Tuesday, August 25, 2020

Resensi Laki-Laki Memang Tidak Menangis, Tapi Hatinya Berdarah, Dik

 

LAKI-LAKI MEMANG TIDAK MENANGIS, TAPI HATINYA BERDARAH, DIK

 

Laki-Laki Memang Tidak Menangis
Buku ini berisi kumpulan essai pendek dari Almarhum Cak Rusdi Mathari yang sempat dikirim ke Buku Mojok dan belum sempat dibukukan. Ini adalah buku ketiga karangan Cak Rus yang saya baca setelah Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam & Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya. Membaca buku ini seperti menyelami sisi lain Cak Rusdi. Melankolis, lembut dan begitu landai jika dibaca. Seperti seorang remaja yang sedang kasmaran pada cinta pertamanya, Cak Rusdi menulis essai dalam buku ini.

Buku yang tidak terlalu tebal ini menceritakan istri dan anak Cak Rus. Daya romantis & kekanakannya sungguh melankolis dan mengurai air mata. Kritiknya dalam bentuk satire juga tak hilang dan sudah menjadi nafas dari setiap tulisan-tulisan yang Cak Rus tulis.

Dari 80 essai dan yang Cak Rus tulis, ada beberapa essai yang saya sukai, bahkan essai pendek ini terbilang memukau. Seperti kebiasaan saya dalam meresensi kumpulan cerpen, kali ini saya akan memilih beberapa essai tuisan Alm. Cak Rusdi yang bagiku menginspirasi.


Baca Tulisan Saya yang Lain: Resensi Buku Menjerat Gus Dur

 

Takdir

Ada yang berkata, takdir kita terikat dengan tanah seperti kaum kita yang tinggal di atasnya. Yang lain berkata, takdir seperti benang yang ditenun jadi kain, terikat dengan banyak orang. Itulah hal yang kita cari atau kita perjuangkan untuk mengubahnya. Ada yang tak pernah menemukan takdirnya, tapi ada yang dituntun menuju takdirnya.

Putri Merida menyampaikan narasi itu di awal-awal film Brave, Fahri. Dia masih remaja. Dan meskipun kau tak menonton film itu, mestinya kau tahu, tak setiap laki-laki ditakdirkan punya masa lalu yang kelam. Mereka yang mengalaminya pun, pada akhirnya sanggup berdamai dengan masa lalu mereka. Mengubahnya. Berjuang dengan hati yang berdarah-darah, meski barangkali sebagian dari mereka tak menangis. Mereka dituntun menuju takdirya dengan cara yang tak pernah kau bayangkan dan mungkin juga kau sesalkan, maka berdamailah, Fahri. Berdamailah.

 

11-12 Tahun

Aku tulis surat ini padamu untuk mengingat perjumpaan kita dua belas tahun lalu dan sumpahku padamu sebelas tahun yang lewat. Kita bukan siapa- siapa, Dik, dan tak penting menjadi apa. Sebelas tahun atau dua belas tahun, itu bukanlah waktu sebentar untuk kita yang terlalu lekas menjadi renta. Kita telah melewatinya bersama dengan penuh peluh, dengan lebih banyak lelehan air mata.

Hari ini, Dik, aku kembali mengingat hari wadad kita, hari ketika wajahmu yang sentosa dibebat melati dan pupur doa. Rambutmu wangi Kasturi dan dupa. Lalu, sebelas tahun atau dua belas tahun lamanya, kamu dan aku terkunci di zaman yang sombong. Orang-orang berpidato tentang kutukan dan pujian; tapi benarkah hati dan masa depan manusia punya kuasa hukum dan pengadilan?

Masya Allah, Dik, apa kamu ingat ketika aku peluk dirimu sembari kuciumi lehermu yang putih. Saat aku melepaskan tali kutangmu kali pertama? Waktu berahiku mengusap payudaramu yang wangi tandan kelapa, kamu bertanya, "Mengapa orang-orang itu merasa memiliki sambil menerkam yang lain?"


 Baca Tulisan Saya Yang Lain: Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam Oleh Rusdi Mathari


Dan setelah sebelas tahun atau dua belas tahun lamanya, para serigala terus menyeringai melihat orang yang terisak dan berteduh sejak kemarin sore di bawah kardus yang robek.

Hidup manusia memang lucu ya, Dik. Ketika orang-orang bergegas membeli biskuit dan susu, dan para petualang berebut roti, aku justru tak pernah membawakan apa-apa untukmu dan anakmu. Lalu sebelas atau dua belas tahun lamanya, kita kemudian selalu bisa menertawakan hidup kita sendiri, meskipun selalu dengan lelehan air mata.

Ya Allah, Dik, sebelas atau dua belas tahun, benar bukan waktu sekejap ternyata. Aku memang tidak pernah menggandeng tanganmu seperti yang selalu kamu minta. Tapi kamu kini tahu, setelah sebelas atau dua belas tahun kita telah selalu melewatinya bersama sambil menari dan berputar seolah di sorga. Dan semua itu lebih penting dari hanya bergandengan tangan tentu saja.

 

Perempuanku

Aku mengingatmu malam ini ketika bulan separuh yang menggantung di langit di atas genteng rumahmu yang sepi, menggodaku. Angin menerbangkan harum pandan yang tumbuh di halaman. Kita telah melewati beratus-ratus jam sejak aku menyingkap BH-mu dan mengusap payudaramu menjelang subuh.

Suaramu memanggil namaku. Merambat ke dinding jiwaku. Aku terus menciumi lehermu yang berpeluh. Kita menumpahkan kegelisahan jiwa yang sama di atas kasur dipan di kamarmu yang dilapisi seprai yang nyaman.

Aku mengerti rasa cemasmu. Badai kita sama. Bergemuruh dan mengguncang haluan. Tak ada yang aku tawarkan padamu. Aku lelaki pendayung sampan yang mengajakmu mengarungi samudera kehidupan, sebab kita telah melewati kesumpekan masing-masing. Hidup hanyalah soal di atas dan di bawah.

Lalu sore itu, kita rebah di sofa berwarna dongker. Engkau berkata mencintaiku sambil menyorongkan susumu ke wajahku. Nafasmu wangi kembang tembakau. Sukmaku dipacu dari puncaknya yangpaling dalam. Melayang-layang penuh gelora. Kita berbicara tentang hari-hari yang panjang dan terik yang mungkin akan kita lalui setelah sore itu.

Aku mengingatmu, perempuanku, karena beratus- ratus jam yang telah kita lalui di atas kasur kamarmu yang semerbak dupa. Engkau duduk di pangkuanku. Aku memeluk pinggulmu. Tanganmu mencengkeram pundakku. Engkau menari sampai pagi. Saat itu aku tahu, padamu ada sebagian darahku.


 Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Novel Seorang Laki-Laki Yang Keluar Dari Rumah


Sama

Duhai Allah, ampunilah semua muslim, ampuni semua orang yang beriman, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati.

Begitulah muslim dan mukmin berdoa selepas sembahyang.

Mereka saling mendoakan dengan doa yang sama, dengan pengharapan yang sama, lalu setelah itu mereka saling membunuh, mendendam, membenci, menghujat dan mengkafirkan.

Allah memang lucu, tapi banyak manusia menganggap Allah terlalu serius.

 

Terimakasih banyak

Malang, 19 Agustus 2020

Ali Ahsan Al Haris

Monday, August 24, 2020

Resensi Kumpulan Cerita Pendek Cinta Tak Ada Mati Eka Kurniawan

 

Cinta Tak Ada Mati



Foto Saya Membawa Buku Cinta Tak Ada Mati
Buku kumpulan cerita ini memuat 13 cerita pendek, diantaranya: Kutukan Dapur, Lesung Pipit, Cinta Tak Ada Mati, Persekot, Surau, Mata Gelap, Ajal Sang Bayangan, Penjaga Malam, Caronang, Bau Busuk, Pengakoean Seorang Pemdat Indis, Jimat Sero & Tak Ada yang Gila di Kota Ini. Buku karangan Mas Eka ini adalah buku ke empat yang saya baca setelah Cantik Itu Luka, Lelaki Harimau dan Corat-Coret di Toilet. Tanpa menilai mana cerpen yang bagus diantara ketiga belas kumcernya, di bawah ini adalah cerpen yang bagiku sangat menarik untuk kalian baca.



Kutukan Dapur

Bagi yang sudah banyak membaca karya Mas Eka, tentu sudah mengenali karakter daripada tulisan salah satu maestro penulis alumni Fakultas Filsafat UGM ini. Bagi saya, nafas dari tulisan Mas Eka tidak jauh dari politik, pemberontakan dan patriarki. Begitu pula dengan cerpen pertama pada Kumcer Cinta Tak Ada Mati yang saya baca. Berkisah tentang Maharani yang jalan-jalan ke museum kota berharap menemukan resep makanan, ia malah menemukan sebuah catatan pemberontakan di mana salah satu tokohnya berkisah tentang seorang perempuan bernama Diah Ayu. Ia tidak memberontak dengan senjata atau bambu runcing, ia memberontak lewat bumbu-bumbu makanan, dan dapur tempatnya memasak adalah arena peperangan nya.


Berlatar masa penjajahan, orang Eropa berbondong-bondong menjarah negeri perawan - Mas Eka dalam hal ini meng anedotkan Indonesia - di mana dari dasar laut sampai permukaan tanah apa yang kita temui dapat kita makan. Bahkan lucu jika mendengar orang mati kelaparan di negeri perawan yang di mana saat kalian melempar apapun akan tumbuh pohon yang dari buah, daun bahkan akarnya bisa kita makan.


Baca tulisan saya yang lain: Resensi Corat-Coret di Toilet


Pada zaman kolonial, juru masak dianggap sebagai salah satu aset yang sangat berharga selain kekayaan dan jabatan. Bahkan, juru masak tidak diperkenankan pergi dari rumah dalam kondisi apapun. Termasuk sesumbar para tuan (kolonial) ke para koleganya saat mengundang para tamu undangan ke rumah menghadiri santap makanan.


Dari kebiasaan tuannya, Diah Ayu mulai paham bagaimana membuat mereka mati tanpa di curigai oleh para tentara Belanda. Metodenya itu di rasa lebih efektif membuat mati seseorang lebih banyak daripada perang di front. Dengan meracik bumbu-bumbu rahasia, para Belanda itu bisa mati secara perlahan dalam kurun waktu dua sampai tiga minggu. Di waktu senggangnya bertemu sesama juru masak pribumi, Diah Ayu membagi bumbu-bumbu apa saja yang perlu diramu untuk memulai pemberontakan. Ramuan yang dulu menjadi rahasia, kian hari semakin menyebar dari juru masak satu ke rumah-rumah tempat juru masak pribumi bekerja.


Tepat pada hari Kamis. Mereka membunuh tuan-tuan mereka secara serempak, tidak dengan pisau dapur, tapi dengan kuah jamur.


Cinta Tak Ada Mati

Eka Kurniawan sekali lagi berimajinasi liar dalam Cinta Tak Ada Mati yang menyuguhkan cerita pendek (cerpen) tentang Mardio (Ending ceritanya gila dan bikin saya ngakak), bujangan berumur tujuh puluh tahunan yang cinta buta terhadap Melatie selama enam puluh tahun meskipun perempuan itu telah menikah dengan seorang dokter dan memiliki keluarga bahagia.


Baca tulisan saya yang lain: Resensi Novel Lelaki Harimau


Latar tempat dalam cerpen ini mengambil pusat perkotaan modern tahun 1950-an hingga 2000-an, tidak ada pantai, atau sedikitnya nuansa khas Tasikmalaya yang kerap muncul dalam cerita utama buatan Eka Kurniawan.


Mardio dikisahkan sebagai perobek tiket bioskop yang menggoda Melatie dengan menawarkan menonton gratis (karena perempuan itu tergila-gila dengan film). Ada yang menggelitik ketika Darah dan Doa menjadi tontonan pada kencan pertama mereka karena seakan-akan Mardio diibaratkan adalah antitesis dari Kapten Sudarto yang terlibat cinta dengan dua gadis padahal telah beristri.


Lucunya, Melatie juga seakan telah memiliki suratan takdir sebab ia dilahirkan saat kedua orang tuanya menonton Melatie van Java. Melatie mungkin tak ingin bernasib sial seperti Melatie dalam film tersebut, sebab mereka sama-sama putri seorang juragan kaya maka satu hal yang ingin diubah Melatie: Ia tak ingin mempunyai kekasih yang tidak dicintainya. Itulah sebab mengapa ia dan Mardio mungkin memang tidak akan pernah bisa bersatu sebab film adalah kunci nasib tragis percintaan mereka.


Resensi Novel Para Bajingan Yang Menyenangkan


Cinta Tak Ada Mati memang cukup panjang sebagai sebuah cerpen tetapi kisah Mardio begitu humanis dan bahkan dapat diamini oleh orang-orang yang sedang patah hati. Sama halnya dengan Kapten Sudarto, Mardio pun pada akhirnya hanya manusia biasa yang bisa memiliki niat keji untuk mendapatkan apa yang ia inginkan walau semua berakhir sebagai imajinasi liar yang enggan diwujudkannya, entah itu perkara dosa atau ketakutan-ketakutannya akan menyakiti perasaan si perempuan. Kini, satu pertanyaan membekas dalam benak saya:


Adakah seorang laki-laki di dunia ini yang mampu mencintai layaknya Mardio terhadap Melatie?


Baca Tulisan Saya yang lain: Resensi Novel LAPAR Karya Knut Hamsun


Surau
Memukau. Satu kata yang harus saya katakan pada cerpen berjudul "Surau" itu. Mas Eka sangat ciamik berimajinasi dan memadupadankan kata dalam menarasikan kisah anak kecil yang mengalami pergulatan batin saat hendak mendirikan shalat ashar.


Bermula karakter Aku yang terjebak hujan saat hendak ke surau. Pilihan ke surau dilatarbelakangi karena Ayahnya akan memecut tangannya karena tidak mau pergi ke surau meluangkan waktu lima menitnya bersujud kepada Tuhan. Perjalanannya ke surau, ia terjebak hujan lebat dan memilih meneduh ke emperan surau. Selama berteduh, ia melihat guru ngajinya bernama Ma Soma sedang mendirikan shalat Ashar. Dalam hatinya muncul perdebatan, "Apa salahnya jika membuka sepatu, mengambil wudhu, dan mendirikan shalat?".


"Tapi untuk apa?" Ia kembali bertanya ke dirinya sendiri.


Ia ingat jika niatnya ke surau hanya menghindari pukulan mistar dari Ayahnya. Hujan adalah kesempatan untuk sekedar menghilang lima menit dari pandangan Ayahnya agar dikira shalat.


Perasaannya berdebat lagi, ia khawatir Ma Soma melihatnya sedang berteduh di pinggir surau dan tak segera mendirikan shalat. Pada titik ini, Mas Eka menggambarkan karakter Aku merasa malu ketahuan Ma Soma karena tak segera mendirikan shalat.


Apa yang menarik? Kisah ini Indonesia banget. Mas Eka dengan ciamik menggambarkan apa yang anak-anak alami. Cerpennya membuat kita bertanya bagaimana kewajiban agama dan sistem edukasi keluarga yang syarat kekerasan, tetapi malah berbuah kenihilan. Sebab, karakter Aku digambarkan lebih takut mistar sang Ayah daripada mencintai Tuhan. Filsafat sekali bukan?


Caronang
Ada lagi cerpen berjudul Caronang, sebuah kisah fantasi mengenai binatang liar Caronang yang ditangkap dan dipelihara lalu ujungnya membawa petaka. Petaka terjadi ketika di suatu hari yang keji, Caronang menarik pelatuk, menembak dua kali, menghajar habis seorang balita hingga tiada. Nasib Caronang tentu berakhir tragis juga dengan dibunuh dan disembelih. Manusia memang sebegitu kejinya kerap menyalahkan pihak tak bersalah padahal ia yang pertama memulai awal petaka. Kritisme Eka Kurniawan terhadap manusia tampak tak usai pada cerita-ceritanya yang selalu dipenuhi oleh nuansa realisme magis.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Novel Babad Kopi Parahyangan


Bau Busuk

Cerita pendek berlatar Halimunda, lokasi yang mengingatkan kita pada novel Cantik Itu Luka. Bagi pembaca karya Mas Eka, saya yakin pembaca sudah mengambil benang merah kumpulan cerpennya. Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, Mas Eka tulisannya tidak jauh dari tema sejarah, filsafat, patriarki dan genre realisme magis.


Bau busuk adalah cerpen tentang pembantaian orang dan simpatisan komunis di Halimunda. Di bunuh hanya karena mereka di luar pakem, dikira atheis dan kontra revolusioner. Mayat mereka dibiarkan berserakan di jalanan, keluarga mereka tak berani menguburkan para korban sesuai dengan agama yang mereka anut. Masyarakat setempat juga tak sudi menguburkan mayat orang-orang komunis itu, kok gitu, para sanak famili mereka yang masih hidup saja tak sudi mereka temui, mereka di anggap hina dan patut mati konyol.


Jimat Sero

Cerpen ini keren, serius sangat keren. Alur ceritanya tak bisa di duga. Terlebih endingnya, membuat kita sebagai pembaca berimajinasi entah ke mana-mana. Bercerita tentang karakter Aku, Rohman dan Raisa.


Karakter Aku yang dicitrakan memiliki tubuh kecil, ringkih, tidak terlalu tinggi dan sering menjadi bulan-bulanan teman sekolahnya. Melihat hal tersebut, neneknya mengajaknya ke sebuah sumber mata air. Di sana ia bertemu dengan penjaga sumber mata air, anaknya bernama Rohman yang awalnya sudah kelas empat, di suruh Nenek dari karakter Aku untuk turun dua tingkat di kelas dua dan duduk di samping cucunya sembari menghajar sampai babak belur jika ada yang berani menganggu cucunya.


Sebagai penutup, saya rasa kumpulan cerpen ini hanya diperbolehkan untuk dibaca yang sudah memiliki umur minimal 17 tahun. Mengapa? Banyak narasi berbau dewasa. Hahaha.

 

Terimakasih

Malang, 24 Agustus 2020

Ali Ahsan Al Haris

Wednesday, August 5, 2020

RESENSI CORAT-CORET DI TOILET EKA KURNIAWAN


RESENSI KUMPULAN CERITA PENDEK CORAT-CORET DI TOILET


Buku ini memuat 12 judul cerpen yang ditulis selama periode tahun 1999-2000. Corat-coret di Toilet kali pertama terbit sekitar tahun 2000 oleh Yayasan Aksara Indonesia berisi sepuluh cerpen, kemudian diterbitkan ulang oleh Gramedia pada tahun 2014 dengan menambah dua cerpen lagi. Cerpen-cerpen tersebut adalah Peter Pan, Dongeng Sebelum Bercinta, Corat-Coret di Toilet, Teman Kencan, Rayuan Dusta untuk Marietje, Hikayat Si Orang Gila, Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam, Siapa Kirim Aku Bunga?, Tertangkapnya Si Bandit Kecil Pencuri Roti, Kisah dari Seorang Kawan, Dewi Amor, serta Kandang Babi. Tanpa bermaksut menilai mana cerpen yang bagus diantara dua belas judul cerpen tersebut, saya akan menulis resensi dari cerpen yang bagiku menarik.


Pertama, Peter Pan.
Buku ini lebih kepada kumcer, cerpen pertama berjudul Peter Pan. Sesuai dengan judulnya, cerpen ini berkisah tentang Peter Pan, saya menilai bahwa tokoh ini di citrakan Mas Eka sebagai penulis, penyair, pembaca buku kelas berat dan seorang inisiator gerakan gerilya.


Berkisah tentang gerakan demonstrasi ke Presiden yang diktator, pencurian buku, rasa cintanya yang teramat besar ke Tuan Puteri dan penculikan. Cerpen ini adalah sebuah satir atas apa yang Mas Eka alami selama mahasiswa, di mana Pak Harto melakukan gerakan subversif terhadap rakyatnya sendiri. Orang-orang yang kritis ke pemerintahannya akan hilang tak lama selepas ia dengan berani mengkritik rezim yang ia pimpin.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Novel Lelaki Harimau


Seperti pada buku Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau, cerpennya kali ini memiliki alur maju mundur. Mas Eka terlampau ciamik memadu padankan kata demi kata sehingga membuat pembaca memgernyitkan dahi makna dibalik setiap apa yang ia tulis.


Berbicara ORBA, buku seperti Laut Bercerita karangan Mbak Leila S Chudori dan Corat-coret di toilet menjadi memori yang hidup yang generasi millineal perlu tahu, tidak dalam rangka membuat teror dan mentransfer kekejaman sebuah rezim, melainkan perlu tahu jika kita pernah di pimpin oleh seorang diktator.


Kedua, Dongeng Sebelum Bercinta.
Apa teman-teman sudah membaca Cantik Itu Luka? Jika sudah, tentu tidak asing dengan nama "Maman Gendeng" dan " Maya Dewi", anak pelacur legendaris Halimunda. Ada sedikit kemiripan plot cerita antara cerpen Dongeng Sebelum Bercinta dengan Cantik Itu Luka khususnya bagian Alamanda dengan Shodanco dan Maya Dewi dengan Maman Gendeng suaminya.


Jika Alamanda berusaha sekuat tenaga tidak disetubuhi oleh Shodanco, suaminya sendiri. Berbeda dengan Maman Gendeng yang tidak tega menyetubuhi Maya Dewi yang saat ia persunting menjadi istrinya masih berumur empat belas tahun. Saya mengambil benang merah pada kedua tokoh tersebut perihal sebuah penantian "Kapan bisa menyetubuhi istrinya".


Dalam cerpen "Dongeng Sebelum Bercinta" ini, tokoh utama juga bernama Alamanda. Ia tidak mau melakukan hubungan seksual dengan suaminya jika ia belum tuntas menyelesaikan dongeng "Alice's Adventures in Wonderland". Setiap sang suami meminta berhubungan badan, Alamanda akan mengingatkan pada suaminya bahwa ia sudah berjanji akan berhubungan badan saat Alamanda selesai menandaskan dongeng tersebut. Hal tersebut berlangsung sebulan lebih.


Apakah cerita ini hanya berkisah tentang hubungan seksual semata? Oh tentu tidak.


Saya menilai, Mas Eka, dengan jitu memaparkan perlawanan atau pemberontakan seorang perempuan terhadap budaya Patriarki di mana meletakan perempuan tidak boleh memilih jalan hidupnya sendiri, termasuk memilih suaminya.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Novel Cantik Itu Luka


Pada Novel Cantik Itu Luka, Alamanda meminta tolong ke dukun untuk diberikan celana dalam yang hanya dapat dibuka dengan sebuah mantra. Celana dalam tersebut tidak akan hancur meski dibuka dengan perkakas maupun di granat sekalipun. Hal ini dikarenakan Alamanda yang tidak mencintai Shodanco. Pada titik tersebutlah, kita dapat melihat usaha perempuan dalam memberikan perlawanan dan pemberontakan.


Kisah Maya Dewi dengan Maman Gendeng berbeda lagi. Sebagai preman paling kuat dan menakutkan di Halimunda, ia berhak meniduri Dewi Ayu secara gratis, seorang pelacur legendaris di kota tersebut yang kita tahu adalah Mertuanya sendiri, Ibu dari Maya Dewi. Pernikahan Maman Gendeng dengan Maya Dewi dikarenakan Dewi Ayu yang tak sudi menikah lagi. Selama proses melamar Dewi Ayu, Maman Gendeng dalam hati menyimpan rasa cinta ke Maya Dewi. Melihat gelagat tersebut, Dewi Ayu menyuruh anaknya untuk menikah dengan Maman Gendeng. Prosesi pernikahan tersebut berlangsung meriah dengan pesta yang sangat besar, banyak tamu yang datang karena mereka tahu, pelacur legendaris sedang menikahkan anaknya dengan preman paling kuat di Halimunda, Maman Gendeng.


Ketiga, Corat-Coret Di Toilet.
Cerita yang lugas, to the point dan mengena sekali. Berkisah tentang toilet yang baru di cat di sebuah fakultas. Pada tembok yang mulus tersebut, sengaja seorang Mahasiswa menulis dengan spidol yang ia miliki "Reformasi Gagal Total, Kawan! Mari Tuntaskan Revolusi Demokratik!." Tulisan tersebut memancing setiap mahasiswa yang masuk toilet untuk ikut menulis, entah dengan spidol, bolpoin, lipstik bahkan patahan batu bata.


Banyaknya pemakai toilet, setiap mahasiswa yang gemas membalas tulisan pada tembok tersebut dengan pelbagai tanggapan. Dari yang menuduh PKI, mengajak kencan, sok alim dan kontra revolusioner.


Keempat, Teman Kencan.
Sebelum membaca buku ini, Chanel youtube Jurnal Ruang pernah mengadakan in depth interview dengan Mas Eka, pewancara menyinggung apakah tokoh utama dalam cerpen Teman Kencan ini benar adanya? Mas Eka tampak kikuk menjawabnya, haha.


Oke, ceritanya sederhana. Tentang seorang lelaki yang di tinggal minggat karena ia sibuk demontrasi. Tepat pada sabtu malam minggu, ia merasa kesepian dan berniat kencan dengan Nurul Aini, perempuan cantik dengan senyum yang membius. Tapi nasib berkata lain, Nurul Aini kencan dengan lelaki lain sehingga pilihan berkencan jatuh pada Ayu, mantan kekasih tokoh utama pada cerita ini. Selepas telfon dan mendapat alamat baru pondokan si Ayu, ia bertamu ke perempuan yang pernah menjalin hubungan dua tahun dengannya. Seperti peribahasa "Habis Jatuh Tertimpa Tangga", tokoh utama ini mendapati gadis pujaannya dulu telah hamil. Ia tak sadar kalau Ayu sudah menikah.


Kelima, Rayuan Dusta Untuk Marietje.
Tulisan yang sangat satire. Menceritakan seorang pemuda yang menjadi tentara bayaran Belanda. Pergi jauh dari negeri kincir ke tanah perawan bernama Hindia Belanda demi menyambung hidup. Selama bertugas di benteng kecil sekitaran Ancol, semua kebutuhan yang tak ia dapatkan di Belanda tercukupi di tanah jajahan kerjaannya, kecuali satu. Pasangan hidup, dan perempuan itu haruslah perempuan bule. Ia tak sudi mempersunting perempuan Pribumi meski memiliki kulit langsat, tubuh sintal dan rambut hitam yang terkulai sampai punggung. Perempuan yang ia inginkan hadir hanyalah pacarnya sewaktu di Belanda, Marietje si pelayan toko roti.


Mengapa saya anggap ini adalah satire?  


Mas Eka dengan jelas menggambarkan bahwa tentara Belanda selama masa penjajahan menjadikan para perempuan pribumi tempat melampiaskan nafsu, mereka dijadikan gundik dan di tinggal begitu saja. Tabiat seperti itu juga dilakukan oleh pejabat pribumi dan orang keraton, meski tidak dapat kita generallisir, hal ini menjadi bukti bahwa sejarah negeri kita adalah sejarah yang sewenang-wenang terhadap perempuan.


Apakah hanya itu? Tidak.


Mas Eka dengan jelas menyebut bahwa bangsa ini mudah sekali mereka (Para tentara Belanda) taklukan demi merampok rempah-rempah dan emas yang terkandung dalam negeri perawan ini.


Keenam, Si Cantik Yang Tak Boleh Keluar Malam.
Masih seputar perempuan, Mas Eka menulis tentang pasangan suami istri dan anak perempuannya yang baru menginjak umur tujuh belas tahun.  Seperti judulnya, anak perempuan ini ingin sekali merayakan ulang tahunya bersama teman-temanya di luar rumah. Pergi ke pantai atau camping di pinggir hutan adalah pilihan yang tepat dalam merayakan masa pubernya. Namun apa yang ia pikirkan berbeda dengan apa yang Ayah dan Ibunya pikirkan, terlebih Ayahnya yang sangat khawatir jika anak perempuannya ke luar rumah di malam hari akan bersinggungan dengan narkoba, rokok bahkan menjadi korban pemerkosaan.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Novel Lelaki Malang Kenapa Lagi?


Layaknya para gadis di masa SMA, si Cantik merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Ia naksir ke lelaki yang aktif di teater sekolah. Kebosanan dan larangan Ayahnya yang tidak pernah mengijinkan ia keluar di malam hari memunculkan bibit-bibit pemberontakan. Mulai dari mengundang teman-temanya ke rumah sampai pagi hari, mendengarkan radio di dalam kamar dengan suara yang amat keras dan menelfon teman-temannya sampai setengah gaji dari Ayahnya habis untuk membayar tagihan telfon. Tujuan dari itu semua hanya satu, membuat Ayahnya tidak nyaman dan mengijinkannya ke luar rumah di malam hari. Naas, semakin ia melakukan pemberontakan, semakin keras Ayahnya mengekangnya.


Puncak dari pemberontakan si Cantik saat ia nekat loncat dari jendela kamarnya demi menonton lelaki yang ia taksir memerankan Romeo di acara teater sekolah. Cinta dapat membuat seseorang yang awalnya penakut menjadi pemberani, itulah yang si Cantik lakukan demi membalas cinta sang Romeo.


Selepas acara selesai, si Cantik lari ke belakang panggung mencari sang Romeo. Ia berniat mengutarakan kalau si Cantik juga mencintai dan ingin menjadi kekasihnya. Tapi celaka, si Cantik mendapat penolakan karena ia lebih memilih melanjutkan hubungan cinta di luar panggungnya dengan Juliet.


Praktis setelah penolakan itu, Si Cantik tidak pernah kembali lagi ke rumah. Banyak yang bilang ia sering jalan dengan om-om berperut buncit, di diskotik dan emperan stasiun sembari mabuk dan merokok. Tapi, banyak yang bilang jika apa yang mereka lihat bukanlah si Cantik, melainkan arwah gentayangan karena ia bunuh diri.


Sampai di titik ini pelajaran apa yang dapat kita petik? Silahkan berpendapat. Saya lebih menyoroti kepada, Pertama, peran orangtua yang harus menjadi sahabat anak-anaknya agar kita tahu apa yang anak kita inginkan. Tidak mesti harus mengekang dan melarang semua yang anak inginkan, dengan menjadi seorang sahabat, kita secara tidak langsung menjadi pendengar yang baik. Kedua, cinta membuat seorang pengecut menjadi pemberani. Cinta menjadikan seorang pendosa mau bertobat dan bahaya cinta jika tidak dibarengi dengan ilmu agama akan menjadi malapetaka. Ketiga, cerpen ini mengingatkan saya kepada Qais dalam novel Layla Majnun dan terakhir. Keempat, cerpen ini secara tidak langsung mencitrakan bahwa si Cantik terkena hukuman dari Tuhan karena berani memberontak ke orangtuanya.


Ketujuh, Siapa Kirim Aku Bunga?
Klimaks dari cerita ini adalah penyakit Skizofrenia -Gangguan mental yang terjadi secara jangka panjang- oleh tentara Belanda. Berkisah tentang orang Belanda yang jatuh cinta dengan gadis Pribumi. Boleh saya bilang, cerpen ini adalah representative perlawanan seorang perempuan terhadap laki-laki yang dengan kuasa fisik dan politiknya melakukan apa saja tanpa memandang rasa kemanusiaan.


Laki-laki itu bernama Henri, setiap hari ia di teror sebuah kiriman buket bunga mawar merah dengan secarik kertas bertulis basa-basi cinta anak muda. Ia tidak tahu siapa pengirim bunga tersebut. Pada awalnya ia menduga bahwa kiriman bunga tersebut berasal dari Noni-Noni Belanda. Gadis cantik berkulit putih yang memiliki hidung mancung seperti yang ia miliki. Rasa penasarannya itu malah menjadi teror yang menjadi jadi, sampai ia putuskan untuk bertanya ke penjual bunga di depan sebuah resto tempat ia biasa nongkrong dengan teman-temannya selepas bekerja. Gadis penjual bunga itu adalah orang Pribumi, berkulit sawo matang, tidak memiliki hidung seindah gadis-gadis sebangsanya di negeri kincir sana, terlebih gaya berpakaiannya yang ala kadarnya dan tampak kumuh.


Ia sadar jika bunga-bunga yang ia terima setiap hari bukanlah dari Noni-Noni Belanda, melainkan si penjual yang dengan sengaja mengirimkan untuknya. Merasa benar, ia mengutarakan cintanya ke gadis penjual bunga tersebut, gadis Pribumi yang sebelumnya ia padang hina dan sebelah mata itu.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Novel Dunia Sophie


Inilah yang membuat cerpen ini menarik. Mas Eka dengan gagah memposisikan perempuan Pribumi ini menang dalam artian sesungguhnya. Gadis penjual bunga akan menerima ajakan menikah dari Henri jika dia mengutarakan langsung ke Ayahnya. Saat Henri bertanya di mana Ayah si gadis berada, dengan lantang si gadis menjawab jika Ayahnya ada di Boven Digoel.


“Kenapa Ayahmu ada di sana?” – tanya Henri.
“Kau sendiri yang mengirimnya” – jawab si Gadis.


Perlu pembaca tahu, di masa itu banyak orang Pribumi yang di buang ke Boven Digoel karena menuntut kemerdekaan Hindia Belanda.


Sekian terimakasih
Ali Ahsan Al Haris
Malang, Agustus 2020

Monday, July 27, 2020

RESENSI NOVEL LELAKI HARIMAU


RESENSI NOVEL LELAKI HARIMAU


Berbicara tentang Mas Eka, beliau adalah seorang penulis yang sangat cerdas dalam memasukan kata dan memainkan plot cerita. Sangat terlihat dari caranya menyampaikan gagasan dan kritik satier yang digunakannya, belum lagi plot maju mundur yang tidak biasa. Oleh karena itu, saya selalu terpikat dan terpesona oleh gaya menulisnya dan selalu penasaran dengan karya Mas Eka berikutnya.


Pada lanskap yang sureal, Margio adalah bocah yang menggiring babi ke dalam perangkap. Namun di sore ketika seharusnya rehat menanti musim perburuan, ia terperosok dalam tragedi pembunuhan paling brutal. Di balik motif-motif yang berhamburan, antara cinta dan pengkhianatan, rasa takut dan berahi, bunga dan darah, ia menyangkal dengan tandas. “Bukan aku yang melakukannya,” ia berkata dan melanjutkan, “Ada harimau di dalam tubuhku.”


Dua kali membaca buku karangan Eka Kurniawan, ada satu titik yang dapat saya simpulkan bahwa buku karangan Mas Eka tidak jauh dari cerita dewasa, dalam artian tentang sorotanyya kepada budaya patriarki dan kelakukan yang merendahkan kaum perempuan. Selain itu setting lokasi cenderung pada zaman dahulu - bahkan kalau bisa saya bilang Indonesia sekali, seperti halnya karya-karya yang Pak Mochtar Lubis - dengan banyak latar perkampungan disertai banyaknya ajak-ajak serta hewan liar lainnya. Perlu digaris bawahi juga, kesimpulan ini saya dapat dari dua bukunya Mas Eka yang saya baca, Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau. Next saya berencana membaca corat-coret di toilet.


Berkisah tentang Anwar Sadat yang tiba-tiba meninggal dengan bekas luka cakaran di lehernya. Margio, tokoh utama pada tokoh ini yang tubuhnya kerasukan harimau, orang yang membunuh Anwar Sadat.


Novel ini dibikin dengan alur maju mundur yang cepat, yang dimulai dengan berita kematian Anwar Sadat yang dibunuh secara keji dan kejam oleh Margio. Margio yang tak mau mengaku malah mengatakan bahwa harimau di dalam dirinya-lah yang telah membunuh Anwar Sadat. Seluruh motif dan peristiwa yang ada di dalamnya menunjukkan satu kesimpulan yaitu kekerasan yang dilakukan oleh seorang kepala keluarga dapat menimbulkan luka yang dalam dan dendam bagi korbannya, baik itu anak maupun istri. Pun akan berdampak pula pada kondisi psikologis mereka.


Margio adalah anak pertama dari pasangan tidak harmonis bernama Komar bin Syueb dan Nuraeni. Sedari kecil Margio selalu memperoleh perlakuan kasar dari Komar. Tak hanya Margio, bahkan Nuraeni dan anak keduanya, Mameh, juga selalu menjadi korban amukan amarahnya. Komar yang sepanjang hidupnya selalu memukuli Nuraeni telah membuatnya menjadi wanita sinting yang selalu berbicara pada panci dan kompornya.


Mulanya, Nuraeni amat sayang dan cinta pada Komar hingga suatu ketika Komar pergi dari desa dan tak pernah sekalipun mengirimkan surat padanya. Hal tersebut telah membuat Nuraeni sakit hati dan membuat Nuraeni tidak peduli lagi dengan apa yang dilakukan Komar. Rasa cintanya pada Komar pun telah binasa, tak tersisa. Semakin hari sikapnya pada Komar pun semakin sinis dan beku. Perkawinannya dengan Komar adalah hal terburuk dalam hidupnya. Bisa dibilang kesialan juga.


Tak hanya Nuraeni yang membenci Komar, Margio pun membencinya. Sepanjang hidupnya, Margio sering melihat Nuraeni mendapat siksaan dan perlakuan buruk dari Komar. Karena itulah ia membenci Komar dan berkehendak untuk menghabisinya. Sebagai seorang suami, Komar tidak pernah mengindahkan Nuraeni. Sepertinya, satu-satunya yang ia pedulikan dari Nuraeni adalah tubuhnya, terutama selangkangannya yang bisa memuaskan dirinya ketika rasa berahinya muncul.


Nuraeni yang tidak pernah mendapat belaian lembut dan kehangatan dari suaminya, suatu hari memperolehnya dari Anwar Sadat. Pemahaman Anwar Sadat yang begitu memadai tentang wanita seolah memberitahunya bahwa Nuraeni merindukan sentuhan lembut seorang lelaki. Tanpa segan Anwar Sadat pun memenuhinya. Mereka semakin sering bercinta. Entah itu di kamar, bak mandi, sofa, dan di lantai ruang Anwar Sadat melukis.


Secara sederhananya, kisah ini bercerita tentang Margio yang mendapatkan warisan berupa sosok astral berupa Harimau putih dari Almarhum kakeknya. Perseteruan Margio dengan Ayahnya (Komar Bin Syueb) karena Margio mengira sosok Harimau piaraan kakeknya diwarisi ayahnya. Semenjak kakek Margio meninggal, yang ia lakukan bak polisi pengiring yang setiap waktu memantau Ayahnya demi memastikan Harimau itu benar terwariskan ke Ayahnya atau tidak. Hal ini di perparah dengan sikap Komar yang sewenang-wenang memperhatikan kondisi ekonomi keluarganya. Puncaknya saat Marian meninggal karena kekurangan gizi.


Dalam novel ini, Komar dicitrakan sebagai suami yang ringan tangan ke istrinya. Mungkin karena tekanan ekonomi sehingga Margio dan adiknya menjadi tidak hormat ke Ayahnya.


Baik Komar, Margio, maupun Mameh tak menyadari perubahan yang terjadi pada Nuraeni. Mereka melihatnya sebagai kesintingan belaka karena Nuraeni selalu bersikap aneh. Hingga suatu ketika Komar akhirnya mengetahui bahwa Nuraeni hamil hasil hubungan gelapnya dengan lelaki lain. Amukan Komar pun semakin menjadi-jadi. Margio yang jatuh cinta pada Maharani dengat amat terpaksa harus mengubur perasaannya. Ada luka di dalam keluarganya dan semuanya tersangkut-paut dengan Maharani. Amat sulit bagi Margio untuk menyampaikannya pada Maharani sebab Margio selalu terhalangi oleh rasa pemujaan terhadapnya.


Semakin ke belakang, semakin terkuak latar belakang Komar bin Syueb selalu bersikap kasar pada keluarganya. Seperti karyanya yang lain, bagi saya ceritanya tidak mudah ditebak. Dalam novel ini pun saya menemukan beberapa kosakata baru, seperti lenguhan, pejal, begundal, pelor, mencungkupinya, dan masih banyak lagi. Kata-kata yang sangat jarang—bahkan hampir tidak pernah—saya temukan di novel-novel lain.


Pada akhir cerita, cerita bagaimana kematian Anwar sadat terungkap. Pelakunya adalah Margio, dan pertengahan halaman sampai akhir adalah cerita bagaimana sejarah keluarga ini berasal, termasuk perasaan cinta Margio ke Maharani.

Sumur: 
https(:)//coretanlauna(dot)wordpress(dot)com/2014/10/17/lelaki-harimau-oleh-eka-kurniawan/
http://www(dot)perempuanmembaca(dot)com/2019/06/review-buku-lelaki-harimau-eka-kurniawan(dot)html



Saturday, July 25, 2020

APA ITU MAIYAH?


APA ITU MAIYAH?

Pertama, saya haturkan terimakasih yang sangat besar untuk Mbah Nun sekeluarga dan keluarga ndalem Jombang termasuk Cak Dil dan Abah Fuad. Tidak lupa terimakasih banyak ke Pak Toto, Alm. Pak Kamba, Kyai Muzamil, Kang Sabrang, Mas Helmi, sedulur Kiai Kanjeng, para JM dan tentunya Kang Prayogi senior saya di Religi Malang. Karena buku beliau, saya mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang selama ini saya cari. Heran memang, banyak pertanyaan yang selama ini saya cari ternyata banyak terjawab di buku yang beliau tulis. Padahal, beberapa kali saya berjumpa dengan beliau, kok ya gak sadar.



***


Aku jamin, jika ada orang yang bertanya seperti itu kepada 100 orang Jamaah Maiyah, maka dia akan mendapatkan 100 jawaban yang berbeda. Mengapa bisa demikian? Tidak ada penjelasan yang akurat, Saudara. Namun, sekadar untuk mendekatinya, kiranya penjelasan ini akan membantu. 


Menurut tulisan-tulisan kecil yang banyak beredar di kalangan komunitas maiyah, kata maiyah berasal dari bahasa Arab maiyatullah yang berarti bersama Allah. Kemudian, kesandung lidah Jawa dan akhirnya akrab sebagai maiyah. Maiyah lebih merupakan komitmen nilai, bukan bentuk. Sehingga, maiyah tidak akan pernah mencapai bentuk formal semacam organisasi masyarakat.


Lebih lanjut, Emha Ainun Nadjib, sebagai guru, sahabat sekaligus ayah orang maiyah pernah memberikan juga alasan untuk menjawab pertanyaan seperti itu.


Pertama, kata Emha, "Saya lebih baik nyolokin cabai rawit ke mulut orang maiyah daripada duduk dan menjelaskan panjang lebar tentang makna cabe kepada mereka.


Kedua, mereka kan orang maiyah, bukan hanya saya. Mengapa saya yang harus menjawab." Sementara alasan ketiga Emha, "Saya pasti dimarahi Kanjeng Nabi, Sunan Bonang dan sejumlah Auliya' jika metode thoriqot semacam itu yang saya terapkan kepada orang maivah dan siapa pun.”


Baca tulisan saya yang lain: Saat Saya Ditanya Mengapa Ikut Maiyah


Jadi, apa itu Maiyah? Aku juga tidak memiliki jawaban pasti, Saudara. Tapi, ada metode yang menurutku paling cepat untuk membuat orang paham tentang maiyah, yaitu mengisahkan asal-usulnya.


Dulu, pada tahun 1993, atas gagasan Adil Amrullah adik Emha diselenggarakanlah pengajian di rumah Ibu Emha di Jombang sebagai jalan silaturahmi Emha dan keluarganya. Selain itu, dimaksudkan sebagai respon lingkaran Emha terhadap kondisi masyarakat pada saat itu yang mengalami ketidakpuasan, keputusasaan, amarah terpendam. Pendeknya, psikologi masyarakat sudah berada pada tubir semangat penghancuran.


Sebab, masyarakat merasakan ada lubang di hatinya yang tak terisi oleh lembaga-lembaga modern yang ada saat itu. Itu juga yang dirasakan orang-orang di lingkaran Emha. Maka, pengajian itu hadir untuk mengisi lubang di hati keluarga dan lingkaran Emha.


Baca tulisan saya yang lain: Maiyah Adalah Sebuah Pohon Besar


Tetapi kemudian, keluarga itu meluas hingga kepada para tetangga satu RT, satu desa. Lambat laun meluas hingga satu kecamatan, satu kabupaten, satu provinsI, dan akhimya meluas hingga tetangga-tetangga di luar Jawa Timur. Ini boleh jadi sebuah indikasi masyarakat luas juga mengidap penyakit "lubang di hati".


Karena pengajian itu diselenggarakan secara reguler sebulan sekali dan mengambil waktu saat bulan purnama, maka pengajian itu dinamakan Pengajian Padhangmbulan.


Kemudian, usai sejarah besar reformasi di Jakarta dan kejatuhan Soeharto, dimulailah pengajian serupa di Yogya, rumah tinggal Emha. Pengajian itu diberi nama Mocopat Syafaat. Seiring berjalannya waktu, lahir pula pengajian serupa dengan nama Papperandang Ate di Mandar. Kemudian, Haflah Shalawat dan Pengajian Tombo Ati di Surabaya yang kelak bermetamorfosis men- jadi Bangbangwetan. Lahir pula berikutnya Gambang Svafaat di Semarang, Kenduri Cinta di Jakarta serta Obor Illahi di Malang.


Sementara, ada pula pengajian-pengajian serupa yang diinspirasi oleh Pengajian Maiyah dan diselenggarakan oleh Jamaah Maiyah seperti pengajian Idza Ja di Ende, Flores. Orang-orang yang hadir di pengajian-pengajian itulah yang kemudian menamakan diri mereka sendiri sebagai Jamaah Maiyah.


Maiyah dihidupi oleh pengajian maiyah. Pengajian-Pengajian Maiyah itulah yang menjadi kekuatan jasmani dari maiyah. Sementara, kekuatan jasmani itu menghidupi dirìnya dan mendapat kehidupannya dari roh shalawat. Bershalawat adalah bagian utama dari Pengajian Maiyah. Sedangkan diskusi-diskusi multi arah yang mengiringi setiap pengajian diletakkan sebagai pendamping yang harus ada sebagai upaya memperluas wawasan keilmuan.


Kalau demikian, apa posisi Emha di Maiyah? Apakah dia Ketua Umum Maiyah, Ketua Dewan Pembina, Sekjen, Direktur Eksekutif atau apa? Setahuku, bukan itu semua, Saudara. Emha adalah bagian sangat penting dari maiyah, tetapi aku tidak tahu jabatannya. Sebab, dirinya sendiri juga menolak diletakkan di suatu tempat.


Namun sesungguhnya, dia ada di mana-mana. Aku ceritakanakan pengalamanku soal ini.


Sepanjang sepuluh tahun menjadi bagian dari pengajian-pengajiannya, aku berusaha sekuat mungkin menutup diri dari perbincangan soal Emha maupun Maiyah kepada orang di luar Maiyah. Bahkan kepada orang tuaku sendiri.


Baca tulisan saya yang lain: Menderita Karena Maiyah (Sebuah Respon)


Aku malu jika ada orang tahu kalau kadang-kadang aku berkunjung ke Pengajian Maiyah. Lebih malu lagi kalau orang tahu bahwa aku menganggap diriku sebagal bagian dari Jamaah Maiyah. Tapi, begitu ada orang yang tahu-entah dari mana-bahwa aku terkadang bertemu dengan Emha, mereka sekonyong-konyong bertanya banyak hal tentang Emha. Di mana tinggalnya? Apa aktivitasnya? Mengapa lama tidak tampil di TV, dan seterusnya. Pertanyaan mereka seolah-olah menempatkan aku ini sebagai perangko yang selalu nempel padanya.


Seorang pengasuh pesantren Gontor pernah mengatakan, "Kecenderungan setiap orang untuk tertarik memperkenalkan dirinya sebagai bukti eksistensi, namun hal ini tidak saya temui pada diri Emha. Emha justru ingin selalu menyembunyikan dirinya," kata beliau. Emha hadir di hati banyak orang, Kendati dia berusaha lari ke jalan yang sunyi.


Mungkin, semangat itu pula yang menjadi pertimbangan Emha saat mengatakan, "Maiyah bukan karya saya, bukan ajaran saya dan bukan milik saya. Orang-örang Maiyah bukan santri saya, bukan murid saya, bukan anak buah, makmum, jamaah atau umat saya."


Baca tulisan saya yang lain: Bermimpi Bertemu Mbah Nun


Kendati ada juga orang Maiyah yang menganggap Emha sebagai mursyid, guru bahkan seorang doktor hukum sebuah PTN di Surabaya menyebutnya imam bangsa. Namun, Emha tetap saja menganggap dirinya hanya sebagai pengikut Rosulullah. Emha menandaskan.


"Saya tidak berani, tidak bersedia dan tidak mampu berada di antara hamba dengan Tuhannya. Setiap hamba memiliki hak privacy untuk berhadapan dengan Tuhannya tanpa dicampuri, digurui atau diganggu oleh siapa pun."


"Saya tidak boleh meninggikan suara melebihi suara Nabi, apalagi suara Tuhan. Saya tidak boleh dikenal oleh siapa pun melebihi pengenalannya kepada Nabi, apalagi Tuhan."


Dia juga menjaga diri untuk tetap tersembunyi.


"Saya wajib menghindari kemasyhuran dan menolak kedekatan siapa pun yang membuat lebih dari kadar perhatian dan kedekatannya kepada Tuhan dan Nabi."


Jadi, apa itu Maiyah? Untuk apa Maiyah ada, kalau mendefinisikan dirinya sendiri saja kesulitan? Apa artinya Maiyah untuk Jamaah Maiyah, untuk Indonesia dan untuk umat Islam?


Baca tulisan saya yang lain: Dukun Pak Harto dan Perpusda Jepara


Balklah Saudara, aku akan sedikit kemaki. Menurut catatan yang blsa aku lacak, menerangkan bahwa Malyah itu sama sekali bukan agama baru, serta tidak pemah dimaksudkan oleh pelakunya sebagai suatu aliran teologi, mahzab maupun thoriqot. Apalagi diniatkan sebagal organisasi massa. Terlebih-lebih sebagal lembaga politik, lebih tidak lagi. Maiyah juga menjauh dari mempersaingkan diri dengan gerakan sosial, kemanusiaan, Intelektual atau spiritual apa pun. Juga tidak berminat merebut apa pun dan tidak berkehendak menguasai apa pun di dalam kehidupan bermasyarakat dan benegara.


Doktor Nursamad Kamba, peraih doktor filsafat dari bidang tasawuf dari AL Azhar pemah menuliskan sebuah artikel pendek tentang Maiyah. Doktor Kamba sepuhan Malyah. Doktor Kamba memfokuskan pandangannya untuk melihat isi atau sepuhan Maiyah. Doktor Kamba memandang, "Maiyah yang secara kreatif mengadopsi atau lebih tepatnya memfokuskan pandangannya untuk melihat isi atau menjabarkan prinsip-prinsip persahabatan, persaudaraan, dan Ikrar perjuangan berdasarkan cinta kasih serta dengan ikhlas dan jujur yang bersumber dari inspirasi gua tsur dan momentum hijrah Nabi, merupakan kreasi sufistik Emha yang jika disandingkan dengan gerakan-gerakan sufi dalam sejarah, menempati posisi setara dengan kaum malamatiyah."


Momentum gua tsur terjadi saat Rosululah Muhammad dan Abu Bakr sedang dalam perjalanan hijrah menuju Madinah. Saat mereka sedang berlindung di gua tsur, mereka dilempari batu dari luar oleh anak pasukan Qurais Mekkah hingga Rosulullah terluka. Saat itulah Abu Bakr menangis karena tidak sampai hati melihat Rosulullah terluka. Dia menangis. Maka, Rosulullah menenangkan Abu Bakr dengan mengatakan: Tenang saja, Allah bersama kita. Itulah pesan pokok yang disampaikan Rosulullah kepada sahabat seperjalanannya tersebut.


Baca tulisan saya yang lain: Maiyah dan Spontanitas


Lalu, siapa kaum malamatiyah itu? Kaum malamatiyah adalah kelompok sufi yang berkembang di Khurasan, Persia mulai abad ke-3 dan ke-4 hijriyah. Al malamatiyah dibangun di atas sikap pengorbanan diri sendiri demi kepentingan saudara. Sikap tersebut menciptakan idealisme alfutuwwah, yaitu semangat kepemudaan dalam berjuang seperti halnya ashabul kahfi.


Kaum malamatiyah menjadi tempat berteduh masyarakat umum yang menghadapi kezaliman ataupun ke sewenang-wenangan pemerintah maupun masyarakat. Bahkan, kaum malamatiyah cenderung mempraktikkan “rasa Bahagia” dan sikap "menikmati" ketidakadilan dan penderitaan yang dialaminya. Tokoh-tokoh besar dalam tradisi sufi pada umumnya penganut malamatiyan dan ahlul futuwwah mulai dari Abu Yazid al Bustami, Al Hallaj, Al Juneid, hingga Ibn Arabi.


Maka, menurut Doktor Kamba, Maiyah adalah nikmat bagi pemerintah dan negara Indonesia. Jangan tanya padaku apa maksudnya, Saudara. Beliau juga menambahkan bahwa Maiyah menjadi danau serapan bagi kebencian masyarakat, menjadi gegana penjinak bom kerusuhan sosial. Maiyah juga menjadi jembatan bilamana terjadi konflik dalam masyarakat. Lebih dan itu semua, Maiyah menjadi sekolah kehidupan yang memberikan pendidikan kearifan hidup.


Sementara, Timothy P. Daniels (TPD), Associate Professor di Universitas Hofstra, New York yang pemah melakukan penelitian soal Maiyah lebih memfokuskan pandangannya sebagai antropolog. Dia melihat Maiyah sebagai jasad. Menurutnya, Maiyah merupakan a revolutionary relliglous force In the world. TPD memasukkan Maiyah ke dalam gerakan penyegaran-untuk tidak menyebut pembaruan-Islam. Doktor Antropologi ini menilai bahwa kekuatan Maiyah yang unik adalah Maiyah tidak berada pada struktur sosial nomatif dan sampai hari ini bertahan untuk tidak mengalami siklus atau lingkaran setan penyegaran.


Seperti banyak ditemukan dalam gerakan-gerakan penyegaran di dunia, mereka tidak sanggup keluar dari lingkaran setan itu. Gerakan penyegaran awalnya muncul karena ketidakpuasan atas rutinitas dan kemandegan lingkungan yang ada yang melahirkan distorsi budaya. Kemudian, gerakan penyegaran itu melampaui fase-fase anti struktur-counter struktur dan akhirnya kembali menyusun struktur sosial normatif yang baru. Struktur yang baru itu kelak akan mengalami kemandegan lagi dan akan menumbuhkan gerakan ketidakpuasan lagi. Begitu seterusnya. Malyah berupaya menghindari itu dengan cara melakukan proses penyegaran dalam ke rangka ideologi dan organisasi yang fleksibel.


Lebih jauh, muslim Afro-Amerika ini menyatakan bahwa gerakan Maiyah merupakan kombinasi yang kreatif dari mistisisme Islam, fundamentalisme dan politik yang berakar pada pengajian bulanan. Salah satu pemikiran dasar Maiyah vang menarik menurut Salim adalah paradigma Perang Badr. Perlawanan Badr yang sabar dan berilmu matang sebagai alat pandang untuk melakukan ijtihad.


Aku pribadi Saudara, berpikir bahwa Maiyah bisa dipandang dari dua hal. Pertama secara ide. Maiyah merupakan terminal yang fleksibel dan artikulatif vang mempertemukan dan menterjemahkan gagasan-gagasan tasawuf ke dalam kehidupan sehari-hari. Maiyah bukan saja berhasil menjadikan tasawuf sebagai cara pandang dan menerjemahkan gagasan-gagasannya yang rumit itu menjadi aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Namun, sekaligus memberikan konteks kekinian dalam berbagai bidang kehidupan. Mulai dari kehidupan budaya, kehidupan sosial, ekonomi perdagangan, demokrasi hingga politik internasional. Hasilnya, tasawuf yang rumit dan "kuno" itu sanggup mengejar kemajuan dalam cara pandangnya sendiri. Sementara, fungsi internalnya, Maiyah membangun akhlak sufistik di dalam diri para jamaahnya.


Kedua, secara sosial. Maiyah bagaimanapun telah menjadi komunitas. Sekelompok orang memiliki gagasan, harapan dan cita-cita yang sama dan secaa regular memperkuat diri dalam keilmuan dan kebersamaan kiranya cukup untuk dinilai sebagai suatu komunitas. Meskipun untuk menjaga sifat egaliter dan independennya, Maiyah bertahan untuk tidak menjadi bagian dari struktur social normatif seperti halnya organisasi-organisasi modern lain.

Baca tulisan saya yang lain: Surat Terbuka Untuk Jamaah Maiyah



***




Sumber: 
Buku Spiritual Journey Emha Ainun Nadjib (Pemikiran & Permenungan)
Penulis : Prayogi R. Saputra
Cetakan ke 2
Penerbit Buku Kompas
Tulisan ada pada halaman 29-37


Monday, July 20, 2020

Resensi Novel Para Bajingan Yang Menyenangkan


Resensi Novel Para Bajingan Yang Menyenangkan


Buku ini bukan buku panduan menjadi bajingan. Tapi buku ini menceritakan kisah sekelompok anak muda mahasiswa yang biasa nongkrong di kantin “Bonbin” UGM yang merasa hampir tidak punya masa depan karena nyaris gagal dalam study tiba-tiba seperti menemukan sesuatu yang dianggap bisa menyelamatkan kehidupan mereka: bermain judi.


Selama membaca buku ini Anda akan disuguhkan kisah-kisah yang menyenangkan dan konyol. Bagaimana lika-liku kehidupan para anggota jackpot society dalam mengarungi dunia perjudian. Mereka memiliki cita-cita yang mulia: apalagi kalau bukan menjadi penjudi besar. Cita-cita merekapun kandas seturut kebangkrutan mereka semua. Tapi pada akhirnya mereka menjalani hidup normal selayaknya orang-orang. Meskipun masih saja “kenthir”.


Para Bajingan yang Menyenangkan pada hakikatnya adalah sebuah buku tentang persahabatan, entah merupakan kisah nyata atau fiksi (dan saya menebak kisah nyata), ketika membaca buku ini saya membayangkan kisah masa muda penulis dengan para sahabatnya, karena penulis sendiri yang menjadi narator. Dia membuat buku ini untuk mengenang para sabahatnya ketika di bangku kuliah dulu, khususnya salah satu sahabatnya yang sudah meninggal. Seakan-akan, dia membuat buku ini untuk memberikan penghargaan akan masa muda yang tidak akan pernah dia lupakan sampai mati. Kelompok pemuda yang mengaku tanpa masa depan tersebut memiliki sebutan Jackpot Society, pelesetan dari judul film Dead Poets Society, dan mereka disatukan oleh judi.


Anggota Jackpot Society antara lain; penulis, kuliah di jurusan filsafat UGM; almarhum (tidak dituliskan namanya, tapi di bagian persembahan tertulis almarhum Jadek); Bagor, tidak pernah lolos masuk ke jurusan impiannya, Ekonomi Manajemen, harus berpuas dengan jurusan D-3 Ekonomi UGM, pernah diburu aparat dan berasal dari keluarga yang religius; Kunthet, satu-satunya di kelompok yang otaknya lumayan cemerlang, kuliah di jurusan Geofisika UGM; Proton, sesuai julukannya, dia kuliah di jurusan Teknik Kimia UGM, memiliki hobi yang unik, antara lain, mengoleksi keris, mengumpulan virus komputer, dan bergonta ganti agama; menyusul paling akhir, Babe, anak seorang mayor jenderal, kuliah di Fakultas Ekonomi UGM. 


Pendonor utama tim judi adalah almarhum dan Babe, karena mereka anak orang kaya. Selain masih muda, mereka terkenal berani pasang, humoris dan cenderung totol. Ada beberapa adegan yang menyempurnakan predikat tersebut, mereka seperti memiliki ritual sendiri-sendiri agar menang judi. Misalkan saja, almarhum percaya akan ramalan dukun, Kunthet sering kali mengeluarkan teori judi, tapi tidak ada yang pernah membuat mereka menang, hahaha. Selain berisi pengalaman konyol mereka mengarungi dunia perjudian, di buku ini juga berisi keseharian mereka dengan teman-teman yang lain dan aktivitas di kantin kampus yang tak kalah amburadul, bahkan menyerempet peristiwa bersejarah di Indonesia.


Asal kamu tahu saja, buku ini dilabeli sebagai NOVEL DEWASA. Jangan kira novel dewasa itu novel yang banyak adegan esek-eseknya. Saya rasa buku ini dilabeli demikian karena butuh kedewasaan untuk dapat menikmati kontennya, karena banyak sekali kata-kata kasar, sindiran, dan adegan-adegan yang bagi sebagian orang mungkin dianggap mempermainkan norma.


https(:)//tmtimes(dot)id/mohadid9/resensi-buku-para-bajingan-yang-menyenangkan/
https(:)//www(dot)goodreads(dot)com/book/show/33003399-para-bajingan-yang-menyenangkan
https(:)//www(dot)kubikelromance(dot)com/2017/09/ParaBajinganyangMenyenangkan(dot)html
https(:)//medium(dot)com/@superherru/para-bajingan-yang-menyenangkan-94724f634cfd