sekolah gratis, pekerjaan rumah tangga, pelayan atau bisa pula yang tercantum pada Cantik itu Luka, yaitu dibayang-bayangi pekerjaan sebagai sukarelawan Palang Merah Indonesia (PMI) namun pahitnya dijadikan sebagai seorang pelacur.


Mereka kemudian tinggal di rumah bordil a’la jepang yang disebut Ian-jo, biasanya terdapat dibekas asrama peninggalan Belanda, markas militer Jepang dan rumah-rumah penduduk yang sengaja dikosongkan. Tempat-tempat itu biasanya dijaga ketat oleh tentara Jepang.


Malam itu Dewi Ayu mendengar dari kamar-kamar mereka, jeritan-jeritan histeris, perkelahian yang masih berkelanjutan, beberapa bahkan berhasil melarikan diri dari kamar dalam keadaan telanjang sebelum tentara berhasil menangkap dan melemparkannya kembali ke atas tempat tidur. Mereka melolong selama persetubuhan yang mengerikan itu ….  (hal. 86)


Kebanyakan kaum  Jugun Ianfu  dapat digolongkan sebagai perempuan yang berasal dari keluarga baik-baik. Di antaranya masih ada yang gadis, bahkan di bawah umur. Ancaman pihak militer Jepang membuat mereka takut menolak. Praktik budak seks ini diadakan sebagai wujud perayaan atau pesta kepada tentara Jepang agar dapat menghilangkan kegilaan mereka terhadap perang. karenanya, kerap kali sering terjadi pemerkosaan massal ataupun ‘Sadomasokhisme’. Tidak mengagetkan apabila banyak perempuan yang ditemukan mati  telanjang seusai melayani hasrat berahi para tentara.


Rekam sejarah lain yang dapat ditemukan dan meruntun sejarah dalam Cantik itu Luka adalah perseteruan antara Sang Shudanco dan Kamerad Kliwon hingga berujung kepada Maman Gendeng. Masing-masing tiga pria tersebut mewakili perbedaan zaman namun menyambung ibarat benang merah yang tidak dapat terputuskan.


Dewi Ayu akhirnya melahirkan tiga anak perempuan yang sangat cantik di Halimunda, bernamakan Alamanda, Adinda dan Maya Dewi. Mereka bertiga masing-masing mewakili sifat binal, keras kepala dan ketegaran sosok ibunya.


Karena saat ini kita sedang membicarakan mengenai konstruksi sejarah dalam Cantik itu Luka maka semua dimulai dengan berkembangnya kelompok golongan kiri yang kala itu dikenal dengan sebutan Komunisme – para simpatisan Marxist yang setia hingga akhir hayat.


Adalah Kamerad Kliwon yang merupakan simbol dari Kekuasaan Komunis di wilayah Halimunda yang berseteru dengan Sang Shodanco, perwakilan dari lambang kekuatan tentara poros kanan atau veteran pejuang yang haus akan pengakuan.


Dikisahkan dalam Cantik itu Luka, Komunisme muncul sejak masa perang dan kependudukan Belanda namun akhirnya kembali di panggung politik setelah Jepang menyerah pada tahun 1945. Disela-sela pertumbuhannya terdapat pergerakan buruh nelayan yang merasa bahwa para penguasa di Halimunda (dalam hal ini Shodanco) telah rakus dengan menggunakan kapal-kapal besar untuk mengeruk hasil kekayaan laut sehingga para nelayan hidup penuh kekurangan. Disinilah peran Kamerad Kliwon dalam membangun perspektif mengenai komunisme, yang serba adil dan sama rata. Sehingga lambat-laun banyak masyarakat, terutama buruh yang mengikuti jalan sang Kamerad untuk menjadi seorang komunis.


Hingga tentu seperti yang kita ketahui dampak komunisme menyebar di seluruh pelosok Indonesia maka dengan kekuasaan otoriter tentara yang berada ditangan Soeharto kala itu, media tidak lagi memberitakan dengan dasar sebagai watchdog tetapi sebagai alat propaganda untuk menanam benih kebencian kepada komunis bahkan terjadi pelarangan penerbitan bagi media-media yang tidak mematuhi peraturan negara.


Semua laporan tampaknya begitu simpang-siur, dan satu-satunya informasi yang bisa didapat hanyalah radio yang sama sekali tak bisa dipercaya, sebab sejak pagi mereka melaporkan hal yang sama seolah itu telah direkam dan kasetnya diputar berulang-ulang: Telah terjadi kudeta yang gagal dari Partai Komunis karena tentara segera menyelamatkan negara dan mengambil-alih-kekuasaan untuk sementara. Laporan baru datang: Presiden berada dalam tahanan rumah. Semuanya serba membingungkan. (hal.302)


Terkenal-lah kemudian seperti yang telah kita ketahui nyaris setengah abad mengenai peristiwa berdarah Gerakan 30 September, sebagai ‘kudeta komunis’, membunuh jenderal golongan kanan TNI dan mayatnya dibuang di sumur. Hingga sampai saat ini spekulasi kebenaran mengenai keterlibatan partai komunis untuk pembunuhan para jenderal tidak menyakinkan atau bahwa Soeharto mengorganisir peristiwa, secara keseluruhan atau sebagian dan mengkambinghitamkan kepada komunis. Amerika Serikat sebagai salah satu negara penentang paham komunis pun ikut ambil bagian dengan tersiar kabar CIA adalah dalang dibalik semua perseteruan tersebut.


Langkah selanjutnya jelas adalah melakukan pembantaian massal terhadap para komunis di seluruh Indonesia. Tidak hanya sang komunis sendiri yang dieksekusi bahkan para keluarga, kerabat atau temannya sekalian ikut mati di gorong-gorong karena dituduh sebagai simpatisan dan pendukung komunis dan itu semua dilakukan tanpa dasar dalil yang kuat.


Teror berdarah menyebar dan setelahnya propaganda mengerikan ditanamkan sedari dini kepada anak-anak mengenai kekejaman orang komunis yang tidak diketahui kebenaran tunggalnya pada saat itu.


Dalam novel ini, sketsa pembunuhan para anggota komunis di Halimunda disajikan secara lantang, tegas dan frontal. Semua itu dimulai dari secara mendadak dengan ketidakdatangan koran pada pagi hari di halaman rumah partai PKI Halimunda, dan Kamerad Kliwon tetap menunggu walau kabar burung mengatakan para dewan utama Partai Komunis telah ditangkap dan ditahan karena dituduh melakukan kudeta.


Mereka dibunuh, baik oleh tentara reguler dan terutama oleh orang-orang anti-komunis yang bersenjata golok dan pedang dan arit dan apapun yang bisa membunuh, di tepi jalan dan membiarkan mayat mereka di sana sampai membusuk. Kota Halimunda seketika dipenuhi mayat-mayat seperti itu, tergeletak di selokan dan kebanyakan di pinggiran kota, di kaki bukit dan di tepi sungai, di tengah jembatan dan di semak belukar. Mereka kebanyakan terbunuh ketika mencoba melarikan diri setelah menyadari Partai Komunis hanya meninggalkan sisa-sisa reputasinya yang telah usang. (Hal. 312-313)


Dalam pembersihan anti-komunis, diperkirakan 500.000 komunis dicurigai telah dibunuh, dan PKI secara efektif dihilangkan. Dan paham-paham komunis yang serba Anti Pancasila dan Anti Agama tersebar seantero nusantara padahal menjadi kiri adalah berkomitmen terhadap pembebasan, perubahan, keadilan, dan kesetaraan.


Namun Eka nyatanya memiliki sense of humor yang satir juga, dengan menampilkan wujud propagandanya (pasca pembantaian) sebagai hantu-hantu komunis yang kembali bangkit dan menghantui para tentara dan seluruh warga di pelosok Halimunda.


Serangan hantu-hantu itu, hantu-hantu orang komunis, paling dahsyat dirasakan oleh Sang Shodancho. Selama bertahun-tahun sejak peristiwa pembantaian tersebut, ia menderia insomnia yang parah, dan kalau-pun tidur ia menderita tidur berjalan […] semua orang di kota itu merasakan hantu-hantu tersebut, mengenali dan takut oleh mereka […] (hal.354)


Kisah lantas segera bergulir menuju perseteruan antara polisi dengan para preman yang menimbulkan kekerasan dan keresahan di Halimunda. Maman Gendeng sebagai pemimpin para kelompok preman merupakan ikonik ‘Gali’ (Gabungan Anak Liar) yang dimasa kejayaannya harus dihentikan dengan penembakan misterius (petrus) yang ramai pada tahun 1980-an karena meresahkan masyarakat terutama di daerah Jakarta dan Jawa Tengah.


Pada zaman petrus, dalam sehari, di berbagai kota hampir dipastikan ada  saja mayat-mayat dalam keadaan tangan terikat atau dimasukkan dalam karung yang diletakkan begitu saja, di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai dan kebun. Mayat itu selalu identik dengan tato di dada dan kepala berlubang ditembus peluru.


Operasi itu dilakukan pada malam hari, untuk tidak menimbulkan kepanikan massal, penduduk kota. Para prajurit menyebar dalam pakaian sipil bersenjata, juga para penembak gelap, menuju kantong-kantong para begundal […] Pembantaian berlangsung di malam kedua, dan malam ketiga, serta malam keempat, kelima, dan keenam serta ketujuh. Operasi itu berlangsung sangat cepat, nyaris menghabiskan seluruh persediaan begundal di Halimunda […] (hal. 445-446).


Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di an­­taranya 15 orang tewas ditembak. Ta­hun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di an­taranya tewas ditembak. Komnas HAM mencatat terdapat sekitar 2.000 korban selama petrus bergentayangan. Hingga kini siapa para petrus itu masih menjadi misteri.


Mencatat Perilaku Seksual
Buku ini memang padat tetapi benar tersaji dengan elok karena tiada kecacatan pada pangkal ujung ceritanya. Selain mengambil ide mengenai sejarah di Indonesia, salah satu unsur yang menarik dalam Cantik itu Luka adalah bagaimana perilaku penyimpangan seksual disajikan dengan detal – teramat detail yang bagi mereka belum akrab dengan bacaan seperti ini mungkin bisa bergumam : Ini buku binal banget sih!. Tapi inilah salah satu daya tariknya dengan dapat menembus keterbatasan antara norma, budaya dan agama yang seringkali dilihat oleh masyarakat namun tutup mata, telinga dan hati tetapi bergumam hingga esok hari.


Pertama, incest. Dewi Ayu adalah anak dari pasangan Aneu Stammler dan Henri Stammler. Dimana mereka satu ayah, yaitu Ted Stammler. Mereka berdua hidup serumah sejak masih orok, dan keduanya jatuh cinta satu sama lain lalu dipergoki tengah bercinta dan akhirnya kabur dan meninggalkan Dewi Ayu yang masih merah berbalut selimut di dalam keranjang di depan pintu. Berpuluh-puluh tahun kemudian hasrat percintaan sedarah ini berimbas kepada cucu Dewi Ayu, yaitu Kristan (anak dari Kamerad Kliwon dan Adinda) memperkosa sepupunya sendiri, Rengganis (anak dari Maman Gendeng dan Maya Dewi) dan mencintai sepupu lainnya, Nurul Aini (anak dari Sang Shudando dan Alamanda) serta meniduri bibinya sendiri, Si Cantik.


Hubungan sedarah ini sudah tidak asing sebenarnya, folklor Indonesia mencatat terdapat beberapa cerita mengenai hubungan incest sejak zaman dahulu kala, seperti Sangkuriang yang jatuh cinta pada ibunya, Dayang Sumbi maupun kisah antara Prabu Watugunung yang menikahi delapan ratus tiga orang wanita sekaligus dengan dua diantaranya adalah, ibu kandungnya, Dewi Sinta dan anak kandungnya, Dewi Tumpak


Kedua, Bestiality. Kisah folklor di Halimunda mengenai Rengganis Sang Putri yang mengawini seeekor anjing. Ini kemudian bergulir ketika Rengganis, anak Maman Gendeng dan Maya Dewi mengaku diperkosa oleh anjing di toilet sekolah dan hamil karenanya. Ini juga terpaparkan dari bagaimana perilaku Kristan yang bertingkah menyerupai anjing dikarenakan cemburu dan ingin menarik hati Nurul Aini yang menyukai anjing.


Tapi ia kemudian sungguh-sungguh sering memamerkan dirinya sendiri sebagai anjing. Bukan karena gila, tapi sebagian besar sebagai upaya untuk menarik perhatian Ai. Jika mereka tengah berjalan bertiga, mungkin pulang sekolah atau sekedar jalan-jalan sore, dan ia melihat seekor anjing di kejahuan, Krisan akan menggonggong. “Guk, guk, guk!” teriaknya. Atau kadangkala ia jadi anjing kecil yang kesakitan, “Kaing, kaing,”, dan lain kali jadi ajak yang tengah melolong di malam hari, “auuuunnnnggg…” (hal. 420-421).


Menempatkan ikonik ‘anjing’ atau ‘ajak’ dalam Cinta itu Luka terkadang mengingatkan pada sesosok Tumang, seekor anjing yang mengawini Dayang Sumbi dan akhirnya memiliki anak manusia, bernama Sangkuriang. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, “from bestiality to incest.”


Ketiga, Sadomasokhisme. Ini jelas terang-terangan terpaparkan bagaimana perilaku hasrat seksual Sang Shudanco yang memperkosa Alamanda dengan mengikatnya di atas kasur dalam keadaan telanjang bulat dan diperkosanya ia berhari-hari terus menerus tanpa ampun. Sang Sudancho adalah potret pemerkosa sadis yang bertindak berdasarkan dorongan sadistik atas korban (Alamanda) yang tidak bersedia, tetapi tidak melukai serius dan tidak membunuh.


Keempat, Pedofilia. Walau tidak secara gamblang tersajikan dalam Cantik itu Luka ini adalah kritik seputar pernikahan di bawah umur yang kerap terjadi di masyarakat rural, seorang anak gadis belum berdarah dinikahkan oleh seorang pria tua, entah itu untuk menaikkan status sosial atau terlilit hutang pihutang. Melalui penggambaran Maya Dewi yang kala itu masih berumur dua belah tahun lah tersirat dengan menikahi Maman Gendeng, preman berumur kepala tiga.


Kelima, Spectrophilia. Bagi yang awam – kecenderungan seksual ini adalah mereka yang mengaku telah berhubungan badan dengan roh atau hantu. Sebenarnya bisa ‘iya’ atau ‘tidak’ penyimpangan seksual ini terhadap di Cantik itu Luka namun tetap menarik untuk diikut ketika melihat wacana Si Cantik yang jatuh cinta dan bersetubuh dengan seorang pria yang tidak dapat dilihat oleh Rosinah maupun Dewi Ayu walau jelas – itu adalah Kristan yang dibantu oleh kekuatan magis. Bukti-buktinya memang tidak cukup untuk mencantumkan kecenderungan seksualitas ini tetapi walaupun “iya” maka yang dialami oleh Si Cantik adalah incubus – Roh atau hantu laki-laki yang mengambil tubuh laki-laki dewasa untuk becinta dengan wanita dan menghamilinya.


Sedikit perdebatan : Kritan tengah stress karena telah mencintai dan bernafsu oleh wanita cantik, sepupunya sendiri dan kemudian digagasi oleh sesosok iblis untuk menemui si Cantik yang buruk rupa. Secara tubuh mungkin memang dia tidak dirasuki tetapi secara pikiran, ia telah dimanipulasi oleh sang iblis yang menyebarkan dendam kepada keturunan Dewi Ayu.


Sebab cantik itu luka. (hal. 478)

****

Tema                     : Penindasan dan Kekejaman di zaman colonial
Sudut Pandang    : Orang Ketiga serba tahu
Gaya Bahasa        : Pengarang menggunakan bahasa indonesia
Amanat                 : Tidak semua keburukkan itu memiliki niat yang buruk, Jangan suka  memaksakan kehendak sendiri, Sesuatu yang tidak di landasidengan cinta dan kasih sayang tidak akan memberikan hasil yang baik dan bermanfaat, Pernikahan sedarah itu di larang.
Penokohan         :
Ma Gedik, Lelaki polos,Setiadan pendendam. Ia yang mengenal cinta setelah berusia sembilan belas tahun.

Ma Iyang, Tokoh yang berwatak keras kepala dan rela berkorban.

Dewi Ayu, Sosok yang cerdas , keras kepala, cantik,dan pemberani.

Ted Stammler, adalah orang yang setia dan berdedikasi tinggi pada negaranya.

Marietje Stammler, adalah orang yang terlalu khawatir dalam hal apapun terlebih mengenai suaminya dan kehidupan mereka setelah datangnya tentara Jepang di Indonesia.

Henri Stammler, Pemuda yang menyenangkan, pandai berburu babi bersama anjing-anjing Borzoi yang didatangkan langsung dari Rusia, pemain bola yang baik dan pandai berenang. Henri Stammler juga tipe orang yang nekat. Kenekatannya terlihat sekali saat ia jatuh cinta pada Aneu.

Aneu Stammler, mempunyai sifat yang lain tidak jauh beda dengan Henri yaitu nekat. Aneu nekat menjalin cinta terlarang dengan saudara tirinya sendiri yaitu Henri Stammler.

Alamanda, Seorang yang cantik namun ia sombon g ia suka menaklukkan hati para pria namun setelahy itu ia putuskan. Ia hanya suka berhura – hura dengan teman temannya.

Adinda, Ia cantik tetapi tidak bersifat binal seperti kakak perempuannya, yaitu Alamanda. Adinda lebih pendiam, dan pintar. Ia juga seorang yang setia dan tidak pencemburu.

Maya Dewi, gadis penurut, ini dibuktikan dengan kesediannya menikah dengan Maman Gendeng atas desakan ibunya. Maya Dewi juga memunyai sifat ulet dan mandiri. Ia tidak pernah menggantungkan kebutuhan belanja rumah tangganya pada Maman Gendeng.

Shodancho, Seorang yang suka memaksakan keinginannya.

Kamerad Kliwon, pemuda yang sangat tampan dan cerdas. Kamerad Kliwon suka menggoda gadis-gadis, mabuk-mabukkan dan bersenang-senang. Ketika ia mengenal komunis, kehidupannya mulai berubah. Dan demikian juga Kliwon bukan lagi seorang mata keranjang.

Maman Gendeng, memiliki karakter yang sangat kontras dengan jiwanya yang merupakan seorang pendekar. Karena masalah cinta, ia menjadi sangat lemah luar biasa. Ia tidak bisa berjuang untuk merebut cintanya itu. Ia juga bertanggung jawab terhadap keluarganya.

Cantik, gadis yang cerdas. Ia menguasai banyak ilmu meskipun tidak pernah mengeyam bangku sekolah. Ia belajar dengan orang yang tidak terlihat.

Nurul Aini, adalah anak Shodancho dan Alamanda. Ia tomboy dan selalu berusaha menjadi pelindung bagi Rengganis Si Cantik.

Krisan, tipe orang yang tidak bisa menahan hawa nafsu . ia juga tipe orang yang tak bertanggung jawab.

Rengganis, Si Cantik ia adalah seorang yang idiot, gampang terpengaruh.

Rosinah, gadis yang rajin dan cerdas. Ia merawat dewi Ayu dengan baik dan selalu setia kepada Dewi Ayu.

Mama Kalong, tidak bersifat egois. Ia merawat pelacur-pelacurnya dengan sangat baik. Ia sangat menyayangi Dewi Ayu dan menjadi salah satu orang yang berjasa besar pada kehidupan Dewi Ayu.  yang merawat Cantik saat Dewi Ayu telah meninggal. Ia juga seorang yang sabar.

Latar / Setting
Latar Tempat
Tempat yang menjadi Latar utama adalah kota Halimunda, sebuah daerah yang menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Dalam novel, kota ini bisa dilihat dalam paparan narasi pengarangnya, yaitu:
“…tentara-tentara reguler berdatangan ke Halimunda, yang tampaknya akan menjadi gerbang pengungsian besar-besaran ke Australia. Bagaimanapun, pelabuhan kapal Halimunda merupakan satu-satunya yang terbesar di sepanjang pantai selatan pulau Jawa. Pada awalnya tak lebih sebagai pelabuhan ikan kecil biasa, di muara sungai Rengganis yang besar, sebab letaknya di luar tradisi pelayaran”.


Selain Kota Halimuda adalah Pulau Buru, penjara Bloedenkamp dan Batavia.


Latar Waktu
Dimulai dari periode waktu saat Belanda masih jaya di Indonesia khususnya di kota Halimunda, saat pendudukan Jepang, munculnya orang-orang komunis, pembantaian komunis, saat Indonesia merdeka, dan beberapa saat setelah itu.


Saat Belanda masih berjaya bisa dilihat pada kesewenang-wenangan Ted Stammler mengambil Ma Iyang sebagai Gundiknya. Dalam hal ini, penulis menyebutnya sebagai tahun sebelum pendudukan tentara Jepang, yaitu sebelum tahun 1942.


Sekitar tahun 1970-an, orang-orang komunis banyak yang muncul. Tahun-tahun ini menjadi tahun penting dalam sejarah Halimunda. Peperangan saudara terjadi antara masyarakat yang pro komunis dan yang anti komunis.


Tahun 1976 Halimunda dipenuhi dendam. Saat tahun inilah banyak pembantaian kaum komunis di Halimunda.


Bukti yang lain bisa dilihat pada kutipan berikut:
“…ketika tahun 1979 ayahnya pulang, dalam rombongan terakhir tahanan Pulau Buru yang dipulangkan, dan waktu itu Krisan telah berumur tiga belas tahun, ia memandang ayahnya seperti orang asing yang tiba-tiba saja tinggal di rumah mereka”.


Latar Suasana: Sepi, Menyeramkan , Menegangkan, mengharukan dan membahagiakan.
Alur


Dalam novel ini, Eka Kurniawan menggunakan alur  campuran . Dalam keseluruhan cerita maupun dalam tiap babnya, CIL selalu dipenuhi dengan pemakaian alur  campuran tersebut. Cantik itu luka  diawali dengan kehidupan setelah mati si tokoh utama, yaitu Dewi Ayu. Ia dikisahkan sebagai perempuan pelacur yang meninggal setelah melahirkan anak keempatnya. Ia tidak pernah mengetahui bahwa anak yang diberi nama Cantik ternyata sesuai dengan harapannya sebelum meninggal, yaitu anak yang berwajah buruk rupa. Dewi Ayu meninggal karena keinginannya sendiri, tanpa bunuh diri. Ia ingin mati, dan dua belas hari kemudian keinginan itu terkabul.


Dewi Ayu sangat bersyukur bahwa anak keempatnya ternyata buruk rupa. Alasannya karena ia sudah terlalu bosan dengan ketiga anak terdahulunya yang cantik-cantik. Dewi Ayu bosan dengan anak-anak perempuan yang banyak disukai laki-laki. Cantik berarti luka. Cantik membawa perlukaan.


Selanjutnya, pada bab kedua, cerita berbalik pada masa lalu ketika ia masih muda dan menginginkan nikah dengan seorang pria tua bernama Ma Gedik. Ia kenal Ma Gedik dari cerita pembantu-pembantunya. Ia jatuh cinta tanpa mengetahui Ma Gedik sebelumnya. Yang ia tahu, Ma Gedik adalah kekasih neneknya, Ma Iyang, yang telah direbut Ted Stammler yaitu kakek Dewi Ayu sendiri. Dalam bab dua ini pula banyak diceritakan mengenai keluarga Stammler, dan diceritakan pula kisah cinta Ma Gedik dan nenek Dewi Ayu yaitu Ma Iyang mengenai masa lalu mereka.


Pada bab tiga sudah muncul tentara-tentara Jepang yang pada akhirnya nanti berpengaruh pada kehidupan Dewi Ayu seterusnya. Kekejaman tentara Jepang yang menjadikan Dewi Ayu pelacur membuatnya memutuskan  pelacur sebagai profesinya seumur hidup.


Pada bab-bab selanjutnya diceritakan secara berkelanjutan mengenai kehidupan Dewi Ayu mada masa Jepang, pada masa kemerdekaan, dan bagaimana hidup dia dan anak cucunya. Dalam menceritakan orang-orang yang menjadi bagian hidup Dewi Ayu, baik anak-anaknya maupun menantu-menantunya yang merupakan orang-orang yang aneh, Eka kembali menggunakan pembolakbalikan alur. Eka memunculkan Maman Gendeng setelah bertemu Dewi Ayu, kemudian dilanjutkan dengan penceritaan masa kecilnya, ia menceritakan Shodancho dan Kamerad Kliwon juga demikian adanya. Pada bab empat hingga lima belas berisi tikaian, rumitan, hingga klimaks. Dan bab enam belas hingga delapan belas sudah mulai pada penurunan masalah yang berisi leraian dan selesaian. Cerita berakhir dengan sad ending. Hampir semua tokoh meninggal, hanya tersisa empat anak Dewi Ayu yang semuanya telah menjadi janda dan hidup sendiri karena mereka juga kehilangan anak-anak mereka.   


Isi Resensi
Gaya Bahasa: bahasa yang digunakan mudah untuk dipahami namun penggunaannya  terlalu gamblang untuk anak usia dibawah 17 tahun sehingga anak terdorong untuk membayangkannya. 


Kelemahan
Pertama, Dalam ceritanya banyak hal – hal yang tidak senonoh, sehingga kurang pantas apabila di baca anak usia dibawah 17 tahun. Kedua, Ceritanya kedengaranya sulit di terima akal (tidak logis). Ketiga, Terlalu banyak tokoh yang diceritakan.


Kelebihan
Pertama, Sampulnya sangat menarik bagi pembaca. Kedua, Judul yang di angkat sangat menarik sehingga orang ingin membaca ceritanya. Ketiga, Kertas yang di gunakan sesuai dengan ceritanya yang terjadi di masa penjajahan. Keempat, Cerita yang di angkat terjadi pada masa kolonial, sehingga isinya lebih menarik, karena tidak banyak pengarang yang mengangkat cerita pada masa kolonial.


Penutup
Kesimpulan
Dalam penelitian novel CIL, penulis menganalisis pengaruh penjajahan dari segi mental, pola pikir, dan budaya. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa penjajahan Belanda maupun Jepang sama-sama menimbulkan kesengsaraan bagi orang-orang yang terjajah, yaitu masyarakat Indonesia. Kerugian yang didapatkan tidak hanya menyangkut materi semata. Namun juga dari segi yang lain.


Dari segi mental, penjajahan selalu mengonsep diri mereka berperadaban tinggi yang harus memimpin orang-orang yang dianggap berperadaban rendah. Dari sini kesewenang-wenangan muncul. Secara umum pihak penjajah selalu memperlakukan jajahannya dengan tidak manusiawi. Contohnya mengenai kasus pergundikan. Ted sebagai seorang Belanda memunyai kekuasaan untuk mengambil perempuan mana saja menjadi gundiknya. Jika tidak bersedia, maka Ted akan membunuh keluarga si perempuan. Itu yang terjadi pada Ma Iyang yang dipergundik Ted. Ma Gedik sebagai kekasih Ma Iyang merasa tidak terima. Ma Gedik tidak mampu melawan Ted dan akhirnya Ma Gedik menjadi gila karena cinta.


Tuesday, April 14, 2020

Mengapa Kita Harus Berpikir Secara Logis?



Mengapa Kita Harus Berpikir Secara Logis?



Tugas logika ialah membahas tentang ketepatan berpikir, yaitu menyelidiki sifat dan cara-cara berpikir yang benar dengan menggunakan akal sehat atau logis. Dengan berpikir logis maka kesimpulan yang diambil benar dan logis pula. Tugas seperti ini bukan hanya berguna bagi kalangan akademisi, melainkan masyarakat umum seperti kita perlu mempelajarinya. Terutama dalam era arus informasi yang bebas dan tak terbatas. Mengapa hal ini dirasa penting, salah satu alasan utamanya dalam rangka memberangus informasi hoax dan menjadi orang yang Sumbu Pendek, meski terkesan tidak mungkin setidaknya kita sudah berusaha, dan itu bisa kita lakukan sembari rebahan.


Pengetahuan logika sesungguhnya sangat praktis sifatnya, karena yang dipentingkan ialah kecakapan menggunakan aturan-aturan pemikiran secara tepat terhadap persoalan-persoalan konkrit yang kita hadapi sehari-hari, dan dengan logika dapat membantu kita mengembangkan kemampuan berpikir logis dan kritis, membentuk sikap objektif dan sikap ilmu yang positif.


Pembaca barangkali akan menilai tulisan ini terlalu dangkal dalam membahas babakan logika, namun saya pribadi ingin menyampaikan jika seseorang memiliki kemampuan untuk menyampaikan buah pikiran dengan teratur, baik secara tertulis maupun secara lisan. Terlebih dalam menyampaikan sebuah pendapat, seyogyanya apa yang kita sampaikan dapat menggunakan bahasa yang jelas disertai alasan-alasan yang logis pula.


Oleh karena itu, pentingnya berpikir secara logis bagi masyarakat di era teknologi dan informasi seperti sekarang adalah sebuah keperluan. Logika membantu manusia berpikir lurus, efisien, tepat, dan teratur untuk mendapatkan kebenaran dan menghindari kekeliruan, dan logika dapat juga membantu kita untuk bersikap objektif, lepas dari pelbagai prasangka yang subjektif.


Kapan hari saya dan Adit bertemu kawan sewaktu sekolah dulu, kita bertiga diskusi bagaimana Pemerintah Pusat menangani wabah Covid-19 belakangan ini. Dua jam kita diskusi, dia selalu mensalahkan langkah yang di ambil Pempus, tidak ada yang benar dan salah kaprah.


Saya dan Adit tak banyak bicara, terlebih jika kudu mengkritik langkah yang Pempus lakukan dalam penanganan wabah Covid-19.


Gerimis mulai turun, kita memilih berpisah, berjabat tangan dan saling melempar senyum.


“Harusnya Presidennya itu Prabowo”, - Celetuk kawan saya


“ASU” – Jawab Adit.


“Ternyata dari tadi saya saya ngobrol dengan korban Pilpres, Jancok” – Batinku.




Wednesday, April 8, 2020

Yang Penting Bagiku Adalah Dialog


YANG PENTING BAGIKU ADALAH DIALOG


Buku datang silih berganti
Dari penulis satu ke penulis yang lain
Genre satu ke genre lainnya
Bukannya berhenti, dahaga itu malah makin terasa.

Ada yang membekas
Ada yang lewat begitu saja
Ada yang mencerahkan, pun
Ada yang mempropagandakan. 

Menjadi pembaca yang hanya penasaran
Menjadi pembaca yang kritis
Menjadi pembaca yang sok pintar
Atau, menjadi pembaca yang merasa terus menerus sinau dan sinau

Dalam proses membaca buku, saya tidak pernah ada yang membimbing harus membaca buku genre apa dan dilanjutkan membaca buku tema apa. Alhasil, buku yang saya baca cenderung asal pilih sesuai kehendak hati dan dompet, tidak mempertimbangkan kelanjutan suatu tema pun kronologis sejarah. Pada titik itu (Empat tahun yang lalu), saya banyak menyendiri dan bertanya ke diri saya.

Lantas tujuan saya membaca buku itu apa? Asu tenan kok. 

Fase tersebut, yang saya anggap sebagai Quarter Life babakan pencarian jati diri. Allah SWT mempertemukan saya dengan buku mungil nan tebal berjudul "Pergolakan Pemikiran Islam" karangan Alamarhum Achmad Wahib.

Ada tulisan Almarhum yang bagiku menjawab pergolakan perasaanku pada saat itu, seperti ini tulisannya:

                                                                           ***

Janganlah anda tanya padaku bagaimana tentang isi sebuah buku yang baru selesai aku baca. 

Aku tidak pernah ingat dengan baik akan isinya dan aku memang tidak pernah berusaha mengingatnya, walaupun aku bukanlah orang yang merasa tidak beruntung mengingatnya. 

Syukurlah kalau kebetulan masih ada yang teringat dan tidak apalah bila telah melupakannya semua. 

Yang penting bagiku adalah dialog yang terjadi antara aku dan pengarangnya sewaktu tulisan itu aku baca. 

Aku buka pintu hati dan otakku selebar-lebarnya untuk memperoleh pengaruh dari pengarang itu di samping sekaligus aku berusaha menyaringnya dengan cermat. 

Aku ingin bahwa dialog dengan buku-buku itu tidak hanya menambah pengetahuanku tapi lebih-lebih lagi membantu dan mempengaruhi sikap hidupku.

Karena itu aku selalu berusaha mencerna, menyaring, mengkritik dan meresapinya agar dia berjabat tangan lebih erat dengan pikiran-pikiran dan kepribadian yang sudah ada dan menyempurnakannya.

Aku pun berusaha, terlebih-lebih lagi, membentuk dan mengolahnya agar yang sudah ada dan menemukan suatu bentuk pengungkapan baru yang segar sesuai dengan penghayatan-penghayatan dalam diriku.

Dan yang paling penting adalah usahaku bahwa dialog dengan pikiran-pikiran pengarang itu akan mengantarkan aku pada kebenaran-kebenaran baru yang lebih tinggi.

Sikap-sikap seperti ini kulakukan pula bila aku mengikuti diskusi, mendengarkan ceramah, berdebat atau menghadiri seminar-seminar.

Aku sangat bersedih hati bila setelah selesai diskusi, berdebat, ceramah atau seminar, aku tidak punya waktu untuk merenungi apa-apa yang baru lewat itu dengan baik dan leluasa.

Sebab hanya dengan merenung dan merenung, apa yang aku lihat, dengar dan rasakan serasi dalam diriku sebagai suatu kesatuan dan membantu mem permatang kepribadianku, dan menambah ilmu ku bukan sebagai kumpulan potongan-potongan tapi sebagai suatu kebulatan sistem.

Aku berusaha mencerna, mencoba dan mengasah terus agar apa yang sudah ada itu makin lama makin padat dan bulat, agar tercapailah suatu gambaran diri yang konsisten.

8 Februari 1970

Sekian terimakasih
Malang, 8 April 2020
Ali Ahsan Al Haris

Tuesday, April 7, 2020

Apa Ada Yang Salah Dengan Cara Saya Membaca Buku?


Apa Ada Yang Salah Dengan Cara Saya Membaca Buku?


Saya sudah dua puluh tahun lebih membaca buku, di mana banyak orang berkata buku adalah jendela dunia dan membaca adalah salah satu proses paling penting dalam menulis. Ungkapan yang merakyat, memang. Tapi benar adanya. Jendela tersebut hanya bisa dibuka ketika kita punya kuncinya, dan kuncinya adalah membaca.


Disadari atau tidak, dengan membaca buku selama beberapa jam yang berisi tentang pengalaman seseorang selama bertahun-tahun, misalnya, akan membuat kita mendapatkan pengalaman yang sama dengan waktu yang lebih relatif singkat.


Luar biasa, bukan? Tapi, untuk sebagian orang akan ora di gugu. Hehe


Kegiatan membaca, berbanding lurus dengan kemampuan menulis (Jare wong-wong seh ngunu). Semakin orang banyak membaca, semakin luas wawasan dan pengetahuannya, sehingga ia memiliki cukup referensi dan takkan kehabisan ide untuk menulis. Dalam kasus ini saya banyak membenarkan, tapi di sisi lain kok saya geblek sekali soal babakan tulis menulis.


Pembaca bukan berarti harus menjadi penulis, akan tetapi untuk menjadi seorang penulis, seseorang harus mutlak memiliki kebiasaan membaca. Kalau tidak melalui proses ini, tulisan yang dihasilkan tidaklah beresensi dan cenderung ngambang ora jelas.


Jika membaca adalah proses melihat wawasan melalui jendela yang terbuka dan menjadikannya sebagai pengetahuan pribadi, maka menulis adalah suatu cara menyajikan kembali khazanah yang telah diperoleh kepada masyarakat luas.


Bisa dibilang bahwa seseorang akan kesulitan untuk menulis sesuatu di luar dirinya, di luar apa yang telah ia miliki sebelumnya. Seseorang tentunya harus memiliki sesuatu terlebih dulu sebelum membagikannya kepada orang lain. Nek seng bok duweni foto jalan-jalan karo pacarmu, yo kuwi bekal seng dimaksud. Sedangkan untuk menulis, modal itu bernama perbanyak membaca.


Dengan begitu, mau tidak mau, suka tidak suka, membaca adalah sebuah proses yang harus dilakukan bagi kamu yang memiliki keinginan untuk mejadi seorang penulis.


Jika selama ini kita sudah mencoba menulis akan tetapi selalu mengalami kendala dan terhenti pada paragraf atau bahkan kalimat pertama, penyebabnya bisa jadi karena terlalu sedikit stok informasi yang kita miliki sebelumnya. Sampai kalimat ini, saya jadi terpikir apakah sumber bacaan saya kurang banyak? Apakah ada yang salah dengan cara membaca saya? Hmmm. Asu


Nah di bawah  ini adalah ringkasan yang saya dapatkan dari pelbagai sumber yang mengatakan manfaat membaca agar keterampilan menulis kita terasah secara bagus.


      1.       Memperluas Wawasan
Apapun genrenya, baik fiksi maupun non-fiksi, setiap buku pasti memberikan pelajaran atau pengetahuan yang bisa diambil oleh pembacanya. Setiap menulis, tentunya kita harus menyajikan informasi yang sesuai atau mendekati realita.  Misalnya ente menulis cerita tentang Babi, terlebih dahulu ente kudu mengadakan observasi terhadap perilaku Babi dan segala hal tentang Babi itu sendiri, salah satu caranya dengan membaca.  Atau saat ente menulis mengenai suatu obyek wisata, jika tidak bisa melakukan observasi secara langsung, maka ente bisa mencari berbagai informasi dan membacanya.

      2.       Belajar Teknik Menulis Yang Dipakai Oleh Penulis Buku Yang Sedang Kita Baca
Coba pikirkan terlebih dahulu, siapakah penulis buku favoritmu yang karyanya paling sukses di pasaran? Jika sudah, coba baca karyanya, dan lakukan analisa apa yang membuat orang-orang bisa begitu mengidolakan karya-karyanya. Jika sudah membaca karyanya, kita pasti bisa menentukan unique selling point dari karya tersebut.  Apa saja keunggulannya? Apakah dari plotnya, atau dari gaya bahasa dan penokohannya serta masih banyak faktor lain yang bisa kamu pikirkan dan kamu ambil sebagai contoh serta referensi dalam menulis.

      3.       Memperkaya Kosakata? Hmm Ada Benarnya Juga Sih.
Jika saat menulis kita sering dihadapkan pada kebosanan kata yang itu-itu saja, atau dua tiga padanan kalimat yang serupa, itu berarti kita harus lebih banyak membaca. Dalam buku yang kita baca terdapat ribuan bahkan jutaan kata dan kalimat yang bisa memperkaya diksi, pilihan kalimat dan cara penyampaian yang berbeda. Biasanya, tiap penulis memiliki ciri khas dan karakteristik masing-masing, perbedaan karakteristik tulisan tersebutlah yang akan membuat tatanan bahasa kita lebih beragam, variatif dan tidak menjemukan untuk dibaca.

      4.       Membuat Jalan Pikiran Lebih Lentur? Atau Malah Bisa Jadi Bebal Ya!
Seringkali kita dihadapkan kesulitan untuk memulai sebuah tulisan, bahkan sejak di kata pertama dalam paragraf.Hal tersebut tak jarang membuat kita merasa jenngkel dan kebingungan.  Terkadang, kita sudah mempunyai konsep dan sudah memiliki gambaran mengenai inti tulisan, akan tetapi begitu sulit untuk kemudian dituangkan. Kebuntuan ini biasanya bisa diatasi dengan cara rajin membaca. Dengan rajin membaca, apa yang kamu pikirkan akan lebih luwes untuk kemudian diuraikan dalam tulisan.

      5.       Ide Melimpah Dan Banyak Bahan Untuk Menulis?
Pernah mendengar istilah writer's block? Kebuntuan dalam menulis adalah salah satu tanda kita kehabisan ide dalam tulisan. Tentunya, jika kita jarang membaca buku, referensi kita begitu minim sehingga ide tak kunjung juga terlintas.  Dengan membaca buku di satu waktu, otak kita akan merangsang terbentuknya informasi baru di sistem daya ingat yang siap dipanggil kapan saja. Sehingga, kemungkinan kehabisan ide dalam menulis akan semakin sempit.


Sekali lagi, itu hanya kata orang-orang yang saya dapatkan dari pelbagai sumber. Motivasi hanyalah motivasi, bagus tidaknya kembali ke pembaca, ya termasuk saya sendiri yang selalu gagal dalam menulis. Asu tenan, Kok.

Malang, 07 April 2020
Ali Ahsan Al Haris





Friday, April 3, 2020

Tidak Ada Peradaban Tanpa Bahasa


Tidak Ada Peradaban Tanpa Bahasa


Ekspresi bahasa tidak melulu tentang ucapan. Bahasa bisa juga diungkapkan melalui tulisan, gerak tubuh dan ekspresi lainya. Ucapan hanyalah bagian kecil dari bahasa, coba perhatikan bagaimana orang bisu berbahasa.


Bahasa ucapan memang paling mudah dan vokal untuk dikemukakan. Bagi mereka yang memiliki integritas yang tinggi, mempunyai kesesuaian antara harapan dan ucapan memang bisa dipegang. Sebaliknya, sering kali kita jumpai bahasa ucapan tidak sesuai dengan bahasa perbuatan. Bahkan terkadang, ucapan dijadikan sebagai topeng untuk menutupi kebusukan.


Tak heran bila kebanyakan orang sering menuntut bahasa tulisan untuk mendukung bahasa ucapan. Oleh karena itu, bahasa tulisan dijadikan standar dalam penulisan karya ilmiah agar kapasitas keilmuannya mudah diuji dan diapresiasi. Lebih dari itu, jika prestasi peradaban tidak diawetkan dalam tulisan, generasi berikutnya akan rugi, dan pembangunan peradaban harus dimulai lagi dari nol.


Bayangkan jika manusia tidak menemukan bahasa tulisan, maka khazanah ilmu pengetahuan masa lalu akan hilang. Warisan para pemangku peradaban, para pemburu intelektual di masa silam, mereka memiliki pengaruh yang kuat hingga saat ini, lantaran ajaran yang terpelihara dalam bahasa tulis. Dan lagi, bukankah bahasa Tuhan juga menjelma dalam sabda? Ini berarti, bahasa tidak saja sebagai media komunikasi, melainkan realitas terpenting dalam menopang peradaban dalam panggung sejarah.


Pelecehan terhadap bahasa sama saja pelecehan terhadap martabat dan peradaban manusia. Jika ucapan penguasa tak lagi mengandung wibawa, jika putusan hakim tak lagi memihak pada hati nurani yang benar melainkan untuk melindungi wajah korup, bila siaran pers tak lain permainan kata-kata tanpa realitas, seandainya surat referensi, kwitansi, nota dan pembukuan negara tak lebih dari manipulasi maka tunggu kehancuran dan ambruknya tatanan bernegara dan bermasyarakat.


Berbeda dari dunia hewan, ciri dunia manusia adalah bahasa simbolik, sabda, dan tulisan yang dengannya perdaban manusia dibangun. Tuhan membangun dunia dengan sabda-Nya, manusia menerima dan mengembangkannya dengan bahasa. Bayangkan jika manusia berhenti berbahasa. Perhatikan juga jika bahasa mengalami krisis wibawa? Maka yang akan tampil adalah kebalikannya, bahasa kekerasan yang akan tampil.


Dalam sejarah dunia, bahasa tulisan menjadi sesuatu yang amat penting.


Bahasa tulisan kemudian menjelaskan bagaiamanakah sebuah dialektis antara manusia dengan manusia terjadi, ataupun dilaketika manusia dengan dunia terlaksana. Bahasa tulisan yang disebut juga dengan teks adalah sebuah gambaran ilmu pengetahuan dan masa lalu. Manusia hari ini adalah hasil dari manusia masa lalu. Dalam perjalanan sejarah kemudian teks menjadi api penyulut gerak perubahan.


Lihat! Bagaimana sejarah besar dimulai. Al Qonun Fii At tib yang menjadi denyut inovasi ilmu kedokteran modern, Das Kapital sebagai sumber inspirasi perlawanan kaum proletar terhadap kaum bangsawan, Catatan Hasan Al Banna yang menjadi penggerak revolusi Mesir dan sejenisnya. Mungkin kita tidak akan pernah mendengar gerakan masif yang dihasilkan diatas jika tidak didahului oleh tulisan.


Tulisan merupakan informasi yang bisa mempengaruhi pola pikir manusia, bahkan lebih besar, tulisan bisa menjadi dalang sebuah gerakan perubahan dalam masyarakat. Sejarah dunia hampir semuanya bermula dari tulisan. *Resume Buku Tuhan Punya Banyak Nama (Komarudin Hidayat).