Monday, January 20, 2020

RESENSI BUKU LELAKI MALANG, KENAPA LAGI?


RESENSI BUKU LELAKI MALANG, KENAPA LAGI?



Sebelum saya lanjut. Tentu saya harus mengapresiasi diri saya sendiri karena telah selesai membaca dan dapat meresensi novel ini. Kenapa? Selain memiliki hampir 500 halaman, ukuran huruf pada novel "Lelaki Malang, Kenapa Lagi?" karangan Hans Fallada terbilang kecil. Butuh waktu dengan cermat dan fokus untuk membaca kalimat demi kalimat yang ada. Oleh karena itu, sekali lagi selamat untuk diri saya sendiri. Hello Ali, selamat ya.


Ini adalah buku ke empat yang saya resensi di ahun 2020. Lelaki Malang Kenapa Lagi? Adalah novel kedua yang diterbitkan Moooi Pustaka setelah "Angsa Liar" karangan Mori Ogai, sebuah rumah penerbitan yang digawangi salah satu maestro sastra di Indonesia, Mas Eka Kurniawan. Diterjemahkan dengan apik oleh Mbak Tiya Hapitiawati dari Bahasa Jerman. Mulai terbit Desember 2019, namun beredar dipasaran per Januari 2020. Saya termasuk beruntung mendapatkan buku ini agak murah karena Pre Order terlebih dahulu. Saya mulai membaca novel ini tanggal 9 Januari 2020 pukul 02.23 dinihari dan selesai Minggu 19 Januari pukul 16.32 WIB. Saya baca tepat selepas membaca novel "Orang-orang Proyek" karangan Mbah Ahmad Tohari. Jika belum ada blogger atau penulis yang meresensi buku ini, tentu saya akan sangat bangga jika resensi saya ini menjadi salah satu rujukan para calon pembaca novel "Lelaki Malang, Kenapa Lagi?" Sebelum memutuskan membeli atau membaca buku ini.


Sebelum saya lanjut, tentu tidak afdol jika belum membahas siapa Hans Fallada. Dari berbagai sumber yang saya baca, Hans Fallada adalah salah satu penulis ternama berkebangsaan Jerman di awal abad 20-an. Hans lahir pada tanggal 21 Juli 1893 di GreifswaldJerman. Novel yang ia tuis kebanyakan berbahsa Jerman, dan hanya 11 buah yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris. 


Hans Fallada terlahir dengan nama Rudolf Wilhelm Adolf Ditzen. Nama pena-nya diambil dari tokoh dalam kisah Grimm: Lucky Hans (protagonis) dan Falada (seekor kuda) di Goose Girl. Dalam cerita tersebut, kuda Falada dikisahkan sanggup berbicara dan selalu berkata jujur. Hal itu pula yang menyebabkan si kuda terbunuh. Anehnya, setelah kuda itu dipenggal, ia masih terus saja bicara.


Fallada lahir dari keluarga kelas menengah atas. Ayahnya, Wilhelm Ditzen, adalah seorang hakim, sedangkan ibunya berasal dari kalangan terdidik. Orang tuanya menyukai sastra dan musik. Falada adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Ayahnya sering membacakan cerita anak untuk Fallada dan saudaranya, termasuk juga karya Shakespeare dan Schiller.


Pada tahun 1899, ayahnya diangkat menjadi hakim agung dan keluarga Fallada memutuskan pindah dari Greifswald ke Berlin. Fallada mengalami kesulitan belajar pada awal masuk sekolah pada tahun 1901. Dia kemudian menghabiskan waktu dengan membaca buku, tetapi menghindari buku dengan tema yang tidak sesuai untuk usianya.


Keluarga Fallada berpindah lagi dari Berlin ke Leipzig, saat ayahnya memperoleh jabatan sebagai hakim di Mahkamah Konstitusi.


Selain itu, tidak afdhol pula jika saya tidak sedikit menyinggung penerjemah buku ini, yakni Mbak Tiya Hapitiawati. Saya tidak mengenal siapa beliau, mungkin beliau sudah beberapa kali menerjemahkan buku dan saya luput atau lupa menghafal nama beliau. Tapi yang jelas, saya sangat mengapresiasi sekali kinerja Mbak Tiya Hapitiawati atas terjemahannya pada buku Lelaki Malang Kenapa Lagi?. Mungkin karena beliau adalah lulusan Sastra Jerman dan buku Lelaki Malang Kenapa Lagi? Diterjemahkan langsung dari Bahasa Jerman juga, berbeda dengan karya sastra luar negeri yang masuk Indonesia dengan Bahasa Inggris serta diterjemahkan dari Bahasa tersebut. Pembaca blog saya dapat mengecek langsung ke dinding facebook Mbak Tiya Hapitiawati perihal pendapatnya proyek terjemahan ini.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Emas Ghaib dab Sang Penjaga Wilayah


Awal membaca, saya sukses dibuat terkejut oleh Hans Fallada yang menceritakan tokoh utama pada buku ini, Lammchen dan Pinneberg yang sedang periksa ke dokter kandungan. Pinneberg keberatan dengan kehamilan pasangannya, Lammchen. Alasannya karena gajinya tidak cukup untuk menghidupi si buah hati. Karena hasil diagnosa kehamilan sudah memasuki bulan ke tiga dan tidak mungkin di gugurkan. Pinneberg akhirnya melamar Lammchen dan bertemu calon mertuanya. Nah, pertemuan Pinneberg dengan keluarga Morschel sangat menarik. Nyonya Emma (Ibunda Lammchen), Tuan Morschel (Ayah Lammchen) dan Karl (Adik Lammchen) menanggapi kedatangan Pinneberg dengan kalimat-kalimat kasar. Kedua orangtua Lammchen menghendaki putrinya mendapatkan suami dari kalangan buruh, sedangkan Pinneberg adalah seorang karyawan.


Sampai akhirnya mereka berdua menikah dan mengontrak rumah. Saya memiliki hipotesa bahwa kedua pasangan ini selalu diributkan dengan uang dan uang. Apalagi dengan melihat karakter Lammchen yang cerewet dan serba menuntut, sedangkan suaminya yang bergaji pas-pasan dan serba pasrah. Klop banget dengan rumah tangga kebanyakan orang.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Identifikasi Penyakit Sejak Dini, Pentingkah?


Sebelum saya lanjut (Lagi), beberapa saya temukan typo (Halaman 58) dan halaman rusak (Halaman 30,34). Entah karena ini adalah pengalaman pertama Moooi Pustaka mencetak buku, atau karena saya mendapatkan buku ini dari Pree Order juga kurang paham juga. Yang jelas saya bukanlah tipikal orang yang gampang ribet dengan bagus tidaknya cover, jenis kertas dll. Tapi jika ada beberapa halaman yang rusak menjadikan saya kehilangan mod untuk membaca. Yah itu hanya pendapat saja, harapannya kedepan akan diperbaiki oleh penerbit.


Oke lanjut.


Sampai penghabisan bagian satu, Hans Fallada banyak menceritakan Pinneberg dengan urusan pekerjaan di toko pupuknya. Sedangkan bagiku yang paling menarik adalah saat Pinneberg harus menghadapi pemutusan kontrak secara sepihak. Ternyata apa yang Hans Fallada tulis itu, sekarang masih kita temui di Indonesia. Memang sih gak ada survei resmi, karena saya pernah berkawan dengan beberapa kawan yang tergabung di LSM buruh dan saya sendiri juga seorang buruh. Rasan-rasan, saling intrik, cari muka dan bermental penjilat adalah wajah buruh hari ini, semua karena demi mendapat potongan roti dan keberlanjutan kontrak. Kisah Lammchen berbeda lagi, sebagai seorang istri dan menganggur. Membuatnya terkadang tidak dapat mengontrol pengeluaran rumah tangga yang sekiranya itu kebutuhan atau keinginan. Kalau pun pengeluaran itu termasuk kebutuhan yang harus segera di adakan, pasangan ini akan konfrontasi perihal sisa uang gaji Pinneberg. Jadi, jika pembaca buku "Lelaki Malang, Kenapa Lagi?", adalah pasangan pengantin baru. Saya yakin akan sangat menjiwai apa yang Hans Fallada tulis, dia seolah tahu apa yang sedang pasutri baru alami. Hehe


Di awal bagian dua. Saya dibuat kaget dan tertawa oleh Hans Fallada. Bagaimana tidak, kepergian Pinneberg dan Istri dari Duecherow ke Invalidenstrabe yang berharap mendapat pekerjaan dan kehidupan lebih baik harus pupus karena kelakuan sang Ibu Pinneberg yang menyewakan kamarnya ke anaknya sendiri. Selain itu sosok Jachmann yang pelupa dan suka berbohong menambah penderitaan pasutri baru itu…sampai penghabisan buku, ternyata Jachmann adalah orang baik, suka membantu kesulitan Pinneberg dan diam-diam menyukai Lammchen …. Pekerjaan yang ditawarkan Ibunya hanyalah bualan semata, selain itu tabiat buruk mertua Lammchen yang suka menyuruh dan mata duitan menambah cerita ini semakin seru. Sampai disini, Hans Fallada memang sukses dengan karya realisnya. Top.


Dugaan awal saya di mana Pinneberg tidak mendapatkan pekerjaan di Toko Mandel ternyata salah. Harapannya itu tercapai saat menjadi staf penjualan Toko dan ditempatkan di cabang Berlin. Sampai sini ada yang menarik, Fallada memberitahu kita bahwa manusia tidak jauh dari sifat sombong. Dan itu di reperesentasikannya lewat tokoh Pinneberg. Meski sudah mendapat pekerjaan ditengah lesunya ekonomi Jerman dan global, serta mendapatkan gaji lebih sesuai yang dia ekspetasikan. Sifat sombong dan menganggap rendah orang lain nyatanya ada, dan sampai sekarang. Scene itu terjadi saat Pinneberg melakukan proses tawar menawar dengan pramuniaga toko meubel saat hendak membeli meja rias. Tentu kasus tersebut bukan berarti saya hendak men justifikasi kalau Pinneberg adalah orang yang sombong. Banyak sifat baik khususnya mengalah yang Pinneberg miliki. Oh iya, saya adalah buruh di bidang hospitality. Apa yang Pinneberg alami juga saya alami pula, termasuk perihal jual menjual. Saya suka dengan pernyataan Fallada pada halaman 165 tentang bermacam tipe penjual "Mereka yang memberi kesan baik pada pembeli, mereka yang menebak keinginan para pembeli, dan mereka yang menjual karena memang ada kesempatan". Dari hal itu, ada pelajaran yang sangat penting untuk kita ketahui bersama bahwa apapun profesi kita, goalnya adalah menjual sesuatu, terlepas itu sektor jasa atau tidak. Jadi, lakukan yang terbaik apapun itu.
Pinneberg dipecat Lehman, kepala personalia nya di toko Mandel dulu. Alasannya karena dia tidak tembus target penjualan bulanan. Fase ini menjadi babak baru bagi tokoh utama buku ini, hidup terasa tanpa harapan lagi. Aktifitas hariannya hanya membersihkan rumah tumpangan dari Heilbut, mengasuh si kecil Murkel dan mengurus pekarangan demi bertahan hidup. Sesekali dia pergi ke kota untuk mengambil tunjangan sosial dan membayar kekurangan uang sewanya dulu ke Puttbreese. Babak ini sungguh memilukan, Fallada terlampau 'Sangar' menarasikan kemiskinan yang Pinneberg dan Lamcheen alami.


Perasaan marah dan dendam Pinneberg ke Lehman tak berlangsung lama, 18 bulan selepas dia dipecat dari toko Mandel. Pinneberg mendapat kabar jika Lehman ditendang dari toko, informasi tersebut datang dari Heilbut saat Pinneberg berkunjung ke kantornya. Alasan pemecatannya cukup menarik, Lehman terbukti telah memalsukan dokumen perihal pemindahan karyawan di beberapa cabang toko Mandel atas dasar 'like' dan 'dislike' dan berlaku sewenang-wenang terhadap karyawannya. Pada kenyataanya, semua orang sudah tahu jika hal itu dimanfaatkan Spanfub (Sebangsa General Manager) sebagai akal-akalan alasan pemecatan saja. Sampai tiba giliran Spanfub menempatkan pegawai sesuai dengan kesukaan dan kehendak hatinya.


Pada penghabisan cerita, ada beberapa kalimat yang sangat menarik dan pantas dijadikan quote. Seperti "Uang tidak membantu apapun. Pekerjaan lah yang dapat membantu kami" ujar Lammchen. Tentu konteks ini saya artikan sebagai berkarya, manusia harus tetap eksis dan berjuang mempertahankan hidup dan mimpi-mimpinya. Ya, kita harus seperti itu. Selain itu, kisah keluarga kecil yang Hans Fallada tulis ini mengajarkan kepada kita untuk mendedikasikan hidup ke keluarga. Karena keluarga adalah sumber energi dan inspirasi yang sangat nyata. Saat kita dalam kondisi terpuruk dan diremehkan orang, keluargalah yang akan menyemangati kita untuk selalu bangkit. Selain itu, dan ini sangat penting. Bekerjalah kalian semaksimal mungkin dengan cara dan sumber yang halal. Persis apa yang Pinneberg dan Lammchen lakukan di buku "Lelaki Malang, Kenapa Lagi?".


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Surat Terbuka Untuk Jamaah Maiyah Baru


Sekian terimakasih, itu saja yang dapat saya ceritakan dari hasil membaca buku kedua terbitan Moooi Pustaka. Tentu akan apa yang saya tulis juga di elaborasi dengan pengalaman dan sejauh apa saya membaca buku. Karena membaca masalah selera, bolehlah saya merekomendasikan buku ini untuk kalian semua. Terutama bagi pasangan yang hendak menikah atau keluarga muda. Kisah dalam buku ini akan membuat kita total dalam berjuang, hati-hati dan dapat juga kalian jadikan referensi bahwa setelah menikah nanti, apa yang kalian alami dengan pasangan bisa jadi mirip dengan Pinneberg dan Lammchen alami.


Resensi Buku Lelaki Malang Kenapa Lagi Hans Fallada, Resensi Buku Lelaki Malang Kenapa Lagi Hans Fallada,Resensi Buku Lelaki Malang Kenapa Lagi Hans Fallada,Resensi Buku Lelaki Malang Kenapa Lagi Hans Fallada,Resensi Buku Lelaki Malang Kenapa Lagi Hans Fallada,Resensi Buku Lelaki Malang Kenapa Lagi Hans Fallada,Resensi Buku Lelaki Malang Kenapa Lagi Hans Fallada,Resensi Buku Lelaki Malang Kenapa Lagi Hans Fallada,Resensi Buku Lelaki Malang Kenapa Lagi Hans Fallada.






Tuesday, January 14, 2020

Proyek Antologi Cerpen dan Puisi Serta Syarat Bangsatnya

Proyek Antologi Cerpen dan Puisi Serta Syarat Bangsatnya


Tentu ini akan menjadi tulisan yang sangat singkat. Sesingkat uang bulanan yang mampir dompet. Mungkin pada setiap uang itu memiliki mata, mereka tahu harusnya lari kemana. Tagihan listrik, BPJS, angsuran sepeda motor, kotak amal masjid dan tidak luput dompet bendahara di rumah tangga.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Buku Orang-orang Proyek Karangan Ahmad Tohari


 
Kemarin malam, seperti biasa. Karena pada dasarnya saya geblek dalam hal utak utek excel. Dan Tuhan karena banget sayangnya dengan saya, diperbantukan lah hambanya yang bernama "Anak Magang" yang telaten membantu mengatasi kegebelekan saya. Hasilnya sama, tetap saja gebelek. Untung saja saya ini dikarunai sifat keberuntungan, apapun masalahnya pasti ada jalan keluar. Allhamdulillah. Sembari proses utak utek excel, saya melihat status WhatsApp kawan SMP saya. Bagi saya, dia adalah salah satu jagoan literasi yang saya kenal di Njeporo. Tentu ini klaim pribadi saja, hehe. Saya balas statusnya yang memperlihatkan rokok, kopi dan laptop dengan kata singkat, "Halo Kang". Sebelum dia jawab, saya berondong dia dengan pesan beruntun. Hal itu seputar ide saya ke dia secara personal dan komunitasnya untuk membuat "Antologi Cerpen dan atau Puisi" yang penulisnya berasal dan menetap di  Njeporo. Tentu ada maksud khusus mengapa harus berasal dan menetap di Njeporo. Salah satunya ya agar dapat menjaring para pemuda/I asli bumi Kartini dulu, dari penulis yang terpilih itu nantinya di kader menjadi garda terdepan ujung tombak komunitas. Bingung a? Sederhananya, mereka itu yang bakalan jadi tulang punggung komunitas melanjutkan tongkat estafet komunitas rumah baca. Dari tenaga dan sumbangsih mereka, koordinasi dan implementasi program akan cepat terlaksana mengingat jarak mereka yang berdekatan.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Banjir Dan Cerita-Cerita di Dalamnya


Selain alasan di atas, banyak saya dan kawan-kawan komunitas temui beberapa penulis kelahiran Njeporo yang berdomisili di luar Njeporo saat menulis atau mengkritik tentang Njeporo cenderung serampangan. Beberapa tulisan mereka asal bacot, informasi yang mereka dapatkan kurang update dan mendetail sehingga mengakibatkan missed pada pesan yang disampaikan. Imbasnya siapa lagi jika bukan ke pembaca. Tentu bukannya tidak boleh orang luar Njeporo menulis tentang tanah kelahiran Mbah Kartini. Selain pembaca yang berdomisili di Njeporo mendapatkan wacana, sudut pandang dan informasi baru, para warga dan komunitas literasi seperti kawan-kawan saya itu juga dapat belajar bagaimana membangun sebuah argumen dan kritik yang kooperatif.



Kembali lagi ke judul tulisan.
Ternyata komunitas  rumah baca di Njeporo sudah menerbitkan Antologi Essai dan Puisi. Rencananya tahun ini akan bertambah lagi dengan program yang semakin mengedukasi meski tidak menarik...hahaha...kekurangan SDM masih menjadi kendala. Mereka siap menerima naskah untuk kemudian diterbitkan jika memang layak. Bayar atau tidak? Belum saya tanyakan.




"Suwe awakmu gak nongol, Lek. Opo goro-goro essaimu biyen seng garai awakmu arep dipenjara iku a?, info kegiatan kita ada di Instagram. Gak duwe Instagram? Gawe o Cok"., Bunyi balasan pesan dari kawan SMP saya.



Dia melanjutkan



"Project banyak dan panjang buat agenda semacam itu, tapi sumber daya kita yg kurang".



"Piye ...."



"Hehehe...enggak cuman tekok dan urun saran ae, Kang",. Jawabku singkat



"Kalau ada temen yg karyanya pingin dipublis, call me!",. Sahutnya kemudian.



Saat saya hendak membalas pesan tersebut, dia sudah mengirim pesan lagi.



"Seng penting, awakmu saiki ndang gae Instagram. Wes gak zaman bocah saiki gak duwe Instagram, Cok",. Pesan tersebut di ulanginya sebanyak tiga kali.



"Lhoo, emange nek gak duwe Instagram kenopo, Kang?,. Balasku dengan penasaran.



Tampak lama sekali dia mengetik pesan balasan, sampai balasannya terbaca.



"Gpp, aku cuman pengen awakmu duwe Instagram ae"



Saya balas pesannya itu dengan huruf kapital semua.



"BANGSAT KOWE KANG"




Ali Ahsan Al Haris
Malang, 14 Januari 2020.













Monday, January 13, 2020

Saya Kepengen Wik Wik

Saya Kepengen Wik Wik



"Lho kamu belum tau ya, suaminya dia kan dipenjara gara-gara kasus Narkoba. Sudah hamil di luar nikah, akadnya mereka dipenjara pula", tutur Mak Romlah penjual sayur keliling.


Ini adalah cerita lanjutan dari cerita sebelumnya. Tentu ini cerita hanya guyonan, bagaimana kita menganggap kesusahan orang lain menjadi bahan lelucon. Atau ini memang watak kita, memandang kesusahan bukan lagi menjadi musibah. Melainkan bahan guyonan dan rasan-rasan.


Pagi itu saya dan Istri bermain ke kontrakan barunya Adit. Jarak dari pusat kota sekitar 36 menit, jauh dari keramaian. Penting harga sewa murah, bungkus. Setiba di lokasi, tampak Aziz dan istrinya yang sedang mengandung 7 bulan sudah sibuk mempersiapkan acara. Adit memang berencana mengadakan syukuran kecil-kecilan. Sebagai sahabat semasa sekolah, istri-istri kami juga di persahabatkan karena persekawanan kita. Ada fase di mana kita ngobrol serius dan istri kita menyingkir untuk tidak menganggu. Hal-hal naluriah semacam ini menjadikan kami betah berlama-lama saat kopdar. Padahal, konten yang kita obrolkan ya gak berat-berat amat. Banyakan malah ngerasani tonggo dan konco. Oalah


Ada beberapa tetangga kontrakanya Adit yang datang, salah satunya seorang perempuan yang saya taksir seumuran dengan istri saya. Sebut saja dia Ida (Nama Samaran). Ida datang barengan dengan seorang perempuan paruh baya, belakangan saya tahu kalau perempuan paruh baya itu adalah mertuanya Ida.




Acara berlangsung dengan tidak khidmat-khidmat banget, penting lancar dan terkendali. Sebelum acara di tutup, Adit mengenalkan diri beserta istri ke para tamu undangan yang hadir. Termasuk ke Pak RT. Sebagai warga baru itu hal lumrah, bahkan wajib bagi orang dari kampung macam Adit. Para tetangga juga memperkenalkan dirinya masing-masing, termasuk menawarkan bantuan jikalau diperlukan. Termasuk mendoakan Adit dan Istri semoga segera mendapatkan momongan.


Selepas para tamu undangan pulang, kami para lelaki pindah ke balkon. Ngobrol sembari makan camilan dan merokok. Obrolan kami fokus ngerasani si Mbak Ida. Perempuan yang kata Mak Romlah, suaminya dipenjara karena kasus narkoba. Kata Adit, sehari sebelum acara syukuran. Istrinya di undang Mbak Ida untuk hadir di acara 7 bulanan anaknya.  Acara 7 bulanan itu terbilang ramai, dihadiri banyak tetangga dan kolega. Tabuhan terbang dan lantunan barjanji mengiringi acara sampai tuntas.


Saat istrinya Adit berjalan pulang ke rumah. Ibu-ibu yang turut hadir dalam acara ngobrol tentang Mbak Ida. Mereka  merasa kasihan dengan dia dan anaknya yang masih kecil. Sejak kelahiran si kecil, tidak pernah mendapatkan perhatian dari Ayahnya. Beruntung Mbak Ida memiliki mertua yang baik hati, mau menampung dan membiayai seluruh biaya persalinan dan hidup mantu dan cucunya itu.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Banjir dan Cerita-Cerita di Dalamnya


Sembari berjalan ke rumah masing-masing, gerombolan ibuk-ibuk itu menasehati istrinya Adit untuk kelak lebih berhati-hati dalam mendidik anak. Jangan sampai seperti suaminya Mbak Ida. Termasuk harus bersyukur karena mendapatkan suami yang baik dan perhatian seperti Adit. Tentu perbandingan semacam itu berangkat dari kasus keluarga kecilnya Mbak Ida. Akan berbeda cerita jika keluarganya Adit di komparasi dengan keluarga lainnya. Dalam satu sisi nasihat itu baik, di sisi lain hal semacam itu tidaklah elok. Sampai kapan kita selesai dengan acara banding membandingkan?


Jika mereka para ibuk-ibuk memilih bahan gosip seputar kasihan mengkasihani. Berbeda banyolan yang saya, Adit dan Aziz obrolkan. Kami sebagai lelaki. Tentu versi kasihan mengkasihani itu akan sedikit bergeser ke ranah lain. Ranah yang lebih tepatnya kami sebut sebagai "Wik Wik". Saya sendiri belum tahu sejak kapan kata Wik Wik diartikan sebagai bersetubuh. Setahu saya kata Wik Wik itu berasal dari lirik penyanyi Thailand. Tapi jikalau kita menonton Official Video Clipnya, ya wajar kalau lagu wik wik kita artikan lagu bersetubuh. Hehe. Konteks kasihan yang kita maksut disini adalah, pengen Wik wik saja harus ke prodeo. Memang sih pernah kami dapatkan info, di dalam sana tersedia kamar khsus Wik Wik bagi pasangan suami istri yang menginginkan. Namun berapa jumlah kamar yang tersedia itu yang menjadi soal. Sudah mafhum kita ketahui jikalau para penjenguk memiliki jam kunjungan terbatas. Masalahnya, Wik Wik itu kan butuh ketenangan dan ke rileks kan. Jikalau dalam satu hari kunjungan ada 3 pasang pasutri, bisa kebayang dong antrian mau Wik Wik saja seperti antrian hendak masuk WC umum saja.


"Tok..tok..tokkk", bunyi pintu diketuk.


"Wes mari a Kang Wik Wik nya", terdengar suara lelaki dibalik pintu.



"Seg Pak, urung crot iki", jawaban dari dalam pintu.



Sekian Terimakasih
Jangan Dibuat Tegang
Santai Saja

Malang, 13 Januari 2020

Friday, January 10, 2020

Resensi Buku Orang-Orang Proyek Karangan Ahmad Tohari

Resensi Buku Orang-Orang Proyek Karangan Ahmad Tohari


"Orang tidak melakukan korupsi bukan karena sadar kalau korupsi itu salah, tapi lebih karena takut ketahuan; kalau tidak ketahuan ya jalan terus."


"Aku Insinyur. Aku tak bisa menguraikan dengan baik hubungan antara kejujuran dan kesungguhan dalam pembangunan proyek ini dengan keberpihakan kepada masyarakat miskin"


Kisah bermula saat Pak Tarya sedang memainkan seruling nya di pinggiran sungai Cibawor. Sembari menikmati keheningan, gemuruh air dan anginnya yang sepoi. Tampak dari kejauhan mendekat sosok pemuda bernama Kabul. Anak muda yang dipercaya sebagai pelaksana proyek pembangunan jembatan. Pak Tarya adalah pensiunan pegawai negeri, sedangkan Kabul adalah seorang insinyur yang dulunya mantan aktifis kampus.


Kabul yang menyandang tokoh utama dalam novel ini adalah seorang pendatang. Memiliki idealisme yang sangat tinggi, khususnya sikap empati ke masyarakat miskin. Berbeda sekali dengan Manajer proyeknya, Pak Dalkijo. Seorang Manajer yang menjadikan bahan baku proyek dibuat bancakan secara terang-terangan ke tangan penduduk dan menganggap lumrah praktek penggunaan bahan baku proyek yang tidak sesuai standar baku pembangunan. Ada lagi tokoh bernama Basar, seorang Kepala Desa di mana proyek jembatan dilaksanakan. Kebetulan Basar adalah kawan si Kabul sewaktu menjadi aktifis kampus. Bertemunya kedua kawan lama ini menjadikan cerita pada buku karangan Mbah Ahmad Tohari semakin menarik. Sewaktu membaca, saya di ajak menyelami bagaimana praktek kelicikan sebuah proyek berjalan dan disisipi wacana filsafat dan budaya. Serius, Mbah Ahmad Tohari memang salah satu maestro novelis realis tanah air.

Baca Tulisan Saya Yang Lain: Banjir dan Cerita-cerita di Dalamnya


Kabul yang masih membujang, diam-diam ditaksir oleh Wati, gadis asli desa tersebut yang terpaksa bekerja di proyek karena belum mendapatkan pekerjaan yang menurutnya ideal. Meski setiap hari berjumpa dengan Wati, tidak mudah bagi Kabul untuk tertarik padanya. Meski setiap hari Mak Sumeh (Pemilik warung di lokasi proyek) selalu mencomblangi mereka berdua. Butuh waktu agak lama bagi Kabul untuk sedikit demi sedikit menaruh perhatian ke Wati.


Dalam buku ini, Mbah Ahmad Tohari mengambil latar cerita Orde Baru. Dengan tokoh utama Kabul, seorang pelaksana proyek yang dalam hatinya berontak karena anggaran pembangunan jembatan banyak terkuras oleh pungutan liar, halus maupun kasar, langsung maupun tak langsung, yang dilakukan oleh oknum-oknum resmi sipil dan tentara, orang partai, preman-preman, serta tokoh-tokoh lokal yang menganggap proyek adalah bancakan. Belum lagi kelakukan mandornya yang terang-terangan memeras supir dan kernet karena merasa telah berjasa memberikan mereka pekerjaan. Sebagai kritik sosial, kita sebagai pembaca di antar oleh Mbah Tohari melihat realitas dunia proyek dan bagaimana sistem kepemerintahan Orde Baru dulu, teledor serta tidak amanah seperti itu, rasa-rasanya masih dapat kita ketahui sampai hari ini. Wajar saja jika Mbah Ahmad Tohari sempat merasakan dinginnya lantai jeruji besi karena buku-bukunya yang secara keras dan terang mengkritik penguasa rezim Orde Baru.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Bacaan Kok Gini-gini Aja


Pada pertengahan bab dua dan penghabisan bab tiga, cerita banyak mengulas kisah percintaan Kabul dengan Wati. Dari sini tangga drama mulai kentara. Ngambeknya Wati dengan kabul, datangnya Baldun mewakili pengurus Masjid yang memaksa Kabul menyumbang dan merenovasi masjid secara keseluruhan yang nantinya akan dipergunakan ketua partai penguasa shalat menjadi cerita yang sangat menarik. Saya sendiri akhirnya tersadar bagaimana orang-orang yang mengaku islami tiba-tiba dapat berubah menjadi sales partai dan tukang todong saat ada sebuah proyek atau momen pemilu. Mereka secara sadar dan terang-terangan meminta sumbangan untuk kemudian ditukar menjadi suara saat pemilihan. Di satu sisi kita bicara agama, di satu sisi kita korupsi. Membangun masjid dengan hasil korupsi? Sama halnya mencuci baju dengan air seni. Tidak ada bedanya.


Secara keseluruhan cerita tentang karut marutnya pelaksanaan proyek pembangunan jembatan itu dilukiskan dengan sangat baik oleh Mbah Ahmad Tohari dalam novelnya Orang-Orang Proyek. Tentu saja tak ada KPK dan operasi tangkap tangan di dalam cerita itu. Yang ada adalah sosok-sosok pegawai pemerintah yang korup dan tak malu memamerkan kekayaan hasil colongan nya. Sementara itu orang-orang seperti Kabul yang idealis pada akhirnya seringkali harus tersisih atau menyerah pada keadaan yang tak mampu lagi dia benahi.


Pernah seorang kawan berkelakar setengah getir tentang perbedaan bagaimana sebuah proyek dulu dan sekarang dijalankan. Kalau dulu, kata dia, orang berebut untuk jadi pimpinan proyek (Pimpro), posisi yang ditempati Kabul dalam novel Ahmad Tohari itu. Kalau sekarang, orang mikir-mikir dua kali untuk memegang proyek.


Lebih mengherankan lagi, seorang pejabat daerah pernah bercerita kepada saya, “Zaman sekarang kita mesti hati-hati, jangankan salah, benar saja bisa masuk penjara,” kata dia was-was. Apakah artinya zaman sekarang ini korupsi banyak berkurang dibanding pada masa yang lalu? Atau jangan-jangan banyak orang takut untuk menjalankan pekerjaan karena baik salah atau benar bisa terancam masuk penjara?


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Emas Ghaib dan Sang Penjaga Wilayah


Terbitlah sebuah hipotesis alias dugaan: barangkali orang di zaman sekarang tak melakukan korupsi bukan karena sadar kalau korupsi itu salah, tapi lebih karena takut ketahuan (yang artinya, mungkin, kalau tidak ketahuan ya jalan terus). Yang pasti, setiap hari selalu saja kita menemukan berita perkara korupsi muncul di berbagai media massa.


Belum lagi korupsi yang disebabkan oleh “mental proyek” alias bikin proyek akal-akalan yang sama sekali tak berdasarkan pada kebutuhan obyektif. Seperti cerita beberapa sekolah di Jakarta yang ujug-ujug dapat alat fitnes, seakan-akan pendidikan bertujuan untuk membentuk tubuh lulusannya jadi six pack, gagah berotot bak binaragawan.


Terimakasih banyak.
Salam hangat dan jangan lupa ngopi.
Ali Ahsan Al Haris
9 Januari 2020.


Resensi Buku Orang-Orang Proyek Karangan Ahmad Tohari, Resensi Buku Orang-Orang Proyek Karangan Ahmad Tohari, Resensi Buku Orang-Orang Proyek Karangan Ahmad Tohari, Resensi Buku Orang-Orang Proyek Karangan Ahmad Tohari, Resensi Buku Orang-Orang Proyek Karangan Ahmad Tohari, Resensi Buku Orang-Orang Proyek Karangan Ahmad Tohari, Resensi Buku Orang-Orang Proyek Karangan Ahmad Tohari, Resensi Buku Orang-Orang Proyek Karangan Ahmad Tohari, Resensi Buku Orang-Orang Proyek Karangan Ahmad Tohari, Resensi Buku Orang-Orang Proyek Karangan Ahmad Tohari, Resensi Buku Orang-Orang Proyek Karangan Ahmad Tohari, Resensi Buku Orang-Orang Proyek Karangan Ahmad Tohari, Resensi Buku Orang-Orang Proyek Karangan Ahmad Tohari, Resensi Buku Orang-Orang Proyek Karangan Ahmad Tohari, Resensi Buku Orang-Orang Proyek Karangan Ahmad Tohari

Thursday, January 9, 2020

Kenaikan Harga di Pasar Tradisional dan Sewa Rumah Itu Perang Harga atau Hasil Musyawarah? Bingung Aku

Kenaikan Harga di Pasar Tradisional dan Sewa Rumah Itu Perang Harga atau Hasil Musyawarah? Bingung Aku



Akhir dan awal tahun adalah masa para karyawan menyelesaikan laporan, banyak dari mereka yang berhari-hari lembur menyelesaikan kewajibannya. Termasuk Adit (Kawan saya sekolah asli Sine, Ngawi), dia sekarang menjadi staf ahli di salah satu Pusat Kajian Masyarakat. Kebetulan saya ada perlu dengannya, membicarakan buku bekas dan rencana menjajal bisnis tersebut ke skala yang (Agak) besar. Naas pertemuan kita selalu gagal karena dia selalu pulang dinihari. Kita berdua berkesempatan bertemu kemarin sore, 7 Januari di kedai kopi dekat kantornya. Obrolan kami malah tidak membahas buku dan rencana bisnis kita berdua, dia malah bercerita kendala-kendala yang ia alami selama mengerjakan laporan. Ditambah dia sedang mencari kontrakan, praktis sore itu tidak ada obrolan yang awalnya kita sepakati bersama. Jual buku itu.


Katanya kontrakan sekarang mahal-mahal. Berbeda sekali dengan kontrakan yang Aziz (Kawan kantor Adit) sewa dengan istrinya. Waktu saya tanya di mana lokasi kontrakanya Aziz, ternyata berada jauh dari pusat kota. Sedangkan Adit mencari kontrakan yang dekat dengan kantornya. Ya wajar jika memilki perbedaan harga yang siginifikan. Bukankah hal semacam ini sudah mafhum kita ketahui. Perbedaan harga kontrakan bisa terjadi karena beberapa sebab. Salah satunya akses, tingkat kepadatan penduduk dan tipe rumah yang ditawarkan.


Baca tulisan saya yang lain: Banjir dan Cerita-cerita di Dalamnya


Adit meminta tolong ke saya nanti malam ditemani mencari rumah kontrakan lagi. Maklum, dia dikejar waktu karena penghabisan bulan satu istrinya pindah kantor ke Malang.


Malam harinya, saya bertemu Ibu Titin. Mantan Ibu Kos saya dulu selama sekolah. Bu Titin memiliki kos-kosan per kamar, tapi pertemuan kita dengan Bu Titin untuk meminta tolong ke dia siapa tahu ada tetangga atau kawan Bu Titin yang menyewakan rumahnya. Obrolan kita dengan Bu Titin seperti saudara saja, maklum. Dulu saya termasuk penghuni yang rutin membayar iuran kos tepat waktu. Karena teringat obrolan dengan Adit sore tadi tentang mahalnya harga sewa rumah kontrakan. Kegelisahan itu saya tanyakan langsung ke Bu Titin selaku pelaku usaha tersebut.


Bu Titin menerangkan ke kita berdua jika di Kota Malang, khususnya di RW rumah Bu Titin memang ada perkumpulan pengusaha yang membuka jasa sewa kos atau rumah kontrakan. Harga yang dibebankan ke penyewa sudah termasuk pajak yang dipatok oleh Pemerintah Kota Malang. Selain itu, ada harga minimal dan maksimal hasil musyawarah yang harus diterapkan oleh pemilik rumah kontrakan atau kosan. Jika ada perbedaan harga, biasanya meliputi fasilitas yang di tawarkan, ukuran kamar dan akses jalan. Selain itu, perkumpulan pemilik rumah kontrakan atau kos wajib patuh pada standar yang disepakati bersama. Jadi, maklum jika setiap wilayah memiliki range harga masing-masing. Ada wilayah yang terkenal mahal pun sebaliknya. Tapi, tidak semua wilayah menerapkan kesepakatan seperti itu. Hanya beberapa wilayah saja yang tingkat permintaanya tinggi.


Karena waktu semakin malam, saya dan Adit minta undur diri. Rasa terimakasih kita sampaikan untuk Bu Titin berkat jamuan dan obrolan hangatnya.


Motor yang kita kendarai tidak membawa pulang ke rumah, Adit lebih memilih ngemper ke kedai kopi di sudut perempatan. Saya memesan Jahe Panas dan Adit memesan Kopi Letek. Teringat penjelasan Bu Titin tentang perbedaan harga sewa rumah kontrakan di Kota Malang. Saya jadi ingat komentar ramai-ramai di group facebook desa saya. Mereka sibuk mengkritik Pemerintah Desa, Pengurus Bumdes dan Pengelola Pasar karena terkesan tidak dapat mengintervensi para pedagang yang menaikan harga se enaknya sendiri.


Berapa besaran kenaikan harga makanan di Pasar desa saya tinggal juga tak dapat dikonfirmasi kepastiannya. Hanya beberapa akun saja yang menyuarakan kenaikan harga yang tidak wajar itu telah membuat mereka resah. Klaim nya, banyak kawan mereka yang 'Ngerasani' kalau para pedagang telah 'Meremo' (Menaikan harga secara mendadak) ke pembeli yang bukan warga desa. Sekali lagi, benar tidaknya informasi itu, hanya beberapa akun saja yang menyuarakan hal itu. Ekstrimnya, ada akun yang berpendapat jika sebaiknya Pasar di desa saya di tutup saja. Bukankan itu pendapat yang sangat dangkal, semacam politik bumi hangus saja.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Cerita Dari Pasar Tradisional


Sembari ngopi dengan Adit, malam itu saya menghubungi James, salah satu tokoh pemuda desa. Ada beberapa pertanyaan yang saya tanyakan, termasuk kejadian ramai-ramai di group facebook desa. Menariknya, isu yang sempat menjadi trending itu dibumbui konflik kepentingan. Untuk hal ini lebih baik saya tidak membahasnya karena rawan sekali tulisan saya di plintir kanan kiri.


Oke jadi begini, hasil korespondensi saya dengan James menemukan beberapa hasil menarik. Dalam hal ini, saya berusaha menulis secara objektif.


Pertama, Pemerintah Desa yang diwakili BumDes telah menyebar brosur himbauan kepada pedagang untuk tidak 'Meremo' ke warga non desa. Boleh 'Meremo', asalkan di hari libur atau pasaran saja. Karena dalam prakteknya, ada beberapa pedagang yang menerapkan harga berbeda ke warga asli desa dan tidak. Sehingga imbasnya, pasar yang telah lama menjadi ikon desa menjadi bahan rasan-rasan se Kabupaten.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Emas Ghaib dan Sang Penjaga Wilayah


Kedua, paham ekonomi yang di anut negara kita adalah diberlakukannya Pemerintah mengintervensi pasar. Hal ini dilakukan agar harga bahan pokok yang beredar di pasaran tidak mengalami kelonjakan harga di momen-momen genting semacam Bulan Ramadhan, Idul Fitri, Tahun baru dll. Karena lingkupnya kecil, intervensi yang dilakukan Pemerintah Desa salah satunya dengan membuat himbauan seperti di alasan pertama, juga memberikan kenyamanan kepada pengunjung dengan adanya lahan parkir yang luas dan aman.


Ketiga, James dan saya belum mendapatkan data resmi jumlah bedak atau stand yang ada di pasar dan berapa jumlah pedagang yang asli desa pun sebaliknya. Mengapa hal ini penting? Hasil obrolan kita berdua, kita sepakat jika Pemerintah Desa melalui pengelola pasar lebih memprioritaskan pedagang yang asli desa. Kalau pun ada pedagang dari luar desa, pengelola wajib menarik uang sewa yang berbeda dengan pedagang yang asli desa. Hal ini demi terwujudnya pemerataan ekonomi masyarakat desa sendiri.


Keempat, sebagai salah satu sumber pendapatan tambahan kas desa. BumDes dapat ikut berdagang di pasar. Teknisnya tinggal di atur saja, apa yang mereka jual dan bagaimana sistem pengupahan karyawannya. Selain itu, adanya stand/bedak BumDes di pasar, dapat menjadikan sistem kontrol jika sewaktu-waktu terjadi pedagang yang menaikan harga semena-mena kepada pengunjung non warga desa.


Kelima, setiap stand/bedak lebih di tata rapi mulai dari luas dan harga sewa. Selain itu, tidak boleh dalam satu Kartu Keluarga memiliki lebih dari satu stand. Kalau pun praktek ini tetap terjadi, pengelola pasar kudu tegas memberikan harga sewa lebih tinggi. Tujuannya jelas, agar semua warga desa dapat mencari rezeki. Menghindari adanya monopoli pasar demi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur.


Waktu saya lirik, Adit masih sibuk dengan gim nya, obrolan saya dengan James kita pungkasi dengan menyisakan beberapa keresahan. Tapi itu tak jadi soal, besok saya telpon dia lagi. Teringat obrolan dengan Bu Titin, di depan rumahnya ada pembangunan kos-kosan 50 kamar. Katanya, pemiliknya adalah orang Surabaya. Memang ada beberapa warga yang menjual rumah atau lahannya ke orang lain, alasannya karena ingin pindah rumah, anak-anaknya sudah mentas semua sehingga mau balik kampung atau karena faktor ekonomi. Lahan dan rumah yang dijual itu tetap menjadi rumah kontrakan, bahkan direnovasi lebih besar dan luas.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Lelaki Tua dan Kebiasaan Anehnya


Residu obrolan dengan Bu Titin malam itu menjadikan kekhawatiran baru. Saya membayangkan bagaimana jika bedak-bedak di pasar desa saya di kuasai oleh pemodal besar, bagaimana jika sawah-sawah di desa berubah menjadi supermarket atau rumah kontrakan, bagaimana jika kelak orang-orang asli desa saya malah menjadi buruh di bekas lahan dan bedak yang dulunya mereka miliki. Kekhawatiran itu selalu muncul berulang. "Mungkin terjadi, barangkali juga tidak". -Batinku.


Saat hendak bertanya ke Adit kira-kira akan mengontrak di mana. Tiba-tiba dia menoleh dan memberitahu selama aku telpon dengan James. Ibunya Adit berencana menjual bedaknya di Pasar untuk biaya Adit dan istrinya mengontrak rumah. Lho lah


Padahal saya mau bertanya ke Adit, kira-kira kenaikan harga di pasar dan kontrakan yang sedang kita obrolkan itu perang harga atau hasil musyawarah? Atau malah, perang harga yang di musyawarahkan!!!!!!!



Sekian terimakasih.
Salam hangat dan jangan lupa ngopi.
Malang, 9 Januari 2019.

Wednesday, January 8, 2020

MENJADI LAMBAN KARENA DIKSI, MENJADI PINTAR KARENANYA

MENJADI LAMBAN KARENA DIKSI, MENJADI PINTAR KARENANYA

(Resensi Buku Tamasya Kota Pernia Oleh Toni Lesmana)

Tulisan ini masih seputar resolusi saya di tahun 2020, yakni berusaha meresensi semua buku yang selesai saya baca di tahun 2020. Jika pembaca blog saya mengikuti tulisan saya terdahulu, tentu paham bahwa sebuah buku dinilai bagus tidaknya itu hanya masalah selera saja. Meski realitanya kalian mengdaku buku yang kalian baca bagus, bukan berarti saya akan mengamini hal tersebut. Karena ini masalah selera. Hal ini yang akan saya ulangi lagi, dan lagi dalam setiap tulisan saya. Buku-buku yang saya beli, se selektif saya mencari. Dengan penuh pertimbangan atau tidak. Hasilnya akan tampak setelah saya selesai membacanya. Apakah buku tersebut sesuai selera saya atau tidak. Begitu pun dengan buku karangan Toni Lesmana berjudul "Tamasya Kota Pernia". Pendapat dalam tulisan ini sangat subjektif, jika kebetulan para pembaca ada penggemarnya Toni Lesmana dan tidak suka dengan yang saya tulis. Saya mohon maaf sebesar-besarnya. Mungkin kesalahan saya ini karena tidak membaca seluruh buku yang Mas Toni Lesmana tulis.


Saya tidak terlalu suka membaca cerpen yang banyak memiliki diksi. Cerita yang dituliskan terlalu berkutat pada kondisi sekeliling dimana tokoh utama berada. Seperti "Saya melihat perempuan itu mendekatiku, badannya tegap dengan payudara besar, memiliki rambut sebahu dan tampak basah, bibirnya tampak hitam dan memiliki tahi lalat disebelah kirinya". Hal ini memang bagus agar para pembaca dapat mengembangkan imajinasi para pembaca. Tapi entah mengapa, saya dari dulu tidak menyukai bacaan yang seperti ini. Meski saya akui, dulu saya pernah menulis cerpen dengan gaya tulisan penuh diksi seperti itu. Saya menyukai cerita-cerita yang lugas, bahasanya renyah termasuk pesan apa yang ingin penulis sampaikan ke pembaca. Meski semua cerpen, novel atau roman tidak mungkin jika tanpa diksi. Saya hanya tidak ingin menjadi pembaca lamban gara-gara fokus merenungi apa yang penulis maksut dengan menulis diksi-diksi itu.


Kata seorang Budayawan, "Sumber masalah di dunia ini adalah tafsir. Setiap orang memiliki tafsirannya sendiri dari buku, peristiwa dan pengalamannya. Sedangkan masalah terbesar kita adalah memaksa orang lain untuk mempercayai dan mengikuti hasil tafsiran kita. Padahal kata Mbah Nun, "Kebenaran itu letaknya di dapur (Hati), jadi tidak perlu untuk saling memperdebatkan kebenaran yang kita percayai. Karena setiap orang memiliki tafsiran pembenarannya masing-masing."


Maksud saya, dengan memaksa dua pernyataan di atas untuk di elaborasi. Saya ingin menyampaikan ke pembaca bahwa tulisan saya ini adalah tafsiran saya tentang sebuah buku. Dan itu bisa jadi salah. Pembaca dapat menjadikan tulisan ini sebagai bahan wacana baru, atau membiarkan begitu saja apa yang saya tulis. Semua tergantung anda. Silahkan saja.


Toni Lesmana, lahir di Sumedang. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di kota kelahirannya. Minat terhadap menulis lahir dari perjumpaan dengan Majalah Mangle, sebuah majalah berbahasa Sunda yang memuat cerpen dan puisi. Mula-mula penulis dalam bahasa Sunda, beberapa kali mendapat penghargaan dari Lembaga Basa Sastra Sunda (LBSS) untuk puisi maupun cerpen. Buku-bukunya yang sudah terbit antara lain, Kumpulan Sajak Sunda Saregang-regang (Surya Dwitama, 2008), Kumpulan Cerpen Jam Malam Kota Merah (Ampermedia, 2012), Kumpulan Cerpen Kepala-kepala di Pekarangan (Gambang, 2015), Kumpulan Puisi Tamasya Cikaracak (Penerbit Basabasi, 2016).


Buku "Tamasya Kota Pernia" terdiri dari 21 cerpen yang sebelumnya sudah di muat di beberapa media ternama. Diterbitkan pertama kali tahun 2018 oleh penerbit Basabasi, Yogyakarta. Saya lebih sering membaca artikel dan essai di web nya, dan Buku karangan Mas Toni Lesmana adalah perjumpaan pertama saya dengan penerbit dari Kota Gudeg tersebut.


Cerpen-cerpen dalam buku ini secara tema dapat dibagi dalam dua kelompok: pertama, kegelisahan dan keterasingan manusia alam modern dan, yang kedua, kegelisahan manusia-manusia pada alam tradisi. Namun, secara umum, seluruh cerpen yang dituliskan dalam kurun waktu sejak tahun 2009 sampai 2016 ini adalah bentuk pengembaraan imajinasi Mas Toni Lesmana, sekalipun beberapa di antaranya mengambil tokoh dari dongeng yang pernah Mas Toni dengar di masa kecil. Pengembaraan ke wilayah gila, menurut salah seorang temannya. Mirip sebuah tamasya yang menyenangkan.
Dari 21 Cerpen yang ada. Saya sangat menyukai judul Tamasya Kota Pernia yang di angkat menjadi judul buku ini. Selain itu ada Hantu di Depan Pintu, Malam di Kota Merah, Negeri Penidur, Dongeng Hutan Kesedihan dan Ki Balelol.


Jika pembaca blog saya menyukai cerpen-cerpen horor, bercerita tentang anak-anak dan pengembaraan imajinasi yang luar biasa hebat namun dibalut dalam lanskap sederhana. Buku ini sangat saya rekomendasikan untuk pembaca koleksi. Kalau saya sendiri memilih buku ini selain memang menyukai cerpen. Saya adalah pembaca setia Basabasi, dan jujur saya menaruh ekspetasi tinggi pada buku terbitan Basabasi. Termasuk dua buku yang saya pre order berjudul "Paris Yang Tak Berkesudahan" karangan Hemingway dan "Orang Gagal" karangan Osamu Dazai yang tanggal 16 Januari besok baru dikirim dari Yogya.



Sekian Terimakasih.
Rabu, 8 Januari 2019.
Ali Ahsan Al Haris

Resensi Buku Tamasya Kota Pernia Toni Lesmana, Resensi Buku Tamasya Kota Pernia Toni Lesmana, Resensi Buku Tamasya Kota Pernia Toni Lesmana, Resensi Buku Tamasya Kota Pernia Toni Lesmana, Resensi Buku Tamasya Kota Pernia Toni Lesmana, Resensi Buku Tamasya Kota Pernia Toni Lesmana, Resensi Buku Tamasya Kota Pernia Toni Lesmana, Resensi Buku Tamasya Kota Pernia Toni Lesmana, Resensi Buku Tamasya Kota Pernia Toni Lesmana, Resensi Buku Tamasya Kota Pernia Toni Lesmana, Resensi Buku Tamasya Kota Pernia Toni Lesmana, Resensi Buku Tamasya Kota Pernia Toni Lesmana,





Sunday, January 5, 2020

Banjir dan Cerita-Cerita di Dalamnya

Banjir dan Cerita-Cerita di Dalamnya


Januari 2014, kawan saya bernama Anantara bergegas pamit pulang karena desanya terendam banjir. Kata dia, beberapa anggota keluarga besarnya terpaksa mengungsi ke Masjid dan rumah saudaranya.
Desa kawan saya ini terbelah menjadi dua bagian, kulon kali (Barat sungai) dan wetan kali (Timur sungai). Sedangkan yang terkena banjir bagian wetan kali. Lewat penuturannya, banjir yang melanda desanya itu terparah sepanjang orang tua nya menetap di desa yang (Katanya) dikenal sebagai pusat lumbung padi itu.


Saat masuk batas desa, tampak tanggul jebol yang belakangan diketahui jika jebolnya tanggul yang menghancurkan toko bangunan dan musholla itu, karena ada seorang yang entah iseng atau sengaja mengambil sebuah pusaka untuk dijadikannya jimat. Tentu ini hanya praduga saja, tapi obrolan ini banyak di amini oleh para pelaku spritual kejawen di desa Anantara tinggal.


Sesampainya dirumah, tampak anggota keluarga besarnya yang tinggal di wetan kali mengungsi dirumahnya. Suasana rumahnya menjadi ramai dan menjadi pusat perhatian karena kebetulan juga didapuk menjadi salah satu dapur umum di dekat posko korban banjir.


Kawanku ini sempat mengecek langsung rumah para korban banjir di wetan kali, sungguh parah. Bagi dia ini adalah pengalaman pertama melihat desa yang ia cintai itu dilibas banjir selama 37 tahun dia tinggal. Meski kondisinya tidak separah banjir di Jabodetabek yang ketinggianya mencapai atap rumah, banjir dengan ketinggian yang kisaran 1,7 meter ini sudah cukup membuat para warga desa meninggalkan rumah mereka.


Anantara inisiatif membantu di dapur umum dekat rumahnya, dari jam 2 dinihari dia dengan dua emak-emak mulai masak nasi dan lauk yang nantinya akan dibagikan ke para pengungsi di dekat dapur umum. Begitulah mekanisme yang dirancang Pemdes tempat dia tinggal dan Tim Rescue. "Maksimal jam 6 pagi harus sudah matang", celetuk emak yang bertugas menanak nasi itu. Emak-emak yang bertugas memasak untuk para korban bencana sempat mengeluh karena kekurangan tenaga, mereka berdua setidaknya sehari tiga kali membuat 550 bungkus makanan. Terkadang dibantu oleh Tim Rescue, namun karena kondisi Tim Rescue yang kekurangan personil juga menjadi hambatan tersendiri bagi kedua emak-emak ini. "Kadang ada disini, kadang gak tau kemana, Mas". Tutur seorang emak yang waktu itu sedang membuat bumbu mie goreng.


Proses pembagian logistik ada timnya sendiri, terdiri dari perwakilan posko korban banjir dan di dampingi perwakilan Tim Rescue dan Pemdes. Meski ada perwakilan dari institusi, dalam teknisnya masih saja terjadi adu mulut antara korban banjir dengan tim yang bertugas membagikan logistik. Alasannya beragam, mulai dari tidak mendapatkan jatah, makanan tidak enak dan parahnya. Adu mulut dengan petugas karena mau nambah makan lagi.


"Hal seperti itu sering terjadi, Mas. Setiap pembagian logistik ada saja yang membuat geram dan jengkel. Apa mereka gak tau perjuangan kami memasak untuk mereka semua.", Celetuk Bapak bertubuh tambun perwakilan Pemdes.


"Iyo bener kuwi, Mas. Ancen kake'ane kok wong-wong iku. Opo gak ngerti nek kene kesel opo piye"., Tampak emak yang ikut memasak marah melihat kejadian adu mulut yang terus berulang.


Di sisi lain, saat Anantara berbincang dengan seorang yang berada di posko pengungsian. Katanya sebagian besar para pengungsi di posko tersebut banyak mengeluh karena leletnya distribusi makanan dari dapur umum. "Kami semua kelaparan lho, Mas". Tiba-tiba seorang Bapak tua yang kebetulan nimbrung nyeletuk, "Sampeyan tahu, Mas?. Banjir ini adalah azab dari Allah karena kalahnya calon kepala desa yang rumahnya kulon kali. Dia gak terima kalah, lalu berdoa dan banjir datang ke wetan kali"., Bapak tersebut berbicara dengan muka memerah seakan semua ini adalah salah calon kepala desa yang kalah itu.


"Kasian sekali orang itu, sudah kalah dalam Pilkades. Eh masih saja menjadi korban praduga tak bersalah.", Batinku.



Selepas dari posko, Anantara pulang sambil terkekeh dan membatin. "Di tingkat masyarakat paling kecil saja mereka sudah hobi mencari kambing hitam. Wajar saja jika elit politik di Jekardah sana saling  menyalahkan dan mencari pembenarannya sendiri".