Thursday, December 12, 2019

Manusia Bisa Apa?

Manusia Bisa Apa?


Dalam foto tersebut saya sedang membersihkan got, tempat dimana lemak, minyak dan kotoran manusia beradu pada satu tempat. Itu adalah bagian kecil dari pekerjaan yang saya lakukan dengan kawan-kawan, memang ada departemen yang bertanggung jawab menangani hal tersebut, akan tetapi sesekali memang perlu ada peran dari saya dimana harus turun tangan langsung. Bisa kalian lihat sebagai memberikan contoh langsung, pencitraan, penakraban dengan kawan-kawan atau memang tidak ada yang mau menangani masalah bak kontrol yang mampet. Sehingga sayalah yang harus turun tangan. 
Proses Pembersihan Kotoran Pada Bak Kontrol

Bagaimana? Apakah paragraf di atas sudah tampak peran saya yang sangat strategis dan memilki andil besar dalam membersihkan got. Hahaha

Sebelum kami membersihkan got tersebut, sempat ada diskusi kecil diantara kami mengapa hal ini bisa terjadi. Kami saling berargumen dan mencoba mengidentifikasi masalah mampetnya got ditempat kami bekerja. Selesai dengan pendapat masing-masing, timbul pertanyaan bagaimana cara kami mengatasi got yang mampet ini. Berbagai cara dan pengalaman coba kita terapkan, dan kami memilih skenario menyogok got yang mampet dengan bambu yang di potong pipih memanjang untuk kemudian kita sambung memanjang kisaran sepuluh meter. Selesai dengan alat peraga, kesulitan kami ada pada sulitnya mencari lubang paralon yang menyambungkan antara bak kontrol dengan saluran pembuangan akhir (Sungai). Ternyata kami baru sadar jikalau lemak yang terlanjur membatu itu menutup lubang paralon, pantas saja bak kontrol ini airnya meluber kemana-kemana, bahkan sampai migrasi ke instansi sebelah.

Baca Tulisan Saya Yang Lain Identifikasi Penyakit Sejak Dini, Pentingkah?

Singkat cerita, usaha kami berhasil membobol lemak yang membatu itu sehingga air dapat mengalir dengan lancar ke pembuangan akhir.

And then,

Nama nya juga bekerja, prestasi kerja diukur dengan capaian nyata, bukan hanya dalam rencana semata. So, jika kalian posisinya buruh seperti saya. Saya kasih saran, CEO atau orang-orang Direksi tidak membutuhkan rencana besar kalian, melainkan hasil kalian. Mereka tidak butuh proses, mereka hanya butuh capaian atau hasil. Sama satu lagi, cari muka dikit juga boleh, itu pun jika kalian mau.

Maksud saya menuliskan paragraf di atas adalah klaim keberhasilan, siapa yang berhak mengklaim berhasilnya got yang tidak mampet lagi itu hasil kerjanya siapa. Nah, hal-hal ini yang ingin saya singgung dan sengaja saya tulis untuk kalian para pembaca yang budiman. Tentu kejadian yang saya ceritakan hanya contoh sederhana, banyak kejadian diluar sana yang penuh klaim-klaim kesombongan bahwa apa yang mereka kerjakan adalah hasil kerja dan ciri payah mereka.

Daripada energi kita habis memikirkan dan memperjuangkan itu adalah keberhasilan kita, coba kita berhenti sejenak dan mengtadabburi kasus yang saya ceritakan.
Hasil dari identifikasi masalah kami perihal mengapa got ini mampet, sebabnya ada pada sisa makanan dan lemak yang masuk kedalam got sehingga membuat mampet.

Padahal jika berbicara nilai, lemak dan sisa makanan itu siapa yang menciptakan? Ya, Allah SWT yang menciptakan lemak dan sisa makanan. Lha kok bisa, kan sudah jelas bahwa sisa makanan itu berasal dari makanan yang terbuang dan lemak yang ada pada got adalah hasil buangan dari sisa produksi kaldu dan saos, kok bisa seenaknya sisa makanan dan lemak diciptakan oleh Allah SWT. 

Hehehe, bingung a?

Sebelum saya pungkasi tulisan ini, tentu saya sangat berterimakasih ke Bapak saya yang telah menjelaskan dengan detail apa itu "Khalik" dan "Ja'ill", untuk Ja'ill sendiri, saya belum menemukan bagaimana menuliskan redaksional yang sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Oke kita lanjut.

Berbicara makanan, sebut saja ayam bakar. Nah, ayam adalah hewan dimana Allah adalah Khalik (Pencipta) dari Ayam itu sendiri. Pun dengan kambing, pohon pisang, padi, pohon kopi bahkan kita sebagai manusia. Kita semua adalah Khalik dari Allah. Adanya ayam menjadi ayam bakar atau padi menjadi beras adalah kerjasama antara kita dengan Allah. Dimana Allah sebagai Khalik nya ayam dan kita berlaku Ja'ill dengan menjadikan hewan ayam itu menjadi ayam bakar, sate ayam, sop ayam dll. Kembali ke studi kasus cerita saya di atas, Allah menjadi khalik nya makanan dan kita menjadi ja'ill nya dengan membuat ciptaanya ayam bakar, nasi padang, kaldu sehingga membuat got ditempat kerja kami mampet dan airnya meluber kemana-mana.

Penampakan Bak Kontro Yang Sudah Bersih

Sadar tidak, ternyata kita di dunia ini sifatnya hanya kerjasama dengan Allah. Apapun yang kita miliki dan lakukan itu semua pemberian Allah. Listrik yang kita nikmati setiap hari, makanan yang setiap hari kita makan, oksigen yang kita hirup dan banyak pelbagai lini kehidupan ini semuanya adalah milik Allah SWT. Ternyata semua capaian yang kita dapat adalah milik Allah, kita hanya menikmatinya saja. Bukankah harusnya kita wajib berterimakasih kepada Allah SWT atas semua yang Dia berikan.

Lha lucunya, banyak diantara kita yang suka sekali mengklaim bisa melakukan apa saja. Padahal, apa yang kita lakukan adalah hasil kerjasama dengan Allah SWT, mengapa banyak diantara kita menyombongkan hasil kinerja kita?


Pengen pusing dan pening lagi?  Saya tanya kepada para pembaca, aslinya yang bekerja kerja keras itu kita atau Allah SWT?

Wednesday, December 11, 2019

Maiyah dan Spontanitas

~ Maiyah dan Spontanitas ~ 

Tulisan ini berangkat dari amanah Kang Kafi Majlis Alternatif Jepara, Simpul Maiyah Jepara. Saat saya disibukan dengan laporan akhir tahun yang tak kunjung selesai, tiba-tiba ada WhatsApp masuk dari beliau, dalam hati saya sudah terpikir bahwa ada sesuatu yang penting sehingga beliau chat pribadi saya, bukan lagi di group. Prediksi saya benar, beliau memberikan tugas kepada saya untuk membuat mukadimah MAJ dengan tema "Shalawat Tandang Gawe". Karena ini tugas, mau tidak mau saya harus menyelesaikannya dengan waktu tidak kurang dari 24 jam. Padahal, saya sendiri sudah dua minggu lebih tidak menulis di blog dan status Facebook. Tapi apa daya, saya kudu sedikit menyisihkan waktu untuk mencoba memahami pointer-pointer yang Kang Kafi berikan kepada saya untuk kemudian saya jadikan mukadimah.

Saya berada di tengah-tengah jamaah Maiyah Religi Malang

Saya merasa tulisan yang saya kirimkan ke Kang Kafi sangat tidak maksimal, sedikit ada penyesalan dalam hati karena khawatir ekspetasi yang beliau berikan kepadaku tidak terjawab dengan baik. Sebagai pemakluman, saya sudah memberikan pesan permohonan maaf dan mohon bimbingannya. 

Saya memang sedikit kagok jika harus menulis untuk orang lain, media lain atau hal-hal yang sejatinya tidak menginterpretasikan diri saya sendiri. Hal ini bukan berarti kesombongan dalam diri saya, melainkan murni karena saya kurang nyaman harus berpendapat objektif dengan cara menindih pendapat atau gagasan pribadi saya. Dengan saya menulis untuk orang lain atau media lain yang notabennya media tersebut tidak memberikan kolom  bagi pewarta secara khusus, saya sangat khawatir muncul ekspetasi yang tidak dapat media berikan sehingga muncul kekecewaan kepada lembaga, media atau personal yang membaca. Akan beda kasus jika saya menulis di blog, status facebook atau media yang secara jelas menuliskan nama saya, akan dengan nyaman saya menerima makian, cacian dan siap mempertanggungjawabkan atas apa yang telah saya tulis. 

Saya memiliki pengalaman dimaki-maki orang bahkan berencana dipenjarakan karena tulisan yang saya buat, tapi saya siap mempertanggungjawabkan apa yang saya tulis. Hal tersebut yang membuat saya lebih nyaman menulis di sosial media saya pribadi atau media-media yang memberikan kolom khusus bagi penulis amatiran dan kampungan seperti saya. Jika tulisan saya bermasalah, mereka tahu harus menghubungi siapa.

Sampai status ini terpublish, saya masih berusaha mencari formula bagaimana dapat menulis bukan atas nama pribadi. Saya sangat ingin membantu dan berkontribusi ke pelbagai komunitas yang saya ikuti, khususnya dalam ranah literasinya. 

Pernah ingin membuat website atau akun anonim yang isinya kumpulan tulisan-tulisan, tapi setelah saya pikir dalam-dalam kok saya ini pengecut sekali dengan bersembunyi dengan topeng akun atau situs anonim.

Pernah terpikir juga bukan masalah kesulitan mencari formula, melainkan saya sendiri yang malas untuk menulis.

Iya, mungkin alasan terakhir itu sangat kongkrit.

Terlepas alasan apapun, saya tetap membutuhkan kritik dan arahan.



Monggo, apa kritik kalian untuk tulisan saya kesekian ini!

Wednesday, November 27, 2019

Identifikasi Penyakit Sejak Dini, Pentingkah?


Identifikasi Penyakit Sejak Dini, Pentingkah?


Saya adalah tipikal orang yang menyukai makanan dan minuman manis, terlebih jika cuaca sedang panas dan ditawari untuk meneguk es buah atau es teh. Meski hanya minum es buah, tapi kandungan manis yang ada didalamnya berasal dari gula dan susu kental manis (Belakangan kita ketahui merk dagang tersebut bukanlah susu, melainkan gula).

Kebiasaan saya mengkonsumsi makanan minuman yang manis sering di reweli istri, tiap kali ketahuan dia selalu marah agar saya dapat mengurangi manis (Gula). Berbicara kebelakang, sebelum menikah, saya sudah katakan kepada isti jika keluarga besar saya memiliki riwayat diabetes dan stroke. Waktu itu saya juga terang-terangan ke istri kemungkinan saat tua nanti, saya akan mati dalam keadaan stroke atau diabetes. Praktis saat itu istri saya hanya cemberut dan bilang jangan sampai itu terjadi padaku, kami menganggap identifikasi penyakit sejak dini penting karena menyangkut kehidupan berumah tangga. Selain identifikasi penyakit, sebelum menikah kami harus sudah selesai membahas akan menetap di mana, sistem manajemen uang dapur dan rumah tangga, memiliki anak berapa, sekolah dimana, termasuk saling kroscek isi saldo rekening dan memiliki hutang berapa dan ke siapa saja. (Bagi yang berencana menikah, trik seperti di atas bisa kalian coba).

Oke fokus lagi ke topik pembahasan.

Istri tahu kalau saya adalah tipikal orang yang tidak suka melakukan sesuatu tanpa konsep dan tujuan yang jelas (Asal intruksi). And then, kita berdua adu konsep dan terpilihlah tes darah sebagai langkah pertama.

                   Baca tulisan saya yang lain dengan judul Surat terbuka Untuk Jamaah Maiyah Baru

Sebagai langkah pencegahan (Saya menyukai menyebut ini langkah ikhtiar) kami sepakat untuk tes kesehatan, anjuran untuk puasa minimal 10 jam sebelum tes darah tidak saya indahkan, lagi-lagi karena hal tersebut saya harus terima di reweli istri haha.

Singkat cerita, hasil tes darah keluar dan dokter memanggil kita berdua untuk memasuki sesi konseling. Tentu saya tidak akan menulis mendetail, tapi tulisan ini berangkat atas dasar pentingnya identifikasi penyakit sejak dini, bukan pamer atau sejenisnya. Hehe

Saya memiliki kekentalan darah yang kurang baik, tapi masih dalam takaran normal. Dokter memberikan saran dan langkah apa saja yang harus saya lakukan, termasuk nasihat untuk istri saya agar mengkontrol makanan yang saya konsumsi. Dalam sesi konseling, saya membayangkan tidak akan bisa menikmati lagi nikmatnya gorengan pinggir jalan seperti tahu isi, bakwan, lumpia atau pindang goreng bahkan mie instan sekalipun.

Sehat itu sumbernya dari pola pikir kita, benarkah demikian?

Kelar sesi konseling, kita berdua memilih ngemper sembari menikmati segarnya es kelapa muda. Saya dan istri fokus membahas langkah demi langkah agar saya bisa memutus penyakit turunan keluarga. Meski tidak bisa dibilang penyakit turunan, stroke dan diabet juga dapat terpicu dari pola hidup yang tidak sehat dan ancaman itu bisa menyerang siapa saja.

‌Langkah pertama, saya memang wajib mengurangi manis (Gula), hal ini saya sudah saya lakukan sebelum saya menikah. Riwayat keluarga besar saya yg menjadikan saya inisiatif mengurangi konsumsi gula.

             Baca Tulisan Saya Yang Lain Dengan Judul: Adik Saya dan Berhala Kesuksesan Sosial

Kedua, ‌Gorengan (Minyak Goreng), sangat sulit bagi saya untuk tidak makan yg tidak digoreng, terlebih saya adalah maniak gorengan seperti tahu isi dan bakwan. Tapi karena demi kesehatan, perlahan saya mulai mengurangi konsumsi makanan yang digoreng.

Ketiga, ‌Garam, heloooo. Hari gini tidak makan asin, ya apa caranya brayy. Yaps, garam adalah salah satu pemicu darah tinggi, dan lagi-lagi itu adalah hal yang wajib saya kurangi. Terlepas bagaimana caranya, nanti saya akan tulis lebih detail.

Aslinya lebih banyak yg harus saya tulis, tapi ketiga hal di atas saya rasa sudah cukup mewakili trend hidup sehat yg saya terapkan.

Selesai pembahasan mengenai makanan apa yg harus saya kontrol betul, saya dan istri fokus ke teknis dan terpilihlah beberapa metode yang hari ini saya lakukan.

‌Mengurangi Nasi, sejak kecil saya makan nasi, dan sekarang ada peraturan yg harus saya patuhi bahwa nasi adalah biang keladi dari diabet. Dalam 24 jam, saya hanya diperbolehkan makan nasi sekali dan tidak lebih dari 200 gram. Awalnya memang berat, tapi saya tidak boleh sambat mengingat istri saya saja bisa empat tahun tidak makan nasi, masa saya gak bisa. Tapi saya oke saja, bahkan tidak ada masalah dalam menjalaninya. Pertanyannya adalah bagaimana jika saya merasa lapar lagi padahal sudah makan nasi? Pilihannya jatuh pada tahan rasa lapar atau makan snack yg tidak terlalu manis atau asin.

‌Konsumsi infuse water dan kurangi gula. Tentu akan sangat panjang dan lebar jika saya menulis alasan memilih mengkonsumsi infuse water, tapi secara sederhananya saja ya. Tubuh kita hanya butuh manis (Glukosa), dan bisa bersumber dari mana saja; salah satunya dari buah. Alhasil saya memilih tetap minum dengan rasa manis dari buah yg saya jadikan infuse water tersebut. Butuh contoh? Coba kawan-kawan minum manis yang basic pemanisnya bersumber dari gula pasir, bisa saya pastikan kawan-kawan akan tetap merasa haus dan ingin minum manis lagi, salah satu cara agar tidak merasa haus lagi adalah dengan minum air mineral tanpa gula. Cukup paham ya?

‌Sarapan. Saya membagi fase ini dalam dua sesi. Dari jam 5 pagi - 11 siang, tubuh hanya boleh kemasukan buah dan air mineral (Tidak manis). Hal ini berangkat dari banyak literatur ilmiah dan metode diet yg saya dan istri sepakati untuk kita berdua terapkan. Terus bagaimana kalau tidak ada buah? Ya cukup air mineral saja (Sekalian pengiritan) hehe. Selepas jam 11 siang - 5 sore, saya baru mengkonsumsi makanan dan minuman berat. Perlu pembaca ketahui juga, metode setiap orang berbeda-beda, dan kita berdua menganggap metode ini sangat layak untuk kita terapkan. Terlepas ada ketidakcocokan dengan teori atau prakteknya, saya persilahkan para pembaca untuk membuat tandingan tulisan yang nantinya akan saya bantu posting di sosial media saya.

           Baca Tulisan Saya Yang Lain Dengan Judul: Phone Sex Vidio Call Sex dan Sex Sungguhan
Tidak minum es. Saya memiliki ritme hanya boleh mengkonsumsi minuman dingin dalam seminggu tidak lebih dari empat kali. Metode ini saya dapatkan dari Bapak saya yangg mantan atlit bulu tangkis. Saya pernah bertanya bagaimana caranya mendapatkan bentuk tubuh ideal dan memiliki energi yg cukup, jawaban Bapak saya tentu banyak, selain olahraga dan konsumsi makanan yg baik, salah satunya adalah jangan banyak minum air dingin meskipun air dingin mineral biasa (Air Putih).

Di atas adalah teknik yg saya lakukan dalam keseharian demi menjaga kesehatan, dalam prosesnya; banyak metode diet yg saya lakukan juga. Salah satunya puasa dan OCD. 

Untuk puasa, saya berusaha senin kamis ditambah hari lahir saya berpuasa. Selain mengharap pahala, metode puasa seminggu tiga kali itu berbuah pada kesehatan dan kejernihan pikiran selama beraktifitas. Bagi para lelaku puasa, tentu akan sangat setuju menjadikan puasa sebagai jalan paling ampuh menempuh rasa sabar, pola pikir dan rasa prihatin. Lama berjalan, lagi-lagi saya dihajar dengan konsistensi. Benar saja, puasa seminggu tiga kali kadang jebol di tengah-tengah jalan lantaran pekerjaan di bidang F&B yg terkadang menuntut makan dan minum hahaha. 

Semakin kesini, akhirnya saya memilih puasa ala Mbah Nun. Tentu metode yang saya terapkan masih jauh berbeda dengan apa yang Mbah Nun lakukan. Secara sederhananya bisa saya simpulkan jika saya harus makan saat benar-benar lapar dan berhenti di saat merasa kenyang. Persis apa yang Nabi Muhammad anjurkan kepada kita semua. Dengan tetap menjalani laku makan yang saya tuliskan di atas, allhamdulillah hasil yang saya dapatkan mulai tampak.

Bagi pembaca, tulisan ini memang subjektif sekali. Tapi jika pembaca mau mencoba mengtadaburi apa yg saya tulis. Makna dari makanlah sebelum lapar dan berhentilah sebelum kenyang adalah inti dari tulisan ini. Lapar menjadikan saya lebih fokus, lapar menjadikan saya lebih waspada dan sabar.

                                Baca Tulisan Saya Yang Lain Dengan Judul: Membela Introvert 

Lapar itu sehat, yang tidak boleh adalah kekenyangan.
Kenyang itu baik, yang tidak baik adalah kekenyangan; karena dia membuat kita lengah dan kehilangan fokus.

Sekian terimakasih.
Makan apa kita hari ini?





Sunday, November 17, 2019

Surat Terbuka Untuk Jamaah Maiyah Baru


Subjektif, iya benar. Tulisan ini sangat subjektif sekali. Bahkan saya akan sangat subjektif jika membahas Mbah Nun.

Timeline twitter tiga hari kebelakang membuat hati saya bergetar hebat, perasaan was-was dan penasaran serta sedih meliputi jiwa jamaah Maiyah seperti saya dan mungkin beberapa kawan-kawan Maiyah diluar sana. Apalagi jika bukan karena sakitnya Mbah Nun. Perasaan seperti ini tentu jamaah Maiyah pernah alami pada fase tahun 2000 an saat Mbah Nun sakit parah.

Acara Sinau Bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng di Simorejo, Widang, Tuban Jatim (14 November 2019) menjadi penuh haru karena Mbah Nun sakit. Dalam beberapa vidio dan foto yang beredar di sosial media memperlihatkan Mbah Nun sedang dipijat oleh beberapa jamaah. Banyak ucapan doa untuk kesembuhan Mbah Nun agar lekas sembuh dan dapat menemani anak cucunya kembali. Meski saya hanya melihat vidio yang para jamaah bagikan, tampak sekali Mbah Nun tetap semangat menemani anak cucunya di acara sinau bareng meski dalam keadaan sakit, saya sempat menitikan air mata karena salut, hormat dan tidak tega melihat guru saya seperti itu.

Jumat 15 November 2019, Mbah Nun dan KK bertolak ke UNAIR dalam dua sesi acara (Pagi dan Malam). Saat sesi pertama, beberapa kawan-kawan mengabarkan jika keadaan Mbah Nun sudah membaik dan dapat membersamai civitas akademika UNAIR sinau bareng. Saya sangat bersyukur kepada Allah SWT sang pemilik penyakit dan penyembuh karena menguatkan gurunda kami semua kembali dapat bersua dengan anak cucunya.

Mari kita Doakan Mbah Nun sekeluarga, Para Marja' Maiyah beserta jamaah selalu dalam lndungan Allah SWT

Jumat sore, selepas pulang kerja saya langsung bertolak ke Surabaya berniat takziah ke keluarga istri saya yang sedang berduka. Saya berniat selepas dari rumah duka langsung bertolak ke UNAIR kampus C untuk menghadiri sinau bareng Mbah Nun KK sesi dua. Namun naas, niat tersebut ternyata belum di berikan izin oleh Allah SWT karena saya dan istri tertahan di rumah duka sampai tengah malam. Niat semula yang ingin datang ke acara sinau bareng harus saya urungkan mengingat waktu dan jarak rumah duka dengan lokasi acara memakan waktu paling cepat 37 menit.

Dalam perjalanan pulang ke rumah, pikiran saya masih memikirkan bagaimana keadaan Mbah Nun di UNAIR. Apakah beliau baik-baik saja, atau malah Allah memberikan beliau rasa sakit lagi. Pikiran-pikiran semacam itu menghantui saya sampai di rumah. Hal tersebut diperparah dengan akses internet yang lemot, alhasil berita bagaimana reportase dadakan proses sinau bareng di UNAIR yang biasa saya baca di twitter tidak dapat saya nikmati.

Selepas subuh saya beranjak ke Malang, sesampai di Malang baru sempat mengecek pesan yang masuk dan salah satunya dari kawan saya yg semalam ikut sinau bareng di UNAIR. Kawan saya mengabarkan bahwa Mbah Nun di acara semalam keadaanya tampak memburuk lagi, kejamnya kawan saya; dia mengabarkan bahwa Mbah Nun ada tanda-tanda sakit stroke. Ya Rabb, praktis saya meneteskan air mata membaca pesan WhatsApp kawan saya. Terlepas kabar itu benar atau tidak, semoga Mbah Nun dan keluarga selalu dalam lindungan Allah SWT.

Saat saya menulis tulisan ini, tepat pada 16 November 2019 dilaksanakan Majelis Masyarakat Maiyah Kenduri Cinta. Saya membatin semoga Mbah Nun diberikan kesehatan dan kekuatan untuk menghadiri KC, kalaupun tidak Mbah Nun lebih baik istirahat saja daripada keadaanya lebih parah.

Belum ada kabar resmi dari "Progres" pun keluarga bagaimana kondisi kesehatan Mbah Nun (Kalaupun sudah, saya yang belum tahu dan mohon dimaafkan). Ditengah-tengah itu pula banyak para jamaah meng tweet di twitter apakah Mbah Nun sudah hadir di Kenduri Cinta atau belum? Banyaknya pertanyaan itu linier dengan jawaban bahwa ada atau tidaknya Mbah Nun, Maiyah akan tetap berjalan, di manapun dan kapan pun.

Saya paham jika para jamaah melihat Mbah Nun bukan sekedar fenomena melainkan juga keniscayaan. Di tengah krisis kepemimpinan, krisis idola, krisis kepercayaan akan tokoh spritual dan motivator berkedok agama, kehadiran Mbah Nun sejak puluhan tahun lalu telah membuktikan sebuah keajekan keteladanan. Mbah Nun yang tidak bercokol di pusat kekuasaan, tetapi menyusur di tepi kehidupan keseharian bersama rakyat kebanyakan. Tidak heran jika kehadiran Mbah Nun selalu dirindukan dan menyedot banyak jamaah lama atau baru untuk duduk melingkar memahami hakikat kehidupan.

Sekalipun Mbah Nun dijadikan sentral oleh para jamaah Maiyah, akan tetapi SAYA dan mungkin beberapa para jamaah diluar sana tidak pernah mengkultuskan Mbah Nun. Bahkan hal tersebut secara keras Mbah Nun utarakan sendiri dibeberapa momen sinau bareng untuk tidak mengkultuskan beliau, para jamaah Maiyah ditekankan untuk taat dengan perintah Allah SWT dan mencintai Nabi Muhammad dengan cara melaksanakan ajaran-ajaran beliau (Gondelan Jubahe Nabi Muhammad).

Saya lebih menyebut Mbah Nun adalah guru yang membagi pengetahuannya kepada para anak cucunya. Jadi, jika kalian yang datang ke Maiyah hanya karena hadir tidaknya Mbah Nun. Saran saya, kopimu kakean gulo. Kopimu kurang pahit, Cok.

Thursday, November 14, 2019

Beda Versi Membaca Antara Saya dan Adik Saya



Dalam terminologi umum, literasi dipandang sebagai aktivitas mencari dan menambah pengetahuan yg ujungnya menambah wawasan seseorang. Pada era sekarang, literasi tidak hanya seputar membaca, menulis dan menghitung (Doktrin pendidikan yg saya alami dulu).


Lambat laun, saya mulai paham jika jenis literasi ada beberapa macam yg diantaranya harus kita kuasai entah sebagai pelajar atau tidak. Literasi tersebut adalah baca tulis, numerasi, sains, digital, finansial dan budaya/kewargaan.

Sebelum saya lanjut, pemahaman di atas saya dapatkan dari proses belajar yg berulang. Sama seperti dulu kala saya percaya bahwa karakter manusia itu hanya terbentuk dari gen dan lingkungan. Ternyata makin kesini saya mulai paham jika karakter manusia dapat terbentuk dari bacaan dan tontonan. 

Oke kita fokus lagi.

Dari enam jenis literasi yg saya sebutkan di atas, membaca menjadi master dari semua aktivitas literasi. Membaca merupakan kegiatan yg tidak dapat dikesampingkan dalam keseharian kita. Karena dengan membaca, kita dapat memperluas pengetahuan dan wawasan tentang banyak hal mengenai kehidupan. Tidak berhenti disini, membaca juga dapat meningkatkan kemampuan berpikir, kreatifitas dan menstimulus gagasan-gagasan baru.



Tentu para pembaca sudah tahu jika minat membaca orang Indonesia sangatlah rendah, terlepas perangkat survey yg mereka gunakan bagus atau tidak, tentu hal ini dapat menjadi perhatian kita bersama. Seperti halnya survey yg dilakukan oleh Organization for Economic Corporation and Development (OECD) yg termaktub dalam (Krjogja, 14 April 2019) pada tahun 2015 menunjukan minat baca anak Indonesia tergolong rendah yakni berada pada peringkat 69 dari 76 negara dengan rata-rata 397 dari rata-rata internasional 500.

Baca juga: Adik Saya dan Berhala Kesuksesan Sosial

Lha realitas semacam ini kan kudu menuntut perhatian lebih dari pemerintah atau minimal kita sendiri dalam membentuk fondasi awal bagi terwujudnya budaya membaca. Ya kan.

Saat saya menekankan kepada adik saya untuk banyak membaca buku, dia beralasan setiap hari sudah banyak membaca buku pelajaran (Modul) dan artikel-artikel di internet. Untuk kasus ini saya masih membenarkan alasan adik saya, tapi hal itu saya rasa kurang tepat karena bacaan dari internet memiliki sumber yg kurang kredibel dan muatan yg di tulis kurang kompleks serta cenderung garis besarnya saja. Sederhananya, artikel-artikel yg berkeliaran di internet sumber utamanya adalah buku, dan buku dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Sebagai seorang kakak dan mentor, saya merasa penjelasan semacam itu kurang pas untuk anak SMA kelas satu. Entah dia menangkap penjelasan saya yang terlalu berat untuk dia pahami, atau jangan-jangan adik saya ini memang sesuai dengan teori generasi Z yg cenderung menggunakan otak kanan sehingga enggan menggunakan otak kirinya untuk berpikir kritis lagi.



Karena di era teknologi informasi seperti sekarang, kemampuan literasi sangat penting guna memahami, menganalisis, mendekonstruksi sebuah informasi agar tidak salah mengambil kesimpulan. Jujur itu adalah alasan utama saya menekankan ke adik saya agar memaksa dirinya membaca buku, jangan sampai adik saya tergolong dalam manusia yang gerusa gerusu (Baca tulisan saya berjudul "Ejakulasi Kesabaran").

Lantas mau berharap ke siapa lagi agar keluarga kita menjadi generasi yg menjadikan membaca sebagai budaya, masa iya berharap ke Pemerintah. Eh

Terimakasih



Adik Saya dan Berhala Kesuksesan Sosial

~ Adik Saya dan Berhala Kesuksesan Sosial ~

Anggap saja pembaca setia blog saya sudah mengetahui siapa itu Zen RS, sosok dibalik tirtoID, Pandit Football dan Narasi TV yang namanya melegenda dikalangan anak muda seperti saya. Lantas apa hubungan Zen RS dengan tulisan saya? Sederhana, selain dia adalah idola saya, dalam postingan IG Bung Zen RS, tiba-tiba saja dia merasa dirinya sebagai anak kecil meski usia semakin menua. Alasannya cukup unik, dia semakin khawatir kelak anaknya akan jadi apa. 


Hal itu yang kini saya rasakan, namun konteksnya bukan pada kehidupan keluarga kecil saya, melainkan melihat adik saya yang sebentar lagi lulus kuliah.

Saya bukan orang ahli dalam hal pendidikan, hal itu sudah pasti. Tapi saya pernah mengalami bagaimana mendapat pendidikan sebagai proses pembelajaran, dan dengan kemampuan yang terbatas sempat berpikir pergulatan batin antara pendidikan yg saya alami dulu adalah kehendak pribadi saya, kepentingan orang tua, kepentingan negara atau kondisi pasar Indonesia.

Bingung dengan yang saya maksud?

Jadi begini, hehe.

Setelah saya lulus sekolah. Saya merasa dihadapkan dengan pilihan yang sangat berat, tiba-tiba pendidikan formal selama 16 tahun lebih tidak ada efeknya sama sekali, saya tiba-tiba goblok dalam beberapa minggu selepas wisuda.

Apakah saya ingin menjadi diri sendiri (Dengan segala resiko), Apakah saya ingin menjadi mayoritas orang lain (Demi Keselamatan), atau Apakah saya harus kompromi dengan kedua pilihan itu. Terkesan mudah, tapi memilih pilihan pertama maupun kedua dengan segala perbedaanya bukanlah sesuatu yang mudah.

Pilihan pertama sangat beresiko, ketika bidang ilmu pengetahuan atau keterampilan tidak populer di pasar, sehingga hanya sedikit ruang yang tersedia. Bahkan individu paling unggul pun akan mengalami kesulitan mencari ruang-ruang dalam berkarya. 

Pilihan kedua tentu sangat luas, bahkan sangat luasnya sehingga memberi tempat bagi yg pilihan pertamanya menjadi primadona pasar, seperti bidang manajemen dan keuangan (Jurusan Adik Saya), atau hukum perpajakan, akuntan, teknik industri dll. Karena luasnya itu sehingga muncul standarisasi yang sangat ketat, sehingga yang terjadi individu-individu unggul pun tidak ada jaminan mendapatkan ruang. 

Kondisi harus memilih pilihan pertama atau kedua akhirnya menjadi hiruk pikuk, meminjam istilah "Seno Gumira Ajidarma", kita sedang melakukan "Jual Beli Ilmu". Dalam konteks ini, pendidikan yang tujuannya memuliakan derajat kemanusiaan menjadi sangat sempit karena terjerat dimensi dagang, semua orang saling menjatuhkan demi mendapatkan pekerjaan.


Saat saya bertanya ke adik saya rencana apa selepas dia wisuda, dia dengan tegas memilih pilihan pertama; menjadi diri sendiri. Saat adik saya menjawab, sorot matanya tajam menandakan bahwa dia serius dengan pilihannya dan mungkin tidak ada lagi kompromi-kompromi dalam hatinya.

Menjadi diri sendiri, dengan segala potensi yang menjadi milik pribadi, demi pengembangan kemanusiaan adalah idealisasi pendidikan itu sendiri. ~Batinku.

Sambil menatap wajahnya, saya membatin lagi "Sistem pendidikan mainstream cenderung membentuk kita menjadi orang lain, siapapun orangnya asal outputnya tidak menjadi dirinya sendiri. Adik saya lebih memilih menjadi diri sendiri, bukan seperti Kakak nya yang menghamba pada BERHALA kesuksesan sosial".

Hai Adik, Go A Head.
Yakin Usaha Sampai




Friday, November 8, 2019

Ejakulasi Kesabaran

~ Ejakulasi Kesabaran ~


Hehehe, judulnya aneh ya? Sabar, insyallah tulisan ini tidak akan membuat kalian bosan. Perlu pembaca tahu, saya menulis konten ini atas kristalisasi pemikiran saya selama mengikuti Maiyah dan survey kecil-kecilan dilingkungan saya.

Sebagai generasi 90 an, saya cukup bersyukur karena mengalami kecanggihan teknologi dan informasi dari pelbagai lini kehidupan yg menawarkan kemudahan dan membuatnya menjadi serba instan. Terutama dengan adanya smartphone yg membuat hidup saya menjadi lebih efektif, efisien dan serba cepat. Namun dibalik itu semua, ada hal yang diam-diam tergerus hancur dalam diri saya yakni kesabaran.
Renungan Bagi Pembaca Semua

Sabar memang bukan watak asli manusia sehingga kita perlu latihan terus menerus. Al Quran menginformasikan, "Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa (QS Al-Isra [17]:11).

Jika bahasan ini saya tarik ke Maiyah, terutama Maiyah offline yang banyak kita temui di seantero Nusantara dengan ribuan jamaah yg dapat bersabar duduk lebih dari enam jam, rela menahan untuk buang air kecil, berbasah-basah dengan hujan, belum lagi kondisi dingin nya cuaca malam dsb. Lantas dimaknai apalagi fenomena semacam itu jika bukan, Kesabaran.

Jika saya pertegas lagi, Mbah Nun dalam beberapa kesempatan di Maiyahan menyatakan kepada anak cucunya agar lebih fokus "Menanam dan Berkebun" dalam artian lebih menekankan proses daripada hasil. Hal ini yg saya maknai sebagai bersabar.

Jika berbicara secara nilai, tugas manusia selama hidup adalah melakukan tugas-tugas yang diperintahkan oleh Allah. Manusia dianjurkan untuk selalu menanam dan menanam, perihal kelak panen atau tidak itu bukan masalah karena itu bukan urusan kita; yang menjadi masalah adalah kita menanam atau tidak.

Manusia diharuskan untuk selalu berikhtiar, kita dititipi kemerdekaan-kemerdekaan kecil dari Allah untuk mengatur setiap episode kehidupan kita. Seperti halnya apapun yg kita lakukan, golnya harus ke Allah. Meski hasil akhirnya Allah sendiri yang memiliki otoritas.

Seperti kata Socrates, "Aku membalut sebuah luka dan Tuhan-lah yang menyembuhkannya". Dokter bedah menjahit bekas luka, Allah lah yang memerintahkan DNA di kulit dan otot merekat sempurna lagi. Dokter anestesi memberikan obat bius, tapi Allah lah yang menidurkan dan menggenggam sementara jiwa si pasien, begitu pun dengan banyak profesi lainnya. Ingat, bersabar dan ikhtiar.

Nah ini bagian yang saya anggap seru, kembali ke paragraf paling awal. Sabar di era teknologi dan informasi yang serba canggih ini memang gampang-gampang sulit. Mengapa hal ini bisa terjadi? Saya pernah survey kecil-kecilan, meski tidak ilmiah; setidaknya dapat menjadi bahan referensi pembaca semua.

Pertama, saya pernah bertanya ke kawan saya yang sekolah dengan fokus studi sosiologi. Apa yang membuat generasi sekarang gampang sekali menyimpulkan sesuatu, padahal kesimpulannya gerusa gerusu. Jawaban kawan saya tentu panjang dan lebar, tapi yang menarik saat dia menjawab bahwa meme yg tersebar di sosial media hari ini menjadi salah satu sebab utama. Meme itu bisa saja berupa kritikan, pujian, quote dari para (Tokoh bangsa, Budayawan, Komika, Artis) dll. Kita selaku pengguna sosial media secara tidak sadar mempercayai seutas kalimat yang ada dalam meme tersebut sebagai pernyataan baku dari yang bersangkutan.

Kedua, Youtube dan Instagram. Kedua platform sosial media tersebut menurut saya yg hari ini menjadikan kita sebagai generasi yg tidak sabaran. Banyak vidio yg berada pada vidio tersebut berdurasi pendek seakan menyesuaikan kebiasaan orang sekarang.

Ketiga, Facebook, Twitter, Status WhatsApp dan Insta Story. Apa bedanya dengan alasan pertama yg saya utarakan. Jika alasan pertama cenderung fokus kepada gambar yang ditambahi tulisan, alasan ketiga lebih kepada tulisan-tulisan pendek yg sering kita gunakan dengan platform di atas. Adanya FB, Twitter dll itu membiasakan kita pada tulisan pendek, potongan quote daripada bersusah payah membaca buku. Saya terkadang merasa miris melihat platform di atas menjadi tempat membuat fitnah, curhat unfaedah, pelampiasan murka ke kawan atau keluarga bahkan selingkuh secara terang-terangan.

Khusus pembahasan meme dan potongan quote yang bersumber dari para tokoh, budayawan, politikus, negarawan dll. Saya pernah berdiskusi panjang dengan kawan-kawan yg saya anggap detil dalam persoalan itu. Kami memiliki kesimpulan jika quote yang banyak berterbangan di sosial media tidak bisa menjadi tolak ukur dari seorang tokoh. Perlu ada pemahaman mendetail atau membaca buku dari tokoh tersebut secara keseluruhan, jangan sampai kita mengkonsumsi informasi sop buntut (Informasi sepotong).
Mari Bersama-sama Saling Sinau Bareng

Lantas apa yg harus kita lakukan? Lakukan semua aktifitas kita atas dasar Ibadah dan sabar. Hidup saya dan pembaca tidak menentu, esok makan apa dan kapan mati juga kita tidak paham. Bagaimanapun terpuruknya nasib kita jika dihatinya tumbuh sikap sabar, dunia tidak akan menyakiti kita. Orang sabar akan menang karena staminanya panjang, perspektifnya jauh kedepan dan orang sabar menggenggam cakrawala hari esok.

Sabar merupakan kemampuan menunda respon terhadap rangsangan yg dirasa tidak nyaman ataupun sangat menyenangkan.

Jadi, berlatihlah merespon ketidakjelasan dan ketidak mungkinan hidup ini dengan banyak bersabar.


Salam hangat.
Terimakasih.