Tuesday, December 1, 2020

Kronik Pedalaman dan Ingatan Tentang Kampung Halaman


Membaca buku “Kronik Pedalaman: Perdikan, Islam dan Akhir Majapahit” karya Misbahur Surur seolah mengajak kita melorongi masa lampau yang sangat mengasyikan. Kita seolah disuguhi cerita-cerita masa lalu yang detail, renik dan pelik, terlebih tetantang bagaimana gambaran peradaban pada zaman Majapahit dahulu. Membaca buku ini membuat saya tahu lebih dalam bagaimana gambaran desa dan para petaninya, bagaimana sistim upeti yang diterapkan pada zaman kerajaan dahulu. Yang menarik, sebelum saya membaca buku ini, juga membaca buku “Agama Jawa, karangan Clifford Geertz”. Buku Agama Jawa, yang kontroversial itu juga menjadi rujukan Kang Misbahur Surur menulis kompilasi artikelnya yang selama ini telah tayang di lama
ngalek.co.

Jika boleh dikata, buku ini dibagi menjadi dua bab besar. Pertama membahas tentang Sejarah dan Geopolitk Desa. Kedua, membahas tentang Sejarah Lokal. Jika runtut membacanya, pembaca akan dibawa oleh Kang Misbahus Surur untuk berwisata bagaimana gambaran sejarah peradaban kuno kita. Ibarat kata, ada latar belakang masalah terlebih dahulu sebelum kita dihadapkan dengan tulisan-tulisan lokalitas Kabupaten Trenggalek.

Sekali lagi, membaca buku ini membuat saya bertanya-tanya “Berapa babad/kronik Kabupaten yang belum saya baca?”. Selain itu dan ini menjadi sangat penting, Kang Misbahus Surur dalam tulisanya hampir tidak pernah saya temui menyimpulkan tulisannya. Seolah ia membiarkan para pembacanya untuk menyimpulkannya sendiri. Tulisannya seperti hal nya kompas, keputusan mau ke utara atau selatan itu terserah pembaca.

Saturday, November 7, 2020

Siklus Slametan Bagi Orang Jawa

 Pembaca yang budiman, sebelum membaca lebih lanjut. Alangkah baiknya untuk membaca tulisan di bawah ini sesuai urutan agar menjadi satu kesatuan yang utuh. Mengapa? Karena saya me resensi bukunya secara bab per bab.


1. Masyarakat Jawa dan Slametan
2. kepercayaan Masyarakat Jawa Terhadap Mahluk Halus






Bagi orang Jawa, Slametan terbagi dalam empat jenis: (1) berkisar disekitar kehidupan kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian; (2) berhubungan dengan hari-hari raya Islam-Maulud Nabi, Idul Fitri, Idul Adha dll; (3) berkaitan dengan integrasi sosial desa, bersih desa, pemilihan Kades dll; (4) Slametan sela yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak tetap, tergantung kejadian luar biasa yang dialami seseorang seperti berangkat haji, ganti nama, pindah rumah, sakit karena tenung dll.



Sebelum membahas lebih jauh jenis-jenis slametan secara terperinci, perlu diketahui bahwa ada dua faktor umum pelaksanaan Slametan itu sendiri; Pertama, prinsip yang mendasari penentuan waktu diadakannya Slametan dan kedua, slametan dalam arti ekonomi.


Petungan: Sistem Numerologi Orang Jawa

Ambil contoh kelahiran, Slametan yang diadakan menurut peristiwa kelahiran dan Slametan kematian ditetapkan menurut peristiwa kematian itu sendiri. Namum, orang Jawa tidak menganggap bahwa kejadian tersebut terjadi kebetulan begitu saja. Peristiwa tersebut sudah ditentukan oleh Tuhan, yang telah menetapkan secara pasti jalan hidup manusia.


Slametan yang dilaksanakan dalam rangka pindah rumah, khitanan, pernikahan pun pindah tempat kerja mungkin dilihat itu adalah kehendak manusia. Tapi orang Jawa tidak menganggap sesederhana itu. Ada sebuah tatanan ontologis yang lebih luas ditetapkan dengan sistem ramalan numerologi yang disebut oleh orang Jawa dengan nama petungan atau hitungan.


Bagi para pembaca, petungan terkesan sangat berbelit, tapi konsep ini memiliki arti metafisik yang fundamental: cocog. Cocog berarti sesuai, ibarat gembok dengan kunci. Sistem petungan memberikan jalan untuk menyatakan kaitan antar hubungan dan menyesuaikan perbuatan seseorang dengan sistem ontologis, dengan petungan masyarakat Jawa menghindari semacam disharmoni dengan tatanan umum alam, karena mereka percaya jika petungan tidak tepat; tidak cocog, maka seseorang tersebut akan dihantui kemalangan.


Seperti halnya jika orang Jawa akan pindah rumah, ia tidak begitu saja membuat keputusan pindah; pertama-tama ia akan mempertimbangkan setidaknya dua variabel yang berkaitan: (1) arah ke mana ia akan pindah, dan (2) hari apa ia akan pindah.


Setiap hari memiliki sebuah angka (Neptu): Senin empat, Minggu Lima, Selasa tiga, Rabu tujuh, Kamis delapan, Jumat enam, Sabtu sembilan; Legi lima, Paing sembilan, Pon tujuh, Wage empat, Kliwon delapan. Dari angka-angka dijumlahkan sebagai bahan pertimbangan dalam mengadakan Slametan. Bagi para priyayi yang biasa tekun dalam merenungkan hal seperti ini, sistem angka-angka untuk hari adalah deskripsi empiris dari tatanan alam yang tertinggi. Angka-angka tersebut keluar dari kesadran internal dari orang keramat yang termasyhur dan diwariskan dari generasi ke generasi. Namun bagi kalangan Abangan, angka-angka tersebut malah dipahami dalam pengertian mahluk halus, umumnya disebut sebagai nagadina atau "Hari Naga'


Untuk siklus Slametan sendiri, terdapat empat siklus besar; (1) Siklus Slametan Kelahiran, (2) Siklus Slametan Khitanan dan Perkawinan, (3) Siklus Slametan Perkawinan, dan (4) Siklus Slametan Menurut Penanggalan Desa dan Selingan. Keempat siklus ini akan saya ulas lebih lanjut dalam tulisan selanjutnya.


SELESAI


Para pembaca yang budiman, tulisan di atas adalah hasil resensi saya pada buku "Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa" karangan "Clifford Geertz" peneliti Antropologi dari Amerika yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu.  Semoga resensi ini dapat secara rutin saya tulis, setidaknya bagi teman-teman yang belum berkesempatan memiliki buku ini dapat membaca resensi saya seminggu sekali.

Terimakasih banyak
Malang, 7 November 2020
Ali Ahsan Al Haris

 

Wednesday, November 4, 2020

Kepercayaan Masyarakat Jawa Terhadap Mahluk Halus


Dikarenakan tulisan ini adalah serial resensi dari buku Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa, silahkan baca tulisan sebelumnya agar menjadi suatu kesatuan yang utuh.

1. Masyarakat Jawa & Slametan

2. Kepercayaan Masyarakat Jawa Terhadap Mahluk Halus

***

Kepercayaan Masyarakat Jawa Terhadap Mahluk Halus

 

Masyarakat Jawa pada umumnya mengenal tiga jenis mahluk halus: Memedi, Lelembut dan Tuyul. Memedi hanya mengganggu orang atau menakut-nakuti, biasanya tidak menimbulkan kerusakan yang serius. Memedi laki-laki disebut gendruwo dan yang perempuan disebut wewe. Memedi biasa ditemukan pada malam hari, khususnya ditempat gelap dan sepi. Mereka sering kali tampak dalam wujud orangtua atau keluarga lainnya.


Lelembut, berbeda dengan memedi, ia dapat menyebabkan seseorang jatuh sakit atau gila. Lelembut masuk ke tubuh seseorang, dan kalau tidak diobati oleh Kyai dan dukun asli Jawa, seseorang ini akan gila atau mati. Dukun atau Kyai biasa mengeluarkan Lelembut dari tubuh manusia dengan cara memijat salah satu bagian dari seseorang yang dirasuki. Misalnya tangan, kaki, lengan atau bagian punggung. Perlu diketahui juga, karena Lelembut kasat mata, ia tidak menyerupai wujud manusia seperti apa yang Memedi lakukan.



Jenis terakhir adalah Tuyul, ia berbentuk anak-anak, tapi bukan anak seperti fisik anak manusia pada umumnya, ia adalah mahluk halus anak-anak. Konon, jika ada Tuyul yang fisiknya hampir mirip dengan fisik anak-anak manusia pada umumnya, Tuyul tersebut termasuk kategori Tuyul grade A dan banyak diburu paranormal.


Apakah hanya itu? Masyarakat Jawa juga mengenal istilah tempat Angker, lokasi yang dikenal banyak Memedi dan Lelembut karena dibuang atau dipindahkan oleh manusia, sedangkan Wingit adalah lokasi yang sudah ribuan tahun dihuni oleh para Demit & Danyang sebelum masyarakat Jawa ada.


Oke, mari kita bahas secara sederhana apa itu Demit dan Danyang.


Banyak versi tentang mitos penciptaan Jawa, termasuk yang sudah kita kenal luas pada buku Babad Tanah Jawa. Dulunya, pulau Jawa diselimuti hutan belantara. Kecuali sebidang tanah kecil tempat Semar bersemayam di kaki gunung Merbabu. Ia berusia ribuan tahun dan dikenal sebagai rajanya Demit Nusantara. Ada versi Semar bertarung dengan seorang Pendeta, versi lain mengatakan sosok Semar bertarung dengan Syekh Subakir yang datang untuk "Numbali" atau "Mbabad" tanah Jawa. Tak heran kitab-kitab kuno dan buku era sekarang memberikan judul Babad Tanah Jawa, karena Babad sendiri berarti membersihkan sebidang hutan belantara untuk dijadikan sebuah pemukiman manusia. Ada versi lain yang mengatakan Syekh Subakir menumbali tanah Jawa dengan cara melakukan shalat di beberapa titik kritis di mana titik ini kemudian menjadi tempat wingit dan berdiri beberapa Pondok Pesantren.


Versi yang umum adalah kisah dimana Syekh Subakir bertarung dengan Semar. Konon pertarungannya memakan waktu bertahun-tahun sampai Semar dan para mahluk halus lainnya harus lari tunggang langgang ke kawah-kawah gunung berapi dan dasar laut selatan.


Paling tidak dari pelbagai versi yang ada, Babad Tanah Jawa memang lebih pantas disebut sebagai mitos kolonisasi daripada mitos penciptaan, karena tidak mengherankan, mengingat sejarah Jawa yang terus menerus mengalami "invasi" orang-orang Hindu, Islam dan tentu Eropa (Banyak literatur yang ditulis oleh Sejarawan dari Eropa). Gambaran dari mitos Jawa mengenai banyaknya manusia pendatang yang masuk ke Jawa mendorong mahluk-mahluk halus ke gunung, ke tempat-tempat liar yang belum dijamah dan lautan.


Demit
Dalam arti sempit, Demit tinggal di tempat-tempat keramat yang disebut punden, yang dibeberapa daerah diyakini berupa reruntuhan Hindu seperti patung atau candi, pohon beringin besar, kuburan tua, sumber mata air yang tersembunyi atau kekhususan topografi. Tempat-tempat semacam ini, dalam masyarakat Jawa di anggap sebagai lokasi yang tepat untuk meminta tolong ke Demit mengabulkan permintaannya. Menariknya, hal ini juga berhubungan dengan prosesi Slametan, jika seorang yang keinginannya sudah terkabul, ia wajib melakukannya, jika tidak, seseorang tersebut akan diteror oleh Demit yang bersemayam di lokasi tersebut.


Danyang: Mahluk Halus Pelindung

Dayang umumnya adalah nama lain dari Demit (yang adalah kata dasar Jawa berarti "mahluk halus"). Seperti halnya Demit, Danyang tinggal menetap di suatu tempat yang disebut Punden; seperti Demit, mereka merespon permintaan tolong manusia dan sebagai imbalannya, menerima janji akan melaksanakan Slametan. Berbeda dengan Lelembut, Demit dan Danyang tidak menyakiti orang, hanya bermaksud melindungi. Namun, ini yang penting, Danyang dianggap sebagai arwah dari tokoh-tokoh sejarah yang sudah meninggal: pendiri desa tempat kita tinggal atau orang pertama yang membabat tanah. Setiap desa di Jawa biasanya memiliki Danyang desa.


Danyang desa, ketika ia masih hidup sebagai manusia, datang ke sebuah hutan belantara atau tanah kosong, membersihkannya serta membagi-bagikannya ke para pengikutnya, keluarganya, teman-temannya dan ia sendiri menjadi kepala desanya yang pertama. Setelah ia meninggal, makamnya dijadikan Punden dan dikeramatkan masyarakat desa sampai generasi sekarang.

Bersambung ...


Teman-teman pembaca yang budiman. Tulisan di atas adalah resensi dari bab berjudul "Kepercayaan Terhadap Mahluk Halus" buku "Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa", ditulis oleh sejarawan Amerika Clifford Geertz dan diterbitkan oleh Komunitas Bambu. Saya dengan sengaja meresensi per bab agar pesannya tersampaikan kepada pembaca yang belum berkesempatan membeli bukunya. Semoga api semangat terus terjaga dan resensinya dapat teman-teman baca setidaknya seminggu sekali.

 

Terimakasih

Malang, 4 November 2020

Ali Ahsan Al Haris


 

Tuesday, November 3, 2020

Masyarakat Jawa & Slametan

 

Masyarakat Jawa & Slametan

 

Bagi yang orang Jawa, atau siapapun yang pernah hidup di Jawa. Tentu mengenal Slametan. Sebuah upacara kecil, sederhana, formal, tidak dramatis dan hampir mengandung banyak rahasia di dalamnya. Slametan di Jawa juga disebut Kenduren, sebuah upacara keagamaan paling umum ditemui secara komunal. Para pesertanya handai taulan, tetangga, rekan kerja, sanak sekeluarga, bahkan diyakini para arwah setempat, nenek moyang dan para dewa yang sudah mati pun duduk membersamai.

 

Slametan di Jawa diadakan sebagai respon nyaris dalam semua kejadian masyarakat Jawa yang ingin diperingati, ditebus atau dikuduskan. Kelahiran, kematian, perkawinan, membangun rumah, diterima kerja, panen, ganti nama, sakit, membuka pabrik atau permulaan dari suatu rapat politik, semuanya dapat menyebabkan adanya slametan.

 


Biasanya selalu ada hidangan yang khas (Hidangan dapat berbeda tergantung maksut di adakan nya slametan), ada dupa, pembacaan do'a islam dan pidato dari tuan rumah atau yang mewakili yang selalu memakai bahasa Jawa tinggi (Halus).

 

Secara umum slametan di adakan waktu malam, segera selepas matahari terbit. Jika slametannya menyangkut, katakanlah, ganti nama, panen, atau khitanan, tuan rumah biasa meminta tolong seorang ahli agama untuk menentukan hari yang baik sesuai kalender Jawa. Berbeda jika slametan yang di adakan menyangkut kelahiran atau kematian, maka peristiwa itu sendiri yang menentukan waktunya. Sampai sini mulai paham polanya ya? Hehe

 

Mengapa slametan sering kali dilakukan pada malam hari? Pagi sampai sore hari digunakan untuk mempersiapkan hidangan. Kaum perempuanlah yang melakukan ini: untuk sebuah slametan skala kecil, hanya anggota keluarga yang ikut serta, sedangkan untuk slametan dengan skala yang lebih besar, sanak famili bahkan orang lain yang dibayar dengan upah tidak terlalu banyak akan dimintai bantuan oleh tuan rumah.

 

Prosesi slametan hanya dihadiri oleh kamu pria. Para tamu undangan adalah sanak saudara dan tetangga dekat. Dasar seleksi ini bahwa yang berada dalam jarak dekat dari rumah ke segala arah harus diundang, semata-mata teritorial; keluarga atau bukan, teman atau bukan, semua yang tinggal di situ harus diundang. Para tamu undangan diundang oleh utusan tuan rumah (Biasanya anak lelaki atau saudara dekat) jarang sekali tuan rumah mengundang langsung kecuali tokoh agama setempat atau modin yang ia datangi sendiri.

 

Para tamu undangan yang datang biasanya akan memenuhi tempat duduk di luar rumah atau emperan. Hal ini dilakukan karena merasa yang pantas di dalam rumah hanya para sanak saudara, tokoh masyarakat dan pemuka agama. Para tamu duduk dalam posisi formal Jawa yang disebut Sila (Dua kaki dilipat bersilang ke dalam di depan tubuh, sementara punggung tegak lurus). Slametan akan dimulai saat ruangan atau para tamu undangan dirasa sudah datang semua.

 

Tuan rumah atau yang diutus membuka acara dengan bahasa Jawa tinggi, bahkan sangat resmi dan saya sendiri kadang kurang paham apa yang ia sampaikan. Hahaha. Pertama, tuan rumah menyampaikan terimakasih atas kehadiran para tamu undangan yang dengan ikhlas telah meluangkan waktunya untuk hadir di acara slametan. Kedua, tuan rumah; mengutarakan niatnya: menyampaikan maksud khusus dari slametan-anaknya keterima kerja dll. Tidak lupa tuan rumah memohon do'a ke tamu undangan agar keluarganya terlindung dari marabahaya, roh jahat, demit sesat dan selalu diberikan rezeki tiada putus. Pada tiap jeda, para tamu menyahut dengan khidmat, "inggih, amin, inggih".

 

Ketika tuan rumah selesai pembukaan, atau biasa disebut dengan ujub, ia meminta salah satu orang yang dituakan untuk memimpin do'a.

 

Selepas prosesi berdo'a yang dipimpin pemuka agama tadi. Setiap tamu undangan kecuali tuan rumah akan menerima secangkir teh dan piring yang berisi jajan pasar berwarna-warni. Bila setiap sudut dipastikan sudah terisi jajan, tuan rumah mempersilahkan tamu undangan untuk menikmati hidangan. 

 

Sesudah menikmati hidangan kisaran 10-15 menit, satu per satu orang berhenti makan sembari merokok. Setelah semuanya berhenti, mereka meminta izin ke tuan rumah untuk pulang dan tidak lupa membawa berkat (Makanan berisi nasi, lauk dan beberapa jajan pasar). Setelah diizinkan tuan rumah untuk pulang, para tamu undangan meninggalkan ruangan dengan membungkuk agar terkesan tidak menggagahi tuan rumah yang sedang duduk. Namun, dengan berkembangnya zaman, penutupan slametan biasa diakhiri dengan membaca shalawat nabi dengan nada yang cukup melengking.

 

Pemimpin do'a pulang belakangan, tuan rumah mendampinginya dan memberi Wajib (Uang yang tidak terlalu banyak) sembari berucap banyak terimakasih. Slametan pun selesai.

 

Tulisan yang teman-teman baca adalah hasil dari resensi buku “Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa” karangan Clifford Geertz terbitan Komunitas Bambu. Sedangkan tulisan di atas yang berjudul Masyarakat Jawa & Slametan adalah resensi pada bab “Pesta Komunal Slametan Sebagai Upacara Inti”. Saya dengan sengaja meresensi per bab agar pesannya tersampaikan. Semoga resensi buku ini dapat berlanjut setiap minggu.

 

Terimakasih

Malang, 3 November 2020

Ali Ahsan Al Haris

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Wednesday, October 21, 2020

Resensi Novel 24 Jam Bersama Gaspar

 

24 Jam Bersama Gaspar

 

"Semua orang terlahir untuk menjadi keparat dan siapa pun yang berkata sebaliknya pastilah delusional atau, kalau tidak, ya pendusta kelas berat." (hlm. 170)


***



Ada kisah yang ditulis dengan alurnya terlebih dulu dirancang, baru tokohnya mengikuti alur itu. Ada kisah yang ditulis dengan tokohnya terlebih dulu diberi nyawa, baru alur cerita mengikuti aksi tokoh. Tokoh memegang kendali atas alur. Ekstremnya, tokoh punya kehendak bebas.


"24 Jam Bersama Gaspar" barangkali ditulis dengan cara yang kedua. Gaspar berhasil hidup sebagai manusia yang nyeleneh tapi tetaplah seorang manusia. Tokoh-tokoh lain pun punya keistimewaannya sendiri. Favoritku adalah Cortazar; aku suka ide kehendak bebasnya.


Bersama-sama mereka mendongengkan komedi; komedi yang tidak kitsch. (Lewat narasi Gaspar yang blak-blakan, pembaca diajak mencibir sambil nyengir pada kebobrokan realita sosial dan politik. Tapi ya, cuma berakhir di "mencibir".) Meski tidak selucu yang digambarkan oleh beberapa reviu yang kubaca. Atau mungkin hanya aku yang susah dibikin ketawa. Atau lupa cara ketawa. Tapi aku suka cara penulis mengantarkan kisah ini.


Ada kotak hitam yang hendak diungkap isinya; inilah teka-tekinya--yang kukira awalnya. Ada petunjuk-petunjuk yang diselipkan di berbagai sudut oleh penulis secara halus; bahkan mungkin kau tidak sadar kalau sedang disuguhi petunjuk. Namun akhirnya aku sadar, kotak hitam bukanlah pusat gravitasi cerita yang sesungguhnya. Aku tertipu.


Kalau tuan-puan hendak menikmati novel dengan tema sosial-politis sebagaimana kebanyakan tema-tema pemenang sayembara novel DKJ, maka carilah judul lain. Namun, bila tuan-puan hendak membaca cerita yang segar, menggelitik, sekaligus kocak, maka buku ini adalah pilihan yang tepat. Saya sendiri sudah menduga saya akan candu dengan novel ini, menyaksikan keempat novel yang menjadi saudara sepersusuan dari DKJ yang (menurut) saya belum ada yang segar. ini sangat remeh temeh, karena (cuma) berkisah soal Gaspar yang kemudian di tengah memiliki nama alias bernama Rahasia hendak mencuri toko emas milik Wan Ali. Namun sejatinya ada sebuah rahasia yang diam-diam disembunyikan Gaspar, ialah soal kotak dan anak perempuan Wan Ali.


Gaspar kemudian bertemu sekaligus menggalang komplotasi dengan lima orang lainnya, Njet, Kik, Agnes, Pongo, dan Pingi. Yang kesemuannya ada kaitannya dengan Wan Ali. Misalkan Pingi yang sejatinya adalah kakak ipar Wan Ali.


Tetapi yang menarik adalah rasa humor Sabda yang seolah merangkum semua informasi dan kemudian diolah sedemikian lucu. Di bagian pengantar saja sudah kocak, Arthur Harahap ini siapa/ Pantai Margonda? Kemudian soal Hymne Pramuka itu benar-benar bikin saya ketawa keras even di KRL yang padat. Terus kocak lain misal ada adegan Goenawan Mohammad diwawancarai oleh Soleh Solihun.


24 Jam Bersama Gaspar mengangkat kisah detektif pada level yang berbeda, dengan konflik sederhana sebetulnya: seorang tokoh protagonis bernama Gaspar, mengajak lima orang secara manasuka untuk merampok sebuah toko emas, karena obsesinya pada sebuah kotak hitam yang tersimpan di sana. Tapi setelah mengenal karakter tiap tokoh yang terlibat, dipikir-pikir agak rumit juga.


Novel ini disampaikan penulis dengan gaya menulis yang sarkastis, satire nan meledak-ledak. Kadang terlihat serius sekali, kadang terasa asal, jenaka, dan intelek dalam waktu bersamaan. Misalnya, menyoal sindiran terhadap film Fight Club sampai diadakan forum diskusi khusus oleh para pemuja Brad Pitt, walaupun tokoh Gaspar harus mengakui kalau film itu memang cukup apik sebagai pelopor film dalam genrenya.


Tuesday, October 13, 2020

Resensi Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya

Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya 

 

Apa sih tujuan seorang penulis menulis cerita? Kalau aku jawabannya sederhana, bercerita. Tidak ada tujuan lain seperti mencerdaskan kehidupan bangsa, memberi pesan-pesan yang baik, protes kepada pemerintah, atau berceramah.



Dengan jawaban sederhana itu, bukan berarti bercerita adalah hal yang sederhana pula. Setidaknya, ada 3 hal utama dalam bercerita: pencerita, cerita, dan orang yang mendengarkan/membaca cerita. Ketika bercerita kepada seorang teman misalnya, tidak selalu teman kita itu mau mendengarkan. Bisa jadi karena cerita kita yang basi, membosankan, atau tidak menarik. Bisa jadi juga karena kita tidak pandai bercerita. Atau malah, bisa karena cerita itu tidak tepat bagi yang mendengarkan.


Salah satu “aturan” menulis yang ia langgar adalah bahwasanya seorang penulis harus mengambil jarak dengan karakternya. Dea tidak melakukan hal itu. Ia menyatu dengan karakternya. Ia adalah karakter itu sendiri. Ia tidak butuh, dan tidak merasa perlu bercerita ke semua orang (inilah hal yang sering ingin dilakukan banyak penulis, sehingga tanpa mereka sadari, mereka menempatkan diri lebih tinggi dari pembaca). Ia memosisikan diri sebagai pencerita yang bercerita kepada orang-orang yang berada di dekatnya.


Pada tahun 1971, kalangan wartawan pernah mengalami kebuntuan saat mencari padanan “relax” dalam bahasa Indonesia. Ternyata kata “santai” yang kita gunakan saat ini pertama kali dicetuskan oleh Bur Rasuanto, penanggung jawab rubrik ekonomi majalah Tempo ketika itu. Ia mengusulkan “santai” untuk padanan “relax” yang diserap dari bahasa Komering di Sumatera Selatan, kampung asal puaknya Bur.


Wawasan di atas hanya secuil ihwal menarik yang di tulis oleh Mas Ridho Arbain, setelah menamatkan kumpulan prosa nonfiksi dan reportase pertama yang dibukukan oleh Dea Anugrah, yang lebih dulu dikenal sebagai penulis fiksi cerita pendek maupun kumpulan puisi.


Buku ini laiknya magnet, sebab dapat dibaca selagi buang hajat paling masyuk atau dihabiskan dalam sekali duduk. Pada bagian tertentu, pembaca bisa saja berhenti sejenak untuk sekadar berkontemplasi.


Dalam satu judul, Dea ingin 'menceramahi' kita bahwa dunia yang ideal itu hampir tidak ada. Ia mengatakan, “Dunia ideal, bagi saya kini, cuma selaput tipis di kaki langit yang terus menjauh saban kita mendekatinya. Yang ada hanyalah dunia ini beserta hidup yang bergulir terus, terus, di dalamnya."


Bagian favoritku tentu saja tulisan penutup yang dijadikan judul buku ini. Sinyalir agar kita siap menerima segala bentuk predestinasi, entah puas atau kecewa, karena memang hidup begitu indah dan hanya itu yang kita punya.


Buku ini jauh berbeda dengan “Bakat Menggonggong” Mas Dea yang best seller itu, ya namanya juga fiksi dan non fiksi, kan. Ehehehe.


Membaca “Bakat Menggonggong” karya Dea Anugrah, mendadak aku mengingat hal-hal di atas. Kumpulan cerpen ini adalah antitesis dari panduan cara menulis cerita pada umumnya. Dea begitu paham, ia adalah seorang pencerita. Hanya pencerita.


Seperti apa yang pernah Mas Stebby Julionatan tulis tentang buku Mas Dea yang Bakat Menggonggong, kurang lebih tanggapan belliau seperti ini:


Dea Anugrah pandai menggonggong.

Ya, Jika kau wartawan, cerpen-cerpen Dea Anugrah dalam Bakat Menggonggong seperti narasumbermu yang meracau. Ketika ditanya, “Bagaimanakah kau menghentikan kesedihan Wanda, Rik?”, sebagai balasannya, Rik, narasumbermu itu, akan terlebih dahulu berbicara mengenai mengenai sejarah keluarganya yang berasal dari kekaisaran Utsmani di Timur Tengah, lalu beralih tentang cuaca malam itu yang sangat gerah, tentang gaun yang Wanda kenakan, rimpel warna biru yang Rik nilai menambah kecantikannya. Tak sampai di sana, sebelum menjawab dengan tegas dan lurus pertanyaanmu, kisah Rik masih menumpang pada bentuk sayap kupu-kupu aneh yang ia jumpai pagi tadi, dan turut mengapung pada sepoi angin di sekitar kalian, sebelum akhirnya mendarat halus pada kesimpulan yang membuatmu gemas: Rik tak kunjung menjawab pertanyaanmu! Hahahahaha.


Intinya, jika kau penggemar cerita yang bermuatan pesan moral, segera tutup dan lemparkanlah kumpulan cerpen ini ke tempat sampah. Sebab untuk mengetahui maksudnya, apalagi muatan moralnya (itupun kalau ada), kau harus tetap fokus. Jangan terpancing oleh sayap-sayap cerita yang dihadirkan oleh bocah kelahiran Bangka, ini. Karena, kalau sedikit saja perhatiammu teralihkan, maka yang kau dapati adalah kehampaan. Busa-busa obrolan yang tak kau tahu kapan selesainya. Karena, seperti yang kusampaikan di awal tulisan, Dea begitu memukau. Selain karena ketampanannya, ia pandai menggonggong.


Seperti cecabang, itu yang Dea katakan. Untuk tahu di mana letak pokok pohonnya (inti ceritanya, pen.), kau harus memangkas cecabangnya yang berserabut itu. Tapi sayang kan, nanti pohonnya gundul. Ga bisa bikin teduh lagi. Sebab cerita sendiri, masih kata Dea, tak semua haruslah linear. Ada teknik bercerita yang dibuat melingkar, dibuat sporadis, menyebar dan melebar. Itulah Dea Anugrah.


Saranku, ketimbang kau menggundulinya, menikmati cerita-cerita Dea sebagaimana awal aku menikmatinya (dengan cara menebang cecabang itu dan mencari maknanya), kusarankan Anda menikmatinya dengan cara yang lain. Dengan cara yang kulakukan setelah aku bertemu Dea dan mendapat pencerahan. Seperti jika kau selama ini tak suka makan sayur, sesekali belajarlan makan sayur di samping menikmati kriuknya kulit ayam yang gurih dan kaya lemak.


Ya, jujur, kesan awal ketika aku membaca kumpulan cerpen ini (baca: Bakat Menggonggong) adalah: Mem-bing-ung-kan. Jenis naskah yang tak mudah dan tak langsung saya sukai. Seperti lagu dangdut. Saya membutuhkan bantuan orang lain untuk memahami ritme dan nadanya. Memahami makna lagunya. Hingga akhirnya, saya terpukau. Ikut-ikutan mengetukkan kaki, tangan, lalu mengeleng-gelengkan kepala dan terakhir, sebagai bentuk puncak ekstase, badan saya pun bergetar, bergoyang, mengikuti irama yang dihasilkan.


Kejangalan Pemuda E di hari itu saat membuka tutup toples acar, penjual bensin bermata biru yang memakan bangkai kakek buyutnya, nasib pengarang naif yang tak jua insaf ketika dimanfaatkan oleh teman-temannya, dan kisah percintaan waria yang tempatknya dikalahkan secara telak oleh perempuan buruk rupa, adalah ragam menu yang ditawarkan Dea dalam buku berisi 14 cerpen ini.


Ini pengalaman baru. Dan... tidak semua orang, tak semua pembaca bakal terampil menikmati pengalaman baru tersebut. Seperti catatan pembacaan yang sempat saya tinggal di Goodreads:


“Tak semua cerita yang ada di buku ini saya paham. Ini ladang yang baru. Semacam pertama kali kau berenang di tempat yang asing. Ada rasa was-was dan sensasi untuk memasukinya, mencelupkan dirimu ke airnya yang dingin. Cara Dea bercerita pun seperti misi GPIB: Meracau. Sari utara, timur, barat, selatan, tak ada maksudnya. Intinya sih, kau duduk makan bersama, untuk mendengarkan cerita-ceritanya yang dibuat Dea.”


Hahahaha. Tapi, kalau pertanyaannya akhirnya kau ubah menjadi: Apa yang kau harapkan dari membaca buku ini? Apa yang bisa kau pelajari dari peraih nominator KLA 2015 dan 2016 ini? Atau lebih jauh: Apa yang kau harapkan dengan mendatangkan Dea Anugrah ke acara Berkomunlis di Probolinggo? Tak seperti Borges (dimana Anda akan ditanya kembali dengan apakah gunanya burung berkicau), saya akan menjawabnya dengan: Membentuk pengalaman membaca yang baru. Ya, menikmati cita rasa karsa dan aroma aksara yang belum pernah kau cicip, yang berbeda dengan yang selama ini kau nikmati. Syukur-syukur bisa belajar darinya, belajar dari yang tak tertulis, yang tak dinampakkan pada karya-karyanya.


Ya, Sejak kedatangan Royyan (Royyan Julian, pen.) pada Berkomunlis #1, cara menulis resensi saya berubah. Kalau sebelumnya saya dingin, hanya menilai kualitas karya hanya dari karya itu sendiri (meniadakan bayang-bayang penulisnya) ala Roland Barthes, kali ini saya memandang karya secara utuh. Ia (baca: karya) begitu kompleks. Dia seperti pucuk gunung es yang menyembul di permukaan lautan. Ia hanya sekelumit (sari) pengetahuan, pengalaman dan empati penulisnya.


“Perlunya mempelajari teks berdsarkan konteks agar bisa mempelajari sejarah dengan sudut pandang yang lebih luas,” itu yang diungkapkan senior Maman S. Mahayana dalam bukunya Pengarang Tidak Mati. Maka, perlunya pula mempelajari Dea secara konteks agar tidak terjebak pada pikiran yang sempit, yang terburu membuang buku ini ke tempat sampah.


Saya ingat, dalam salah satu sesi tanya jawab di radio, sempat saya melemparkan beberapa pertanyaan sekaligus pada Dea Anugrah: “Dea, apa yang kamu tulis dalam bakat menggonggong dianggap sesuatu yang baru, pembaruan dalam dunia sastra. Apakah ini benar-benar genre yang baru? Kalau memang ia, kau sebut apa genre cerita yang seperti itu?”


Dengan sopan Dea menggeleng, lalu menjelaskannya. “Sebenarnya tidak. Hanya kitalah yang mungkin kurang mengenal, membaca dan mengetahui karya-karya jenis ini. Jujur, saya banyak terinspirasi dari cerita-cerita yang saya baca. Kisah-kisah angkatan baru dari Amerika Latin misalnya. Dan saya menulis cerita yang saya suka untuk membacanya.”


Di situ, bisakah kau tangkap keteguhannya? Kepercayadiriannya? Darinya saya belajar bahwa untuk menjadi seorang penulis, kau harus percaya pada cerita-ceritamu. Termasuk, kata Dea, percaya pada pembaca-pembacamu.


Poin ketiga, dan saya harapkan ini yang terakhir (sebab saya ingin Anda pun bisa menilainya sendiri), Kepercayadiriannya ini mengantarkan simpulan saya pada keteguhan Dea dalam mendobrak monopoli penerbitan dan angkatan sastra. Lihatlah kedua buku yang telah diterbitkannnya –Bakat Menggonggong dan Misa Arwah, mungkin saja diterbitkan oleh salah satu penerbit besar yang memonopoli pendistribusian dan penjualan buku di tanah air, namun Dea tetap memilih untuk menjadi penulis yang rendah hati. Ditangani dan diterbitkan sendiri oleh teman-temannya, sahabat-sahabatnya.



Thursday, October 8, 2020

Resensi Le Petit Prince (Pangeran Cilik)

Le Petit Prince (Pangeran Cilik)

 

Buku The Little Prince dikarang oleh seorang pilot asal Prancis, Antoine-Marie-Roger de Saint-Exupéry, pada masa Perang Dunia II antara tahun 1941 sampai 1943 dalam pengasingannya di Amerika. Karena karakteristik buku yang begitu kuat, buku fabel klasik anak-anak ini berhasil diterjemahkan ke banyak negara dan menjadi buku Prancis yang paling banyak dialihbahasakan.



Cerita The Little Prince dibuka oleh kisah seorang pilot (sebagai point of view) yang pada masa kecilnya pernah membuat sebuah gambar ular cokelat dengan perut gendut yang sedang kekenyangan karena habis memakan hewan besar, ia bertanya pada orang dewasa apakah mereka takut dengan gambar ularnya itu, namun jawaban yang ia dapatkan adalah ‘Mengapa harus takut pada sebuah topi?’ (karena di mata orang dewasa bentuk ular yang ia gambar terlihat seperti topi panama) dan mereka malah menyuruhnya untuk melupakan urusan menggambar dan fokus saja pada mengembangkan pengetahuan ilmu ukur, alam, dan tata bahasa (yang dianggap lebih baik daripada ilmu seni


Dari bagian pembuka itu saja Saint-Exupéry jelas sekali telah berusaha menyampaikan topik penting dalam ceritanya ini, yaitu Betapa tidak dapat dimengertinya orang dewasa.


Bagian berikutnya dilanjut dengan cerita sang pilot yang sudah tumbuh menjadi pria dewasa dan memiliki profesi, ketika ia sedang terbang, pesawatnya mogok tepat di tengah Gurun Sahara dalam kondisi sendirian, tanpa seorang temanpun, ia akhirnya memutuskan untuk bermalam disana. Esoknya, di pagi hari, ia yang tengah tertidur di atas pasir terbangun karena mendengar seseorang bicara padanya.


Orang itu—dengan suaranya yang polos—meminta sang pilot untuk menggambarkannya seekor domba. Pilot yang tercengang dan kaget dengan permintaan tiba-tiba nan aneh itu memperhatikan orang di hadapannya, bocah laki-laki, dengan pakaian yang mirip seorang pangeran, berambut kuning keemasan, dan sama sekali tidak terlihat seperti sedang tersesat di tengah gurun atau ketakutan. Setelah beberapa kali diminta, barulah pilot mengabulkan permintaannya. Begitulah awal pertemuan pertamanya dengan The Little Prince atau Pangeran Cilik.


Hari terus berlalu, Sang Pilot menghabiskan masa-masa ‘terdampar’nya dengan Pangeran Cilik, tentu saja sambil terus berusaha membenarkan pesawatnya. Mereka saling berbicara dan bercerita. Dari sanalah sang pilot mengetahui kisah dan asal-usul Pangeran Cilik.


Pangeran Cilik bukanlah manusia Bumi, ia datang dari planet yang berupa sebuah asteroid, ukuran planetnya sangat kecil, begitu kecilnya hingga ia bisa melihat matahari terbenam sebanyak empat puluh tiga kali hanya dengan menggeser posisi duduknya saja. Di planetnya terdapat benih-benih tanaman pohon Baobab yang selalu ia cabuti setiap harinya, ada pula beberapa gunung api berukuran kecil dan beberapa ada yang masih aktif, selain itu semua, tumbuh pula di atasnya sesuatu yang paling istimewa, yaitu sekuntum bunga mawar, yang mana hanya ada satu-satunya di planet itu.


Dari awal pertemuannya dengan bunga mawar, Pangeran Cilik sudah merasa tertarik. Ia selalu memuji kecantikan sang bunga, ia selalu memenuhi permintaan bunga itu, ia lakukan apapun untuk sang bunga meskipun bunga itu punya sifat angkuh yang luar biasa. Tanpa disadari, ada perasaan cinta yang muncul diantara mereka walau saat itu usia mereka masih begitu muda. Namun, rasa cinta Pangeran Cilik dihinggapi rasa lelah pula karena begitu angkuhnya sang bunga dalam menilai diri, pada akhirnya, ia memutuskan untuk pergi dari planetnya dan petualangan pun dimulai.


Oh ya, ulasan ini berbarengan dengan ramainya aksi penolakan Omnibus Law atau biasa yang disebut UU Cipta Karya. Mari kita doakan bersama semoga para masa aksi diberikan keselamatan dan pimpinan negeri ini diberikan hidayah oleh Tuhan YME.