Thursday, December 19, 2019

Kucing Dalam Karung Itu Bernama, Buku

"Kucing Dalam Karung Itu Bernama, Buku"


Membeli buku itu seperti membeli kucing dalam karung, kami mengeluarkan uang untuk sesuatu yang kami bahkan belum tahu apa isinya.

Tentu tulisan ini hanya pengalaman saya pribadi, namun tidak bisa dipungkiri pula, apa yang saya tulis ini adalah replika apa yang pembaca buku alami hari ini. Kok bisa? Saya sudah survey kecil-kecilan, hehe.

Oke fokus, saya akan awali tulisan ini dengan bagaimana seseorang pembaca dapat membaca ratusan buku bahkan ribuan buku dalam hidupnya. Apa yang mendasari calon pembaca membeli buku tersebut!

Waktu saya masih SD hanya membaca buku sejarah dan buku bergenre Islam, kalau ada bahan bacaan lain pun hanya dari majalah dan koran bekas. Naik ke SMP dan SMK bahan bacaan saya bertambah lagi, dari situlah saya mulai mengenal beberapa penulis yang saya anggap keren. Terlebih jika buku yang saya baca adalah buku-buku ilmiah, dari situ saya dapat meng track sumber rujukan dari buku yang saya baca, mulailah saya dapat membuat list buku dari penulis siapa saja yang kedepan saya baca. Hal ini berkembang semakin luas saat saya sekolah di Malang, sumber dan bahan bacaan yang maha luas menjadikan saya dapat menentukan selera bacaan saya. Benar, membaca adalah masalah selera.

Selain paragraf di atas, sumber bahan bacaan saya juga dipengaruhi oleh lingkungan, sosial media dan perkawanan. Ada imbas positif dari itu semua, tapi terkadang hal semacam ini yang secara tidak langsung membuat kita tolol dan membenarkan jika kucing dalam karung bernama buku itu benar adannya. Alasannya? Hidup bersosial menjadikan saya banyak berinteraksi dengan banyak orang, banyak pembaca dan klub sastra yang saya ikuti. Berada di lingkungan sesama pembaca buku menjadikan beberapa kawan merekomendasikan buku apa saja yang harus saya baca. Ingat, membaca buku itu masalah selera. Alhasil rekomendasi buku dari kawan-kawan yang saya ikuti secara tidak langsung menjadikan saya menuruti selera bacaan mereka. Hasilnya? Menjemukan. Saya cenderung menyesali apa yang mereka rekomendasikan kepadaku, bacaan mereka bukanlah selera saya. Membeli buku itu perlu uang dan waktu, dan itu bukanlah barang murah. Sosial media juga berperan besar pada kesalahan saya dalam membeli buku, mereka sebagai pemasar tentu akan membranding sedemikian rupa agar hasil dagangannya laku keras, dalam sisi bisnis tentu sangat bagus. Tapi dalam sudut pandang saya sebagai pembaca, hal ini sangat menjijikan. Uang yang kita keluarkan untuk membeli buku tersebut terbayar dengan bacaan yang tidak sesuai dengan selera kita. Kasus yang menjadi perhatian besar saya adalah sampul buku, kutipan dan komentar tokoh atau penulis dalam sebuah buku. Saat saya jalan ke toko buku, hal semacam itu yang membuat saya sering tertipu. Saya membeli buku karena tertarik dengan bagusnya sampul dan testimoni beberapa tokoh atau penulis pada buku yang rencananya tidak saya beli itu. Setelah saya putuskan membeli dan membacanya, hasilnya lagi-lagi menjemukan. Sempak.

Tentu paragraf di atas tidak mesti pembaca telan mentah begitu saja, saya pernah membeli buku karena tertarik dengan bagusnya judul dan cover, dan itu terjadi beberapa kali. Bahkan waktu saya masih Mahasiswa, pernah menargetkan diri saya dalam sebulan membeli 10 buku, meski alasan saya tampak konyol di mata kawan-kawan dekat saya, hal tersebut tetap saya lakukan meski dalam prakteknya saya sering asal membeli buku demi menutupi target pembelian buku bulanan. Lain cerita, saya pernah membaca karangan Jostein Gaarder, bagi banyak kalangan pembaca filsafat tentu akan mengamini buku "Dunia Sophie" adalah karangan yang fenomenal, luar biasa dan banyak kalimat-kalimat pujian lainnya. Tapi bukan Dunia Sophie yang ingin saya ceritakan, melainkan karangan Gaarder lainnya, "Misteri Soliter". Ada kawan saya yang kekeh berpendapat jika Misteri Soliter adalah buku terbagus nya Gaarder selain Dunia Sophie. Karena saya penasaran, saya memutuskan untuk membeli buku tersebut, setelah saya baca dan pikir-pikir. Dunia Sophie tetap buku terbaiknya Gaarder. Sisi positif dari perjumpaan saya dengan karyanya Gaarder adalah, saya membaca buku "Gadis Jeruk" dimana buku tersebut adalah karya Gaarder yang paling saya kagumi selain Dunia Sophie. Saya dibuat terkagum-kagum dengan plot cerita yang Gaarder tulis, dengan menceritakan kisah sepasang suami istri dan anak semata wayangnya yang dibalut dengan kisah saintek. Buku Gadis Jeruk berhasil membuat saya terpukau dan berkaca-kaca. Jika kalian mau, bisa baca resensinya di blog saya.

Oke kita fokus lagi. Maksud saya menuliskan paragraf di atas adalah usaha saya dalam menjawab bagaimana seorang pembaca dapat menghabiskan uang dan waktunya menikmati ribuan buku selama kita hidup. Saya dapat membaca banyak buku berkat perjumpaan saya dengan pelbagai karya penulis-penulis. Semakin kita banyak membaca, semakin kita dibukakan wacana dan pengetahuan dari pelbagai sumber. Hal tersebut yang menjadikan kepribadian kita terbentuk sebagai kebulatan sistem yang tidak lagi dapat diganggu gugat. Persis apa yang "Ahmad Wahib" tuliskan dengan judul "Bagiku Adalah Dialoq" dalam bukunya yang berjudul "Pergolakan Pemikiran Islam".

Terlepas banyak sisi positif yang saya dapatkan dari banyak membaca buku, membeli buku itu seperti membeli kucing dalam karung, kami mengeluarkan uang untuk sesuatu yang kami bahkan belum tahu apa isinya.


Herannya, banyak kasus aparat-aparat yang suka merazia lapak dan toko buku dengan dalih buku tersebut menyebarkan komunisme, radikalisme dll. Saya yakin aparat-aparat itu tidak membaca buku yang mereka razia, mereka adalah korban seperti yang saya alami dulu. Korban membeli kucing dalam karung bernama buku.

Wednesday, December 18, 2019

Status Facebookmu, Mencuri atau Mendaur Ulang Cerita?

Status Facebookmu, Mencuri atau Mendaur Ulang Cerita?


17 Agustus 2019, sore hari yang senggang saya membaca status facebook seseorang. User ini bukanlah kawan saya di facebook, mungkin karena algoritma facebook yang menampilkan apa yang kita like dan komen pada setiap aktifitas muncul ke beranda menjadikan saya dapat membaca cerita pendek yang kemudian saya angkat menjadi tulisan yang kalian baca ini.

Cerita pendek tersebut seputar kisah percintaan duo sejoli yang saling mencintai, singkat cerita si lelaki akan mendaki gunung dan menawarkan ingin hadiah apa sepulang lelaki tersebut ke rumah si perempuan, kekasihnya itu meminta bunga terindah yang ada di gunung yang ia daki. Kira-kira begitulah alur cerita jika saya ringkas.
Hingga beberapa hari ditunggu, lelaki tersebut tidak ada kabar dan berkunjung ke rumah. Lama di nanti, ternyata yang datang ke rumah si perempuan ini adalah kawan kekasihnya, saat bertemu si perempuan di depan itu, kawan dari kekasih si perempuan ini langsung memeluk dan mengabarkan ke si perempuan ini bahwa pasangannya meninggal dunia di gunung saat hendak mengambil bunga yang rencana ia berikan ke kekasihnya itu.

Oke sampai disini dulu, jika pembaca blog saya pernah menonton film "SOE HOK GIE", tentu akan paham bagaimana alur cerita kematian Gie di Gunung Semeru. Bedanya, si perempuan ini tidak meminta bunga, melainkan menunggu pernyataan cintanya Gie. Namun naas, yang terjadi malah kawan Gie, membawa kabar kematiannya di Gunung tertinggi di pulau Jawa itu. Persis reka kejadiannya seperti ringkasan cerita yang saya tulis di atas.

Sebelum saya lanjutkan, mohon maaf jika terlalu dini dalam menghakimi user pembuat cerita di atas telah melakukan pencurian plot cerita pada film Gie. Sangat bisa jadi saya yang kurang banyak refrensi sehingga mengdaku penulis cerita tersebut melakukan pencurian plot.
Lantas, apakah yang dilakukan penulis tersebut salah?

Hmm, saya tidak berani menyalahkan pun sebaliknya. Tapi, bukankah kebanyakan penulis melakukan hal tersebut! Tentu bukan maqom saya membahas hal ini, tapi saya ingin urun pendapat yang saya dapatkan dari pengalaman dan pelbagai penulis yang pernah membahas hal ini dengan serius.

Ini Hanya Masalah Daur Ulang Cerita.

Ya, aslinya kita tidak perlu memperdebatkan hal ini salah atau benar. Karena banyak kita temui penulis-penulis besar yang melakukan hal ini. Mendaur ulang dalam konteks ini bukannya menuliskan cerita lama ke versi lebih modern tidak, bukan berarti juga menuliskan ke versi baru dengan meminjam karakter yang ada pada kisah lama, juga tidak.

Dari pelbagai penulis yang pernah membahas hal ini termasuk dalam plagiat atau tidak, saya lebih tertarik dengan alasan Eka Kurniawan yang dia tulis dalam jurnalnya. "Mendaur ulang di sini lebih dimaksudkan kepada meminjam (atau mencuri) plot cerita yang sudah ada, untuk dituliskan dalam karya baru. Ceritanya boleh jadi hampir sama, tapi nama karakter, setting, dan gaya boleh jadi berubah. "Pencurian" ini oleh mayoritas orang, tidak tampak. Bisa jadi karena mayoritas orang tidak tahu sumber yang dicuri. Bisa jadi karena yang dicuri adalah plot cerita, sehingga tak tampak dipermukaan". Kurang lebih itulah pendapat Eka yang saya ingat. Jika salah, mohon di koreksi.

Semoga penjelasan di atas dapat membuka pembaca pada pemahaman baru, kita tidak perlu lagi menghabiskan energi membahas itu termasuk plagiat atau tidak, biarkan itu menjadi urusannya para ahli. Penting kita hidup sehat, keluarga dan pekerjaan aman lancar sudah lebih dari cukup. Hehe

Oh iya, menurut Eka, ada beberapa penulis besar yang di apresiasi karena kelihaiannya dalam mendaur ulang cerita. Sebut saja The Alchemist karya Paulo Coelho dan The Bad Girl karya Mario Vargas Llosa. Mungkin sebagian pembaca mengenal siapa nama-nama itu, dan mereka bukanlah penulis biasa-biasa. Paulo Coelho penulis banyak novel best seller, The Alchemist hanya salah satunya. Mario Vargas Llosa, ia pernah mendapatkan nobel Kesusastraan 2010.

Kisah sesungguhnya dari The Alchemist? Bisa diringkas sebagai berikut: seorang bocah gembala bernama Santiago, suatu hari tidur di gereja tua di perdesaan Andalusia. Di sana ia memimpikan satu harta karun, yang sayangnya berada jauh di bawah piramida di Mesir. Sepanjang novel, dikisahkan perjalanan Santiago menyeberangi benua (Eropa ke Afrika) dengan berbagai kesulitan, hingga akhirnya ia tiba di Mesir. Di sana ia tak menemukan harta karunnya, malah bertemu seseorang yang menertawakannya. Orang ini menertawakan kekonyolannya karena mau-maunya melakukan perjalanan jauh mengikuti mimpi. Orang ini bilang, ia memimpikan hal yang kurang lebih sama, bahwa ia memimpikan harta karun tapi tempatnya jauh. Di sebuah gereja tua di perdesaan Andalusia. Orang tersebut tak mau melakukan perjalanan konyol dari Mesir ke Andalusia. Saat itulah Santiago sadar, harta karunnya berada di tempat ia memulai perjalanan. Bagi penggemar atau yang pernah membaca Hikayat Seribu Satu Malam atau orang Barat lebih mengenalnya sebagai Arabian Nights, pasti mengenal satu cerita berjudul “A Ruined Man Who Became Rich Again Through a Dream” (muncul dalam versi terjemahan Richard Burton). Kisahnya? Tentang lelaki kaya yang bangkrut. Dalam kesusahan, ia memimpikan harta karun di satu tempat. Ia pergi ke tempat yang disebut di mimpinya, dan tidak menemukan harta karun. Ia malah bertemu seseorang yang juga memimpikan hal yang sama tapi tak mau pergi. Bedanya, orang ini melihat harta karunnya di satu tempat, yang segera diketahui tokoh kita sebagai rumahnya. Ia kembali ke rumahnya, menggali di halaman, dan menemukan harta karun tersebut. Sama? Ya, sama persis. Bedanya, kisah dalam Hikayat Seribu Satu Malam diceritakan dengan sangat ringkas, hanya sekitar 2-3 halaman. Lebih serupa cerpen. Paulo Coelho mengembangkannya menjadi novel sekitar 200 halaman. Plot dasarnya persis sama, tapi tentu saja dalam bentuk novel, Coelho mengembangkannya lebih kaya. Ada kisah cinta (pertama antara Santiago dengan anak pedagang wol, kemudian dengan gadis gurun bernama Fatimah). 

Novel yang lain adalah The Bad Girl karya Mario Vargas Llosa. Ceritanya bisa diringkas seperti ini: ada seorang bocah yang jatuh cinta sama seorang gadis (nakal). Si bocah selalu cinta dan sayang kepada gadis ini, tapi si gadis malah membalasnya dengan segala hal yang menyakitkan. Pertama mereka bertemu di sekolah menengah. Si gadis mau saja dibawa nonton bioskop atau jalan-jalan. Tapi, setiap si bocah mengajaknya untuk jadi pacar, si gadis menolaknya. Mereka bertemu lagi di Paris. Si bocah (kini bujangan) masih mencintainya. Si gadis mau kencan dengannya, tidur dengannya, tapi ketika diajak serius, si gadis malah pergi dengan diplomat Prancis. Seumur hidup si bocah mencintai gadis ini, tapi si gadis selalu menolaknya, dan lebih memilih gonta-ganti pacar (dan suami), mengejar orang- orang kaya, kemasyhuran, dan petualangan. Berkali-kali si gadis mengkhianati si bocah, tapi si bocah selalu menerimanya kembali, sebab ia selalu sayang dan cinta kepadanya. Yang pernah membaca Madame Bovary Gustave Flaubert, pasti mengingat kisah tersebut. Si gadis merupakan karakter modern dari Emma Bovary. Tentu saja Vargas Llosa memang kenal betul dengan Bovary, ia bahkan menulis satu buku khusus mengenai itu, The Perpetual Orgy. Vargas Llosa memindahkan latar novel ke Peru (lalu melintasi benua ke Paris, London, Tokyo, Barcelona). Seperti The Alchemist, versi baru Madame Bovary ini tentu menjadi lebih kaya. Sudut pandang narasi memang dari si bocah (bernama Ricardo). Kisah The Bad Girl, selain melintasi tempat-tempat yang lebih luas, juga ditandai dengan pergeseran politik dan budaya bersama berjalannya waktu. Novel ini sekaligus menjadi komentator untuk kemenangan Revolusi Kuba, kemunculan generasi bunga di London, dan banyak hal lagi. Selebihnya silakan baca karya-karya itu untuk melihat perbandingan-perbandingan lebih detail. Satu hal yang jelas, kasus ini barangkali bisa menjadi ajang para penulis untuk belajar: bagaimana menjadi pencuri yang baik.

Gimana, bosan dengan tulisan ini? Jika bosan, ya gpp juga. Kawan-kawan dapat membaca langsung apa yang Eka tulis dalam jurnalnya. Saya hanya mencoba meringkas dari apa yang Eka tulis karena berangkat dari adannya status facebook yang plot ceritanya (Menurut saya) sama persis dengan film Gie.

Sudah ya, saya capek ngetiknya. Siapa tahu diantara kita ada yang ingin menjadi pencuri yang baik berkat tulisan ini. Agagagaga

Tuesday, December 17, 2019

Surat Untuk Ayah

SURAT UNTUK AYAH

Tulisan ini sudah saya share di group keluarga dan terbaca oleh Ayah dan Ibu saya. Jadi, selamat membaca.
Minggu ini saya sedang berusaha menyelesaikan buku karangan Eka Kurniawan berjudul "Senyap Yang Lebih Nyaring", penulis yang banyak kalangan menyebut Eka adalah pewaris idiologisnya Pramoedya Ananta Toer. Buku tersebut aslinya adalah tulisan di blog Eka pada medio tahun 2012-2014 yang diterbitkan oleh Circa Yogyakarta. Jarang sekali saya membeli buku yang naskah aslinya bisa saya nikmati lewat blog atau web, seingat saya hanya buku terbitan Mojok dengan judul "Surat Terbuka Kepada Pemilih Jokowi Sedunia" dan buku yang sedang saya baca minggu ini. Lantas jika dibilang tidak suka membeli buku yang naskah awalnya bisa saya nikmati lewat blog atau web, mengapa saya membeli buku ini?. Jawabannya sederhana, ada rasa hormat saya kepada Eka. Selain karena buku Cantik Itu Luka yang sangat fenomenal, saya pernah bertemu langsung dengan Eka saat bedah buku di Malang.  Bagi saya, Eka bukan hanya penulis buku, dia juga seorang kritikus sastra, desainer dan pribadi yang komitmen dengan apa yang dia tulis.

Oke, saya kira saya harus langsung kepada inti tulisan. Jadi begini, hehe.

Sebenarnya banyak judul yang menarik pada buku tersebut, tapi untuk kali ini saya ingin membahas judul "Ayah dan Anak" pada halaman 61. Singkatnya, judul tersebut mengisahkan hubungan seorang Ayah dan Anak di The Road Cormac McCarthy, yang beberapa kali (Si Anak) mengingatkan ayahnya untuk menepati apa yang telah dikatakannya sendiri. Pada bagian tersebut Eka berandai jika hubungan Eka dengan Ayahnya seperti pada cerita di atas, dan saya (Sekarang) membayangkan apa yang waktu Eka bayangkan. Ya, saya sedang membayangkan hubungan saya dengan ayah saya.

Saya tidak terlalu banyak bicara dengan ayah saya, dan itu salah satu yang saya sesali. Saya hanya banyak bicara ke ibu saya, itupun ukurannya tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan kawan-kawan atau saudara saya. Saya menjadi anak yang pendiam, khususnya di rumah. Atau kalau boleh saya memakai bahasa halus, saya adalah tipikal anak yang semasa kecil suka mengamati, bahkan sampai sekarang. Saya tidak memiliki banyak energi untuk bicara, kalau pun terpaksa maka hanya obrolan pemecah kegaringan semata. Parahnya, tabiat ini berlanjut saat saya memiliki istri, untung saja perempuan yang saya nikahi ini paham. Syukur allhamdulillah.

Saya masih ingat, pertengahan tahun 2011 selepas shalat ashar berangkat ke Malang dengan ayah. Kami naik bus dari terminal Pecangaan Jepara ke terminal Jati Kudus. Dari Kudus kita berdua melanjutkan perjalanan ke terminal Bungurasih Surabaya. Waktu itu kita menaiki Bus Sinar Mandiri kelas ekonomi yang membawa kita 6 jam lamannya menuju kota pahlawan.

Saya membawa tas yang cukup besar berisi pakaian dan berkas daftar ulang Mahasiswa Baru. Sedangkan ayah hanya membawa day pack kecil yang berisi beberapa baju dan sedikit makanan ringan pemberian ibu. Perjalanan yang memakan waktu 6 jam itu kita lalui tanpa banyak bicara, pikiran saya banyak membayangkan bagaimana kelak saya hidup di Malang yang jauh dari orangtua...bagaimana nanti hubungan saya dengan kawan-kawan baru saya, apakah di Malang memiliki tempat pusat perbelanjaan buku seperti di Semarang dan Yogya. Malang, saya datang kembali setelah rekreasi SD dulu, kini nasib membawaku ke kotamu yang dingin...kira-kira pikiran semacam itu yang menyeruak dalam otak saya.

Momen yang tidak mungkin saya lupakan adalah saat saya ketinggalan bus dengan ayah. Bagi pembaca yang pernah naik bus kelas ekonomi jurusan Semarang-Surabaya tentu paham jika bus kelas ekonomi istirahatnya ngemper di warung pinggir jalan, kelas ekonomi tidak memiliki rekanan dengan resto. Saya berteriak dan berlari saat busnya meninggalkan saya dan ayah...berkas dan pakaianku ada didalam bus semua, modyar aku, batinku...tapi allhamdulillah Allah masih bersama kami. Ternyata, kondektur bus yang kami tumpangi juga tertinggal di warung. Alhasil si kondektur menelpon si supir untuk berhenti, lumayan jauh juga karena kami bertiga harus jalan kisaran 200 meter menuju bus.

Tibalahlah kami di terminal Bungurasih Kota Surabaya, kalau tidak salah ingat waktu itu kisaran jam 1 dinihari. Kita berdua lanjut bergegas menaiki Bus yang membawa saya dan ayah ke Malang, kota yang kelak menjadi tempat saya menuntut ilmu. Kali ini kita berdua naik bus patas non ekonomi, karena penumpang terlalu penuh, saya harus duduk terpisah dengan ayah saya. Syukur allhamdulillah jarak kita berdua tidak terlalu jauh, sehingga saya tidak takut jika terjadi hal negatif dengan diri saya.
Perjalanan Kudus - Surabaya - Malang, suasana masih sama. Kita berdua tidak terlalu banyak bicara. Datar, diam tapi saling mengamankan jika terjadi hal-hal negatif.

Kita sampai Malang menjelang subuh, kalau tidak salah jam 03.15. Dinginnya Malang, wangi buah apel dan bakso malangan yang dijual di terminal Arjosari menyambut saya dan ayah. 

"Allhamdulillah", ucap ayah yang masih saya ingat betul.

"Leh, awakmu gak maem?", Tanya Ayah

"Mboten, Pak. Kulo tak lungguh mawon ngeh kaleh ngentosi jemputan", jawabku ke ayah.

Tak lama saya melihat ayah makan bakso. Mungkin ayah sangat lapar, batinku.
Ya, hanya obrolan-obrolan kecil saja yang terjadi antara saya dengan ayah. Perlu pembaca ketahui juga, jika saya ke terminal arjosari menjemput istri pulang kerja. Saya masih ingat betul kedai bakso tempat ayah makan dulu, mengingat warna jaket dan celana kainnya yang kumal. Duh Gusti, terimakasih telah memberikan kesehatan kepada Ayah dan Ibu saya.

Waktu banyak membawa perubahan, saya sudah lulus dan menikah. Yang tidak berubah hanya satu, saya tetap jarang bicara dengan ayah saya. Sesekali kami memberi kabar, isinya guyonan seputar bagaimana perkembangan kasus saya dengan orang yang tidak terima dengan artikel saya, bagaimana kabar pekerjaan dan istri saya dll.  Sekali telpon saya bisa menghabiskan waktu minimal 45 menit, dan saya bahagia juga sedih. Entahlah perasaan apa ini.

Pernah saya bertanya kepada kawan-kawan gaek saya ditempat kerja, atau kawan saya yang menempuh studi pasca sarjana. Apakah hubungan saya dengan ayah saya ini terbilang wajar. Tentu banyak jawaban yang beragam dan tidak dapat saya jelaskan juga. Akan tetapi ada benang merah hasil diskusi saya dengan kawan-kawan yang perlu saya share dengan pembaca.

"Begitulah lelaki, terlebih seorang Bapak. Terkesan cuek dan keras terhadap anaknya, tapi diam-diam dia selalu bertanya kabar anak-anaknya melalui istrinya. Jadi jangan kaget kalau anak selalu dekat dengan Ibunya", Saya kira itu benang merah yang saya dapat dan saya mengamini hal itu.

Mengapa saya menulis ini? Sudah saya jelaskan di awal tulisan. Ada alasan lain? Ya, alasan itu adalah saya ingin berterimakasih kepada ayah saya. Sebagai anak yang tidak pandai bicara, tentu tulisan ini saya harap mewakili apa yang saya rasakan. Hornat saya kepada Ayah dan Ibuk. I love you.

Saya memiliki banyak kenangan, namun sedikit yang bisa saya kenang dipikiran saya karena harus bersaing dengan ingatan kapan jatuh tempo cicilan sepeda motor, listrik, bpjs dll. Oleh karena itu saya memilih menulis kenangan ini.

Seperti saat selesai makan atau bercinta. Jika ada sensasi selepas aktifitas tersebut, anggap saja sebagai residu perasaan dan kenangan yang bertahan. Jika saya ingin mengingat kenangan itu dan lupa, saya tinggal membaca tulisan ini lagi. Begitu terus akan saya ulangi.


Terimakasih
Salam hangat bagi Ayah dan Ibu saya.
Salam bagi para Ayah di luar sana.

Saturday, December 14, 2019

Pertikaian Suami Istri di Era Cyber

"Pertikaian Suami Istri di Era Cyber"


Sebelum kalian baca sampai tandas, mohon maaf jika ada yang tersinggung. Jujur memang tulisan ini saya tulis terinspirasi dari status facebook kawan-kawan saya. Kadang bikin ngakak, ngelus dada dan njungkel. Hahaha

Mari kita mulai

"Wadoh paketanku entek, padahal lagi ditumbaske papa, pesti aku mengko di pisoi. Tapi gpp wes, mengko tak cipok ae" Bunyi status facebook kawan SD saya yang sempat saya baca.

"Bojone uwong dibilang cantik...bojone dewe boro-boro cantik. Ngomong sayang orak tau..hehe" Bunyi status facebook kawan saya yang lain.

Lanjut lagi kawan saya yang sama menulis di status facebooknya, "Aku ancen ngene, ameh kuwe orak seneng karo aku yo rapopo cuek sih aku..penting yo aku nerimo anakmu opo anane nyatane bertahan sampek saiki" Begitu tulisnya. Baca Tulisan Saya Yang Lain Adik Saya dan Berhala Kesuksesan Sosial

Berbeda lagi dengan kawan saya yang lain, "Gembar gembor rak kesel tah pie bendino ger esok gembar gembor. Masamu ra kesel po piye momong anakmu" Dari statusnya, saya mengira pasti sedang ada masalah dengan suaminya.

Petikan status yang saya tulis di atas bersumber dari facebook, mereka kawan saya semua dan tidak perlu saya perkuat bukti status tersebut dengan capture dll. Peristiwa semacam itu sering saya temukan dalam kehidupan sehari-hari, entah lewat facebook pun status WhatsApp.

Hubungan suami istri sifatnya sangat dinamis. Coraknya dapat dibilang fluktuatif, sangat cepat berubah suasananya. Pasangan suami istri yang pagi hari tampak bahagia dan fine saja, sore harinya dapat berubah menjadi perang yang sangat panas karena dipicu suatu peristiwa. Tapi, situasi ini dapat berkebalikan. Saat suami istri dalam kondisi konflik dan ketegangan yang luar biasa, bisa sangat cepat berubah situasinya setelah menemukan titik romantis yang menyatukan batin mereka berdua. Hubungan suami istri ibarat gelang karet, jika ditarik dalam ketegangan tertentu, bisa putus, namun dapat kembali kebentuk seperti semula. Baca Tulisan Saya Yang Lain Ejakulasi Kesabaran

Tentu tulisan saya ini tidak bermaksud menggurui para pembaca, terlebih bagi para pembaca yang sudah menjalani mahligai rumah tangga lebih dari 10 Tahun. Eitsssss, ada apa dengan 10 Tahun? Beberapa orang yang  pernah saya tanya, hubungan rumah tangga akan mulai klik atau aman dari gempuran setelah masuk pada fase pernikahan minimal 10 tahun, benar tidaknya, hampir semua yang saya tanya mengamini hal tersebut, dan tulisan ini berangkat dari status kawan-kawan saya yang rumah tangganya belum mencapai umur sepuluh tahun.

Oke lanjut.

Idealnya memang pasangan suami istri kudu saling memahami, terlebih karena hubungan yang cenderung fluktuatif. Jika terjadi konflik, salah satu harus sabar sabar dan sabar...hahaha...paling penting adalah jika sedang marah-marah jangan cepat-cepat menceritakan kepada orang lain, siapa tahu situasinya cepat membaik.

Sadar atau tidak, kita ini (termasuk saya) sedang terjangkit penyakit ketergantungan dan kecanduan pada teknologi komunikasi. Kita masuk pada era dimana fitur komunikasi berkembang dengan sangat cepat, semua pasangan suami istri dapat dengan mudah curhat kepada siapapun lewat gawai yang mereka miliki. Gawai telah mengubah pola interaksi kita sebagai manusia, baik dalam kehidupan bersosial pun suami istri. Bahkan saking dekat dan kecanduannya kita dengan gawai, apa yang kita pikir dan rasakan langsung bisa kita tulis lewat paltform seperti facebook dan WhatsApp. Baca Tulisan Saya Yang Lain Kabinet Kadal, Nama Yang Cocok Untuk Kabinet Jokowi Kedepan

Terus kudu piye? 

Idealnya sih suami istri harus tahu mana sosial media yang fungsi komunikasinya bersifat rahasia antara dua orang dan umum. Karena pada prinsipnya problematika hidup rumah tangga tidak patut untuk disebar secara terbuka. Begitu pun dengan banyak cerita ke saudara,mertua, tetangga atau teman perihal pertikaian kita dengan pasangan. Hal ini sedikit banyak akan membuat orang lain menilai hubungan kita dengan pasangan tidak akur. Padahal kita lupa, hubungan suami istri bak karet gelang, sifatnya elastis yang terkadang tegang dan lentur. Jadi kecelakaan berpikir bagi orang lain yang mengecap hubungan kita dengan pasangan selalu penuh pertengkaran padahal kita sudah haha hihi dengan pasangan.

Kita juga kudu sadar jika apa yang kita tulis di sosial media akan selalu tersimpan dan mudah sekali tersebar alias viral. Contohnya saja tulisan ini yang terinspirasi dari curhatan kawan-kawan saya, kalau mereka tidak membuat status semacam itu, mana mungkin saya dapat judul seperti di atas.

(Lagi), Suami istri yang tengah mengalami pertikaian idealnya memang harus menyimpan baik-baik masalahnya dan bersikap dewasa dalam mencari solusi. Jika sedikit-sedikit mengumbar di sosial media, yang ada bukan mencari penyelesaian pertikaian melainkan malah mensosialisasikan pertikaiannya. Baca Tulisan Saya Yang Lain Apa Yang Salah Hanya Dengan Membaca Ringkasan Buku?

Jika yang kalian share ke sosial media hanya pertengkaran kalian dengan pasangan. Mengapa saat kalian merasakan nikmatnya bersetubuh dengan pasangan tidak kalian share juga ke sosial media !!!

Gimana? Adil bukan.

Generasi Kumpul-Kumpul, Tapi Nol

"Generasi Kumpul-Kumpul, Tapi Nol"


Mungkin tidak hanya saya saja yang mengalami, atau bisa jadi memang saya sendiri. Hehe.
Pernah tidak kalian menghadiri suatu majlis, atau kelas perkuliahan, diskusi publik pun bedah buku yang diulas langsung oleh pemantik-pemantik handal. Tapi apa yang kalian dapat? Nol besar, atau bahasa halusnya, bingung dengan apa yang kalian dapat selepas menghadiri acara tersebut.


Apakah kalian mengalami hal tersebut? Apakah kita termasuk dalam orang yang hanya ikut-ikutan saja, gerombol kesana kemari tanpa hasil yang jelas, jika kalian sependapat dengan saya. Berarti kita adalah golongan yang sama. Dan parahnya, saya mengalami hal ini terus menerus, sampai hari ini. Sempak

Pada suatu waktu, ada kolega yang mengingatkan bahwa apa yang saya alami ini adalah hal normal, akan tetapi perlu sekali adanya resensi setiap pertemuan. Dalam artian saya dituntut fokus dan berusaha meresensi apa yang pemateri dan kawan-kawan di majlis sampaikan. Kawan saya memberikan beberapa tips agar saya dapat melatih fokus dan spontanitas dalam meresensi setiap hadir dalam majlis ilmu dll.

Pertama, saya diwajibkan memperbanyak membaca buku. Mengapa harus buku, saya kira dalam beberapa tulisan saya sebelumnya sudah membahas hal ini, jadi tidak perlu saya utarakan kembali.
Kedua, membuat resensi buku. Ini adalah aktifitas rutinku dulu selama sekolah, setiap selesai membaca buku saya sering membuat resensinya, bahkan banyak didapati buku-buku saya penuh dengan catatan kecil. Tapi sekarang cenderung malas, kenapa? Penak turu.

Ketiga, meresensi pembicara yang ada di youtube. Hal ini terbilang mudah karena apa yang pembicara sampaikan dapat kita pause terlebih dahulu untuk kemudian kita tulis benang merahnya.

Keempat, terus menerus belajar menulis dan menulis. Salah satu kunci utama dalam menulis adalah kejujuran. Perihal banyak membaca dll itu hanya teknik semata, akan bahaya sekali jika apa yang kita tuliskan tidak ada kejujuran didalamnya.

Kelima, share hasil tulisanmu kepada kawan-kawan dekat dan meminta tolong padanya untuk menanggapinya. Dari merekalah kalian akan mendapat saran dan kritik. Rendah hatilah jika kritikan kawan-kawan kalian membuat kalian tidak nyaman. Jikalau merasa tulisan kalian sudah layak, coba dishare ke group para majlis atau sesepuh yang sekiranya paham betul dengan konteks yang kita resensi.

Kurang lebih itu tips dan trik yang saya dapatkan dari kawan saya, barangkali pembaca ingin menambahi juga boleh. Sampai detik ini pun saya terus belajar dan berharap bukan menjadi manusia yang hanya kumpul-kumpul tapi tidak paham mengapa harus kumpul dan apa yang didapatkan selepas kumpul.


Kecuali mengumpuli istri, beda konteks kalau itu. Hahaha

Friday, December 13, 2019

Penyair Facebook Diantara Like, Share dan EYD

"Penyair Facebook Diantara Like, Share dan EYD"

Sebelum kalian membaca tulisan ini lebih lanjut, maaf jikalau ditemukan ejaan yang tidak sesuai EYD, dan permintaan maaf mendalam kembali dari saya jika tulisan ini terlalu panjang dan bertele-tele. 

Hehehe

Saya ingin mengutip apa yang Eka Kurniawan tulis dalam kata pengantar pameran yang ia kurasi di Jakarta International Literary Festival 2019 (JILF 2019); Bacaan Liar Era Kolonial: 

"Maka, berhati-hatilah. Jika kita masih menganggap puisi yang ditulis di Facebook, novel yang ditulis di Wattpad, atau diterbitkan sebagai buku elektronik sebagai karya sampah, siapa tahu kita sedang mencoba mempertahankan posisi elite kita, dan yang sedang kita hadapi adalah tak lain dari cikal bakal bacaan liar". 

Konteks yang dibahas oleh Eka dalam versi lengkap kata pengantar tersebut adalah soal penggunaan bahasa (sesuai atau tidak sesuai EYD) dan media penerbitannya. 

Dulu, banyak karya dikontrol oleh Balai Poestaka. Karya-karya dalam bahasa yang belepotan; bahasa Melayu, bahasa Indonesia campur bahasa Belanda, Jawa, dan Tiongkok tidak akan dicetak dan akan dianggap bacaan liar.

Di era yang agak lebih modern, bacaan yang dianggap layak adalah yang sesuai EYD. Tulisan yang isunya lebih dekat dan personal dengan ejaan yang digunakan di masa lalu tidak mendapatkan publikasi. Kesusastraaan lokal/daerah pun menjadi tenggelam (jika tidak mau menyebutnya punah). 

Begitulah kiranya petikan tulisan dari Mas Budi Winawan yang saya baca. Apa yang menarik dari tulisan tersebut? Banyak, akan tetapi saya ingin fokus pada banyaknya penyair atau penulis yang hari ini berseliweran di jagad dunia maya, mulai facebook, twitter dan instagram.

Beberapa kawan dekat saya yang suka menulis pernah saya tanya pendapatnya mengenai fenomena penyair online, pertanyaan yang saya ajukan sederhana. Perihal seputar layak tidakkah tulisan tersebut dinamai sebagai karya sastra atau tidak.

Tentu jawabannya beragam. Mulai dari layak, karena semua jenis tulisan adalah karya sastra. Namun yang menarik adalah bagaimana caranya si penulis tersebut harus tetap produktif meski apa yang mereka tulis mendapat hujatan, bullying atau memiliki jumlah like dan share yang sedikit. Mengapa hal ini menjadi penting, observasi kawan saya ini (Meski tidak ilmiah, dan pastinya tidak dapat dipertanggung jawabkan juga), jumlah like dan share setiap postingan terkadang menjadi hambatan bagi penulis untuk terus berkarya. Selain itu, para penulis harus terus memperbanyak bacaannya, terutama dari buku. Mengapa harus banyak membaca? Karena tulisan adalah pesan, jika kita menulis terus menerus tanpa adannya bahan bacaan, alhasil dapat dipastikan tulisan kita tidak memiliki esensi. Kosong, asal bacot.

Jawaban yang menarik, batinku. 

Saya sendiri pernah mengalami fase tersebut, saat saya tidak banyak membaca. Hal tersebut linier dengan kosongnya inspirasi dan perbendaharaan kata yang saya miliki. Kalau pun saya paksa menulis, yang ada waktu habis untuk delete kata atau kalimat karena memang bingung apa yang harus saya tulis. Dalam konteks ini, terjadi pada gaya tulisanku yang cenderung deep. Berbeda konteks jika catatan harian, kalau itu mah tinggal merekam atau mengingat apa saja aktifitas kita dalam sehari kemudian diambil benang merahnya saja. Meski tampak mudah, banyak kesulitan juga jikalau si penulis tidak banyak membaca.

Sudah mafhum kita dengar jikalau sebelum menulis kita harus menjadi pembaca, setelah tulisan jadi kita berubah peran menjadi pembaca karya kita sendiri, dan pada tahap akhir kita menjadi kritikus atas karya kita sendiri sebelum dikonsumsi publik.

Jadi, kesimpulannya harus banyak membaca. 



Baca buku apa hari ini?

Dukun Pak Harto dan Perpusda Jepara

~ Dukun Pak Harto dan Perpusda Jepara ~

Jika pembaca dalam lima belas detik kedepan merasa bosan dengan tulisan saya, silahkan close dan akhiri bacaan ini. Akan tetapi jika masih penasaran dengan apa yang saya tulis, saya harap pembaca tidak kecewa dengan pesan yang saya sampaikan lewat tulisan sederhana ini.

Saya sudah suka membaca buku sejak kecil, entah hobi ini turun atau terbentuk dari siapa, mungkin jawaban yang tepat adalah kedua orang tua saya. Sejak SD saya sering membawa buku-buku diperpustakaan sekolah untuk kemudian saya bawa pulang. Hal ini saya lakukan karena perpustakaan di SD saya sangat kotor, mungkin hanya demit sebangsa kuntilanak atau tuyul yang mau masuk kedalam Perpus, sisanya hanya saya dan tukang kebon sekolah saja.

Dari bermacam buku perpustakaan SD yang pernah saya baca, hanya dua buku yang masih saya ingat betul. Yaitu buku tebal kisaran empat ratusan halaman yang mengulas tentang asal usul sejarah daerah beserta wisatanya di seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Buku kedua adalah buku dengan cover dominan warna putih dan merah dengan judul "Gerakan 30 September/PKI" versi Kemendikbud. Bagaimana, dari SD saja saya sudah membaca buku tragedi sejarah merah di negeri ini, maka tidak heran jika selama ini bacaan saya kalau tidak genre kanan ya kiri. Hehe

Bahan dan akses bacaan saya semakin banyak saat di SMP, maklum saja karena SMP saya tergolong yang memperhatikan betul sarana dan prasarana para anak didiknya, mulai dari lab bahasa, lab komputer, lab fisika dan biologi, perpustakaan yang luas sampai dengan tempat tidur Kepala Sekolah yang bisa kami lihat lewat gerbang utama sekolah. Setali tiga uang, perpustakaan menjadi tempat persembunyian paling aman saat jam istirahat tiba, bukan karena koleksi bukunya yang bagus, melainkan karena uang saku yang tak cukup untuk jajan dua kali jam istirahat. Praktis, saya ini terbilang pelanggan tetap perpustakaan hanya pada jam istirahat kedua dimana jam tersebut adalah lapar-lapar nya. Haha, sempak.

Baca tulisan lain Manusia Bisa Apa?

Beranjak dewasa saya mensyukuri betul keterbatasan selama SMP dulu, karena keterbatasan itulah saya terbentuk menjadi pribadi yang menyukai buku dan literasi.

Masa suram muncul saat saya masuk SMK, ternyata sekolah negeri bukanlah jaminan terjaminnya sarana prasarana yang lengkap, termasuk dengan adanya perpustakaan, lab produksi, lab bahasa bahkan musholla saja belum punya. Piye perasaanmu? Enak jamane sopo jal ! Mungkin Allah memang menyukai saya hidup dalam keterbatasan, jikalau saya diberikan akses lebih dan sedikit rasa kemapanan, Allah tahu jika saya akan dibuat kalap oleh Nya. Tentu dalam konteks ini saya tidak menjelekan SMK saya, perlu pembaca tahu jika SMK saya tergolong baru berdiri, saya adalah angkatan ketiga, pernah mengalami sekolah sistem shift pagi dan siang (Seperti orang kerja saja bukan), tapi dikenal orang sebagai anak-anak SMK yang bar-bar. Hahaha

Oke kita fokus lagi

Karena tidak adanya perpustakaan disekolah dan bacaan saya kebanyakan buku-buku agama yang saya pinjam dari Bapak saya. Kemudian saya berpikir bagaimana caranya saya dapat sumber bacaan murah dan beragam, dan kebetulan kawan saya mengajak ke Perpusda Kab Jepara. Alangkah bahagianya saya yang merindukan banyak bahan bacaan dapat sepuasnya menyelami teks demi teks di Perpusda Jepara.

Baca tulisan lain Surat Terbuka Untuk Jamaah Maiyah Baru

Belasan kali kunjungan ke Perpusda Jepara membuat saya nagih, selain bukunya yang banyak dan tempatnya yang nyaman. Saya memiliki alasan kuat untuk pulang telat. Hehe. Karena belum memiliki kartu anggota, saya tidak diperkenankan meminjam buku, alhasil terhitung awal tahun 2008 saya resmi menjadi anggota Perpusda Jepara dengan nomor anggota 01 0 40 0162
Kartu Anggota Perpusda Saya


Karena paceklik bahan bacaan kurang lebih satu tahun, praktis selepas memiliki kartu anggota Perpusda Jepara saya rutin meminjam buku. Tidak tanggung-tanggung, sekali meminjam saya langsung membawa lima buku yang harus saya baca maksimal dua minggu.

Harus saya akui juga, Perpusda Jepara lah yang mengenalkan saya dengan sastra. Banyak novel, majalah, tips trik dan biografi yang saya lalap habis. Dari banyak buku yang saya pinjam dari Perpusda Jepara, buku delapan seri yang membahas tentang Alm. Presiden Soeharto (Saya lupa judul dan penulisnya) menjadi buku favorit saya. Buku tersebut membahas perjalanan mendiang orang yang tiga puluh dua tahun memimpin Indonesia dari masa kecil sampai dengan lengsernya beliau menjadi orang nomor satu di Indonesia. Dari buku tersebutlah saya tahu jika Pak Harto percaya pada dukun, bahkan disebutkan pada awal menjadi Presiden sampai dengan awal delapan puluhan Pak Harto merangkul kelompok Islam, Pak Harto memiliki empat puluh delapan dukun. Belum lagi dengan tirakat beliau seperti bertapa telanjang di Gunung Kawi, Pantai Selatan dan Alas Purwo.

Saya sempat ketakutan kembali ke Perpusda Jepara karena telat mengembalikan buku. Alasannya bukan dari besarnya denda, melainkan karena saya menghilangkan buku tersebut. Karena takut nama saya di blacklist dan pihak Perpusda Jepara menghubungi sekolah, saya diantar kawan saya untuk menghadap kebagian pengembalian buku. Dengan memasang wajah melas, saya menceritakan kronologis bagaimana hilangnya buku yang saya pinjam. Hehe. Syukur allhamdulillah Ibuk di bagian pengembalian memaklumi alasan saya dan mengbebas tugaskan saya dari denda.

Baca tulisan lain Manusia Adalah Hewan Yang Online

Apakah kalian masih membaca tulisan saya? Bosan tidak? Sudah mendapatkan makna dari tulisan saya? Kalau sudah tolong komentar ya, karena saya sendiri juga bingung dengan yang saya tulis.


Sekian terimakasih.
Salam hangat.

Jangan Lupa Ngopi.