Wednesday, May 12, 2021

Perbanditan di Kota Semarang Pasca Revolusi 1950-1958

Beberapa Buku Koleksi Saya

Tulisan ini adaah resensi atas buku “Perbanditan di Kota Semarang Pasca Revolusi 1950-1958” karangan Joseph Army Sadhyoko terbitan Penerbit Kendi, April 2021. 

Buku ini membahas tentang dunia bandit yang terjadi di Kota Semarang periode 1950-1958 dengan fokus permasalahan pada penyebab adanya bandit, jenis bandit, dan cara penanggulangannya. Ditulis menggunakan penelusuran metode sejarah, mengumpulkan artikel (terutama dari Suara Merdeka) dan merekonstruksi permasalahan tersebut dengan menggunakan pendekatan konsep realitas sosial kejahatan.

Setidaknya sampai hari ini, masih jarang buku yang membahas dunia perbanditan secara nasional. Hanya ada dua kota di Indonesia selama Perang Kemerdekaan dan Pasca Perang Kemerdekaan yang membahas kasus-kasus ini. Kota-kota tersebut adalah Yogyakarta dan Jakarta. Sedangkan di Semarang sendiri, hanya sedikit orang yang mengetahui sejauh mana bandit terjadi di kota tersebut.

Secara umum, Perang Kemerdekaan yang berlangsung dalam kurun waktu 1945-1949 menyebabkan banyak rusaknya sarana prasarana dan mengakibatkan kondisi perekonomian yang buruk. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk segera melakukan pembenahan di bidang pembangunan fisik dan ekonomi. Sedangkan di bidang ketenagakerjaan, baik sipil maupun militer memerlukan restrukturisasi dan rasionalisasi (Rera) pascaperang kemerdekaan. Kebijakan Rera diberlakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada Januari 1948. Menteri Mohammad Hatta yang menjadi kepala pemerintahan saat itu berkeinginan kuat untuk menciptakan kondisi “satu prajurit satu komando”.

Tuesday, April 20, 2021

Merayakan Buku dan Musik

 

Apa itu MocoSik?

Jika buku adalah teman paling loyal (Ernest Hemingway), musik adalah bahasa manusia paling universal (Henry Wadsworth). Jika buku memberikan makna, maka musik memberi jiwa pada alam semesta. Buku menuntun kita menemukan eksistensi, dan musik menerbangkan kita menjelajah imajinasi. Buku membawa kita kepada kebijaksanaan hidup, dan musik membawa kita kepada keindahan dan kegembiraan hidup.


Mocosik adalah festival tahunan yang dirancang untuk mempertemukan dalam satu panggung dua kultur yang berbeda, yakni buku dan musik. Kedua kultur yang masuk dalam ranah literasi budaya itu diringkus dalam satu ikatan akronim: Mocosik. Dalam bahasa Jawa, “maca” atau “moco” artinya baca, sementara “sik” berarti “musik”. Pada tahun ini, Bank BRI Mocosik Festival 2018 mengusung tagline besar "merayakan buku dan musik", Mocosik menampilkan dua budaya secara serentak dan kontinum. Buku yang sunyi disandingkan dengan musik yang bunyi lewat sebuah perayaan selama tiga hari yaitu tanggal 20, 21 dan 22 April 2018.

Di panggung Mocosik, baik buku maupun musik adalah sebuah percakapan kreatif. Panggung buku mewujud dalam obrolan dan bazar, sementara musik adalah dialog dalam bunyi dan lirik. Baik panggung buku dan musik, sukma utama yang ditumbuhkan adalah perjumpaan serta penciptaan kreatif dalam kereta literasi budaya yang panjang.

Baca juga: Kitab Ketenteraman Dari Khasanah Emha Ainun Nadjib

Ratusan penerbit dan pegiat buku diundang dalam bazar buku dan percakapan literasi di panggung Buku. Sementara itu, di panggung Musik, hadir musisi-musisi papan atas, baik grup maupun solo. Panitia memberikan panggung yang sama besar untuk buku & musik, Mocosik akan mempertemukan pembaca yang baru, yakni pecinta musik & buku. Panitia berharap antara penggerak budaya pop seperti musik bertemu menjadi satu arus kesadaran bahwa literasi penting untuk membangun peradaban di mana kita hidup sehari-hari.

Project Director Mocosik Festival, Bakkar Wibowo menyampaikan bahwa semua lapak buku digratiskan kepada seratus penerbit yang terseleksi, bersama ribuan judul buku di sana. “Silahkan pilih mana yang Anda suka dengan menukarkan tiket dengan buku. Jadi, beli tiket nonton konser musik dapat buku. Jika buku ingin disumbangkan, kita juga menyediakan tempat untuk menyumbangkan buku,” ungkap Bakkar yang dimuat di Republika. Panggung Galeri Seni Rupa, Bank BRI Mocosik Festival 2018 menampilkan pameran arsip dari Buldanul Khuri dengan tajuk “25 Tahun Buldanul Khuri Berkarya”. Pria kelahiran Kotagede Yogyakarta tersebut menurut Bakkar dikenal bukan hanya sebagai penggerak dunia penerbitan buku-buku humaniora di seantero Yogyakarta, namun juga sosok penting yang membawa karya seni rupa di sampul buku.

“Di panggung galeri seni rupa nanti juga akan dihadirkan pula karya seni dari perupa Titarubi & Ong Hari Wahyu,” lanjut Bakkar.

Bali Kiri: Sepilihan Esai Kajian Budaya

 


Dalam PutCast Mojok, Mas Sabrang menyukai matematika dan fisika karena malas belajar saja. Lha kok bisa? Menurutnya, matematika, fisika dan ilmu pasti lainnya, update nya  sangat lama. Ia tak perlu harus belajar terus menerus. Hehe. Berbeda dengan saya, dan memang tidak perlu diperbandingkan juga ya, yang lebih menyukai ilmu-ilmu sosial. Apa yang Mas Sabrang utarakan memang betul, apa yang saya baca dan ketahui hari ini, besok sudah berubah lagi, updat lagi pun kena revisi lagi.

Buku yang saya baca ini adalah edisi kedua. Judul edisi pertama adalah Bali Pascakolonial, Jejak Kekerasan dan Sikap Kajian Budaya (Yogyakarta, Kepel Press, 2009). Sedangkan pada edisi kedua menjadi Kiri Bali, Sepilihan Essay Kajian Budaya. Judul Kiri Bali dipilih karena sebagian besar narasi yang menjadi dasar buku adalah kesaksian hidup manusia-manusia Bali yang tersisih dalam pergolakan politik dan sejarah di daerah kelahirannya sendiri. “Orang-Orang Kiri Bali” sering menjadi istilah yang disebutkan khayalak umum di Bali untuk menunjuk kepada manusia-manusia Bali yang tersangkut kene garis, berhubungan (dihubungkan) dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Buku ini hadir untuk memperluas pemaknaan bahwa Kiri Bali tidak hanya diasosiasikan kepada manusia Bali yang menjadi korban dan survivor tragedi pembantaian massal 1965 di Bali, tetapi juga mereka yang tersingkirkan dalam pentas politik kebudayaan dan pembangunan di Pulau Seribu Pura ini.

Dalam melakukan studi kekerasan, penulis mengembangkan fokus kajian kepada kelompok-kelompok yang terpinggirkan, para subaltren yang berasa di tepi pasang surut pergolakan politik kebudayaan dan kekerasan di Bali. Penulis ingin membongkar pemahaman tentang relasi kuasa konstruksi terhadap citra eksotika Bali hingga terwarisi seperti sekarang.

Kesaksian dan studi tentang mereka kelompok subaltren sekaligus juga sebagai resistensi dan gugatan terhadap dominasi sang kuasa sekaligus juga tunduknya ilmu-ilmu sosial terhadap kepentingan kekuasaan, khususnya dalam studi ilmu sosial positivistik.

Monday, April 19, 2021

Pulang ke Rinjani

 


Saya memutuskan berbuka puasa membaca buku Non-Fiksi. Niatnya, saya tidak akan membaca novel di tahun 2021, hal tersebut luntur karena tidak tahan godaan buku “Pulang ke Rinjani” karya Reza Nufa. Novel yang mengangkat tema pencarian jati diri dengan kemasan traveling ini cukup menyita perhatian dunia sastra di triwulan pertama. Mulai dari pembaca buku, penulis dan kritikus menyinggung buku ini sebagai karya yang cadas. Pembawaan bahasanya konfrontatif, berbau Post-Mo dan komedi satire. Namun, saya sendiri kurang senang dengan gaya penulisan novel yang detil seperti ini. Me Murakamikan diri, meng Norwegian Wood kan diri dalam judul, Pulang Ke Rinjani.

Baik, mari kita mulai. Saya bukan tipikal pembaca yang rewel masalah kover. Namun untuk buku ini, saya belum menemukan kecocokan antara kover dengan isi novel. Warna putih yang sangat dominan ditambah foto penulis duduk di atas batu. Maksudnya apa?

Novel setebal 431 halaman ini terbagi dalam 27 judul, setiap judul mengantarkan kita atas kegelisahan yang penulis rasakan. Tinggal pembaca yang menilai, mau mengapresiasi atau menghujat proses pelik yang dialami penulis! Seratus halaman pertama, saya mulai menangkap poin mengapa buku ini ditulis. Berbicara bagaimana proses yang cukup rumit penulis alami selama menuntaskan studi sampai dipertemukannya dengan orang-orang baru di perjalanan. Namun, saya cukup kesal saat penulis menjadi orang pesakitan karena kakinya terluka berkat sandal yang ia kenakan tidak cocok untuk jalan kaki. Pada titik ini, kenapa kok ya enggak ganti memakai sepatu saja. Hadehhhhh.

Tuesday, April 6, 2021

Inside The Death Camp

 

Sebelum membaca buku ini, saya sudah tergoda untuk membaca novel “Do'a Ibu” karya Arswendo. Keinginan tersebut urung karena ingat komitmen saya di awal tahun Hanya Membaca Buku Non Fiksi saja. Berat? Saya masih belum merasakan. Mungkin bosan, iya.

Buku mungil nan tipis ini dari judulnya cukup menarik. To the point, menjual sekali untuk dijajakan ke anak-anak muda yang menyukai teori konspirasi dan sentimental agama. Tentunya, harga sangat terjangkau dan tema yang dibahas juga tidak cukup berat.


Begini, ada empat kisah atau babak besar yang diceritakan. Salah satunya Anne Frank. Nama yang tidak asing bagi pemuja Tolstoy. Jujur, saya sendiri belum tandas membaca buku tentang Anne Frank. Pernah punya, tidak tahu ke mana buku tersebut. Lucunya lagi, belakangan saya baru mengetahui jika ada buku yang lebih detail alias lengkap menceritakan kisah Anne Frank. Lah ...

Jadi bagaimana? Hemat saya, bagi pembaca yang belum tahu siapa itu Anne Frank akan terbantu dengan membaca buku ini. Periodisasi pengisahan Anne Frank cukup baik, dimulai dari meletusnya Perang Dunia I, bagaimana ia dan keluarganya maraton mengungsi dari tempat satu ke yang lain.

Namun, pembaca juga akan tambah bingung dengan gaya cerita yang dikemas. Penulis cenderung menganggap pembaca buku ini sudah tahu siapa itu Anne Frank, Hitler dan NAZI. Beda kasus jika pembaca buku ini sudah memiliki pengalaman membaca yang cukup luas.

Wednesday, March 31, 2021

Kitab Ketenteraman Dari Khasanah Emha Ainun Nadjib


Perburuan buku-buku yang ditulis langsung oleh Mbah Nun maupun yang ditulis oleh orang lain masih berlanjut. Kali ini saya berkesempatan membaca buku Kitab Ketenteraman Dari Khasanah Emha Ainun Nadjib, ditulis tiga penggiat Maiyah, Aprinus Salam; M Alfan Alfian & Wawan Susetya. Khusus Mas M Alfan Alfian, saya sudah pernah membaca buku beliau yang membahas tentang HMI. Kalau tidak salah, beliau juga menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) juga.



Ian Leonard Betts (Ian L Beets), sosok peneliti yang sudah malang melintang di Maiyah turut memberikan pengantar pada buku ini, menurut beliau, buku Kitab Ketenteraman memiliki kedalaman tema dan jangkauan bahasa cukup luas untuk mudah dimengerti para pembaca tanpa mengurangi esensinya. Selain itu, dan ini yang sangat menarik. Buku Kitab Ketenteraman menjadi inspirasi penting Pak Ian L Betts menulis buku Jalan Sunyi Emha (2006). Hmmm, perlu pembaca tahu juga, buku tersebut sudah lama saya cari tapi harga bekasnya masih terlampau mahal. Jika pembaca ingin menjualnya, jangan lupa mengabari saya ya. Eheee.


Kitab Ketenteraman pertama kali terbit pada tahun 2001 (Saya masih belum tahu siapa penerbitnya) kemudian di tahun 2014 cetak kembali dengan penerbit yang berbeda, kali ini penerbit Penjuru Ilmu Sejati asal Pondok Gede, Bekasi yang berkesempatan menerbitkannya. Buku ini membuat saya mengingat-ingat pertemuan dengan Pak Andi Soebijakto, kawan karib Bang Alfan Alfian dan driver -orang dekat- Mbah Nun saat reformasi. Kenapa saya tulis? Karena saya menganggap ini penting. Saya pertama kali bertemu dengan beliau saat ngopi di UB Coffee, saya dikenalkan lewat perantara Dr. Anthon Efani. Cukup lama kita bertiga mengobrol. Beliau banyak menyebut nama-nama penggiat Religi, dan saya banyak tidak tahunya. Hehe. Lain kesempatan, nama Pak Andi ini saya konfirmasi ke senior saya, Kang Ibnu (Penggiat Religi) dan terjawablah siapa sosok Pak Andi ini. Semoga Allah SWT selalu melindungi & memberikan kesehatan ke Pak Andi & Keluarga.

Saturday, March 20, 2021

Hati Yang Selesai


Ini adalah tulisan kedua, untuk membaca tulisan pertama silhakan klik Hati Yang Tak Selesai

Selalu menyalahkan keadaan, dan mengutuk bahwa Tuhan tidak adil atas nasib yang sekarang ia terima. Membandingkan hidupnya dengan orang lain, termasuk kontrasnya kehidupan yang ia jalani dengan adik-adiknya. Semua orang yang melihatnya berangkat bekerja, rasanya ingin ia kata-katai dan bangsat-bangsat kan karena ia kira sedang merendahkan profesinya sebagai Satpam.

“Maka yang disebut orang dewasa adalah manusia dengan hati yang selesai”. Kata Mbah Nun.


Si anak pertama yang berprofesi sebagai Satpam ini memiliki tetangga penjual nasi goreng. Ia menggoyang wajan pesanan demi pesanan untuk pelanggannya. Ia curahkan energinya untuk melayani pelanggan dengan sopan dan sebaik-baiknya pelayanan. Meski setiap wajan yang ia goyang tak pernah berharap mendapat uang, ia pasti akan mendapatkannya. Mengapa? Karena itu soal keharusan transaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli, itu wajar dan memang logis.

Dalam urusan bekerja dan perniagaan. Kita mengenal konsep Gaji & Pendapatan. Si Satpam setiap bulannya mendapatkan gaji dari kantor. Si penjual nasi goreng setiap harinya mendapatkan penghasilan. Namun kita lupa jika ada kuasa Tuhan bernama Rezeki.