Wednesday, February 26, 2020

Hai Pak Anis Baswedan, Mundur Saja Dari Gubernur DKI

Hai Pak Anis Baswedan, Mundur Saja Dari Gubernur DKI



Seminggu ini adalah waktu yang sangat menjengkelkan, terlepas hal tersebut dapat membuat saya upgrade diri, sisi lain juga membuatku tambah geblek. Nah, geblek yang saya maksut di sini adalah pemberitaan banjir di DKI Jakarta yang beritanya menggila dan membuih kemana-mana bak virus Corona. Bahkan, bagi saya pribadi virus Corona kalah tenar jika di bandingkan Banjirnya Ibu Kota Negara kita.


Tentu banyak data, versi dan pendapat yang bicara mengapa Jakarta bisa banjir dan cara mengatasinya. Capek gak sih, saya atau kalian yang sedang tidak tinggal di Jakarta harus di cekoki dan di buat mabuk oleh pemberitaan semacam itu? Di mana banyak pakar yang silang pendapat, saling menyalahkan dan adu kebenaranya masing-masing perihal banjir,  pemberitaan lainnya malah banyak di sorot juga para korban banjir yang memanfaatkan banjir dengan berbahagia. Main sekoci, berenang, mancing, selorodan di mana hal itu menjadi sisi minor yang menjadi pertanyaan saya pribadi. Sebenarnya kita ini sedih atau bahagia jika ada banjir?


Oke skip, nanti tulisan ini gak fokus.


Jadi begini, menurut saya pribadi. Benang merah dari semua pemberitaan media masa bermuara pada satu nama, Anis Baswedan.


Gini lho, Pak Anis. Kalau memang sampeyan gak bisa mengatasi banjir di DKI Jakarta mbok ya bilang aja. Gak usah banyak alasan ini dan itu, gak perlu repot-repot konferensi pers ke media massa dan akun sosial media sampeyan pribadi kalau sampeyan dan staf dapat mengatasi banjir. Percuma, sekali lagi PERCUMA.


Lebih baik sampeyan MUNDUR saja jadi GUBERNUR DKI. Konferensi pers yang biasa sampeyan lakukan perihal banjir akan lebih afdhol jika sampeyan dengan KSATRIA meminta maaf ke seluruh warga DKI dan para pendukung-pendukung sampeyan di luar sana jika sampeyan tidak mampu mengatasi banjir dan itu lebih dari cukup.


Daripada sampeyan banyak janji-janji politik dan tidak terealisasi, itu semua akan menjadi dosa. Ingat Pak, dosa lho ya.


Masa iya sampeyan mau ngikut perkataan salah satu Mantan Walikota di Jawa Tengah kalau banjir di DKI Jakarta bisa di atasi dengan menjadi Gubernur. Waktu sudah jadi Gubernur, eh berujar lagi jikalau banjir di DKI Jakarta bisa teratasi jika jadi Presiden. Waktu diberikan amanah RAKYAT jadi Presiden gantian bilang kalau banjir di DKI Jakarta dapat di atasi dengan cara PINDAH IBU KOTA.


Ya Opo, Pak Anis? Sampeyan Ksatria opo Suzuki Satria, hmm.


Malang, 26 Februari 2020
Ali Ahsan Al Haris






Tuesday, February 18, 2020

KEDUA IBU SAYA BERTEMU DI ALAM MIMPI

KEDUA IBU SAYA BERTEMU DI ALAM MIMPI



Saya memiliki dua orang Ibu, termasuk dua orang Ayah juga. Beda pernikahan, beda pula silsilah keluarganya. Yang tidak berbeda hanya satu, kedua Ibu saya sangat sayang dan mencintai saya. Dan kedua orang yang saya sayangi tersebut, semalam bertemu di alam mimpi. Tentu tulisan ini sangat emosional, saya tidak tidak dapat menahan tangis dan merinding di sekujur tubuh. Saya ingin membagi apa yang saya rasakan, dan saya ingin menyebut hal ini sebagai gelombang energi ikatan batin antara seorang Ibu dengan anaknya.


Selasa pagi, selepas menandaskan kopi dan membereskan beberapa dokumen saya langsung berangkat kerja. Sesampainya di kantor, sudah ada tumpukan nota hutang, surat masuk dan beberapa revisi kerjaan hari kemarin. Mbak Alida, akunting partner saya bekerja memberitahu jika Ibuk-ibuk bendahara di kantor pusat nyariin saya, katanya laporan perjalanan dinas yang saya kerjakan ada revisi dan selepas jam makan siang harus sudah beres semua. Padahal, selepas jam makan siang saya hendak survei ke toko besi dan printing untuk membuat neon box baru. Saya berniat menghubungi beliau, siapa tahu bisa di selesaikan lusa.


Waktu hendak menghubungi emak-emak bendahara, ada wa ibu saya dari kampung. Waktu saya baca, katanya semalem ibuk bermimpi bertemu Ma'e (Panggilan Ibu kandung saya), pertemuan dalam mimpi itu terbilang singkat. Keduanya bertatap muka, Ma'e senyum-senyum ke Ibuk tanpa berkata sepatah kata pun. Pandangan matanya Ma'e ke Ibuk sangatlah dalam, seperti ingin mengutarakan sesuatu tapi tak sanggup. Hanya bisa melempar senyum saja dan Ibuk paham senyuman tersebut adalah senyuman bahagia (Ya Rabb, saya sangat merinding sekali menuliskan hal ini). Ibuk lantas bangun dari tidurnya, beliau sadar jika yang di alami tadi hanyalah mimpi. Ibuk langsung bergegas mengambil wudhu dan shalat tahajud lalu di pungkasi dengan membacakan Surat Al Baqarah dan Al Fatihah yang pahalanya di hadiahkan untuk Ma'e, untuk Mbak kandungnya Ibuk.


Selesai membaca pesan dari Ibuk, tangis saya pecah. Saya tidak dapat menyembunyikan apa yang saya rasakan, campur aduk. GM yang duduk di depan saya bertanya mengapa menangis, saya hanya diam dan wa dari Ibuk lama tidak saya balas.


Saat kondisi batin saya mulai tenang, saya mengingat apa hari ini tanggal meninggalnya Ma'e? Apa hari ini adalah hari ulang tahun Ma'e? Bukan semua. Lantas, ada apa dengan hari ini? Tentu ini menjadi penting mengingat saya memiliki pengalaman yang mendebarkan se isi rumah. Begini kisahnya:


Waktu itu saya masih SMP, kalau tidak salah waktu itu kelas satu. Pintu kamar yang biasa saya kunci, kisaran jam dua dinihari tiba-tiba ada yang mendobrak. Kencang sekali, sampai saya kaget dan terbangun. Waktu saya lihat tidak ada orang di depan pintu, sumpah. Di tengah keheranan itu tiba-tiba ada yang menggandeng tangan saya, di tuntunnya saya ke ruangan depan menuju kalender di samping dispenser. Saya membuka kalender itu ke bulan Desember. Jemari saya menunjuk-nunjuk beberapa tanggal di bulan Desember, naas saya lupa saat itu menunjuk tanggal berapa.


Saya di bangunkan Bapak untuk shalat subuh. Selepas shalat saya baru sadar, pintu kamar saya terbuka lebar saat bangun. Berarti kejadian semalam memang benar terjadi, batinku. Waktu itu hari minggu, se isi rumah libur dan Bapak sama Ibuk banyak menghabiskan waktu di dapur untuk memasak. Saya bingung mau menceritakan kejadian semalam ke Ibuk atau tidak, saya khawatir kalau kejadian semalam hanya imajinasiku saja alias Ngelindur


Selepas menyapu rumah, rasa penasaran itu tak dapat saya sembunyikan dan saya putuskan menceritakan apa yang saya alami semalam ke Bapak dan Ibuk. Tanggapan beliau berdua datar, mereka mengira saya Ngelindur. Diam-diam saya meng amini apa yang saya alami, mungkin semalam saya memang sedang Ngelindur, batinku.


Selesai menyapu ruangan di dalam rumah, gantian halaman depan yang saya sapu. Rumput dan dedaunan saya bersihkan sampai bersih. Tak lama kemudian, saya mendengar suara tangis dari dalam rumah, ternyata itu suara Ibuk. Langsung saya berlari ke dalam rumah memastikan kondisi Ibuk. Waktu saya tanya kenapa menangis, Ibuk menjawab kalau hari ini adalah hari meninggalnya Ma'e. Sontak saya ikut menangis, ternyata apa yang saya alami semalam terjawab semua. Entah siapa yang mendobrak kamarku dan menggandeng tanganku ke kalender itu adalah Ma'e atau bukan, yang jelas sosok ghaib itu ingin memberitahu jika ada anggota keluargaku yang perlu di doakan.


Kembali ke awal cerita, saya berpikir ada pesan apa yang ingin Allah SWT sampaikan lewat (Impen) yang Ibuk alami. Praktis selepas kejadian pendobrakan pintu kamar saya saat SMP, saya tidak pernah lupa untuk Hajatan memperingati meninggalnya Ma'e.


Lama saya tidak membalas pesan wa nya Ibuk, beliau wa lagi. Katanya, Ibuk semalem di wa istri saya, diberitahu kalau sedang mengandung cucunya. Ibuk sangat bahagia dan menangis atas kabar tersebut. Beliau berpesan agar saya ikut menjaga kesehatan dan mengontrol asupan makanan istri saya.


Selesai membaca pesan dari Ibuk, saya coba mengaitkan apa yang saya dan istri alami dengan apa yang Ibuk alami. Ada satu titik di mana kita merasakan hal yang sama, yaitu Bahagia. Saya dan istri bahagia karena di usia pernikahan yang belum lama ini telah di titipi calon anak, dan cucu yang Ibuk harapkan, sedang di kandung oleh istri saya.


Apa jangan-jangan Almarhumah Ma'e ikut merasa bahagia juga ya, sehingga rasa bahagia itu di tunjukan dengan menemui Ibuk di dalam mimpi. Apa benar seperti itu cara kerja Allah SWT membuat hambanya tahu kalau ada banyak elemen yang ikut bahagia atas kehamilan istriku?


Apa ini namanya gelombang energi ikatan batin antara seorang Ibu dengan anaknya?


Malang, 18 Februari 2020
Ali Ahsan Al Haris







Friday, February 14, 2020

Osamu Dazai, Penulis Yang Memilih Bunuh Diri Di Antara Aliran Sastra Realis Dan Sastra Propaganda


Osamu Dazai, Penulis Yang Memilih Bunuh Diri Di Antara Aliran Sastra Realis Dan Sastra Propaganda


SETIAP kali kita berbicara tentang Marxisme dalam hubungannya dengan kesusastraan, ingatan kita selalu terbetik pada ‘realisme sosialis’, atau lebih tepatnya apa yang biasa kita artikan sebagai ‘realisme sosialis’. Tanpa kita sadari, kita mengasosiasikan—bahkan mengidentikkan—kesusastraan Marxis dengan karya-karya sastra yang menggambarkan penderitaan kelas buruh, tani atau ‘kaum yang lapar’, dan perjuangan mereka mengganyang kapitalisme serta membangun tatanan masyarakat sosialis. Tak jarang karya-karya tersebut dibubuhi dengan idealisasi kuasi-mitis tentang profil kelas tertindas—dengan tubuh kekar dan jiwa yang dibimbing oleh sikap moral yang mulia. Dengan begitu, ‘realisme sosialis’ sebetulnya mengandung tegangan konstitutif, yakni tegangan antara imperatif untuk menggambarkan kenyataan (imperatif realisme) dan imperatif untuk mengimajinasikan tatanan masyarakat ideal (imperatif sosialisme). Dengan kata lain, tegangan antara menggambarkan dan mengangankan.


Dalam bentuknya yang buruk (dan jamak ditemukan), karya-karya bernafaskan (atau punya pretensi) realisme sosialis mengemuka sebagai penindasan kenyataan oleh angan-angan, subordinasi apa-yang-ada oleh apa-yang-seharusnya-ada, penundukan realisme oleh visi tentang sejenis ‘sosialisme’ (sosialisme yang dibayangkan dari dalam kalbu sang pengarang, alih-alih direkonstruksi dari kenyataan). Namun kelirulah anggapan bahwa realisme sosialis dapat dikecilkan menjadi karya semacam itu dan karenanya kelirulah juga anggapan yang menyamakan realisme sosialis sebagai ‘sastra propaganda’.


Realisme sosialis yang baik adalah realisme sosialis yang tak melupakan akar ‘realis’-nya.Yang saya maksudkan di sini dengan istilah ‘realis’ dan ‘realisme’ tidak sekadar karya-karya beraliran realis seperti novel Tolstoy yang menggambarkan dunia fiksional secara terperinci sehingga nampak seperti dunia empiris yang kita lihat sehari-hari. Yang saya maksudkan lebih longgar dari itu, yakni realisme sebagai kemawasan akan kenyataan, terlepas dari betapapun subjektif dan pskilogisnya kenyataan tersebut. Sebab toh dunia batin pribadi tetaplah bagian dari kenyataan, bukan? Realisme sosialis yang baik mesti mampu menjawab tantangan yang muncul dari dunia batin pribadi, betapapun absurd pergulatan psikologis itu. Pengarang Marxis tidak semestinya menghindari deskripsi keruwetan batin individual dengan melarikan diri ke ranah deskripsi dunia penampakan yang bersih dari ambiguitas. Ia tak boleh bersembunyi di balik kategori-kategori umum seperti kelas dan revolusi tanpa mengungkapkan terlebih dahulu konflik-konflik absurd dalam relung batin yang paling privat. Basis ekonomi mengkondisikan superstruktur psikologis? Tentu saja, tapi perlihatkan dalam semesta fiksimu bagaimana persisnya hubungan pengkondisian itu terjadi. Yang pribadi tak pernah lepas dari yang politis? Tentu saja, tapi perlihatkan dalam semesta fiksimu bagaimana yang politis itu menubuh dalam yang pribadi. Di situlah terletak tantangan kesusastraan Marxis.


Dalam konteks inilah saya ingin berbicara tentang Osamu Dazai.


Nama Osamu Dazai bukanlah nama yang asing bagi para mahasiswa jurusan sastra Jepang. Di Jepang, karya utamanya, Ningen Shikkaku (1948), konon menempati urutan kedua dalam daftar novel yang paling banyak dicari sampai hari ini (setelah novel Kokoro karya Natsume Soseki). Akan tetapi, di kalangan penikmat sastra kita, agaknya Dazai praktis tak dikenal. Kita mengenal Ryunosuke Akutagawa, Yasunari Kawabata, Yukio Mishima, Junichiro Tanizaki, Kenzaburo Oe dan Murakami (baik Haruki maupun Ryu), tetapi kita tidak mengenal Osamu Dazai.


Sampai dengan kematiannya pada tahun 1948 di usia 39 tahun, Dazai tidak terlalu banyak menghasilkan karya. Ningen Shikkaku adalah novel ketiga sekaligus terakhir yang ia terbitkan sebelum menenggelamkan diri ke sungai bersama pacarnya, Tomie Yamazaki. Novel (atau mungkin lebih pas novela) semi-otobiografis itu kerap dipandang sebagai puncak kesusastraan Dazai. Di dalamnya, Dazai berkisah tentang penggalan kecil riwayat hidup Oba Yozo, putra dari seorang tuan tanah dan anggota parlemen Jepang yang menjalani masa-masa kuliah dan dewasanya di Tokyo pada tahun-tahun 1930-an. Ia membagi waktunya di antara kedai-kedai tuak, rapat-rapat sel komunis dan rumah-rumah bordil. Novela itu bercerita tentang kesia-siaan menjadi manusia. Judul Ningen Shikkaku secara harfiah berarti ‘Terdiskualifikasi sebagai Manusia’ (walaupun penerjemah Inggris, Donald Keene, mengartikannya sebagai No Longer Human).


Sebagian besar novela itu terdiri dari potongan-potongan memoar yang dituturkan dari sudut pandang orang pertama (Oba Yozo) dan dibingkai dengan kisah tentang seorang penulis anonim yang menerima memoar tersebut dari ibu pemilik kedai kopi tempatnya menghabiskan waktu suatu malam untuk mencari inspirasi. Oba Yozo menggambarkan dirinya sebagai seorang yang, dari lubuk hatinya yang terdalam, individualis dan antisosial. Masyarakat, baginya, adalah beban. Begitu banyak ekspektasi orang-orang yang mesti dipenuhi: wajib berbasa-basi dengan tetangga, wajib menghormati orang tua, wajib bersolidaritas dengan kawan dan rentetan kewajiban lainnya. Yozo, singkatnya, menentang tradisi. Sampai di sini, profilnya serupa dengan Holden Caufield dalam Catcher in the Rye. Keduanya sama-sama pemuda manja, anak orang kaya, yang membenci kemapanan dan kepalsuan masyarakat. Namun cara Dazai mengolah profil psikologis ini berbeda dengan Salinger. Apabila Salinger menghadirkan Holden sebagai sosok ekstrovert yang cerewet, Dazai justru sebaliknya. Holden terkesan seperti bocah nakal, sementara Yozo mengandung kesan seperti anak iblis. Oba Yozo menghadirkan dirinya sebagai pemuda riang, jago melucu dan banyak kawan, untuk menyembunyikan kebenciannya yang tak tertahankan pada semua orang, termasuk dirinya sendiri. Karena narasi Yozo ini dituturkan dalam sudut pandang orang pertama, kita bisa bayangkan potret segelap apa yang muncul (justru makin kelam dalam kontrasnya dengan deskripsi perilaku sehari-hari Yozo yang periang).


Kawan dekatnya, Horiki, adalah seorang mahasiswa yang hidup pas-pasan. Berkat Horiki, ia berkenalan dengan seluk-beluk dunia pelacuran, alkoholisme dan Marxisme. Paradoksnya, karena pintar melawak, Yozo dengan cepat jadi populer di antara anggota kelompok diskusi Marxis. Ia bahkan dipilih menjadi ketua gerakan mahasiswa Marxis Tokyo tengah—katakanlah, menjadi semacam anak LMND. Dengan demikian, ia adalah seorang individualis anti-sosial yang dipercaya banyak orang (tanpa mereka sadari betul, tentu saja) menjadi pimpinan organisasi mahasiswa komunis. Yozo mengisahkan bahwa banyak pemuda Tokyo dekade 1930-an menjadi Marxis bukan hanya karena Marxisme itu membawa pesan moral yang mulia (pembebasan kaum tertindas). Sebagian orang, seperti Horiki, malah tertarik dengan Marxisme hanya karena itu terkesan ‘modern’ dan karenanya dandy. Lain halnya dengan Yozo. Ia tertarik dengan Marxisme bukan karena aliran politik itu hendak mengemansipasikan masyarakat ataupun terkesan modern, melainkan karena Marxisme itu irasional. Dalam dunia yang hendak ditata secara rasional, semua yang dianggap irasional akan dipinggirkan. Dan Yozo merasa bisa berempati dengan itu semua—dengan mereka yang mubazir, yang tak punya tujuan, yang hidup sempoyongan tak tahu mesti berbuat apa—sebab ia sendiri merasa dirinya bagian dari mereka. Marxismenya, dengan demikian, adalah Marxisme yang ganjil, yang cenderung sinis dan ironis. Mungkin ini mirip dengan hipster-hipster yang mendengarkan dangdut atau menonton sinetron just for the sake of irony.


Demikianlah Yozo menjalani masa mudanya dengan kekosongan pekat dalam dadanya, yang ia selalu bungkus rapi dalam pembawaan penuh lawakan. Namun sesekali kekosongan itu membludak keluar. Dari suatu dorongan yang impulsif, ia memutuskan untuk bunuh-diri bersama dengan Tsuneko, pelacur yang akrab dengannya. Keduanya melemparkan diri dari atas tebing yang menghadap ke arah laut. Tsuneko mati, tapi Yozo selamat. Karena usaha bunuh-diri itu jadi skandal di koran-koran, ayahnya yang anggota parlemen gusar. Kiriman uang dihentikan dan Yozo pun pontang-panting. Ia bekerja sebagai kartunis di koran-koran lokal. (Ini adalah kali pertama dalam sejarah sastra Jepang, setidaknya sebatas yang saya ketahui, seorang juru gambar manga menjadi tokoh utama novel.) Ia pun menikah dengan Yoshiko, seorang gadis naif yang menaruh perhatian besar pada Yozo dan membantunya terbebas dari alkoholisme. Untuk sementara waktu, Yozo memperoleh kestabilan hidup seperti orang normal. Namun, suatu ketika, Yoshiko diperkosa oleh seorang om-om pedagang di ruang tamu rumahnya sendiri. Yozo hanya menatap mereka, lalu beranjak kembali ke kamarnya. Beberapa hari kemudian, ia menenggak puluhan obat tidur dan sekarat selama tiga hari. Tapi ia terus hidup. Hidupnya kembali morat-marit; jarang pulang ke rumah; minum-minum dan melacur sampai bengkak. Ia juga mulai keranjingan morfin. Suatu hari, saking sakawnya, Yozo sampai menawarkan diri untuk bersetubuh dengan nenek-nenek pemilik kios obat kecil yang tak berlisensi demi memperoleh morfin. Persetubuhan dengan manula ini jadi makin sering seiring dengan meningkatnya dosis morfin yang ia butuhkan. Sementara itu, di indekos yang disewakan oleh ayahnya, Yozo diperkosa beberapa kali oleh nenek-nenek yang bekerja sebagai pembantu rumah tangganya. Ia mulai memperlihatkan gejala TBC—penyakit universal para poètes maudits—dan beberapa kali batuk darah. Memoar itu berakhir saat ia berusia 27 tahun, dengan rambut ubanan yang mengesankan usia 40-an.


Suasana kacau-balau dan kecamuk batin yang ditekan dan ditutup-tutupi semacam itulah yang dipotret Dazai dengan begitu baik. Tengok saja bagian pembukaan novela ini. Di situ dikisahkan oleh sang penulis anonim kesan yang timbul dari beberapa lembar foto yang terselip dalam buku memoar yang baru saja ia dapat. Ia menggambarkan beberapa potret wajah Yozo itu sebagai potret sosok yang “sepenuhnya tak punya substansi”, sosok yang sama sekali tak memiliki “kepejalan hidup” seperti layaknya manusia, sosok dengan senyum yang begitu palsu, tak punya bobot apa-apa, seringan bulu merpati. Dengan kata lain, sesosok wajah yang “sama sekali tidak bisa diingat”, yang “tak punya individualitas”, tanpa keunikan pribadi, seperti halnya tembok, tungku perapian atau seperti ekspresi kosong seekor kuda. Profil psikologis yang dihadirkan Dazai dalam Ningen Shikkaku membekas dalam kesusastraan Jepang. Ia berhasil menggambarkan interioritas manusia yang begitu mentah, seperti jeritan yang tertahan atau tangisan yang lenyap ditelan hiruk pikuk orang-orang di jalan. Dalam urusan ini, Dazai lebih kuat bahkan dibandingkan Kawabata dan Mishima. Bandingkan saja No Longer Human dengan Thousand Cranes atau Snow Country-nya Kawabata, atau dengan After the Banquet-nya Mishima (tak perlu membandingkannya dengan Norwegian Wood-nya si Marzuki Harakiri, sudah tentu jauh).


Novel psikologis macam Ningen Shikkaku lazimnya dianggap sebagai jenis kesusastraan yang berlawanan dengan ‘realisme sosialis’. Sebabnya jelas, yang lebih banyak dibicarakan adalah konflik batin personal ketimbang masalah-masalah sosial-politik yang eksplisit. Namun saya pikir di situlah juga tantangan yang dihadirkan Dazai bagi kesusastraan Marxis. Osamu Dazai sendiri adalah anggota Partai Komunis Jepang dan sempat dipenjara karena pada masa itu (seperti halnya di Indonesia sekarang) menjadi anggota partai komunis adalah perbuatan kriminal. Tentu ia bukan Marxis sebagaimana lazimnya. Konon ketika didesak ayahnya (yang menjabat sebagai anggota parlemen) untuk keluar dari partai dengan ancaman tak akan lagi diberi uang saku, Dazai pun dengan enteng keluar dari partai komunis. Dalam dirinya mengalir perpaduan yang ganjil antara Komunisme dan Dekadentisme (ia adalah semacam “Ulises Lima” dalam gerakan Buraiha yang merayakan kesusastraan avant-garde, alkohol dan narkoba). Pergulatan batin yang ia tuliskan dalam Ningen Shikkaku hampir semuanya ia alami sendiri. Seperti Oba Yozo, ia pernah melompat dari atas tebing tepi laut di Kamakura bersama seorang pelacur kesayangannya, Shimeko Tanabe. Shimeko mati, Dazai tidak. Seperti Oba Yozo, ia pernah berusaha bunuh diri dengan menenggak puluhan obat tidur dan jatuh sekarat tanpa sungguh mati. Seperti Oba Yozo, ia mengidap TBC dan kecanduan morfin. Tapi, tak seperti Oba Yozo, ia pada akhirnya berhasil bunuh-diri. Dengan kata lain, melalui karyanya, Dazai menghadirkan kenyataan telanjang tentang hidupnya sendiri, dan secara tak langsung tentang generasinya sendiri—generasi pemuda Jepang yang hidup di bawah fasisme. Ningen Shikkaku adalah gambaran tak langsung tentang jiwa masyarakat Jepang di alam fasisme.


Dirumuskan secara lebih sistematis, tantangan Dazai bagi kesusastraan Marxis—atau bagi para sastrawan yang percaya pada Marxisme—adalah memberikan pemerian yang terperinci dan tak dipoles tentang kenyataan batin, menghadirkan potret personal dari tata ekonomi-politik tertentu, tanpa dengan gampangan mereduksi problem personal itu pada kategorisasi besar dan kesimpulan-kesimpulan umum. Dazai menantang para sastrawan Marxis untuk berani bermain dengan kunci-kunci minor yang tak lekas-lekas disimpulkan dalam sebuah skema emansipasi universal di mana, pada akhirnya, segala sesuatunya ditebus. Ia menantang kita untuk tak hanya piawai menghadirkan kenyataan-luar, tetapi juga kenyataan-dalam, kenyataan yang dialami secara halusinatoris dalam diri manusia—isi jeroan manusia—tanpa tendensi untuk memoralisasi atau mengemasnya dalam didaktika solutif yang cepat-saji. (Sebab kesusastraan, tidak seperti ilmu alam dan logika, walau bagaimanapun mesti bersetia pada ranah kesan-kesan indrawi dan perasaan.) Hanya dengan memperlonggar dan memperkaya pengertian “kenyataan” lah realisme sosialis bisa diselamatkan dari kritik yang menciutkannya pada karikatur buruh binaragawan dan petani-petani selibat. Dalam kerangka “realisme” yang diperkaya inilah, saya rasa, kita mesti mengartikan pernyataan Gabriel Garcia Marquez dalam wawancaranya di Paris Review. Ia katakan bahwa apa yang dilabelkan orang tentang karyanya (realisme magis) adalah, menurut dirinya sendiri, suatu eksperimen dalam realisme sosialis, atau usaha menghadirkan “realisme sosialis yang sesungguhnya”.


Terimakasih Banyak
Malang, 14 Februari 2020
Ali Ahsan Al Haris
*Saduran dari Indoprogress

RESENSI BUKU ORANG GAGAL KARYA OSAMU DAZAI


RESENSI BUKU “ORANG GAGAL” KARYA OSAMU DAZAI



Diterjemahkan dari     :  No Longer Human
Terbitan                       : A New Dirrection Book
Karya                           : Osamu Dazai
Penerjemah                 : Muhammad Al Mukhlishiddin
Editor                          : Ama Achmad
Pemeriksa Aksara       : Aris Rahman P. Putra
Tata Sampul                : HOOK STUDIO
Tata Isi                         : @Kulikata_
Pracetak                      : Kiki
Cetakan                       : Pertama, Januari 2020
Penerbit                      : BASABASI
Jumlah Halaman         : 116
ISBN                             : 978-623-7290-59-9
Harga                          : 37,500


Hello pembaca semua, salam hangat bagi kalian semua. Semoga kalian selalu dalam limpahan sehat dan berkah. Amin. Tentu saya sangat senang dalam beberapa bulan ini dapat membaca banyak buku terlebih dapat meresensinya dan membagikannya ke pembaca semua. Meski saya sadari resensi yang saya buat membosankan dan memakai sudut pandang yang terbilang simpel dan sederhana, saya harap kekurangan saya ini dapat pembaca jadikan pengalaman untuk kemudian dapat diperbaiki saat kalian mencoba untuk meresensi sebuah buku.


Kali ini saya selesai membaca penulis dari negeri Sakura, Osamu Dazai. Mungkin nama tersebut sedikit asing di telinga kalian, pun bagi saya pribadi pada awalnya. Hanya beberapa penulis dari Jepang yang terkenal di Indonesia, seperti Murakami yang karyanya banyak kita temukan di pelbagai took buku indie atau mayor. Saya mendapatkan buku ini di toko buku basabasi, awalnya hanya ingin membeli Ernest Hemingway “Paris Yang Tak Berkesudahan”, saat saya coba scroll kebawah kok dilalah nemu buku ini. Karena penasaran, akhirnya saya beli juga. Praktis Osamu Dazai menjadi koleksi terbaru saya penulis dari negeri Sakura itu.


Osamu Dazai, lahir di Prefektur Aomori, 19 Juni 1909 – meninggal di Mitaka, Tokyo, 13 Juni 1948 pada umur 38 tahun) adalah penulis dari zaman Showa di Jepang. Nama aslinya Tsushima Shūji. Selain dikenal mengarang cerita pendek dan novel dengan gaya autobiografi, Dazai juga pernah menulis naskah sandiwara Shin Hamlet (The New Hamlet) dan dongeng Otogizōshi (Fairy Tales).


Dimulai dari novel perdana pada tahun 1933, novel Gyakkō (Regression) dicalonkan sebagai penerima Penghargaan Akutagawa 1935. Tsugaru, Otogizōshi, Hashire Merosu (Run, Melos!), Shayō (The Setting Sun), dan Ningen Shikkaku (No Longer Human) termasuk di antara adikarya Osamu Dazai. Ketiga karya yang disebut terakhir sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris pada pertengahan 1950-an.


Dazai menulis dengan penuh senda gurau, ironi, kesedihan, hingga penghancuran diri, hingga dikelompokkan bersama Ango Sakaguchi dan Jun Ishikawa sebagai penulis dekaden "angkatan gesaku baru" dan buraiha. Sejak masih di bangku kuliah, Dazai berulang kali mencoba bunuh diri atau bunuh diri bersama (shinjū). Pada 13 Juni 1948, ia tewas bunuh diri bersama Tomie Yamazaki kekasihnya, setelah menenggelamkan diri ke Sungai Tama.


Buku ini terdapat empat bagian, atau lebih tepatnya tiga bagian yang terdiri dari Buku catatan pertama, Buku catatan kedua, Buku catatan ketiga bagian satu dan Buku catatan kedua bagian kedua.


Sesuai dengan judulnya, Osamu Dazai di awal buku menceritakan tentang sosok anggota keluarga yang penuh putus asa dan tidak percaya diri. Tapi jika saya pahami lebih dalam lagi, Osamu Dazai seperti berfilsafat lewat tokoh utama (AKU) dengan banyak mempertanyakan tujuan manusia bekerja apakah untuk hidup atau untuk makan? Mengapa kita harus tersenyum saat bertemu dengan orang lain? Mengapa manusia harus bersandiwara dengan kebahagiaan sedangkan aslinya dia sedang merasa susah? Pertanyaan semacam itu dilemparkan Dazai kepada kita. Keren banget.


Sebelum saya lanjut, saya menemukan ada halaman yang salah. Biasanya daftar isi yang ada di awal halaman, di buku ini malah ada di halaman tujuh. Apa karena saya membeli buku ini Pre Order lantas saya menerima buku reject? Hehe.


Pada Buku Catatan Pertama, tokoh utama yang Osamu Dazai ceritakan ini memiliki kecenderungan melucu, tapi bukan melucu yang biasa. Lahir di keluarga mapan secara ekonomi, menjadikan semua akses kebutuhan keluarga terpenuhi. Kalau kecukupan ekonomi terpenuhi, biasanya akan membuat seseorang tenang. Beda kasus dengan tokoh utama dalam buku ini, apa yang ia rasakan malah sebaliknya. Hobi Bapaknya yang gemar membelikan oleh-oleh untuk anggota keluarga dan kerabat membuatnya bingung saat ditanya menginginkan hadiah apa. Kalau tokoh utama kita ini tidak menjawab, dia khawatir Bapaknya akan marah besar kepadanya. Padahal dia memang tidak menginginkan sesuatu, kalau pun dia menyebut suatu hadiah, itu hanya sandiwaranya saja agar Bapak dan keluarganya senang. Selain itu, tokoh utama kita ini adalah orang yang pendiam, tak ayal dia sering merasa kesepian. Berbeda sekali dengan Abang dan adiknya yang gemar bicara. Demi membuat keluarganya senang, dia sering membuat cerita lucu dan berlaku konyol agar keluarganya tertawa atas ulahnya. Padahal, semua itu lagi-lagi hanya sandiwaranya belaka agar semua orang senang dan dia masih di terima dalam keluarga. Sandiwara tersebut ia lakukan juga di sekolah, banyak guru dan temannya yang menyukainya karena tingkah lucunya itu. Selidik demi selidik, bakat sandiwara itu ia dapatkan dari pelbagai majalah anak yang ia baca.


Yang belum paham, karena sifatnya yang pendiam. Tokoh utama sempat dinodai oleh para pembantunya. Konteks dinodai ini entah pelecehan seksual atau menjadi korban perudungan juga masih belum saya temukan faktanya. Dari sini saya juga mendapatkan pelajaran jika peran orangtua yang salah satunya mengajak ngobrol anak-anaknya meski dalam keadaan sesibuk apapun harus tetap dilakukan. Kalau tidak, si anak terkadang memilih diam karena ketakutan antara mengadukan hal itu atau tidak.


Konflik mulai kentara pada Buku Catatan Kedua. Tokoh utama kita ini yang sudah lulus SMA dan berencana masuk semacam akademi Seni Lukis. Naas keinginannya itu kandas lantaran Bapaknya memaksanya untuk ke universitas dengan harapan kelak ia akan menjadi pegawai negeri. Selama kuliah, tokoh utama ini suka membolos kuliah dan mengikuti kelas seni di daerah setempat. Kebiasannya itu mempertemukannya dengan Masao Horiki, seorang siswa kelas seni yang doyan mabuk, main wanita dan berkunjung ke rumah gadai. Tokoh utama kita yang semual pendiam, penakut jika dalam keramaian, dan suka khawatir berlebihan perlahan hilang lantaran akrab dengan Masao Horiki yang selalu mengajaknya mabuk dan main wanita. Bagi saya pribadi, Buku Catatan Kedua ini sungguh keren, di mana kita diperlihatkan sisi kejam dan bengisnya manusia saat dalam keadaan terjepit secara ekonomi tapi di sisi lain nurani manusia tetap menjadi nomor wahid lantaran tidak tega melihat ketidakadilan.


Bagi pembaca yang belum paham, Osamu Dazai memakai gaya tulisan dalam novel "Orang Gagal" layaknya menulis sebuah autobiografi. Kita serasa di ajak menjadi tokoh "Aku" dalam karakter yang Osamu Dazai tuliskan.


Pada Bab Buku Catatan Ketiga Bagian Satu, tokoh utama kita ini dikeluarkan dari Universitas berkat percobaan bunuh dirinya di Kamakura. Kini ia tinggal dengan Hirame, kenalan Bapaknya dulu waktu menjabat di Parlemen, karena Bapaknya sudah tidak menganggapnya sebagai anaknya lagi. Selama menginap di rumah Hirame, ia bak manusia pesakitan yang aktifitasnya dari bangun sampai tidur hanya di dalam kamar dengan ditemani buku dan majalah bekas.


Kondisinya tak banyak berubah, ia masih suka merokok dan mabuk-mabukan meski tidak memiliki penghasilan. Untung saja kakak lelakinya diam-diam mengirimkan uang bulanan ke Hirame tanpa sepengetahuan Bapaknya agar dapat meringankan beban Hirame selama adiknya menumpang di rumahnya.


Sampai pada suatu kondisi ia bertemu dengan jurnalis perempuan bernama Shizuko yang memiliki perawakan slim dan cantik. Shizuko menggawangi rubrik komik untuk anak-anak di tempatnya bekerja, ia menawari ke tokoh utama untuk mencoba mengirimkan gambar-gambarnya ke redaksi, siapa tahu tembus dan uangnya dapat untuk membeli sake dan rokok. Pada titik inilah ia sudah memiliki penghasilan sendiri, tapi karena sifatnya yang gampang depresi dan cemas itu, ia lampiaskan ke mabuk-mabuk, merokok berat dan main perempuan yang membuat kehidupannya tambah tidak terkontrol dan membuat ia semakin depresi.


Ia beberapa kali pindah rumah, atau lebih tepatnya kabur karena tidak kuasa menahan depresinya. Yang paling lama tentu saat menginap di rumah pegawai Bar, kalau di Bar ia ikut membantu pekerjaan perempuan yang ia tumpangi, sedangkan kalau di rumah hubungan mereka bak suami istri saja. Tapi semua itu hanya berlangsung selama setahun, setelah itu ia berpaling ke perempuan lain. Babak baru di mulai, kini ia menikah dengan penjaga toko rokok bernama Yoshiko. Kegembiraanya karena menikah tentu sangat besar, tapi kengeriannya jauh lebih besar, tidak seperti yang ia bayangkan.


Awal pernikahan yang bahagia hanya berumur jagung, sampai pada suatu siangYoshiko tertangkap sedang selingkuh dengan Horiko, kawannya sendiri. Titik ini yang menjadikan tokoh utama semakin depresi, dia mulai tidak percaya ke istrinya. Malam-malamnya banyak ia habiskan dengan menenggak miras di Bar dekat Kota. Kecanduannya ke alkohol itu membuatnya batuk darah akut, ia sempat ingin mengakhiri hidupnya dengan menelan sebotol penuh obat tidur. Karena kalakuannya itu, ia tidur tiga hari tiga malam sampai istrinya membawanya ke Rumah Sakit.


Bukannya tobat berhenti mengkonsumsi miras, kali ini ia kecanduan morfin yang ia dapatkan dari Apotik. Parahnya, ia juga memadu kasih dengan perempuan tua pengidap polio penjaga apotik tersebut. Sepertinya Osamu Dazai memang membuat karakter ini semakin kuat dengan kesan pemabuk, pecandu dan suka main perempuan.


Akibat kecanduan morfin itu, ia lagi-lagi dilarikan ke Rumah Sakit. Hirame dan Kakak kandungnya berkunjung, ia memberitahukan ke adiknya kalau bapaknya sudah meninggal sebulan lalu karena masalah lambung. Kakaknya memohon agar ia kembali ke kampung saja selama masa rehabilitasi, terbukti dengan ia dibelikan rumah dekat pantai. Rumah baru yang berjarak empat jam dari kampungnya itu, ia tempati dengan seorang pembantu perempuan berumur enam puluh tahun utusan kakaknya. Tapi lagi-lagi, pembantu itu menodai si tokoh utama kita entah berapa puluh kali banyaknya.


Hmm, jelas. Dendam dengan seorang Bapak. Pemabuk, pecandu morfin dan suka main perempuan adalah karakter tokoh utama tokoh dalam buku ini. Ia gagal menjadi seorang suami, gagal lulus dari Universitas, gagal menjadi pelukis dan gagal menjadi manusia.


Sekian terimakasih.
Malang, 14 Februari 2020
Ali Ahsan Al Haris



RESENSI BUKU KEHIDUPAN LIAR KARYA MICHEL TOURNIER


RESENSI BUKU KEHIDUPAN LIAR KARYA MICHEL TOURNIER


PENGALAMAN ALEXANDRE Selcraig, orang Skotlandia, yang terdampar pada sekitar tahun 1703 di Pulau Mas a Tierra di lautan Pasifik dan hidup terkucil di sana selama bertahun-tahun sebelum diselamatkan oleh sebuah kapal Inggris telah memberi inspirasi kepada banyak pengarang untuk menulis karya fiksi. Di antaranya yang paling terkenal adalah kisah Robinson Crusoe karangan Daniel Defoe. Karya itu ditulis pada 1719, beberapa tahun setelah Alexandre Seleraig kembali ke Inggris. Saya sendiri sedikit eman karena belum menemukan karya Daniel Defoe yang banak menginspirasi banyak menuslis kisah ini.


Sukses yang diperoleh karya fiksi itu telah merangsang pengarang-pengarang yang hidup belakangan untuk menulis tiruan atau versi-versi lain dari kisah petualangan itu. Jules Verne misalnya, yakni Bapak Karya Fiksi Ilmiah Prancis, pernah menulis L'llemyterieuse, Pulau Misterius pada 1874. Apabila Daniel Defoe lebih menonjolkan petualangan Robinson, maka Jules Verne lebih menekankan pada kreasi-kreasi dari penemuan ilmiah kelima tokohnya dalam usaha mereka untuk bertahan hidup di pulau yang tidak sesubur tempat Robinson terdampar. Tokoh dalam karya Daniel Defoe berhasil pulang ke tanah airnya yang penuh peradaban, Inggris, dan hidup sesuai norma-norma yang berlaku, sadangkan tokoh-tokoh Jules Verne tenggelam bersama pulau mereka ketika terjadi gempa bumi.


Dalam mengungkapkan kisah Kehidupan Liar ini, Michel Tournier yang menerbitkan karyanya pada 1971 lebih menonjolkan tokoh Vendredi (Si Jumat) … Penamaan tokoh utama menjadi Vendredi karena tokoh utama khawatir kehilangan ingatannya sehingga akan menamai sesuatu sesuai dengan nama hari … dan perkembanaan kejiwaan Robinson sebagai manusia yang hidup terkucil yang dari apa yang disebut "peradaban", dalam usahanya untuk tetap bertahan hidup dengan jiwa yang sehat. Michel Tournier ingin menunjukkan bahwa istilah "liar" itu sebenarnya tidak tepat. Vendredi hidup dalam suatu "peradaban lain" yang berbeda dari peradaban-peradaban Barat, dan sangat menarik untuk disimak. Tokoh Vendredi dari Michel Tournier hanyalah seorang budak primitif yang harus menerima perintah-perintah dan petunjuk- petunjuk dari Robinson, orang Barat yang berpretensi sebagai manusia "beradab". Tak tersirat sedikit pun-dalam karya yang diterbitkan sebelum etnografi dikenal orang itu-memungkinkan bahwa Robinson dapat banyak belajar dari Vendredi. Akhir kisah menunjukkan dengan jelas gagasan itu. Vendredi ikut pulang bersama Robinson ke Inggris dan hidup sesuai peradaban yang berlaku di negeri itu. Dalam kisah Michel Tournier pun Vendredi memang tergiur pada peradaban negeri lain itu dan ikut bersama kapal yang singgah di pulaunya. Namun sebaliknya Robinson, yang telah berpengalaman hidup di negerinya itu, kecewa melihat tingkah laku manusia-manusia yang ada di kapal tersebut, dan lebih suka meninggali dirinya di pulau yang telah terlanjur dicintainya itu.


Kisah Robinson versi Michel Tournier ini mulai diterjemahkan pada 1989, dalam rangka kuliah Latihan Menerjemahkan oleh mahasiswa-mahasiswa Program D-4 Terjemahan, Program Studi Sastra Perancis Universitas Indonesia.


Lebih dalam lagi, novel ini menceritakan tentang seorang lelaki yang sedang berlayar demi menghindari peperangan sehingga mengarungi samudra pasifik. Ia bernama Robinson. Pada saat mengarungi samudra ia pun terdampar di pulau terpencil yang di dalamnya tidak ada penghuni sama sekali. Ia pun berharap ada seseorang yang datang dan mengajaknya untuk pulang. Setelah menunggu lama ia pun tidak menemukan ada orang yang datang mengunjungi pulau tersebut. Akhirnya, ia memutuskan untuk membuat revolusi baru untuk bertahan hidup di pulau yang ia namai Speranza dengan mendirikan bangunan rumah yang memanfaatkan goa. Saat ia masuk goa, dia merasa ada cahaya putih hingga ia pun tidak sadar selama tiga hari. Hal tersebut, menjadikannya sadar bahwa saat kita hidup maka kita harus bekerja keras dan tidak boleh malas bekerja. Dari situlah ia mulai bekerja keras dengan membuat perkebunan gandum, menulis  biografinya selama di hutan, dan membuat peta geografis pulau Spanzer.


Saat ia berjalan di hutan ia pun bertemu dengan suku India yang sedang melaksanakan ritual pembakaran manusia secara hidup. Mereka menganggap adanya ritual tersebut menjauhkan dari bahaya. Robinson pun memiliki keinginan untuk menyelamatkannya dengan cara menembakinya, dan akhirnya ia bebas. Robinson menganggapnya sebagai teman dan menamainya Vendredi. Vendredi pun merasa berterima kasih denga Robinson yang telah menyelamatkan dirinya. Ia pun membalas budi Robinson dengan cara menjadi asistennya dan melayani semua kebutuhan Robinson. Namun, di tengah perjalanan pemikiran mereka pun tidak sejalan dan memutuskan untuk berpisah sesuai dengan keinginan dan tujuannya sendiri.


Novel kehidupan liar ini memiliki banyak kelebihan, yaitu mengajarkan pembaca untuk menjalani hidupnya dengan bekerja keras dan saling tolong menolong antar sesama. Selain itu, mengajak pembaca berpikir lebih dalam untuk  mempertahankan bahasa negaranya. Kelemahan dalam novel tersebut penulis tidak menceritakan secara detail awal dari cerita tersebut sehingga membuat pembaca bingung dengan awal peristiwa cerita.


Jika pembaca adalah tipikal pembaca yang menyukai seri petualang, saya sangat merekomendasi buku tipis ini. Kalian akan menemukan banyak nasihat hidup yang Michen Tournier utarakan lewat tokoh utama bernama Robinson. Oke sementara itu saja ya.


Terimakasih
Malang, 14 Februari 2020
Ali Ahsan Al Haris

Thursday, February 13, 2020

RESENSI BUKU CINTA LAMA KARYA PUTHUT EA


RESENSI BUKU CINTA LAMA KARYA PUTHUT EA


  
Ini adalah buku ke sekian dari Kang Puthut yang saya baca. Perjumpaan pertama kali saya dengan karya Kang Puthut di tahun 2009 saat membaca buku “Makelar Politik”. Dari sekian banyak judul yang ada di buku tersebut, yang masih saya ingat hanya tulisan Kang Puthut tentang rasan-rasannya di Yogya yang terlalu banyak polisi tidur dan judul Makelar politik itu sendiri.


Selain itu, sebelum mengudaranya situs yang kita sayangi Bersama, mojok.co saya sudah membaca tulisan-tulisan Kang Puthut di web pribadi dan sesekali menegok di dinding facebooknya.


Perjumpaan pertama saya dengan Kang Puthut saat di Malang (Kafe Pustaka), waktu iu sedang ada talk show buku yang membahas sastrawan kenamaan Jerman “Franz Joseph Kafka” yang dihadiri Kang Sigit Susanto (Penerjemah Buku Franz Kafka The Trial Proses). Sebelumnya saya memang tidak tahu kalau Kang Puthut berencana hadir di acara tersebut, beruntung malam itu di tas saya membawa buku “Mengantar Dari Luar” yang tebal itu untuk kemudian saya mintakan tanda tangan ke penulisnya langsung.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Seorang laki-laki Yang Keluar Dari Rumah


Perjumpaan kedua saya waktu mojok.co menggelar ulang tahunya yang kedua di Malang, tepatnya di Komika Coffee. Selain Kang Puthut, saya juga bertemu Mbak Kalis, Kang Agus, Edward, Totok dan crew mojok lainnya. Acara yang sangat meriah itu yang membuat saya mengenal perempuan sangar dan cantik bernama Endah, salah satu kontributor mojok yang kebetulan satu sekolah dengan saya.


Oke coba saya bahas buku ini dengan enggak serius-serius amat.


Buku “Cinta Lama” terbitan Diva Press ini adalah lanjutan dari novel Kang Puthut “Cinta Tak Pernah Tepat Waktu” terbitan buku Mojok tahun 2017. Saya sudah membaca buku Cinta Tak Pernah Tepat Waktu di tahun 2017, hasil meminjam kawan saya Kang Aviv Mudhar yang sekarang bekerja di Bali. Yang saya suka dari buku tersebut selain Kang Puthut banyak melibatkan tokoh-tokoh semasa kuliahnya seperti Eka Kurniawan, kelihaian Kang Puthut dalam bertutur lewat tokoh utama dalam mencari cinta sejatinya menjadikan novel pertama Kang Puthut membuat saya terharu dan dibuat ngakak so hard.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Novel Dunia Sophie


Saya mendapatkan buku Cinta Lama hasil dari Pre Order di Twitter buku mojok, saya memilih paket CLBK LAGI yang isinya ada buku (Cinta Tak Pernah Tepat Waktu, Cinta Lama dan Mereka Yang Tidak Berbahagia) paket itu berhadiah sebuah Buket dan Pin lucu bertuliskan Bude Sumiyati. Saya mendapatkan paket buku tersebut seharga Rp. 155,200. Sangat murah untuk tiga buku dan aksesoris lainnya.


Buku Cinta Lama ini memiliki 142 halaman, cukup tipis daripada karya-karya Kang Puthut sebelumnya. Halaman awal, Kang Puthut langsung membawa pembaca lokasi di mana kejadian dua mantan pacar yang selama dua puluh tahun tidak pernah bertemu ini mengadakan janji di resto sebuah hotel tempat tokoh utama menginap. Setiap halaman tidak memiliki tulisan yang penuh, dalam artian setiap halamanya dapat kita temukan ilustrasi dari setiap kejadian. Mungkin bertujuan membuat pembaca dapat berimajinasi lebih leluasa. Saya membaca buku Cinta Lama kurang lebih satu jam, itu pun karena saya sambi dengan mengerjakan laporan aset perusahaan. Bagi pembaca yang sudah selesai membaca Cinta Tak Pernah Tepat Waktu, tentu akan paham dengan plot cerita yang Kang Puthut bangun, tapi jika pembaca belum menyelesaikan buku pertama. Mungkin pembaca akan membuat kesimpulan kenapa buku Cinta Lama plot nya simpel banget. Kenapa saya katakan simpel? Plot cerita hanya pada satu lokasi, yakni Resto di sebuah hotel. Obrolan yang terjadi fokus pada dialog tokoh utama bertemu dengan mantan pacarnya yang diketahui sudah memiliki dua anak dan tampak tua daripada umurnya. Sudah itu saja.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Buku Panduan Ringkas Gerilya Kota


Awal cerita memang serasa kita melihat tokoh utama yang grogi, was-was bahkan terkesan begok karena ketidaksiapannya bertemu dengan mantan pacarnya itu. Lucunya, atau saya sendiri anggap ini adalah obat mujarab bagi para mantan yang selalu gelisah, resah memikirkan mantan pacar. Solusinya adalah bertemu kembali dengannya meskipun kita sudah berkeluarga. Tentu metode ini perjudian besar bagi keberlanjutan rumaha tangga, tapi apa salahnya di coba. Lha wong tujuan utamanya adalah berkata jujur tentang apa yang selama ini dirasakan kok. Toh, Kang Puthut dengan jelas membuat batas jika kedua tokoh ini sama-sama sudah memiliki pemikiran yang dewasa. Jadi, kalian jangan berharap ada plot cerita perselingkuhan.


Oh iya, mungkin pembaca setia blog saya ada yang pernah membaca buku karangan Kang Puthut berjudul “Laki-laki Yang Keluar Dari Rumah”, di buku tersebut Kang Puthut juga membahas tentang tokoh bernama Mas Budiman dan Mbak Rukmi. Mas Budiman yang berprofesi sebagai konsultan bangunan itu pada suatu waktu suka menyendiri tanpa sebab sehingga membuat bingung dan sedih Mbak Rukmi istrinya. Singkat cerita ternyata Mas Budiman teringat dengan mantan pacarnya meski sama-sama sudah menjalin rumah tangga. Klimaks dari buku tersebut saat kang Puthut dengan piawai membuat plot cerita dengan mengskenario Mas Budiman yang di saksikan istrinya bertemu dengan mantan pacarnya di sebuah vila.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Buku Konsep Manusia Menurut Karl Marx 


Jadi, memang ada seikit kemiripan di buku “Cinta Lama” dan “Cinta Tak Pernah Tepat Waktu”. Selain itu yang membuat saya penasaran dengan buku Cinta Lama ini adalah, mengapa Kang Puthut tidak menerbitkannya di Buku Mojok saja, kok lebih memilih Diva Press? Apa karena tawaran nilai kontraknya yang menggiurkan? Hehe.


Salam hangat
Terimakasih banyak
Ali Ahsan Al Haris
Malang, 13 Februari 2020










Tuesday, February 11, 2020

KISAH DEWA GANESHA?


KISAH DEWA GANESHA?


Suatu hari, Dewi Parvathi, istri Dewa Siwa, sedang bersiap untuk mandi dan membutuhkan seseorang untuk menjaga kamarnya. Oleh karena itu ia inisiatif membuat patung seorang anak laki-laki yang ganteng dan gagah. Patung tersebut kemudian hidup seperti layaknya manusia berkat taburan air suci dari sungai Gangga. Setelah patung tersebut hidup layaknya manusia, Dewi Parvathi memerintahkannya untuk menjaga pintu kamar dan tidak boleh satupun orang masuk kecuali atas ijinnya.


Saat dia pergi mandi, Dewa Siwa yang hendak masuk ke kamar terkejut menemukan seorang anak kecil yang ganteng dan gagah berdiri di pintu masuk ke kamar istrinya. Ketika dia mencoba masuk, bocah itu menghalangi jalannya. "Siapa kamu dan mengapa kamu menghalangi jalan ku?”. Tanya Dewa Siwa.


"Tidak ada yang boleh masuk ke kamar Ibu”, kata bocah itu dengan membentak Dewa Siwa.


Terkejut, Dewa Siwa menjawab, “Minggir kau bocah, saya punya hak untuk masuk ke kamar istri saya”.


Anak kecil dan pemberani itu tidak bergerak sama sekali dari depan pintu. Karena Dewa Siwa tidak tahu kalau bocah kecil itu adalah putranya sendiri, Dewa Siwa yang sangat marah itu kemudian memotong leher bocah kecil tersebut.


Dewi Parvathi sekembalinya dari kamar mandi melihat putranya terbaring mati bersimbah darah. Dia sangat marah dan sedih atas kematian anaknya itu. Melihat hal tersebut, Dewa Siwa kemudian mengirim ajudannya untuk ke hutan mengambil kepala binatang yang pertama kali mereka lihat. Para ajudannya bergegas dan akhirnya menemukan sebuah anak gajah. Mereka segera memotong leher anak gajah tersebut dan memberikannya ke Dewa Siwa. Dengan kekuatannya yang besar, di tempelkannya kepala Gajah tersebut ke leher anak kecil yang ia bunuh tadi lantas meniupkan roh kehidupan ke mayat tersebut.


Terimakasih
Malang 12 Februari 2020
Ali Ahsan Al haris