Showing posts with label CERPEN. Show all posts
Showing posts with label CERPEN. Show all posts

Saturday, November 26, 2016

Kalau Jodoh Pasti Bertemu

Kalau Jodoh Pasti Bertemu
*Ali Ahsan Al Haris [ed]

Adinda dan Adam sudah pacaran semenjak mereka kelas 1 SMA dan tahun ini memasuki tahun ke-3. Mereka adalah pelajar kelas XII di sebuah sekolah di Sabang, kota paling barat Indonesia. Hubungan mereka berjalan cukup baik, sama halnya seperti kebanyakan pasangan lain yang suka menghabiskan waktu bersama. Makan, jalan, mendiskusikan banyak hal bersama. Baik urusan sekolah ataupun luar sekolah.

Tahun ini adalah tahun yang akan lumayan berat. karena pasalnya sebentar lagi mereka akan mengikuti ujian akhir. Setiap bertemu pun mulai ada pembicaraan-pembicaraan tentang keinginan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Setelah berusaha cukup giat mereka lulus dengan nilai yang memuaskan.

“Din, aku ingin membicarakan sesuatu denganmu.” Suara Adam memecah keheningan di antara mereka.

“Iya Dam, katakan saja.” Jawab Adinda.

“Ini hari terakhir kita di sekolah, dan mungkin…” Adam menghentikan ucapannya.

“Mungkin apa?” desak Adinda penasaran.

“Aku akan melanjutkan kuliah ke luar Aceh.” Hening, hanaya ada suara ombak yang bersahutan di bibir pantai Pulau Weh. “Adinda, aku minta keikhlasanmu untuk hubungan kita.” Lagi-lagi suara Adam memecah lamunan Adinda.

“Baiklah, aku mengerti maksudmu.” Jawab Adinda sambil berusaha bangkit.

“Adinda tunggu.” Pinta Adam sambil menarik lengan Adinda.

“Apa lagi?” tanya Adinda dengan nada suara yang sedikit agak parau karena menahan tangis.

“Aku masih sangat mencintaimu, sama seperti 3 tahun terakhir..” Belum selesai kata-kata Adam, Adinda sudah menjawab mantap.

“Mari kita buktikan cinta kita dalam penantian ini, dan jika kita memang berjodoh aku dan kamu akan bertemu lagi pada saatnya nanti.” Jawaban Adinda mengakhiri percakapan panjang mereka, Adam hanya terdiam melihat Adinda berlalu.

7 tahun Adinda lewati dalam kesendirian, hanya bertemankan kesunyian, buku-buku dan Nanda sahabatnya semenjak kuliah. Sekarang Adinda dan Nanda adalah rekan kerja di sebuah Rumah Sakit Swasta. Suatu ketika entah kenapa Adinda terikat akan sosok Adam, ia membatin “Masihkah ia mencintaiku?”. Dan Bruuukk… Adinda menabrak seseorang, alangkah kagetnya Adinda ketika melihat sosok yang ditabraknya adalah laki-laki yang beberapa detik yang lalu menjadi lamunannya.

“Adinda” “Adam.” Terdengar bersamaan. Itu pertemuan pertama mereka setelah terpisah 7 tahun oleh jarak dan waktu. Terliahat jelas di mata keduanya ada segudang rindu yang mereka simpan untuk satu sama lain. Dari ketidaksengajaan itu sampai ke pertemuan-pertemuan yang sengaja mereka aturkan. 1 bulan sudah mereka merajut kembali apa yang dulu sempat mereka simpan.

Sore itu Adinda hendak pulang ke rumah seusai bertemu Adam. “Assalamu’alaikum”.

“Wa’alaikum salam.” Sambut ibu Adinda.

“Dinda, ada yang mau Ayah dan Ibu bicarakan sama kamu, bisa duduk sebentar” pinta Ayah. Dengan anggukan Adinda duduk di sebelah Ibunya sedangkan Ayah di depan keduanya.

“Begini Nak, kamu kan pernah bilang bahwa siapa saja yang datang melamarmu tidak akan kau tolak selama ia orang yang baik dan kami setuju, bukan begitu?”.

“Iya Ayah,” jawab Adinda dengan perasaan yang sudah tak menentu.

“Sekarang Ayah dan Ibu sudah sepakat akan menjodohkanmu dengan anak dari teman kami, apa ada yang ingin Dinda sampaikan? atau jika Dinda mau Ayah bisa meminta foto dari calon suamimu.”

“Tidak perlu Ayah, Dinda yakin siapapun yang kalian pilihkan untuk Dinda pasti yang terbaik karena semua orangtua pasti menginginkan kebahagiaan untuk anak-anak mereka.”

“Perasaan Adinda malam itu begitu kalang kabut, bukan karena khawatir pada pilihan orangtuanya tapi ia terus memikirkan bagaimana cara memberitaukan kepada Adam. Tanpa Adinda tau di rumah yang terpisah Adam juga dijodohkan oleh orangtuanya. Beberapa hari setelah kejadian tersebut mereka bertemu dan saling bercerita tentang keadaan mereka yang tak mampu menolak permintaan orangtua masing-masing.

“Semua persiapan sudah siap. Pengantin laki-laki, penghulu, saksi dan wali nikah Adinda yaitu Ayahnya. Adinda tidak diizinkan ke luar kamar sebelum Akad nikah selesai, dengan perasaan yang tak menentu Adinda pasrah menunggu. 

“Akadnya sudah akan dimulai” bisik pengiring Adinda.
Sesaat sebelum berangkat Adam masih berharap bahwa nama yang disebutkan orangtuanya sebagai calon pendampingnya adalah orang yang selama ini ia cintai, hanya saja ada keraguan di hati Adam karena mengingat ia hanya tau nama kekasihnya Adinda namun tak tau nama walinya.

“Selang beberapa jam Akad pun dimulai. Adam menjawab lantang dengan satu tarikan nafas saja. “Kalian sudah sah jadi suami istri.” Ini adalah detik-detik menegangkan untuk Adinda dan Adam karena mereka akan bertemu tanpa saling tau. Ibu menggandeng Adinda ke luar kamar. Betapa kaget dan bahagianya mereka ketika melihat satu sama lain.

“Subhanallah” batin keduanya.

“Dialah Adindaku” lirih Adam.
Ya robb, inikah hadiah untuk keikhlasanku” batin Adinda. Dengan berlinang air mata Adinda mencium tangan suaminya dan saat Adam mencium kening Adinda ia membisikkan sesuatu.

“Ana uhibbuki fillah (aku mencintaimu karena Allah)”.

“Ahabbakalladzi ahbabtani lahu (Semoga Allah mencintaimu yang telah mencintaiku karena-Nya)” jawab Adinda. Oleh [Wirdatun Jannah]


Thursday, November 24, 2016

Ketika Cinta Menyapa

Ketika Cinta Menyapa
Mentari pagi mulai menampakkan wajahnya, burung-burung kecil mulai menyanyikan lagu riang, di sebuah kamar megah terlihat seorang pemuda bernama Vino yang masih asyik bermesraan dengan bantalnya, sepertinya dirinya enggan membuka mata sipitnya. Namun akhirnya ia mulai terganggu dengan sinar mentari yang begitu terang, ia mulai membuka matanya, wajahnya sangat kusut. Setelah beberapa saat mengumpulkan nyawanya, ia mulai beranjak ke dalam kamar mandi untuk membersihlkan diri. Setelah beberapa menit mandi, ia mulai berpakaian, dan ke luar dari kamar megahnya.
“Reno” Ucap Vino memanggil adik satu-satunya, tak berapa lama seorang pemuda berperawakan tinggi menghampirnya
“Ada apa kak? Udah siap?” Tanya pemuda yang bernama Reno
“Udah donk, kamu udah?” Tanya Vino kembali, Reno hanya menganggukan kepalanya. Hari ini mereka akan pergi berlibur ke sebuah pulau yang terkenal dengan keindahannya, yaitu pulau Bunaken.
“Kalo gitu, ayo berangkat” Ucap Vino dengan penuh semangat. Setelah itu mereka langsung menaiki mobil sport warna merah milik Vino.
Setelah 2 jam perjalanan, akhirnya mereka sampaidi pulau Bunaken, sampai disana perjalanan melelahkan mereka terbayar sudah oleh hamparan pasir puntih yang berkilau seperti berlian dan pulau yang begitu indah. Vino tak ingin melewatkan pemandangan indah ini, ia langsung mengambil kamera canonnya, dan memotret.
“Kak, ke pondokan yuk” Ucap Reno, Vino hanya menganggukan kepalanya karena ia sedang berkonsentrasi melihat hasil potretannya, hingga saat berjalan ia tak sengaja menabrak seorang wanita hingga kameranya terjatuh dan rusak
“Astaga, kameraku” Vino tercengang melihat camera kesayangannya kini sudah hancur berkeping-keping “Eh, sorry ya, aku bener-bener gak sengaja” Ucap wanita tadi, Vino menolehkan kepalanya, namun saat melihatt wajah gadis itu, ia terdiam melihat paras cantik gadis itu. Gadis itu heran melihat Vino yang tidak membalas perkataannya
“Heiii” Ucapnya sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Vino “Ehhh iya” Vino segera tersadar dari lamunannya dan tersenyum manis, sedangkan gadis itu heran melihat perilaku Vino
“Eung, maaf ya, gara-gara aku kamera kamu jadi rusak” Ucap gadis itu sambil menundukkan kepalanya “Eh iya, gak papa kok, ini salah aku karena aku gak perhatiin jalan tadi, oh iya nama kamu siapa?”
“Aku Veni” Ucap Veni sambil mengulurkan tangannya
“Aku Vino, salam kenal” Ucap Vino membalas uluran tangan Veni
“Kamu lagi liburan ya?” Tanya Veni sambil melepaskan uluran tangannya
“Iya, mumpung lagi libur, soalnya aku penasaran banget sama pulau Bunaken yang katanya indah, tapi ternyata memang indah banget”
“Bunaken memang indah, aku senang bisa tinggal di pulau ini” Ucap Veni sambil tersenyum “Eh, kamu tinggal disini?”
“iya, aku tinggal disini, sekalian jagain villa ayahku” Ucap Veni, Vino membulatkan mulutnya, entah kenapa Vino merasa sangat senang berada di samping Veni, mungkin saja Vino telah jatuh cinta pada pandangan pertama.
Semenjak perkenalan singkat mereka, Vino memutuskan untuk menginap di pulau Bunaken selama 2 minggu, Vino dan Veni sudah sangat dekat, mereka sama-sama telah jatuh cinta, namun tak ada yang berani mengungkapkannya, hingga suatu saat Veni ingin bertemu Vino di tempat biasanya, saat bertemu Veni, Vino sangat terkejut melihat wajah Veni yang begitu pucat
“Ven, kamu gak papa?” Tanya Vino dengan nada khawatir, Veni hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya
“Vin, ayo kita duduk disini” Ucap Veni sambil duduk di atas pasir putih, Vino mendudukan bokongnya di atas pasir, Veni meraih tangan Vino, saat bersentuhan dengan tangan Veni, Vino bisa merasakan tubuh Veni yang begitu dingin, hingga ia melepas jaketnya dan memakaikannya di tubuh Veni
“Vin, aku mau ngomong sesuatu sama kamu” Ucap Veni dengan mata yang menatap lurus kedepan “Ngomong apa ven?” Tanya Vino heran, biasanya Veni tidak pernah meminta izin untuk berbicara Kepadanya
“Vin, mungkin ini saat terakhir aku untuk hidup di dunia, aku mohon jangan pernah kamu menangis saat aku pergi nanti” Ucap Veni, ia mulai meneteskan airmatanya, Vino heran mendengar penuturan Veni
“Maksud kamu apa ven? Kamu gak boleh ngomong gitu”
“Vin, sebentar lagi aku akan hidup bahagia bersama Tuhan di surga, aku terkena kanker stadium akhir” Veni mengeluarkan airmatanya lebih deras, Vino terdiam, ia tak bisa berbicara apapun mendengarkan ucapan Veni
“Vin, sebelum aku pergi, aku ingin kamu tahu satu hal, aku mencintaimu vin, terimakasih karena kamu sudah hadir di hidupku, mencintaimu itu seperti keajabian untukku dan kehadiranmu membuat gadis penyakitan seperti menjadi mempunyai harapan” Ucap Veni, ia mengenggam tangan Vino erat, Vino memeluk tubuh dingin Veni “Ven, aku juga mencintaimu, maafin aku karena aku begitu pengecut untuk menyatakannya kepadamu, mencintaimu juga merupakan keajaiban bagiku, aku berterimakasih kepada Tuhan karena ia mau mempertemukan kita” Ucap Vino sambil mengelus rambut indah Veni, namun ia terkejut melihat rambut Veni rontok
“Aku lega, karena cintaku terbalas, walaupun pertemuan kita singkat, aku mohon jangan lupain pertemuan ini vin”
“Aku gak mungkin lupain kamu ven, dan aku mohon jangan putus asa, aku yakin kamu akan sembuh” “Vin, aku udah gak ada harapan untuk sembuh, mungkin sebentar lagi Tuhan akan memanggilku. Vino aku mencintaimu” Veni merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya, ia menangis dalam diam, hingga ia menutup matanya, Vino pikir Veni sedang tidur namun perlahan pelukan Veni merenggang dan nafas Veni sudah berhenti berhembus, Vino tau hari ini sudah datang, hari dimana Veni akan bahagia bersama Tuhan dan hari dimana Vino kehilangan cintanya, sesuai dengan pesan Veni, Vino tidak akan menangis, ia tidak mau di surga sana Veni sedih melihat pria yang ia cintai menangis.
Mencintai Veni membuat Vino belajar bagaimana mencintai seseorang dengan tulus, dan mengatasi rasa sakit. Vino tahu jika Tuhan menciptakan pertemuan dan perpisahan, namun ia merasa kecewa, mengapa ketika cinta menyapa, cinta itu juga harus hilang?. Namun Vino tetap bersyukur karena ia telah dipertemukan dengan wanita setegar dan secantik Veni di pulau yang indah ini, selama hidup Vino pulau Bunaken akan menjadi kenangan untuknya dan Veni akan menempati tempat khusus di hatinya. [Oleh : Cyntia]

Tuesday, May 17, 2016

SEMUA KEPENTINGAN ITU BERPIHAK

SEMUA KEPENTINGAN ITU BERPIHAK


*Alie Ahsan Al-Haris


Suara jangkrik menderu menusuk ruang-ruang kamar kos dalam balutan malam yang hening. Aku melihat Aziz sibuk dengan gadget dalam genggaman tanganya yang aku sendiri juga tak tahu apa yang dia lihat.

Hari ini, aku banyak belajar banyak dari penggalan-penggalan kisah yang unik mengiringi hari-hari penuh kegembiraan ganjil dalam hati. Akan tetapi yang paling berkesan adalah kisah yang berencana ingin aku ceritakan,  yang pasti bukan tentang kisah percintaan dan kisah perkopian.

Aku usahakan akan sangat hati-hati dalam menulis cerita ini, berharap Tuhan selalu mengawal aku agar tulisan sederhana ini nantinya tidak akan menimbulkan kesan tendensius bahkan fitnah dilain hari.

Pada dasarnya semua manusia tak akan senang dengan yang namanya penindasan, entah sebagai pelaku ataupun korban. Namun, sifat tamak dan serasa bisa melakukan segalanya membuat manusia terkadang lupa bahwa mereka memiliki Tuhan, termasuk aku juga.

Sebagai orang yang tak tahu menahu masalah yang ingin aku ceritakan ini, terkadang aku juga merasa salah karena telah dengan berani mengisahkan sebuah cerita tanpa adanya informasi pembanding.

Aku mengenal betul salah satu dari dua orang yang ingin aku ceritakan, sedangkan satunya aku baru mengenal kurang lebih hampir satu tahun. Kedua orang ini dalam suatu waktu sudah memasuki umur pernikahan. Seingatku dua minggu kebelakang dia menikah dengan seseorang yang sudah dia pacari selama tiga tahunan. Aku akan berinama tokoh yang sudah menikah ini dengan nama, Anam (Nama Samaran).

Tokoh yang lain akan aku berikan nama, Syamsul (Nama Samaran). Lebih senior dari Anam, namun belum menikah. Syamsul sudah sempat merasakan dunia kerja, kemudian entah apa informasi yang masuk ke aku Syamsul ini habis kontrak dari sebuah perusahaan negara. Hasil kerjanya sudah menjadi rumah dan sepeda motor, mungkin ada yang lain cuman aku sendiri belum tahu. Sekarang Syamsul sedang bekerja sebagai tenaga kontrak pada project sosial kemasyarakatan yang di handle oleh lembaga penelitian salah satu kampus di Malang.

Singkat cerita, Anam dan Syamsul ingin menjadi tenaga pengajar pada almamaternya. Dalam hal ini Anam memiliki keunggulan daripada Syamsul, dia sudah melanjutkan pasca sarjana meski belum lulus sedangkan Syamsul belum. Tanpa aku sodori data terkait prasyarat menjadi tenaga pengejar pada pendidikan tinggi, minimal memang harus menamatkan magister pendidikan dulu. Selain point itu terpenuhi, maka hanya akses primordial sebagai jalan satu-satunya.

Kedua manusia itu aku kenal memiliki akses yang terbilang bagus, koneksi senior ke senior telah mereka berdua bangun sejak masih menjadi mahasiswa. Harusnya, hasil dari koneksi itu sudah mereka nikmati untuk sekarang ini. Atau bisa juga mereka  memang menghindari hal tersebut.

Sudahlah, aku tak akan terlalu berbelit belit dalam menceritakan kisah ini. Aku bukanlah penulis yang hebat, toh aku sadari tulisan ini nantinya hanya akan jadi bahan gunjumgan dan tertawaan.

Waktu menuntun mereka berdua bertemu kembali pada momen pembukaan asisten dosen pada salah satu kampus di Malang, sebut saja almamater mereka sendiri. Pendaftaran tetap mereka jalani sampai dengan season akhir, alhasil secarik kertas pengumuman tidak sudi untuk menuliskan nama mereka berdua.

Aku dapat simpulkan sendiri, lagi-lagi memang berpendapat secara subjektif. Anam tidak diterima lantaran pernah bersiteggang dengan salah satu dosen yang memeggang kendali rekrutmen asisten dosen. Sedangkan Syamsul tidak masuk karena titelnya masih sarjana.

Itu semua adalah alasan standart, bagiku dibalik itu semua ada alasan kepentingan. Berbicara kepentingan tentu ada misi yang dibawa, terlepas hal ini baik atau tidak yang jelas ada kepentingan yang mengiringi hal ini.

Singkat cerita tiga bulan selanjutnya ada momen kembali, yang pasti hal ini bukan momen rekrutmen asisten dosen atau tenaga pembantu pada fakultas yang mereka daftari. Momen yang aku maksud adalah dimana ada hajatan penting pergantian tongkat estafet kepemimpinan. Pembaca, perlu diketahui, asisten-asisten dosen yang diterima tentunya orang-orang yang membawa atau diamanahi kepentingan dari beberapa patron, utamanya rezim yang sedang dan pernah berkuasa.

Pernah aku mendengar salah satu seniorku, dengar-dengar dia dulu juga meminta beasiswa S2 namun tak kunjung diberikan berkeinginan pula untuk masuk dosen, akan tetapi jalan menuju kesana butuh perjuangan yang sangat panjang dan bukan hanya bermodal kejeniusan semata. Seniorku bercelutuk “Kalau kau menjadi dosen, ada dua cara; kau memang pintar dan beruntung lolos, kedua kau harus nikah dengan anak atau sepupu dari dosen. Akses primordial”.

Saat pertama kali aku mendengar seniorku berbicara hal itu, jujur aku hanya meremehkanya. Namun disaat waktu mendesak kedepan sampai dengan aku menulis hal ini memang aku menyadari betul perkataan seniorku. Mana ada dosen-dosen yang berada di fakultasku benar-benar lolos jadi asisten dosen yang kemudian berlanjut ke dosen kontrak, dosen Non-PNS dan dosen PNS tanpa adanya akses primordial.

Akan tetapi pembaca perlu ketahui juga, disaat aku menulis seperti ini akan ada saja orang yang berceletuk bahwasanya sistem seperti itu adalah sistem perkaderan professional. Memang benar aku akui, namun ada celah dimana hal tersebut akan banyak ditembak banyak orang yang mau tahu termasuk aku, perkaderan yang berpihak. Berpihak pada yang dia cocok dan nyaman.

Bayangkan saja, dalam satu fakultas terpecah menjadi dua patron besar. Anggap saja nama patron tersebut  Melati dan Mawar, sedangkan sisanya hanya rerumputan yang kadang dibabat habis atau dipergunakan untuk melindungi tangkai-tangkai yang menjalar meneduhi mereka.

Dalam dua patron tersebut masih ada patron lagi, namun aku menganggap sebagai dualisme kepemimpinan dalam satu patron. Dualisme ini berlanjut pada momen apapun, termasuk menentukan siapa saja yang lolos menjadi asisten dosen, project, kebijakan dan akses luar bisa hebat.


Aku sering berfikir, sisi manusia sepertiku tak lepas dari rasa iri dan ingin akan sesuatu yang lebih. Dalam hati kecil ini sering mencela dengan sistem yang ada, tapi kalau aku fikir mendalam aku ini bukan siapa-siapa dan tak punya apa-apa. Kalau mau merubah sistem, percuma saja. Karena sistem yang ada sudah terlampau besar dan sangat kompleks. Toh ujung-ujungnya hanya akan berbelit dan ikut dalam lingkaran tersebut. Kalau aku makan kue dari sistem tersebut, maka aku akan bicara sesuai dengan mulut yang meberiku kue. Entahlah. 




Saturday, May 14, 2016

KUDETA PERASAAN

KUDETA PERASAAN

*Alie Ahsan Al-Haris

Felix Kenedy namaku, besar di Sumatera sebagai pulau terbesar di Indonesia. aku sekolah menegah atas di Malang, Jawa Timur. yang katanya orang kota ini terkenal dengan buah Apel dan hawa sejuk kotanya yang akan membuat siapa saja pendatang di Kota ini kangen.

Aku tak akan berkenalan lebih dalam dengan para pembaca yang aku juga tak mengetahui siapa anda. Sekarang begini, aku bertemu dengan pemilik akun blog ini pada suatu tempat kopian dekat sekolahku. Mungkin kalian sudah tahu siapa dia, yaps; dialah Alie Ahsan Al-Haris. Aku biasa memanggil namanya dengan sapaan Haris. Kuambil nama belakangnya yang kata dia adalah nama pemberian keluarga besarnya. Tak tahu juga apakah itu benar atau tidak.

Aku sangat berterimakasih pada Haris karena telah mau mendengarkan cerita konyolku, cerita tentang percintaanku dengan adik tingkat yang telah kukagumi selama dua tahun.

***

Sudah, paragraph diatas adalah hasil tulisan dari teman baruku bernama Felix Kenedy asal lampung. Aku yakin kalian takan percaya ada orang sumatera, khususnya lampung bernama bule macam dia. Tak usah aku ceritakan kronologis bagaimana aku bertemu denganya. Namun aku akan bercerita yang menurutku seru dan perlu aku ceritakan pada blogku ini.

Felix, biasa aku memanggil sedang jatuh cinta pada seorang gadis bernama Nanda. Perempuan dari Gresik yang kebetulan adik tingkat Felix, kelas dua jurusan IPA pada sekolahnya. Felix mengagumi sosok Nanda sejak Nanda menjadi siswa baru, namun hubungan mereka baru dikatakan dekat saat Nanda kelas dua.

Pertemuan mereka pertama kali berawal dari ruang UKS, aku tak tahu persis bagaimana alur ceritanya. Namun aku sedikit menangkap point dimana ruang UKS sekolah Felix serta Nanda menjadi saksi hubungan mereka berdua. Singkat cerita dua sejoli ini mulai membangun pondasi asmara mereka.

Felix, maafkan aku karena tak dapat menyosokan perempuan idamanmu ini karena memang kau dengan sengaja enggan untuk menceritakan bagaimana sosok Nanda padaku. Bukankah begitu.

Dalam obrolanku dengan Felix. Dia mengaku pernah mengutarakan perasaan cintanya ke Nanda lewat sebuah Cerita Pendek. Dalam cerpen itu Felix menjelaskan betul bagimana awal perasaan cinta itu muncul dan betapa Felix sangat ketakutan untuk mengutarakan perasaanya. Felix rasa cara itu adalah cara terbaik selain memang itu adalah hal yang memang bisa dia lakukan serta tuntutan untuk membaca sampai akhir dan memahami apa yang Felix rasakan dapat Nanda rasakan pula.

Kurang lebih satu minggu selepas cerpen buatan Felix dibaca oleh Nanda, jawaban yang ditunggu kunjung belum ada. Ternyata dibalik itu semua, Felix mengetahui bahwa Nanda sudah memiliki pasangan, betapa hancurnya perasaan Felix saat itu.  Terlebih Nanda sepertinya sengaja menyembunyikan hal tersebut pada Felix.

Karakter Felix yang memang pantang menyerah terlihat betul dalam kisah ini. Jelas-jelas sudah tahu kalau Nanda punya pasangan tetap saja dengan kebodohanya Felix mengejar-mengejar Nanda. Begitu juga Nanda, mengapa tak kau beritahu saja si Felix kalau kau sudah punya pasangan sehingga perasaan Felix tak sesakit ini, tentunya dia masih sakit hati sampai saat ini.

Kisaran satu tahun hubungan Felix dan Nanda sebatas hubungan biasa saja, tak ada perasaan cinta yang tumbuh dalam hati Felix. Pada suatu waktu entah dengan alasan apa aku juga tak faham betul, namun Felix bercerita padaku kalau sampai kisaran minggu lalu sampai setahun kebelakang diam-diam mereka berdua sering jalan bareng. Aku sendiri sebagai penulis dan pendengar Felix tak mengetahui betul alur cerita yang Felix ceritakan, karena memang dalam obrolanku di warung kopi dengan Felix tak melulu bercerita masalah hubunganya dengan Nanda.

Ada hal menarik yang aku ingin pembaca tahu. Jadi begini, semoga ceritaku ini tak membosankan hai para pembaca blogku. Mereka berdua ini pernah jalan bareng ke sebuah pameran di pusat kota Malang dan berujung makan di tempat makan sekitar stasiun kota baru Malang. Felix dan Nanda banyak membicarakan hal-hal yang aku sendiri kurang faham apa yang yang Felix bicarakan. Jujur hai pembaca blogku, pada momen itu aku sedikit tak konsentrasi menanggapi Felix namun heranya aku menganggap hal ini penting.

Nanda bertanya ke Felix sudah punya pacar belum. Sontak dalam fikiran Felix merasa kalau Nanda ingin serius dalam hubungan tak jelas ini, mungkin saja Nanda ingin berpacaran dengan Felix. Kemudia Felix menjawab kalau sudah punya pacar, sebelum Nanda menimpali pernyataan Felix dilanjutkan pertanyaan ke Nanda apakah sewaktu Felix mengutarakan perasaan cintanya ke Nanda benar adanya kalau Nanda sudah punya pacar. Dan benar, Nanda memang saat itu memiliki pacar.

Pembaca blogku, sebelum aku lanjut cerita tentang Felix. Perbolehkan aku sedikit menanggapi hal diatas. Bagaimana lucunya aku bayangkan ketika Felix dan Nanda saling tanya mempertanyakan hal penting namun kebayang konyol itu ya. Kalau aku melihatnya, pasti akulah orang pertama yang akan tertawa terbahak-bahak.

Saat dua sejoli itu sudah jujur menjawab pertanyaan satu dan lainya. Obrolan mereka terhenti beberapa saat, Felix sendiri merasa ada yang ganjil dan merasakan sebuah perasan yang begitu bergejolak hebat. Dengan perasaan was-was Felix memberanikan dirinya bertanya ke Nanda.

“Aku masih mencintaimu, pacarku yang sekarang karena kau tak kunjung menerima cintaku hai Nanda.” –ucap Felix.

“Mas, dulu saat kau mengutarakan cintamu padaku; memang aku sudah punya pacar. Namun sekarang aku sudah tak punya pacar lagi.” –jawab Nanda dengan halus sambil menatap sayu wajah Felix.

Lanjut Nanda “Sebenarnya aku juga mencintaimu mas, tapi sekarang kau sudah punya pacar. Aku tak berhak memilikimu lagi.”

“Kok bisa jadi seperti ini hai Nanda.” –jawab Felix dengan lemah

“Mas, apakah pacarmu tahu kalau sekarang kau dekat denganku ? Kalau pacarmu tak tahu itu salahmu, dan kau harus segera memberitahu pacarmu bahwa selama ini kau dekat denganku. Jangan sakiti perasaan perempuan, aku ini perempuan dan aku tahu rasanya sakit hati mas.” –Nanda menasehati Felix yang kelihatan lemah memendam perasaan entah apa tak seorangpun didunia ini yang tahu.

Lama sudah kejadian itu berlangsung, hubungan mereka berdua semakin dekat. Dengan modal rasa nyaman Felix dan Nanda menjalani hubungan yang Felix sebut “Mas dan Adik”  saling menjaga dan saling pengertian. Pada suatu ketika semua ini dirasa Felix mulai berubah dan terasa menemui titik jenuhnya.

Felix bercerita kurang lebih dua minggu yang lalu dari aku menulis ini, Nanda tiba-tiba chat line Felix seperti ini “Maaf ini siapa, kok suka chat-chat aku ya ?” –sontak Felix hanya dapat berfikir ini handphone Nanda dibajak orang iseng, Orangtua Nanda yang chat atau memang Nanda sendiri yang menulis seperti itu.

Dua hari kemudian Felix mencoba chat line Nanda lagi, hasilnya tetap nihil. Balasanya cuman sewot, tidak seperti Nanda yang kemarin-kemarin. Tidak ada penjelasan yang jelas, Nanda pun terkesan menutup diri ke Felix.

Pembaca, aku mohon maaf kalau ceritaku ini membosankan. Cuman sadarilah, aku hanya ingin menulis suatu cerita yang menurutku menarik kudapati dalam bebrbagai hal. Maafkan aku kalau tak menarik terlebih lagi cerita ini terkesan konyol.

Sudahlah, semoga Felix dan Nanda baikan kembali. Kalaupun tak bisa baikan, setidaknya Nanda memberitahu alasan sebenarnya mengapa berlaku seperti itu ke Felix. Karena sepengetahuanku perempuan memang tak mau disalahkan dalam berbagai hal meskipun tahu kalau posisinya sendirilah yang salah.

Thursday, May 12, 2016

RAJA KECIL

RAJA KECIL

(Kisah Nyata[KU] Dari Warung Kopi)

*Alie Ahsan Al Haris

Cerita pendek yang tak ada bagusnya sama sekali ini bisa aku katakan 90 % nyata dan 10% sisanya dalah hasil imajinasiku sendiri yang aku sengaja tambahkan agar terkesan nampak hidup saat kalian baca. Pertama kali aku menulisnya sama sekali tidak ada dalam fikiranku untuk menamai tulisan ini dengan judul yang sangat jelas kalian baca.

Mari kita mulai. Awal inspirasi ini tercipta pada suatu kesempatan aku sedang bosan-bosanya dengan suasana warung kopi yang biasa aku tongkrongi. Alhasil aku dengan sepeda motor pinjaman ibuku kugeber keliling daerah tempat ngopi disekitar kota Malang. Sedikit pembaca tahu, setiap momen apapun aku selalu membawa buku bacaan yang memang itu adalah senjata nomor satuku, kalau kalian tanya apa senjataku selanjutnya tentu akan mudah menjawabnya, rokok dan ponsel.

Sampailah aku pada sebuah tempat ngopi yang notabenya sangat sederhana. Penjualnya ibu-ibu tua, dengan gerobak mungilnya dia jajakan beberapa macam gorengan dan rokok racikan. Kuparkir sepeda motorku disebelah rombong sederhananya. Kupesan kopi tubruk dan beberapa gorengan. Tidak ada meja dan kursi yang kupilih, karena memang hanya ada dua buah meja dan empat kursi saja.

Kuletakan rokok, ponsel dan kuambil buku bacaan dari dalam tas dan kuletakan diatas meja. Kurang lebih setengah jam berjalan, ada enam orang yang ikut nimbrung ngopi. Kalian dapat bayangkan. Dua meja dengan empat kursi di buat duduk tujuh orang, tentunya posisiku akan terlihat satu kelompok dengan mereka.

Mereka ngobrol panjang lebar dengan pembahasan yang menurutku berat untuk didengar. Namun satu momen yang kuanggap sangat penting untuk aku tulis, enam orang itu nampaknya ada satu sosok pria dengan perawakan tinggi namun kurus dengan rambut yang biasa kita sebut mohak menjadi center of interest kelima orang lainya termasuk aku. Pria tersebut ternyata sedang membicarakan bagaimana caranya menjegal salah satu temanya yang kebetulan sedang berival pda salah satu momen.

Aku sengaja memposisikan diriku sebagai pendengar yang baik, termasuk sebagai pencatat yang baik. Sengaja aku manfaatkan aplikasi memo pada ponselku untuk mencatat poin-poin penting yang pria konseptor dan mereka utarakan.

Beginilah ceritanya, jujur sedikit aku tambahi sedikit dengan tujuan seperti yang aku utarakan pada awal paragraph.

***
            Pria ini adalah konseptor pada kelompok mereka, gaya bicara dan analisisnya memang aku akui sangat tajam. Sering mengomparasi data dan informasi menjadi nilai lebih baginya. Tak diragukan memang, karena itu adalah ciri khas konseptor ulung. Adalagi pria dengan perawakan agak pendek, berkumis lebat, kulitnya hitam dan rokoknya merk Marllboro merah. Pria ini kalau aku amati nampaknya berposisi sebagai eksekutor, sedangkan sisanya adalah pelaksana tugas dan informan.

Singkat cerita, mereka ini adalah salah satu dari sekian kelompok yang ingin memenangkan momen tersebut. Namun, pembicaraan mereka sampai aku pergi; mereka masih dalam posisi yang kalah.

Pria konseptor dalam watak bicaranya adalah seorang yang gila hormat dan gila penghargaan. Segala apa yang dia bicarakan hampir mayoritas bicara sejarahnya dan apa yang telah dia lakukan dan hal itu sukses. Jarang sekali dia bercerita tentang dirinya sendiri pernah melakukan sebuah kesalahan untuk dijadikan kelompokya sebagai pelajaran. Ini kan bodoh sekali, gomik.

Bagian paling brutal (menurutku) pria konseptor ini mencetuskan ide yang bagiku gila untuk dilakukan. Dia menyuruh ke lima temanya untuk membuat perpecahan dalam patron yang sama-sama bersaing denganya. Caranya dengan apa, dia menghalalkan fitnah diantara saudaranya, kalau fitnah tak berhasil untuk memecah patron maka ide selanjutnya adalah ancam dengan beasiswa dan proposal yang nunggak di awang-awang.

Sampai pembahasan tersebut, aku semakin tertarik dengan obrolan mereka. Tentu, aku masih sok nge-chat-chat orang lain dan membaca buku agar gerak geriku tidak mereka ketahui. Serta, aku berharap di anggap mereka sebagai orang yang sangat polos dan tak tahu bahkan tak mau tahu dengan apa yang mereka bahas. Padahal kalau jujur, malah sebaliknya.

Mereka sejenak tak membahas hal itu, sampai pada suatu momen ada salah satu anggotanya menceletuk kurang lebih seperti ini “kita tahan saja dana beasiswa dan proposal yang cair atas bantuan kita” –dari sinilah aku menjadi faham siapa mereka. Tentunya aku amini mereka ini adalah manusia-manusia dengan akses yang hebat, bayangkan saja sekeliber orang seumuranku dapat meloloskan beasiswa dan proposal serta dapat menahan dananya. Tentunya orang-orang yang sedang ada dikelilingku ini bukan orang biasa donk hahaha.

Berangkat dari pendapat salah satu dari keenam orang tersebut, pria konseptor itu dengan nada tinggi mengamini hal itu. “itu pendapat yang sangat bagus, bener banget itu” –cetus pria konseptor.

Aku catat point penting, mereka menghalkan fitnah dan ghibah serta mereka memiliki akses hebat entah dari mana asalnya. Jika hal ini mereka gabungkan, tak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi pada lembaga tersebut. Pertanyaan mendasarku, se strategis apakah lembaga mereka, sehingga segala cara mereka lakukan, ada misi besar apa yang ingin mereka goalkan sehingga cara-cara tersebut mereka lakukan.

Mereka berencana bertemu kembali dua hari lagi, tenggang waktu dua hari itu mereka lakukan untuk melancarkan teror kepada oknum-oknum yang menerima beasiswa dan cairnya dana proposal atas jasa mereka pada salah satu tempat yang aku kenal.

Sampai aku meyelesaikan tulisan ini, sudah telat kurang lebih lima hari. Aku tak berniat untuk tetap membuntuti mereka, karena hal itu akan membuat mereka curiga padaku.

Kami semua dipaksa pulang karena warung tempat kami ngopi mau tutup, selepas aku bayar dan bersiap pulang. Lagi-lagi pria konseptor berkata pada kelima temanya tadi. “kalian kalau ketemu musuh-musuh kita, wajib menggaungkan namaku, kalian wajib baik-baikan dan soundingkan namaku ke mereka semua agar mereka tahu bahwa patron kita memang hebat dan hasilnya adalah kalian, didikanku yang berhasil dan berkompeten. Biar mereka tahu siapa aku dan siapa kita”.

***

Boleh saya akhiri cerita tak bermutu ini ? aku harap boleh dan kurasa kalian memang bosan membaca ini. Seperti itulah, ada orang yang suka claime dengan segala daya cocotya yang merasa tak punya dosa.

Perasaan ingin dijunjung dan dihargai menjadikan pria konseptor tadi menjadi gila hormat. Gila dengan sesuatu yang fana. Entahlah, apa yang mereka fikirkan. Apa jangan-jangan pria konseptor itu telah gagal memahami Babad Tanah Jawi. Tak taulah, sadarlah.

Sudah cukup saja, aku lelah menulis tentang kelompok ini. Tak jelas dan kecelakaan berfikir, kecelakaan dalam memahami prinsip, dan aku juga salah telah ngopi bersama mereka.


Saturday, March 19, 2016

DIBALIK KEHIDUPAN PARA TANTE-TANTE 13


*Alie Ahsan Al-Haris


Scene 13


Bagi yang belum membaca scene 11 dan 12, dapat di cek di :
Scene 11              : Cerita 11
Scene 12              : CERITA 12


Sekar kulirik sedang sibuk mengetik pada gadgetnya. Nampaknya perempuan-perempuan dihadapanku ini penganggum peradaban sosialita. Novita. Novi. Hanya memandangi obrolan kita yang terkesan perkuliahan gender.

“Kau boleh sebut komunitas kita dengan nama Teman Sarah.  Aku sendiri yang mengagas,” –aku matikan rokok untuk lebih fokus pada Anisa. –“mau dua tahun jalan. Tak ada label resmi bahkan strukutur pengurus organisasi seperti yang Bagas lihat setiap hari jika masuk ke kantor.” –aku tahu Anisa sengeja meledekku dengan pernyataanya.

Lama aku bicara pada Anisa. Sebagai pengagas komunitas ini memang aku fokuskan pertanyaan demi pertanyaan padanya. Sekar dan Novi terkadang menimpali untuk menambahkan pedanpat maupun memperkuat pernyataan dari Anisa dan Sekar. Begitupun sebaliknya, mereka terlihat kompak menguatkan dan menopang argument masing-masing. Dari sini dapat kutarik sedikit kesimpulan kompaknya orang-orang ini.

Aku ketahui betul mana pendapat yang di ada-ada dan sikap yang sok membenarkan argument. Aku memang tak menempuh kuliah Psikologi seperti Anisa. Namun pengalaman menjadi wartawan memberikan aku segudang pengalaman dan pelajaran segudang karakter manusia yang aku ajak bicara.

Kisaran jam sepuluh kurang sepuluh menit malam aku akhiri obrolan dengan tiga dara ini. Sesuai perjanjian awal yang Novi utarakan aku takan mendapat upah wawancara. Itu termasuk kopi dan roti bakar yang masuk hitungan mereka.

Mereka bertiga nampaknya masih tak mau meninggalkan coffe tersebut. Diantarkanya aku sampai luar coffe oleh Anisa dan Novi. Sekar didalam menjaga barang-barang teman mereka. Anisa dan Novi melempar senyum terimakasih padaku. Jabatan tangan Anisa masih seperti awal aku bertemu denganya. Halus dan hangat. Saat aku berjabat tangan dengan Novi, kepalan tanganku terganjal oleh suatu yang aku rasakan adalah ketas. Saat kulihat adalah amplop. Ini melanggar perjanjian. “Itu bukan honor, itu uang bensin untuk Bagas pulang. Terlepas terbit atau tidak itu urusan belakang.” –sahut Anisa padaku.

Kuucapkan terimakasih banyak pada mereka. Bergegas aku pulang ke kos, badan ini sudah tak kuasa menahan rasa capek yang tiada tara. Kurobohkan badan pada kasur lantai yang kubeli dipasar. Tak terlalu besar memang, namun kenyamanan yang kurasakan lebih dari ini.

Kupakai celana pendek. Hampir mirip berbentuk seperti celana dalam. Kipas angin kuhidupkan. Betapa segarnya udara malam ini. Kamar kecil ini serasa menjadi surga duniawi saja. Kugulingkan badan ini kekiri dan kanan. Kuambil handphone disisi kiri kasur lantai. Rosa menanyakan apakah aku sudah makan belum. Kau perempuan yang manis disana, betapa perhatianya kau padaku. Hasil dipecatnya aku dari perusahaan itu adalah kenangan manis denganmu Ros.

Teringat jelas obrolanku dengan tiga dara tadi. Anisa, Sekar dan Novitasari. Perempuan-perempuan diluar dugaan. Komunitas yang awalnya kukira perkumpulan sastrawati penggiat pengarusutamaan gender terjawab semua disana. Mereka hanya beberapa perwakilan dari salah satu komunitas penyuka sesama jenis terbesar di Surabaya. Kok bisa aku terjebak dalam wawancara itu. Kenapa juga aku harus menuruti permintaan liputan dengan orang yang tak kukenal sebelumnya. Apa jadinya jika hasil liputan naik cetak. Bisa gempar masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Terlebih kantor. Terlebih lagi aku. Redaktur plus peliput. Mengapa bisa seperti ini.

Aku berdiri menuju gantungan pakaian dibelakang satu-satunya pintu dikamar ini. Tanganku merogoh saku baju kerja mengambil rekaman yang menjadi saksi penting wawancara yang berjalan hampir tiga jam. Kupersiapkan laptop, kubuka jendela kamar disisi samping, asbak rokok kukosongkan, alat tulis sudah lengkap. Terasa satu yang kurang, kubuat kopi dibelakang. Semua sudah siap. Aku siap merekap hasil wawancara ini. Tak perduli besok masih harus kerja lagi. Rasa penasaran dan tuntutan menjadikanku lupa waktu yang semakin kedepan mengejar tengah malam.

Rekaman kuputar tiga kali, kuperlamabat, suara terkadang aku kerasakan agar terdengar jelas, tak urung juga aku harus memutar kembali dari tengah ke belakang, begitupun sebaliknya. Rekapan selesai kutulis kisaran pukul satu dinihari. Kerangkanya sudah kudapatkan, setting lokasinya sengaja aku samarkan, begitupun dengan nara sumber. Sempat terbesit dalam benak fikiranku bagaimana format saat naik cetak, artikel, sekedar hasil wawancara atau aku ulangi kesuksesanku saat menerbitkan naskah Pukat Cinta milik Sonson. Dialektika yang dibarengi rasa lelah luar biasa akhirnya tiba pada suatu kesimpulan hasil wawancara ini akan naik cetak dalam bentuk cerita bersambung. Lagi. Ya, akan kuulangi gayaku.

Yang penting aku sudah dapat kerangkanya. Mungkin terlalu pendek, itu tak masalah. Toh ini masih rekapan orisinal. Belum masuk dapur redaksi. Karena saat ini aku lebih memposisikan diriku sebagai Bagas. Bukan redaktur. Aku baca, baca, kurenungi, kucari celah diantara kata dan kalimat yang kurang tepat kurang lebih memang seperti ini.

Meski kini seperti tak ada jarak dan bedanya perilaku seks pria dan wanita, tapi kalau diamati selalu ada sisi yang beda. Banyak kalangan masih mengamini hubungan lawan jenis adalah hubungan badan alias persetubuhan yang luar biasa nikmat. Namun, perlu diketahui bagi pembaca semua. Seiringnya berkembangnya zaman, benturan peradaban yang membawa seluruh isi-isinya ke negeri ini menjadikan seks adalah part of life. Terbukti dengan banyaknya prostitusi yang legal dengan wanita-wanita berumur ABG sampai dengan kepala empat. Dari harga rendahan kelas tukang metro mini sampai kelas senayan.

Hal ini juga diterima oleh para wanita menjadikan seks sebagai hal yang anonim, nikmat; mau samau mau dan membutuhkan satu dengan lainya. Fenomena jajan, pijat plus plus hanya satu dari sekian model jajanan kota metropolitan macam Surabaya. Pantas memang, kota terbesar kedua di Indonesia. sudah menjadi rahasia umum pula, paket-paket macam striptease live show singkat yang hanya dilakukan kurang lebih selama 30 menit menjadi trend dikalangan cukong-cukong rumah plesiran. Konsumen-konsumen itu sudi merogoh koceknya Rp. 300 – 400Ribu hanya untuk menonton striptease live show selama 30 menit tanpa boleh menyentuh sedikitpun wanita-wanita didepanya bergoyang meliuk-meliuk memamerkan bodynya.

Singkatnya, setiap malam. Bukan hanya di Surabaya saja, lelaki berkeliaran dengan segebok nafsu liarnya bertamu dibalik tirai-tirai kamar seukuran 2x1 M demi jasa pelayanan cinta kilat. Rumah plesiran. Rumah bordil. Prostitusi.

Bagaimana kalau kontradiksi ini tiba-tiba berbalik. Lesbian. Ya, plesiran sesama jenis bukan hanya mengancam. Diam-diam komunitas pasangan sejenis telah membangun pondasinya, siap datang memperkenalkan jati dirinya diantara kepungan manusia yang sekarang tak peduli dengan lingkungan dan sekitarnya.

Nampaknya hubungan badan lawan jenis sudah tak masuk dalam kamus para pelaku-pelaku ini. Dengan sadar mereka melakukan rajutan cinta sesama jenis. Mengggelikan. Apakah  ini adalah salah satu antrian dari Globalisasi !

Memang sementara ini yang jadi sasaran kaum lesbian masih kota-kota besar macam Jakarta, Bandung, Surabaya dan Denpasar. Mall-Mall besar dan Coffe menjadi tempat favorit komunitas ini. Berikut sedikit uraian Jurnalisme Investigasi dari Team Apa Kabar Surabaya.

Merasa tenang dan nyaman dengan sesama wanita. Unik memang, bertemu untuk sekedar gosip, ngopi dan melepas hasrat seksual. Sebulan sekali komunitas lesbian di Surabaya ‘Teman Sarah’. Komunitas Lesbian yang usianya menjelang dua tahun ini dalam satu bulan sering kumpul-kumpul di Mall dan Coffe di daerah Tunjungan. Sekilas orang tak akan mengira spot-spot Mall dan Coffe menjadi lokasi komunitas ini berkumpul. Layaknya pengunjung, penampilan mereka terlihat normal. Ngobrol, membaca buku, majalah atau gossip tentang bisnis dan teman kerja.  Tidak ada data yang jelas berapa total anggota dalam Teman Sarah. Saat narasumber ditanya, menganggap tak ada ikatan dalam komunitas, sekali anggota baru ikut nongkrong maka tak luput akan dengan sendirinya mengikuti dimanapun komunitas ini mengadakan konkow-kongkow bareng.

Sebelum aku rekap, Anisa beberapa kali mengirim pesan pendek untuku. Tak masalah jika mempergunakan nama perkenalan kita di coffe, dia mengakui nama-nama tadi hanya nama lapang mereka. Tak ada masala bagiku jika dalam penulisan ini.

Team Apa Kabar Surabaya mewancarai Anisa (Nama Samaran). Pengagas dari komunitas Teman Sarah. Wanita berumur 31 Tahun ini menggas Taman Sarah dengan dua teman lainya; Novitasari dan Sekar (Nama Samaran). Ketiganya penyuka sesama jenis. Berkenalan saat masih menempuh pendidikan tinggi. Anisa mengatakan, Teman Sarah tidak memiliki anggota tetap. Kawan penyuka sesama jenis seperti dia dalam sekali pertemuan paling banyak berkisar antara 14-20 wanita. Meraka berbeda meja agar tidak mencolok dilihat orang lain, selain itu mereka dengan sendirinya akan berkumpul pada pasangan masing-masing.

Apa hanya sebatas memenuhi kebutuhan hormonal ? –tanya kita. “Tentu tidak. Kita juga menjadikan pertemuan ajang saling share dan saling membantu kalau ada anggota mengalami kesulitan.” –jawab Anisa.

Masalah apa yang biasa anggota bahas dan bantu? “Mayoritas ada tekanan dari keluarga, lingkungan, pasangan dan kerjaan. Kita akan bantu semaksimal mungkin agar anggota kita dianggap sama oleh orang lain. Ini masalah pilihan jalan hidup. Anggota kami berhak mendapatkan tanpa adanya tekanan dari pihak lain.”

Dimana biasa anggota Teman Sarah melakukan hasrat berhubungan badan ? “Ada beberapa hotel di Surabaya yang menjadi langganan kami. Kalau  ingin ramai-ramai biasa kita pakai salah satu villa dari teman kita.”

Kalian lakukan persis dengan apa yang pasangan lawan jenis lakukan saat seranjang ? “Kalau aku sendiri tak tahu menahu apa yang teman-teman lakukan. Banyak dari anggota memiliki pasangan Lesbian lebih dari dua. Kalau pengalamanku, aku akan menuruti apa saja, tanpa terkecuali bahkan dengan beragam variasi. Agar pasanganku senang.”

Siapa pasangan anda ? “Anisa menunjuk pada Sekar. Wanita disampingnya.

Apa yang Anisa maksut dengan beragam variasi ? dan sepengetahuan Sekar. Variasi macam apa yang anggota Teman Sarah favoritkan ? –mereka berdua tukar pandang meminta saran satu sama lain dengan angggukanya siapa yang menjawab dulu, Anisa memulai- “Ya tiap pengen berbeda gaya donk, masa itu-itu aja. Kita juga sering explore kaliii.” –Sekar melanjutkan- “Temen-temen anggoota Teman Sarah termasuk aku juga,” –dia perlihatkan senyumnya –“paling suka gaya sashimi. Fantasi dan gregetnya luar biasa nikmat.”

Kami sempat kaget dengan istilah Sashimi  yang mereka utarakan. Kemudian –Jelaskan sedikit bagaimana gambaran gaya sashimi yang anda maksut ? “Biasa kami menyediakan meja lebar dengan panjang sesuai bahkan lebih dari tinggi badan wanita yang akan jadi nyonya-nya. Tanpa benang yang melilit tubuh, nyonya akan telentang diatas meja. Diatas dada sampai perut kita beri sayur, buah, daging sesuai keinginan kita,” –Sekar menahan senyumnya, kedua pipinya terlihat mengembang kemerahan. –“kita santap makanan diatas dada sampai perut itu tanpa ampun.”

Team sempat terdiam sejenak. Tak kuasa mendengar apa yang pelaku sesama jenis utarakan. Kami terus kejar ketiga wanita ini dengan pertanyaan-pertanyaan sesuai yang dia utarakan. Kami melanjutkan :

Apakah variasi-variasi tersebut memiliki trend setiap bulanya ? –kali ini pertanyaan kiami ajukan pada wanita satunya lagi. Novitasari. “Kalau trend itu tergantung selera para anggota. Setahuku dari obrolan teman-teman anggota Teman Sarah, variasi favorit adalah sashimi dan coking dada super.”

Permunculan istilah-istilah kami catat secara detail. Tak luput dengan penjelasan dari ketiga sumber yang sedang kita wawancarai. Apakah coking dada super cara kerjanya sama dengan sashimi ? “Beda donk. Coking dada super hanya dapat dilakukan oleh anggota Teman Sarah yang memiliki ukuran dada besar. Contoh kalau aku pengen variasi tersebut, tinggal calling aja anggota yang memiliki ukuran dada besar. Saat prakteknya, aku diem aja di atas ranjang. Nanti dengan menari-narikan tubuh dan dada yang sudah banyak diolesi pelicin aku nikmati aja servicenya.” –Novi tertawa selepas menceritakan cara kerja coking dada super.

Kurang lebih hampir tiga jam berjalan kami akhiri obrolan yang meraka rasa santai tanpa perlu yang ada ditutup-tutupi. Dari sekian ratus pertanyaan yang kami tanyakan akan kami ulas pada terbitan selanjutnya. Salam baca, salam Surabaya.

***

Begitulah kiranya rekapan hasil wawancara, setidaknya aku sudah dapat kerangkanya. Untuk selanjutnya aku tinggal mengembangkanya. Tak terasa jam dinding pada kamar kos ku menunjukan pukul setengah dua dinihari. Besok aku harus ke kantor. Masih banyak pekerjaan dikantor, terlebih membalas email tanggapan terbitnya opini-opini beberapa tokoh masyarakat dan akademisi di Surabaya terkait momen Pemilihan Presiden 2004. Lelah sekali badan ini. Tidur menjadi cumbuan impian.


Bersambung ke Scene 14