Showing posts with label RESENSI. Show all posts
Showing posts with label RESENSI. Show all posts

Tuesday, January 12, 2021

Saksi Mata, Buku Pertama Yayasan Bentang Budaya

 

Saksi Mata adalah buku pertama terbitan Yayasan Bentang Budaya semenjak Pak Buldanul Khuri memutuskan berpisah dari perusahaan lamanya yang beliau bangun, PT. Bentang Intervisi Utama. Menurut penuturannya di Put Cast Mojok bersama Kepala Sukunya, Mas Puthut; waktu itu tidak ada penerbit yang berani menerbitkan kumpulan cerita Saksi Mata karangan Pak Seno karena sedang maraknya pemberitaan terkait Timor-timor.

Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma menampilkan kekejaman seakan sesuatu yang normal. Kumpulan cerpen ini ingatan kolektif tentang catatan kelam negara. Lantas, mengapa manusia bisa sekeji itu terhadap sesamanya?


APA yang akan terjadi seandainya seorang saksi tiba di ruang pengadilan tanpa sepasang mata, dengan kedua lubang matanya masih menganga, dan darinya mengucur darah yang membasahi pakaian, mengaliri lantai hingga bahkan menggenangi jalanan di luar gedung?

Thursday, December 31, 2020

Refleksi Selama Meresensi Buku di Tahun 2020

Pertama-tama, saya ucapkan syukur yang teramat besar ke Allah SWT, dengan memberikan saya waktu dan kesempatan untuk membeli ratusan buku-buku bagus, terlebih saya dapat berkesempatan untuk meresensinya.

“Aktifitas membaca tidak timbul dari banyaknya buku yang ada di rumahmu, melainkan banyaknya aktifitas membaca buku di rumahmu” – Iqbal Aji Daryono


Bapak saya sudah puluhan tahun menjadi Imam Musholla. Ada dan tidaknya jamaah yang hadir, Bapak akan senantiasa hadir; tidak ada Muadzin, ya di adzani sendiri. Entah hujan lebat dan ngamuk-ngamuknya, mau banjir bahkan saat ada tamu penting yang datang ke rumah, Bapak dengan santai meninggalkannya dan lari ke Musholla. Selama saya masih di kampung, Bapak tak hadir ke Musholla hanya saat listrik padam, ada acara ke luar kota dan sakit. Nah, sakit pun kadang Bapak masih memaksakan dirinya untuk datang ke Musholla. Sebagai Muadzin dan sebagai Imam. Los ora rewel. Babah enek jamaah opo ora pokok budal.

Dalam paragrap kedua, saya awali tulisan ini dengan apa yang dikatakan Mas Iqbal di atas. Mengapa? Hal tersebut yang membuat saya berminat untuk membaca buku. Selama dulu dikampung, Bapak menjadi pengaruh besar minat saya terhadap buku. Awalnya hanya membaca buku koleksi Bapak, seiring berjalannya waktu dan akses bacaan, saya dapat mengoleksi banyak buku yang saya sukai.

Monday, December 28, 2020

Aksi Occupy Wall Street dan Paham Neoliberalisme Global



Occupy Wall Street (OWS) adalah sebuah gerakan protes yang dimulai pada tanggal 17 September 2011 di Zuccotti Park, di distrik keuangan Wall Street New York City, yang dicetuskan oleh kelompok aktivis asal Kanada, Adbusters. Para aktivis memrotes ketidaksetaraan ekonomi dan sosial, pengangguran tinggi, kerakusan, serta korupsi, dan pengaruh perusahaan—terutama dadri sektor jasa keuangan—terhadap pemerintah. Slogan We are the 99% yang disuarakan para demonstran merujuk pada ketidaksetaraan pendapatan dan kekayaan di AS antara orang-orang kaya (1%) dan seluruh penduduk Amerika Serikat. Protes di New York City telah mendorong munculnya protes dan gerakan Occupy serupa di seluruh dunia.


Kronologi

Empat minggu pertama (17 September – 14 Oktober)

Pada tanggal 17 September, 1.000 orang bergerak melintasi jalanan, dengan perkiraan 100 hingga 200 orang bermalam di rumah kardus. Pada 19 September, tujuh orang ditahan. Sedikitnya 80 orang ditahan pada 24 September, setelah para demonstran mulai bergerak ke utara dan memaksa penutupan sejumlah jalan. Sebagian besar penahanan tersebut akibat pemblokiran lalu lintas, meski sejumlah lainnya juga dituduh melakukan tindakan tidak pantas dan melawan polisi. Petugas polisi menggunakan teknik bernama kettling yang melibatkan pemakaian jaring oranye untuk memecah para demonstran menjadi kelompok-kelompok kecil. Video yang memperlihatkan demonstran wanita disemprot menggunakan semprotan merica oleh seorang petugas polisi dikecam besar-besaran dan memunculkan kontroversi. Petugas polisi tersebut diidentifikasi sebagai Deputi Inspektur Anthony Bologna, dan video lain yang muncul memperlihatkan ia menyemprot seorang fotografer.

Aktivis Anonymous kemudian menerbitkan nama, nomor telepon dan rincian keluarga para petugas polisi Awalnya Komisaris Polisi Raymond W. Kelly dan perwakilan Bologna mempertahankan tindakannya dan mengutuk pembocoran informasi pribadinyaSetelah kemarahan publik semakin besar, Kelly mengumumkan bahwa Internal Affairs dan Civilian Complaint Review Board membuka investigasi, serta mengkritik Anonymous karena "[mencoba] mengintimidasi, memaparkan nama anak-anak, dan sekolah mereka," dan menambahkan bahwa taktik ini "sangat tidak pantas dan menyedihkan." Sementara itu, Jaksa Distrik Manhattan Cyrus Vance, Jr. memulai penyelidikannya sendiri

Perhatian masyarakat terhadap penyemprotan merica mengakibatkan peningkatan liputan media berita, sebuah pola yang terus diulang pada minggu-minggu selanjutnya setelah konfrontasi demonstran dengan polisiClyde Haberman, menulis di The New York Times, mengatakan bahwa "Jika demonstran Occupy Wall Street mau menyebutkan orang yang memberi mereka dorongan terbesar, mereka mungkin mau menyebutkan Anthony Bologna," sambil menyebut peristiwa ini "penting" untuk gerakan yang masih muda ini "Setelah Ron Kuby, seorang jaksa untuk salah seorang demonstran, menuntut penahanan Tn. Bologna, [Bologna] malah diberi cuti 10 hari dan diberikan [...] pemindahan ke Staten Island, tempat tinggalnya," menurut pernyataan narablog Daniel Edward Rosen

Pada 1 Oktober 2011, demonstran bergerak melintasi Jembatan Brooklyn. The New York Times melaporkan bahwa lebih dari 700 orang ditahan. Polisi menggunakan sepuluh bus untuk mengangkut demonstran keluar dari jembatan. Sejumlah orang mengatakan bahwa polisi menipu mereka dengan membiarkan mereka masuk jembatan dan mengawal mereka setengah jalan. Jesse A. Myerson, seorang koordinator media untuk Occupy Wall Street berkata, "Polisi menonton dan tidak melakukan apa-apa, sepertinya hendak memandu kami ke jalan raya.” Namun, sejumlah pernyataan oleh para demonstran mendukung penjelasan yang diberikan polisi: contohnya, seorang demonstran berkicau bahwa "Polisi tidak mengumpan kami ke jembatan. Mereka mendukung kami." Seorang juru bicara New York Police Department, Paul Browne, mengatakan bahwa para demonstran diberikan beberapa peringatan untuk tetap di trotoar dan tidak memblokir jalanan, dan ditahan jika mereka melanggar Pada 2 Oktober, semua kecuali 20 orang dilepaskan dengan catatan tindakan tidak pantas dan sumpah di pengadilan kriminal Pada 4 Oktober, sekelompok demonstran yang ditahan di jembatan mengajukan tuntutan hukum melawan pemerintah kota, dengan menuduh bahwa para petugas melanggar hak konstitusional mereka dengan mengumpan mereka ke dalam perangkap dan menahan mereka; Wali kota Bloomberg, yang sebelumnya berkomentar mengenai insiden ini, berkata bahwa "[p]etugas polisi melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan”

Pada 5 Oktober, ribuan pekerja serikat bergabung dengan demonstran menuju Financial District. Pergerakan ini awalnya bersifat damai sampai pada malam hari ketika kekacauan terjadi. Sekitar 200 demonstran mencoba menyerang barikade yang memblokir mereka dari Wall Street dan Stock Exchange. Polisi menanggapinya dengan semprotan merica dan mengurung demonstran dengan jaring oranye.

 

Minggu 5–8 (15 Oktober – 11 November)


Pada 15 Oktober, puluhan ribu demonstran mengadakan protes di 900 kota di seluruh dunia, termasuk Auckland, Sydney, Hong Kong, Taipei, Tokyo, São Paulo, Paris, Madrid, Berlin, Hamburg, Leipzig, dan kota lainnya. Di Frankfurt, 5.000 orang berdemo di Bank Sentral Eropa dan di Zurich, hub keuangan Swiss, para demonstran membawa spanduk bertuliskan "We won't bail you out yet again" dan "We are the 99 percent." Sebagian besar demonstran tidak anarkis, namun sebuah protes di Roma yang mendorong ribuan orang melakukan tindak kekerasan ketika "beberapa ribu preman dari seluruh Italia, dan kemungkinan dari seluruh Eropa" membuat kerusakan dalam skala luas Ribuan demonstran Occupy Wall Street berkumpul di Times Square di New York City dan bergerak selama beberapa jam. Beberapa ratus demonstran ditahan di seluruh AS, terutama karena menolak mematuhi perintah polisi untuk meninggalkan kawasan umum. Di Chicago, 175 orang ditahan, 100 orang di Arizona (53 di Tucson, 46 di Phoenix), dan lebih dari 70 orang di New York City, termasuk 40 di Times Square. Sejumlah orang ditahan di Chicago, dan sekitar 150 orang mendirikan kamp di luar balai kota Minneapolis.

Pada pagi 25 Oktober, polisi membersihkan dan menutup kamp Occupy Oakland di Frank Ogawa Plaza di Oakland, California. Serbuan ke kamp tersebut "kejam dan kacau", dan mengakibatkan 102 orang ditahan dan beberapa demonstran terluka. Kota Oakland mengontrak 12 departemen polisi regional lainnya untuk membantu pembersihan area kamp tersebut. Seorang veteran perang Irak, Scott Olsen, diduga dipukul di kepala menggunakan kaleng gas air mata dan mengalami keretakan pada tengkorak. Kondisinya kemudian tidak kritis lagi. Pada malam selanjutnya, sekitar 1.000 demonstran berkumpul kembali di plaza dan mengadakan pergerakan sampai malam hari.

Pada tanggal 2 November, demonstran di Oakland, California menghentikan operasi Port of Oakland, pelabuhan tersibuk kelima di Amerika Serikat. Polisi memperkirakan bahwa sekitar 3.000 demonstran berkumpul di pelabuhan dan 4.500 lainnya bergerak melintasi kota; seorang juru bicara gerakan protes tersebut, yang hanya memberitahu nama depannya, berkata kepada BBC bahwa ia mendengar sejumlah orang menduga sekitar 20.000 sampai 30.000 demonstran turut berpartisipasi, namun "sulit untuk disebutkan."

 

Minggu 9, 10 & seterusnya (12 November – Desember)

Setelah tengah malam 15 November, polisi menyebarkan pemberitahuan bahwa para demonstran untuk sementara harus mengosongkan taman agar petugas kebersihan/sanitasi bisa masuk. Sesuai pemberitahuan polisi, para demonstran diperbolehkan kembali setelah pembersihan tersebut, namun tanpa tenda, terpal, atau kantung tidur. Polisi bergerak masuk sekitar pukul 01.00 pada 15 November dan menahan sekitar 200 orang, beberapa di antaranya berusaha menghentikan masuknya petugas kebersihan. Termasuk di antara yang ditahan adalah jurnalis Agence France-Presse, Associated Press, Daily News, DNAInfo, Television New Zealand, The New York Times, dan Vanity Fair, juga anggota Dewan Kota New York Ydanis Rodríguez. Kartu pers seorang reporter NBC disita.

Ketika polisi sedang mengosongkan taman, awak khusus media ditahan satu blok dari taman, sehingga mereka tidak bisa mendokumentasikan pengosongan tersebut. Helikopter polisi mencegah helikopter berita NBC dan CBS memberitakan pengosongan taman. Banyak jurnalis yang mengeluh ditangani secara kasar atau kejam oleh polisi. Society of Professional Journalists, Committee to Protect Journalists, Reporters Without Borders dan New York Civil Liberties Union mengkhawatirkan dan mengkritik situasi tersebut. OAS Special Rapporteur for Freedom of Expression mengeluarkan sebuah pernyataan bahwa "pembatasan akses yang tidak proporsional menuju tempat kejadian, penahanan, serta tuduhan kriminal akibat pelaksanaan tugas profesi oleh para reporter melanggar hak kebebasan berekspresi."

Pada tanggal 21 November, New York Daily News, New York Post, Associated Press, Dow Jones, NBC Universal dan WNBC-TV bergabung dalam sebuah surat yang ditulis oleh Dewan Umum New York Times George Freeman yang mengkritik penanganan media oleh Departemen Polisi New York selama serbuan tersebut.

Setengah jam setelah pengosongan oleh polisi, Occupy Wall Street Media Team mengeluarkan pernyataan resmi di bawah judul, "Anda tidak bisa mengusir ide yang sudah saatnya untuk dikeluarkan." Pernyataan tersebut berisi, "Sejumlah politisi mungkin secara fisik bisa mengusir kami dari ruang publik — ruang kami — dan, secara fisik, mereka mungkin berhasil. Tetapi kami terlibat dalam pertempuran mempertahankan ide tersebut."

Tenda dan dampak personal terhadap demonstran, dan lima ribu buku di The People's Library diletakkan di truk sampah oleh petugas polisi dan disita. Di acara The Rachel Maddow Show tanggal 15 November, rekaman serbuan tersebut diperlihatkan dengan komentar berikut:

"Pejabat polisi New York City berseragam lengkap untuk menghadapi kerusuhan, menyebarkan pemberitahuan tertulis kepada demonstran yang memberitahu mereka tempat pengembalian barang-barang pribadi mereka, yang terdengar indah sampai Anda melihat apa yang mereka lakukan terhadap barang-barang pribadi milik demonstran. Ada beberapa laporan bahwa polisi menggunakan pisau untuk memotong tenda militer yang merupakan harapan terbaik untuk bertahan hidup dari musim dingin di sana. Anda bisa melihat polisi sedang memotong tonggak tenda demonstran dengan gergaji tangan dan gergaji paku."

Komputer yang disita setelah serbuan tersebut dihancurkan.

Setelah pengosongan tersebut, pejabat New York City memerintahkan polisi untuk menutup seluruh taman dan mencegah kembalinya demonstran, sambil menunggu hasil dengar pendapat di pengadilan mengenai apakah dan atas alasan apa para demonstran kembali; seorang hakim mengeluarkan putusan pengendalian sementara agar demonstran boleh kembali ke taman dengan tenda mereka, yang menurut penulis opini Washington Post James Downie diabaikan oleh Wali kota Bloomberg. Seorang hakim pada sore hari memutuskan bahwa perintah sementara tersebut tidak diperpanjang, karena Amendemen Pertama tidak memberikan demonstran hak untuk mengisi taman dengan "tenda, struktur, generator, dan instalasi lain selain dari hak dan tugas pemilik untuk mengelola Zuccotti Park."

Pada tanggal 17 Desember, jurnalis yang mewakili Indypendent Reader, IMC dan In These Times ditahan. Dua wartawan Daily Caller dan seorang wartawan RT dilaporkan dipukul dengan tongkat polisi.

Pada tanggal 6 Desember, Occupy Our Homes, protes sampingan Occupy Wall Street, bergabung dengan "hari aksi nasional" untuk memprotes penyalahtanganan pemilik rumah oleh bank-bank besar, yang menghasilkan miliaran dolar dari gelembung perumahan dengan memberikan pinjaman predator dan terlibat dalam praktik yang merugikan konsumen. Di lebih dari 24 kota di seluruh AS, gerakan ini mengambil tema krisis perumahan dengan menduduki kembali rumah yang ditutup awal, mengganggu lelang bank dan mencegah pengusiran.

Pada tanggal 14 Desember, protes sampingan OWS lainnya, yaitu Occupy DOE (Department of Education), berganung dengan para guru dan orang tua untuk memrotes pertemuan dewan sekolah di distrik Queens, New York City. Kelompok ini mengklaim bahwa Panel on Educational Policy (PEP), sebagian besar ditunjuk oleh Mayor Bloomberg, tidak sah, tidak demokratis, dan merupakan "parodi dewan sekolah". PEP dijadwalkan melakukan pengambilan suara atas rencana pembukaan dua sekolah sewa baru di Brooklyn yang dijalankan jaringan Success, sebuah organisasi yang dioperasikan oleh mantan anggota dewan yang dekat dengan wali kota dan administrasinya. Hampir semua orang di dewan Success terlibat dengan industri pengelola investasi global atau ekuitas pribadi. Persepsi bahwa "satu persen" mampu membuka sekolah di daerah Brooklyn, meski ada tentangan dari publik dan para pejabat terpilih, telah menuai kecaman besar.

 

Saturday, December 19, 2020

Sepakbola Tak Akan Pulang

 


Membaca buku ini membuat kita rindu atas tulisan-tulisan review pasca pertandingan di Tabloid Bola hari Selasa era 90-2000 an. Kita dapat membaca review ciamik Dwi Widijatmoko, Rob Hughes, Sapto Harjo, ataupun Bung Wesh. Ya, review dlm buku ini belum selevel tulisan mereka. Buku ini lebih mirip momen-momen sepakbola yang diceritakan secara kronologis oleh Sindhunata. Sekali lagi, buku ini memang berbeda.

Sepakbola Tak Akan Pulang

Penulis menyindir Inggris sebagai negara pencetus sepakbola dimulai dan pemilik liga yang di klaim terbaik di muka bumi yang tak akan pernah membawa pulang tropi Piala Dunia. Selain itu, penulis juga memaparkan beberapa cerita dan data yang dibalut dalam romansa sastrawi.

Bekas
Membaca kumpulan esai tentang sepakbola yang ditulis oleh Cak Mahfud serasa membaca esai-esai di Pandid Footbal. Bedanya jika di Pandit, saya dapat membacanya secara gratis dan dapat di akses di mana saja dan kapan saja, hanya bermodal kuota dan gawai. Sedangkan membaca kumpulan esai ini harus membeli buku dan menentengnya kemana saja. Apakah ini semacam keluhan? Tentu tidak. Banyak alasan idiologis dan komersialis yang membelakangi semua itu. Hehe

Esai berjudul bekas ini membahas bagaimana klub-klub besar di Eropa seperti Juventus, City, MU, Barca dan Madrid bongkar pasang pemain demi meraih trofi. Selain kepamoran yang ingin digapai, omset yang meningkat berlipat-lipat dari penjualan jersey dan tiket penonton, ada luka yang diam-diam menjadi borok. Yakni nasib pemain akademi yang sulit memasuki skuat utama dan rawannya pemecatan seorang pelatih karena tak kunjung mengisi trofi di almari klub.

Leeds
Pandid yang nyastra. Saya rasa itu julukan yang sangat cocok dikenakan Cak Mahfud. Ia dengan ciamik menulis esai sepakbola tidak hanya perihal tak tik dan statistik pemain. Melainkan gaya bercerita yang sederhana dan mengena dengan di barengi kutipan wawancara membuat pembaca dibawa ke sisi zaman yang berbeda untuk mengetahui apa yang sedang terjadi dan apa yang dilakukan oleh seorang pelatih "Sinting" bernama Marcelo Bielsa. Dengan metode latihan aneh, tak tik menyerang super buas namun sering kehabisan bensi diparuh musim dan mitos-mitos yang meliputi dirinya membuatnya sosok pelatih yang legendaris dari Amerika Latin yang kini sedang membuktikan tuahnya di tanah Ratu Elisabet.

Mendes


Ada yang pernah mendengar nama Jorge Mendes? Hmmm, mungkin pembaca kurang familiar dengan nama tersebut. Tapi apakah pembaca pernah mendengar nama Jose Mourinho? Nah, saya yakin nama tersebut tidak asing lagi di telinga teman-teman. Sosok pelatih dari Portugal yang berhasil membawa Chelsea menapaki dekade kajayaannya termasuk membawa Inter Milan menjadi satu-satunya klub dari negeri Pizza dan Kopi meraih Tribble Winner di tahun 2010. Jorge Mendes adalah agen dari Jose Mourinho, Cristiano Ronaldo, Zlatan Ibrahimovic, Mathias Delight dan banyak nama pemain-pemain besar yang berada dalam agen naungannya.

Agen pemain sepakbola kelas kakap dengan segudang prestasi dan mitosnya ini juga memiliki segudang hal yang kontroversial. Termasuk yang menjadikan Wolverhampton Wonderes alias Wolves dijuluki Timnas Portugal Cabang Liga Inggris. Mengapa dapat seperti itu? Adanya tujuh pemain lebih yang membela Wolves tak ayal ada peran Mendes dibalik itu semua. Nuno Espirito Santo yang menjadi Manajer Wolves adalah agen dari Mendes. Hal tersebut yang di sinyalir banyaknya migrasi pemain Timnas Portugal dan/ pemain yang pernah bermain di Liga Portugal merumput di klub berlogo serigala tersebut.

Masih teringat jelas saat Mourinho menukangi Chelsea, Madrid dan Inter. Di saat itu juga banyak pemain Portugal dan/ pemain yang dibawah naungan Mendes membela klub yang ditukangi Mourinho. Meski hal tersebut tidak menjadi temuan masalah di Federasi liga berada. Sistim yang Mendes terapkan ini sudah seperti KKN saja.

Apakah salah jika Gibran maju dan sukses menjadi Wali Kota Solo? Tentu tidak. Karena proses pemilihannya berlangsung secara demokratis, rakyat yang memilihnya. Tapi lapisan masyarakat lain menilai apa yang dilakukan Gibran tidak etis karena memanfaatkan jabatan serta akses orangtuanya, Joko Widodo. Begitu juga apakah kita dapat mempersalahkan Jorge Mendes, Mourinho dan Nuno Santo banyak menggunakan jasa pemain yang di ageni Mendes? Hayoooo.

Melihat Sepakbola Dengan Kacamata Sastra

Sudah banyak buku yang membahas tentang sepakbola. Olahraga yang digandrungi lebih setengah penduduk bumi, termasuk Indonesia yang tata kelolanya acak kadut. Dari pelbagai buku yang sudah terbit di Indonesia, Cah Mahfud menyajikan bacaan sepakbola yang bukan hanya sekedar tak tik, statistik dan olok-olokan semata. Cah Mahfud ciamik sekali dan memadu pandankan data dan narasi yang membuat pembaca yang hanya mengerti bola dengan pemahaman dangkal menjadi paham - sepakbola bukan sekedar olahraga. Membaca buku "Sepakbola Tak Akan Pulang" adalah sebuah oase bagi penikmat sepakbola layar kaca seperti saya. Membayangkan banyak buku & film yang membahas olahraga dalam bidang lain tentu akan sangat menyenangkan. Lari, naik gunung, catur, sepeda dll.

Selain itu, saya membayangkan jika pandidfootball.com segera menerbitkan esai-esai menariknya yang selama ini hanya dapat dinikmati pembaca lewat gawai. Kenapa tidak? Toh ini bukan hanya masalah efisiensi atau alasan idiologis minat baca dan penebangan pohon untuk membuat kertas. Segeralah, segera terbitkan.

Ujian Chelsea dan Fans Kardusnya

Sejak kedatangan Abrahamovic menjadi Presiden klub London biru, praktis sudah ada 15 Manajer yang menjadi korban pemecatan. Dengan dalih tidak diperpanjangnya kontrak atau menghadiahi si Roman Emperor dengan piala. Banyak pundit yang mengatakan bahwa kekurangan Chelsea hanya satu, kesabaran. Termasuk saat ini, legenda hidup Chelsea, Frank James Lampard yang nihil prestasi saat menjadi pelatih ditunjuk menukangi Chelsea. Sebagai fans, kembalinya top skor sepanjang masa menjadi Manajer harus segera mendapatkan gelar jika tidak ingin nasibnya seperti para Manajer hebat yang sempat menukangi Chelsea pula. Di pecat dan dilupakan.



Terimakasih

Malang, 19 Desember 2020

Ali Ahsan Al Haris

Wednesday, December 16, 2020

Manusia Indonesia

 


Buku ini merupakan salinan ceramah Mochtar Lubis yang di kemukakan oleh beliau di TIM (Taman Ismail Marzuki). Pidato ini menerangkan tentang karakter manusia Indonesia menurut prespektif Mochtar Lubis. Setidaknya ada 6 ciri yang diungkapkan oleh beliau yang dirangkum menjadi 6 bab pada buku tersebut. Ciri-ciri ini mungkin banyak yang masyrakat Indonesia sudah merasakannya sekarang, walau banyak juga krtik dalam buku tersebut.

Setidaknya kita seperti dibawa pengenalan karakter masyasrakat Indonesia seperti Munafik, Lepas Tanggu jawab, ABS (Asal Bapak Senang, Neo-Feodalisme, bahkan sikap positifnya yaitu punya arsisitik yang tinggi. Tapi buku ini dianggap tidak menampilkan keseluruhan masyarakat Indonesia secara objektif karena tanpa didasari data-data. Itulah yang menjadi kritik beberapa tokoh setelah mendengar atau membaca tulisan Mochtar Lubis ini.

Namun, buku ini cukup bagus untuk membuka wacana tentang Manusia Indonesia walau harus dikritisi dengan lebih analistis. Tapi, dalam buku ini kita bisa mengetahui bagaimana keberanian Mochtar Lubis untuk mengungkapkan pemikiranya. Tentulah bagus untuk terus ditelahah apalagi buku atau ceramah tersebut keluar pada dekade 70 an. Apakah, karakter manusia Indonesia sudah membaik? atau malah bertambah buruk?

Mesin waktu. Bahwa sesungguhnya ada relevansi yang masih cukup akurat, dari ketika ia menulis buku ini pada tahun 1977 hingga sekarang di tahun 2014 ini. Setiap membaca apa yang ia tulis, dalam hati saya selalu ada jawaban lantang “YA!”. Saya setuju dengan sudut pandangnya tentang generasi muda pada masa itu, yang juga terhubung dengan generasi muda zaman sekarang. Saya merasa, jangan-jangan, kami generasi muda Indonesia ini, tidak bertumbuh. Jangan-jangan, kami generasi muda Indonesia ini, hanya mengulangi pola leluhur yang bermalas-malasan, ongkang-ongkang kaki, tak punya daya tahan, minim daya juang, mau enaknya saja, ingin sukses tapi lupa bekerja keras. Saya takut jangan-jangan kami generasi muda Indonesia memang tidak ke mana-kemana: kami mengatakan diri kami “KEREN” padahal sesungguhnya kami ini hanya sampah yang suka “memegahkan” diri sendiri.

***

Sekilas membaca judul “Manusia Indonesia” (sebuah pertanggungjawaban) membuat saya menebak-nebak isi keseluruhan buku ini. Ternyata memang benar, buku yang sebelumnya berupa makalah dalam ceramah Mochtar Lubis di Taman Ismail Marzuki pada tanggal 6 April 1977 ini memaparkan beberapa ciri-ciri yang kebanyakan merupakan ciri-ciri negatif dari manusia Indonesia. Saat membacanya saya mengangguk-angguk mengiyakan pernyataan Mochtar Lubis. Mungkin memang cenderung subjektif, namun tak dipungkiri itu benar-benar saya rasakan dan terjadi di keseharian manusia Indonesia.

Buku ini terdiri dari beberapa bab dan tanggapan-tanggapan. Masing-masing setiap bab menjelaskan ciri-ciri manusia Indonesia. Berikut ciri-ciri manusia menurut Mochtar Lubis.

Pertama, manusia Indonesia mempunyai ciri-ciri Hipokritis atau munafik. Bagaimana tidak, manusia Indonesia seringkali mengatakan sesuatu hal yang berbeda dari apa yang dipikirkanya. Entah hanya mencari aman atau karena mendapat tekanan sehingga takut berkata jujur. Menurut Mochtar Lubis sumber dari sikap hipokrisi ini terlihat dari sistem feodal di masa lalu yang menekan inisiatif rakyat. Bahkan sampai sekarang sikap munafik ini masih marak dimana-mana seperti gerakan anti korupsi yang ternyata anggota dari gerakan itu sendiri melakukan korupsi. Adapun kalimat “ABS” (asal bapak senang) yang merupakan sikap bawahan kepada penguasa yang rela melakukan apapun demi kesenangan penguasa terjadi karena adanya tekanan dan rasa takut terhadap penguasa. Sikap-sikap seperti itulah yang memupuk jiwa munafik manusia Indonesia.

Kedua, ciri-ciri yang sering kita jumpai yaitu manusia Indonesia enggan bertanggung jawab. Jika ada suatu kesalahan maka akan saling lempar tanggung jawab atau saling menyalahkan. “Yang diatas tidak mau bertanggung jawab, yang di bawah juga tidak bertanggung jawab atas kesalahan dan keburukan yang terjadi, karena “bukan saya” dan “itu perintah atau putusan atasan” mengimbangi satu terhadap yang lain.” Begitulah menurut Mochtar Lubis. Begitu pula sebaliknya saat ada kesuksesan manusia Indonesia dengan bangganya tampil di depan khalayak menerima penghargaan. Padahal orang itu (Mochtar Lubis menyebutnya “bapak-bapak”) tidak berhak menerima penghargaan yang seharusnya lebih pantas diberikan pada rakyat atau pengusaha kecil yang mengalami kesukaran hidup.

Ketiga, manusia Indonesia berjiwa feodal, bahkan bertahun-tahun setelah penjajahan, feodal masih hidup di dalam sistem pemerintahan Indonesia. Jiwa feodal ini tercermin dalam hubungan antara penguasa dan rakyatnya. Sikap feodal ini akan terus mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia selama rakyat enggan melontarkan kritik kepada penguasa dan penguasa enggan mendengarkan kritik dari rakyat.

Keempat, manusia Indonesia percaya takhayul. Ciri-ciri yang satu ini membuat saya heran, betapa luar biasa masyarakat Indonesia yang religius namun bisa berdampingan dengan mitos-mitos. Entah ini sifat yang buruk ataupun baik. Bukankah hebat saat rakyat Indonesia menjalankan solat 5 waktu namun dia juga menyiapkan sesajen pada malam jumat kliwon atau hari-hari tertentu. Apakah ini wujud sinkretisme atau manusia Indonesia yang tidak bisa lepas dari kebudayaan aslinya. Hal yang menarik dari pernyataan Mochtar Lubis adalah manusia Indonesia adalah tukang bikin simbol. Mereka pandai membuat jimat, mantra dan membuat sesaji yang bahkan berbeda-beda di setiap daerah. Hingga zaman modernisasi, manusia Indonesia masih mempercayai takhayul. Takhayul ini hadir dalam wujud baru. Manusia Indonesia masih pandai menciptakan simbol-simbol. Mochtar Lubis berharap bangsa ini bisa menjadi bangsa yang tidak hanya bisa membuat mantra atau simbol saja, tetapi juga bisa bergerak dan bertindak.

Kelima, manusia Indonesia adalah manusia Artistik, yang memiliki jiwa seni tinggi. Dari keenam ciri-ciri manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis mungkin berjiwa artistik adalah ciri yang paling baik. Sikap manusia Indonesia percaya pada alam yang memiliki roh ,sukma ,dan jiwa membuatnya dekat dengan alam. Mereka sangat sensitif dalam menarik keindahan alam lalu dituangkan dalam sebuah karya seni. Tak jarang karya seni di Indonesia dipamerkan di museum-museum luar negeri. Ciri Artistik inilah yang menjadi satu-satunya harapan demi menjadi bangsa yang lebih baik.

Keenam, manusia Indonesia berwatak lemah. Artinya manusia Indonesia mudah sekali goyah terhadap sesuatu. Tidak berpegang teguh pada apa yang dirasa benar dan sangat mudah terpengaruh hingga meninggalkan apa yang diyakininya. Bahkan sikap seperti ini tercermin pada jaman Soekarno yang tidak mempermasalahkan inflasi selama demi kebaikan “revolusi Indonesia”. Manusia Indonesia bersikap seperti ini tak lain untuk “survive”. Untuk menyenangkan hati rakyat Indonesia sikap seperti ini disebut “tepa slira” yang sebenarnya tak lain adalah berwatak lemah.

Selain keenam ciri diatas, Mochtar Lubis juga mengungkapkan beberapa ciri-ciri manusia Indonesia lainya. Diantaranya manusia Indonesia cenderung boros, tidak suka bekerja keras, tidak sabar, mempunyai sifat iri dengki, dan masih banyak keburukan lagi.

Selain mengungkapkan analisisnya mengenai ciri-ciri manusia Indonesia, Mochtar Lubis juga mengkritik habis-habisan sikap negara-negara maju di dunia ini. Negara-negara maju dengan seenaknya membuat teknologi yang memang memudahkan pekerjaan manusia namun disisi lain juga merusak alam. Negara-negara berkembang pun dibuat bergantung pada negara maju. Contohnya Indonesia yang membukakan pintu selebar-lebarnya terhadap perdagangan bebas dan menerapkan sistem pembangunan seperti negara-negara maju. Kapitalisme menjamur dimana-mana. Negara Indonesia mencoba mengikuti modernisasi, hal itu sah-sah saja namun langkah bangsa ini sudah terlampau jauh. Sikap yang seharusnya diambil rakyat Indonesia adalah menghidupkan kembali teknologi yang bersumber dari alam tanpa merusak alam itu sendiri dan tidak serakah. Sikap bangsa Indonesia terlalu berkiblat pada budaya barat dan berambisi bisa menjadi negara-negara maju yang bisa membuat nuklir, menjadi negara-negara industri yang merusak alam dan materialis. Yang harus kita lakukan sebenarnya adalah menjaga kearifan lokal dan alam Indonesia yang berlimpah ini serta meningkatkan sumber daya manusia,juga menciptakan teknologi yang ramah lingkungan.

Kelemahan buku ini adalah tingkat subjektivitas penulis yang sangat tinggi dan tidak menuliskan lebih lanjut karakteristik manusia Indonesia yang baik. Mochtar Lubis membahas hal-hal sensitif yang bisa saja membuat pembaca tersinggung. Namun saya sebagai rakyat Indonesia tidak bisa mengelak pernyataan dari Mochtar Lubis karena menurut saya itu memang benar jika melihat kegoyahan di negara ini yang semakin memprihatinkan. Mochtar Lubis memang cerdas dalam memberikan argumen dan ia tidak hanya asal mengkritik tetapi juga memberikan saran untuk rakyat Indonesia bagaimana seharusnya kita bertindak. Mau tidak mau, sebagai manusia Indonesia membaca buku ini memaksa kita bercermin dan introspeksi diri, bahka di tahun 2015 ini.

 

Friday, December 11, 2020

Review The Hen Who Dreamed She Could Fly


Novel yang saya baca ini masuk dalam International Bestseller yang terjual lebih dari dua juta eksemplar. Termasuk dalam genre Fabel, yakni cerita yang menceritakan kehidupan binatang, namun memiliki perilaku layaknya manusia. Fabel termasuk ke dalam kategori sastra berbentuk fiksi atau khayalan.

Pada umumnya, novel Fabel banyak dibaca anak-anak atau para orangtua yang membacakan buku ke anak-anaknya. Sebelum saya tulis untuk mengenal siapa penulis novel ciamik ini. Bagiku sangat penting saya tuliskan kembali pendapat Kim Seo Jeong (Kritikus Sastra Anak).

Cerita Tentang Ayam Betina Yang Menyimpan dan Mewujudkan Keinginannya

Ada tiga jenis ayam betina dalam buku The Hen Who Dreamed She Could Fly. Yang pertama adalah ayam betina tanpa pikir panjang yang hanya makan dengan kenyang walaupun harus terkunci di dalam kandang kawat tanpa bisa mengerami telurnya sendiri. Yang satu lagi adalah ayam betina yang hidup di halaman dengan ayam jantan dan anak-anak ayam. la bisa hidup dengan penuh kepuasan, tapi ia selalu ketakutan seseorang akan ikut campur dan menghancurkan kesehariannya. Yang terakhir adalah ayam betina yang menyimpan keinginan untuk mengerami telur dan menyaksikan kelahiran anak ayam, sampai akhirnya ia bisa mewujudkan keinginan itu. Di antara banyaknya ayam, Daun adalah satu-satunya ayam yang masuk jenis ketiga. Ia adalah tokoh utama dalam cerita ini.

Siapa Hwang Sun-mi?

Kok ya bisa bikin cerita sederhana, tapi plotnya sempurna untuk membuat kita tidak berhenti membalik satu halaman demi satu halaman dengan penuh perasaan? 

Hwang Sun-mi di masa kecilnya adalah seorang anak yang kondisi jantungnya sangat buruk dan hidup dalam kemiskinan. Kurus kering dan tidak bisa mewujudkan cita-citanya menjadi seorang tentara. Salah satu kekuatannya adalah dengan bermimpi dan berusaha mewujudkannya. Itu yang ia berusaha hadirkan dalam diri novel ini.

Baca tulisan saya yang lain: Lelaki Malang, Kenapa Lagi?

Hwang Sun-mi lahir tahun 1963 sebagai anak ke-2 dari 5 bersaudara. Ide cerita novel ini berasal dari kehidupan ayahnya yang seorang petani yang hidup dalam keterbatasan. Sun-mi sempat tidak melanjutkan sekolah menengahnya karena kemiskinan. 

Ia baru masuk SMA melalui ujian persamaan dan lulus dari Creative Writing Departments di Seoul Institute of Arts dan Gwangju University. Juga graduate school di Chung-Ang University. 

Memulai karirnya sebagai penulis sejak tahun 1995 dan telah menghasilkan 30 buku. Ia juga tercatat sebagai Adjunct profesor di Fakultas of Literature di Seoul Institut of Arts. 

Novel ini adalah sebuah fabel yang dibuat tahun 2000 di Korea. Telah terjual sebanyak 2 juta kopi dan diterjemahkan ke dalam 27 bahasa. Novel ini juga sudah diadaptasi menjadi film animasi. Mengikuti larisnya si novel, hanya dalam 4 minggu, film ini telah ditonton oleh 2,2 juta orang. Mantap juga ya.

Aku Takkan Bertelur

Kisah dimulai dari seekor ayam betina yang berada di dalam kandang. Atau, lebih tepatnya ia dan banyak ayam betina lainnya berada dalam sebuah peternakan ayam petelur. Setiap pagi majikannya menghampiri kandang demi kandang untuk mengambil telur, termasuk ayam betina ini yang kian hari produktifitas bertelurnya semakin menurun. Rutinitas yang dilakukan majikannya itu membuatnya berikrar untuk tidak lagi bertelur, ia merasa sangat sedih karena tak pernah mengerami telur dan melihat anaknya menetas. 

Baca Tulisan Saya Yang Lain: Cinta Lama - Puthut EA

Kandangnya yg terletak di depan pintu masuk peternakan membuatnya dapat melihat halaman luar dari peternakan. Ia dapat melihat anjing tua milik juragan peternakan, bebek dengan anak-anaknya yang sering berjalan mengular, ayam, bebek dan sesekali melihat manusia saling beradu mulut. Dari pemandangan tersebut, yang menarik perhatiannya selain menginginkan kehidupan normal seperti ayam yang ia lihat setiap pagi di halaman depan adalah pohon akasia. Tumbuh besar dengan tangkai yang kokoh dan bunga cantik dan sesekali daun yang jatuh berguguran. Karena kekagumannya dengan pohon akasia itulah, ia menamai dirinya sendiri dengan nama, Daun.

Sudah tiga hari Daun tidak bertelur. Badannya kaku dan tak dapat banyak bergerak. Seingatnya, telur yang ia keluarkan lebih kecil dari biasanya dengan cangkang lembek. Saat pagi hari kunjungan rutin dari majikan pria, telurnya Daun dilempar begitu saja ke depan kandang dan menjadikan santapan empuk si anjing tua. Hal tersebut membuat Daun semakin sedih dan memperkuat keinginannya untuk tidak bertelur lagi.

Badannya sudah semakin nelangsa, makanan yang juragan sajikan tak banyak Daun makan. Ia merasa sudah mati padahal hanya mengalami pingsan berulang kali. Tepat pada hari ketujuh, majikan pria mencengkram kuat kedua sayapnya dan melemparkannya ke dalam bak bersama tumpukan ayam lainnya yang mengalami nasib sama seperti dirinya. Lemah, tua dan mati.

Keluar Dari Kandang Ayam

Malam hari ia tiba-tiba terbangun dan kedinginan. Ia kira dirinya sudah mati, setengah sadar ia mendengarkan suara menyuruhnya segera terbang agar tidak menjadi mangsa. Suara itu makin kencang dan terus berulang, dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki. Ia mampu keluar dari sebuah lubang yang akhirnya ia tahu adalah tempat pembuangan ayam yang sudah mati dari peternakan.

Baca Tulisan Saya Yang Lain: Negeri Para Bedebah

Kini ia tahu sumber suara yang meneriakinya dari lubang pembantaian. Jika ia telat sedikit saja, tubuhnya sudah menjadi makan malam seekor Musang yang sedari tadi mengintai dari balik rimbun ilalang. Kini ia memiliki teman baru, seekor bebek berleher hijau. Teman yang menyelamatkannya dari maut.

Kawan Baru, Awal si Juru Selamat

Bebek berleher hijau ini adalah awal bagaimana Daun menggapai apa yang selama ini ia cita-citakan. Si Bebek pengelana, begitu Daun memanggilnya. Seekor bebek yang bisa terbang, berbeda dengan bebek rumahan pada umumnya. Daun sangat menghormatinya karena telah menyelamatkannya dari Musang pemburu, mengenalkannya dengan keluarga halaman meski akhirya mereka berdua harus terusir karena ulah ayam jantan yang tak menerimanya. Kesehaian Daun hanya mengikuti Bebek pengelana ke danau dekat peternakan, di sana ia mencari makan dan memulai hidup menjadi pengembara.

Anakku Bukan Anakku

Daun yang lama berada didalam kandang ayam ingin mengerami telur dan melihatnya menetas akhirnya kesampaian. Kejadiannya bermula saat Daun terusir dari kandang halaman dan memilih hidup mengembara di sekitar danau. Semak belukar di sekitar danau yang awalnya menjadi tempat untuk berteduh dan mencari makan berubah tidak aman karena menjadi lokasi para bebek termasuk Bebek Pengelana berleher hijau beraktifitas. Namun, hal tersebut malah membuat Daun semakin mengenal lebih dekat ke Bebek Pengelana. Daun banyak mendapatkan nasihat bagaimana bertahan hidup di alam liar, terutama cara melawan si Musang pemburu yang tiba-tiba muncul menyergap.

Baca Juga: Politik Luar Negeri Di Bawah Soeharto


Karena kondisi di tepi danau membuatnya tidak nyaman, kini ia beralih ke hutan bambu. Tampak dedaunan rontok, pohon tumbang dan semak belukar yang tinggi membuat ia percaya jika Musang pemburu tidak dapat menemukannya. Beberapa hari berada di dalam hutan, ia sering mendengar Bebek Pengelanan mondar-mandir di dekat sarangnya. Dan, tiba-tiba saja Bebek Pengelana berteriak sangat kencang, Daun merasa ketakutan karena mengira Bebek Pengelana telah menjadi santapan makan malam Musang pemburu. Ia sangat merasa sedih, Daun belum sempat berterimakasih kepadanya atas kejadian di lubang kematian dulu. Karena rasa ketakutannya itu, ia semakin masuk ke semak belukar, tak di sangka ia malah menemukan sebuah telur, cangkangnya masih hangat, terasa jika telur yang ia temukan adalah telur baru. Merasa iba dan didorong keingannya dulu saat masih dikandang untuk mengerami telur sampai menetas. Daun akhirnya mengerami telur tersebut, kini ia sangat bahagia. Keinginan menjadi sosok ibu bagi anak-anaknya mulai tercapai.

Saat mengerami telur, Bebek pengelana sering mondar mandir di sekitar sarangnya. Daun merasa terganggu dengan kondisi tersebut. Terlebih kondisinya yang sedang mengerami telur, Daun takut kebisingan yang dibuat Bebek Pengelana membuat tumbuh kembang anaknya terganggu.

Hari berganti, ancaman Musang si pemburu juga tiada henti. Musim silih berganti, salju mulai mencair. Si anak dalam telur sudah menampakkan tanda ingin menyapa dunia. Dan kini ia benar-benar telah lahir. Tapi bukan sebagai anak ayam, melainkan sebagai anak bebek. Selama ini Daun telah mengerami telur bebek, ia baru tersadar jika telur yang selama ini ia erami adalah miliki Bebek Pengelana, pantas selama ia mengerami telur si Bebek Pengelana selalu mondar-mandir dari danau ke tempat Daun mengerami telur.

Sahabat Sejati Telah Pergi

Bebek pengelana mati, ia menjadi santapan makan malam Musang pemburu. Rasa bersalah selalu menghinggapi Daun, ia sadar jika anak bebek yang mengikutinya ini adalah anak dari Bebek Pengelana. Namun rasa bersalah itu kian hilang ditelan waktu saat melihat anaknya tumbuh dewasa, bahkan kini ia dapat terbang.

Baca Juga: Dunia Sophie

Puncak Dari Pencapaian Adalah Kematian

Keinginannya untuk keluar dari kandang dan berteduh di bawah pohon akasia sudah tercapai, berkumpul dengan para ayam dan bebek yang tergabung dalam keluarga halaman pernah ia rasakan meski tak lama. Mimpi untuk mengerami telur dan melihat anaknya menetas juga paripurna. Terlebih dapat mendampingi anaknya tumbuh kembang dewasa dan menemukan keluarga baru. Kini Daun semakin menua, badannya sudah tak selincah dulu saat lolos dari lubang kematian. Kerinduannya ke Bebek Pengelana menjadi penutup cerita. Ia tawas menjadi santapan Musang pemburu mata satu.

Terimakasih

Malang, 11 Desember 2020

Ali Ahsan Al Haris


Monday, December 7, 2020

NEW NORMAL: Perubahan Sosial Ekonomi dan Politik Akibat Covid-19

Sudah mau setahun negara kita dilanda pandemdi Covid-19 sejak pertama kali virus ini ditemukan di Wuhan, Republik Rakyat China. Untuk mencegah penyebaran virus tersebut makin meluas, para pemimpin negara di pelbagai belahan dunia yang dilanda wabah Virus Corona ini kemudian sepakat menerapkan kebijakan pembatasan sosial atau mengurangi kontak fisik dengan melakukan lockdown sesuai anjuran World Health Organization (WHO). Di Indonesia sendiri, isitilah lockdown dimodifikasi menjadi kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Resep WHO ini memang terbukti lumayan ampuh. Beberapa negara yang menerapkan kebijakan lockdown dengan konsisten, perlahan tapi pasti dapat mengontrol meluasnya Virus Corona dengan ditunjukannya kurva kenaikan pada negaranya.


Bagi negara-negara yang sudah mampu mengendalikan penyebaran Virus Corona ini, WHO kemudian memberikan resep lain yang kemudian disebut sebagai New Normal. Pada intinya, setelah sekian waktu kita di ajak untuk “bersembunyi di dalam rumah” cukup lama, masyarakat kemudian di ajak lagi keluar dari persembunyiannya secara perlahan dan diberi kesempatan melakukan pelbagai kegiatan sosial dan ekonomi. Namun demikian, karena ancaman Virus Corona belum usai karena belum ditemukannya vaksin, WHO memberikan pelbagai persyaratan terkait penerapan kebijakan New Normal. Esensi dari kebijakan ini adalah diterapkannya protokol kesehatan yang ketat, yaitu: memakai asker, menjaga jarak fisik, dan sering mencuci tangan (dikenal dengan istilah 3M) ketika masyarakat melakukan banyak kegiatan, baik kegiatan sosial dan ekonomi.


Setelah WHO mengeluarkan resep yang kita kenal sebagai New Normal, Pemerintah Indonesia tidak ingin ketinggalan juga segera mengadopsi gagasan tersebut; meskipun sebenarnya Indonesia belum memenuhi syarat untuk menerapkan New Normal ini jika dilihat dari kurva Covid-19. Berdasarkan laporan resmi dari Pemerintah, kurva Covid-19 di Indonesia masih terus merangkak naik, bahkan sampai kalian membaca tulisan ini. Dengan pelbagai pertimbangan seperti varian penyebaran kurva Covid-19 yang berbeda-beda antar daerah serta diperlukannya pemulihan ekonomi untuk mencegah Indonesia terjerumus dalam resesi, maka tidak ada pilihan lain selain melakukan kebijakan New Normal.


Tentu sangat menarik melihat kejadian tersebut dari pelbagai sudut pandang fenomena bagaimana kebijakan New Normal diterapkan. Beragam protokol kesehatan yang harus dipatuhi masyarakat saat melakukan kegiatan sosial dan ekonomi dll. Buku ini terbagi empat tema besar yang berisi artikel menarik. Pertama, Variasi Perspektif dan Wacana New Normal. Kedua, New Normal, Reformasi Praktik Politik Dan Pemerintahan. Ketiga, New Normal Di Sektor Ekonomi, dan Keempat. Penerimaan Sosial New Normal.


Sebelum membahas lebih lanjut, dalam dunia maya banyak yang saling serang setiap apa yang kita tulis. Kita hidup dalam “Siapa Yang Berpendapat, Bukan Apa Yang Ia Pendapatkan”, konteks inilah yang coba saya Tarik dalam tulisan ini. Banyak esai ini yang seakan biacara enam bulan kedepan, dalam hal ini penulis dengann ciamik seperti meramal apa yang akan terjadi jika Pemerintah lalai dalam membuat kebijakan terkait penanganan Covid-19. Dari pelbagai esai yang terdapat dalam buku ini, saya merekomendasikan untuk membaca Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020: Aplikasi Prinsip Fairness di Era Pandemi, COVID-19 dan Resiliensi UMKM Dala Adaptasi Kenormalan Baru, Ketika Sarang Lebah Harus Sepi: Jeda Kerumunan Keagamaan Tanpa Energi Perubahan?, dan terakhir Perempuan dan Hidden Inequality di Era Adaptasi Kebiasaan Baru Akibat Covid-19. Saya merekomendasikan esai tersebut untuk dibaca karena linier dengan apa yang sedang hangat terjadi. Selamat membaca.

 

Terimakasih

Malang, 7 Desember 2020

Ali Ahsan Al Haris

Thursday, December 3, 2020

Lingkungan Hidup dan Kapitalisme Sebuah Pengantar

 

“Penyebab utama kerusakan ekologis adalah masyarakat yang memuja ‘dewa-dewa kecepatan dan kuantitas, beserta laba yang cepat dan mudah didapat, dan dari berhala mengerikan ini bangkitlah setan-setan mengerikan’” — Rachel Carson



Buku ini merupakan pengembangan dari artikel di Monthly Review pada 2010. Sorotan pembaca terhadap artikel What Every Environmentalist Need to Know About Capitalism ini begitu besar. Melalui buku ini, pembaca akan dibawa ke dalam penelusuran bagaimana kapitalisme menghancurkan planet ini dan, yang terpenting, bagaimana cara melawannya. Foster adalah profesor sosiologi di Universitas Oregon, editor Monthly Review yang telah menulis banyak artikel dan buku ekonomi politik kapitalisme, krisis ekologi, dan marxisme. Magdoff adalah direktur Monthly Review sekaligus profesor ilmu tanah, tumbuhan, dan pangan di Universitas Vermont.


Lingkungan hidup dan kapitalisme. Persinggungan antara kedua hal tersebut bukanlah sesuatu yang baru-baru ini muncul ke permukaan. Keduanya sudah lama menjadi perbincangan di berbagai belahan dunia, terutama di kalangan para aktivis lingkungan. Bagi kelompok pro-lingkungan, pertumbuhan ekonomi merupakan faktor utama penyumbang kerusakan lingkungan di seluruh dunia. Sementara menurut kelompok pro-kapitalis, sistem ekonomi yang sehat harus tetap ada demi menunjang kehidupan manusia. Kontradiksi dari kedua pandangan ini kemudian memunculkan satu pertanyaan mendasar: dapatkah persoalan lingkungan hidup diatasi tanpa mengubah sistem perekonomian kapital?


Baca tulisan saya yang lain: Yang Penting Bagiku Adalah Dialog


Seperti yang telah diketahui khalayak ramai, ancaman persoalan lingkungan hidup — perubahan iklim, pengasaman air laut, penipisan ozon, hilangnya keanekaragaman hayati, hingga polusi kimia — yang terjadi saat ini akan menjadi masalah besar apabila tidak ada seorang pun dari kita yang bertindak sesegera mungkin. Hal tersebut menjadi pembuka dalam bagian awal buku Lingkungan Hidup dan Kapitalisme yang ditulis oleh John Bellamy Foster dan Fred Magdoff. Dalam bagian tersebut, keduanya menjelaskan bahwa penyebab terjadinya krisis lingkungan tidak bersumber dari faktor alam itu sendiri, melainkan akibat ulah manusia. Sistem ekonomi dan politik yang tidak rasional dan berorientasi pada keuntungan semata digadang-gadang sebagai sumber permasalahan utamanya.


Masih pada bagian awal buku, Foster dan Magdoff menyajikan banyak informasi dan hasil observasi mengenai bertambah cepatnya degradasi lingkungan di berbagai belahan dunia. Informasi-informasi tersebut mungkin familiar di kalangan para aktivis lingkungan, tetapi kesimpulan yang diambil oleh Foster dan Magdoff terbilang sangat berani, bahkan cenderung mengarah kepada paham ekologis garis keras. Hal tersebut ditunjukkan dalam bagian pertengahan buku yang menjelaskan bagaimana sistem kapitalisme telah menyebabkan kerusakan lingkungan, bahkan berdampak pada munculnya ketidakadilan sosial serta imperialisme.


Baca tulisan saya yang lain: Cerita Dari Pasar Tradisional


“Kapitalisme menyebabkan hilangnya hubungan dengan alam, sesama manusia, dan masyarakat. Budaya konsumsi dan mementingkan diri sendiri yang ditumbuhkan oleh sistem ini membuat orang-orang kehilangan hubungan dengan alam — yang dipandang terutama sebagai sumber material untuk perluasan eksploitasi atas manusia dan masyarakat lainnya”


Kapitalisme, menurut Foster dan Magdoff, telah menyebabkan penipisan sumber daya alam. Pemilik dan pengelola bisnis seringkali mengabaikan batas-batas lingkungan demi membukukan laba dan mengakumulasi modal. Akibatnya, bukan hanya lingkungan yang terdampak, tetapi juga masyarakat bahkan generasi mendatang. Sementara itu, sebagai bagian dari alternatif solusi, sarana dan teknologi yang ada saat ini pada umumnya mengandung persoalan yang sama: memungkinkan perekonomian terus menempuh kearah yang sama merusaknya.


Baca tulisan saya yang lain: Pertikaian Suami Istri di Era Cyber


Lantas apa yang dapat dilakukan saat ini? Atas pertanyaan tersebut, Foster dan Magdoff menawarkan revolusi ekologis sebagai jawabannya. Dalam bagian akhir buku, mereka menyertakan pandangan Marx, Engels, Lebowitz, dan penulis-penulis lain untuk memberikan gambaran seperti apakah bentuk perlawanan terhadap kapitalisme. Bernafaskan gerakan sosialisme, penyelamatan lingkungan hidup membutuhkan gerakan massa dan restrukturasi besar-besaran atas perekonomian saat ini. Tujuannya jelas, mendesak sistem kapitalisme ke garis dasarnya dalam pengertian kriteria-kriteria keberlanjutan — lalu melampaui garis dasar itu: mendahulukan manusia dan lingkungan di atas laba.


Dalam buku ini, juga dibahas solusi jangka panjang dan pendek; perlunya perubahan gaya hidup masyarakat, perubahan sistem ekonomi, kegiatan ekonomi yang ditujukan bukan pada akumulasi kekayaan, tapi kesejahteraan seluruh rakyat. Buku ini membongkar kenaifan bahwa persoalan lingkungan hidup dapat diatasi tanpa perlu mengubah perekonomian kapital. Membaca buku ini, kita akan disadarkan bahwa merubah gaya hidup seperti mengurangi konsumsi energi dan sampah plastik, penghijauan, bersih-bersih pantai memang bagus. Tapi, itu semua tidak cukup! Diperlukan untuk memutus akarnya, mengubah modus produksi kapitalis yang sudah mengglobal. Inilah revolusi ekologis  keberlanjutan peradaban manusia dan ekologi.


Sebagai penutup, saya kutipkan bagian akhir buku ini:

“Kita perlu mengakui bahwa sebagai manusia kita merupakan bagian dari alam, bukan terpisah darinya. Eksploitasi masyarakat kapitalis atas lingkungan berakar pada eksploitasi atas kaum pekerja. Pembentukan hidup yang menyatu dengan alam bersifat hakiki dalam menempa komunitas manusia yang egaliter. Pembatasan hubungan manusia dengan alam, tulis Marx, menentukan pembatasan hubungan mereka satu sama lain, dan pembatasan hubungan mereka satu sama lain menentukan pembatasan hubungan mereka dengan alam. Revolusi ekologis berarti memutus lingkaran setan eksploitasi manusia sekaligus atas alam.” (hal. 169-170)


Di titik inilah, cita-cita ekologis harus berpaut dengan cita-cita sosialisme dalam menentang kehancuran lingkungan dan menentang kapitalisme! Hal ini bukan lagi utopis. Sebab, setiap makhluk hidup adalah ingin bertahan hidup dan, saat ini, dunia bergantung pada kelas pekerja yang secara material bekerja menghasilkan barang-barang kebutuhan hidup. 


 Baca tulisan saya yang lain: Memahami Konflik Dalam Membaca Buku


Secara keseluruhan, buku ini merupakan buku yang sangat persuasif. Foster, sebagai seorang professor di bidang sosiologi, bersama Magdoff, yang merupakan professor ilmu tanah, tumbuhan, dan pangan mampu menyatukan unsur sosialisme dan ekologis dengan sangat baik. Dengan menyatukan dua unsur tersebut, Foster dan Magdoff coba mengkritisi raksasa bernama kapitalisme. Bagi sebagian pembaca, Lingkungan Hidup dan Kapitalisme merupakan buku yang kurang objektif karena hanya berlandaskan argumen-argumen eko-sosialis. Namun bagi sebagian lainnya, buku ini dapat menjadi sebuah pengantar yang baik untuk menjawab pertanyaan yang sampai saat ini masih belum terjawab: lingkungan hidup atau kapitalisme?


Data Buku

Judul              : Lingkungan Hidup dan Kapitalisme
Judul asli       : What Every Environmentalist Needs to Know About Capitalism and the Environment
Penulis           : Fredd Magdoff & John Bellamy Foster
Penerjemah   : Pius Ginting
Penerbit         : Marjin Kiri
Tahun             : 2018

Rujukan esai:

1.https://transisi(dot)org/revolusi-ekologis-menyelamatkan-bumi-dari-kehancuran-akibat-kapitalisme/

2.https://medium(dot)com/@Aryawan_G/lingkungan-hidup-dan-kapitalisme-sebuah-pengantar-cab71cca9f0e

 

Terimakasih

Malang, 3 Desember 2020

Ali Ahsan Al Haris

 

Wednesday, December 2, 2020

Resensi Buku Sepotong Dunia Emha

  

Saya pernah menulis, salah satu metode paling tepat untuk memahami karya seseorang adalah dengan membaca buku yang membahas tentang tokoh tersebut namun ditulis oleh orang lain. Entahlah, kurang lebih bahasanya seperti itu, bingung saya menuliskanya bagaimana. Hahaha. Cara ini saya dapatkan tahun 2012 saat banyak membaca buku yang membahas peristiwa 65. Banyak penulis yang menyudutkan Pak Harto yang salah, Sokarno salah, TNI AD dan PKI saling kerjasama untuk menjatuhkan Soerkarno dll. Nah, cara paling tepat untuk mencari mana sumber yang paling logis adalah dengan banyak membaca buku dari pelbagai penulis dengan tema yang sejenis.


Berbicara karya-karya Emha Ainun Nadjib (Mbah Nun), saya masih menerapkan metode di atas. Selain karena memang sudah terbius dengan esai-esai beliau yang menggelitik dan mencerahkan, banyak informasi yang saya dapatkan dari orang lain jika membahas tentang beliau, dan hal tersebut jarang saya dapatkan dari buku yang ditulis oleh Mbah Nun pun artikel-artikel yang berseliweran di jagat maya. Salah satu metode penelitian dalam Tesis kang Latief adalah wawancara, pertanyaan yang menjadi garis besar dalam wawancara: Pertama, Sejauh mana narasumber mengenal Mbah Nun, dan Kedua. Penilaian narasumber terhadap karya-karya sastra Mbah Nun.


Baca tulisan saya yang lain: Apa Itu Maiyah? 


Tesis yang dibukukan ini menggunakan teori Sosiologi Pierre Bourdieu yang dibantu dengan data-data sosiologi Mbah Nun dalam kiprahnya di arena sastra nasional dan sosial. Meskipun saya tidak pernah mendalami disiplin ilmu sosiologi, setidaknya ini menjadi pengetahuan baru. Tentu, jangan berekspetasi berlebih jika review buku ini bagus. Jare wong jowo, ojok ndakik-ndakik.


Kang Latief dalam menyusun Tesisnya mengumpulkan sumber penelitian terdahulu berupa makalah, buku, jurnal dll. Dari karya sastra yang dipilih oleh Kang Latief sebagai sumber rujukan penelitiannya sebagai sampel adalah kumpulan puisi Syair Lautan Jilbab, Sesobek Buku Harian Indonesia, dan Cahaya Maha Cahaya, novel-esai Gerakan Punakawan atawa Arus Bawah, Kumpulan esai Terus Mencoba Budaya Tanding dan Slilit Sang Kiai. Menurut Kang Latief, karya tersebut dipilih karena memiliki pengaruh bagi Mbah Nun dalam pergulatan beliau di arena sastra dan arena sosial.


Baca tuisan saya yang lain: Hidup Harus Pintar Ngegas Ngerem 


Untuk melengkapi data tersebut, dilakukan wawancara kepada beberapa orang yang memiliki hubungan dekat dengan Mbah Nun. Iman Budhi Santosa dipilih mengingat kedekatannya dengan Persada Studi Klub (PSK) dan Umbu Landu Paranggi yang didaku Mbah Nun sebagai guru beliau serta peranannya dalam arena sastra Yogyakarta. Mustofa W Hasyim dipilih karena kedekatannya dengan Mbah Nun baik di arena sastra, jurnalis, dan dalam acara pengajian yang digelar oleh Mbah Nun. Sedangkan Jabrohim dipiih karena mengingat perannya dalam penerbitan beberapa awal karya Mbah Nun.


Baca tulisan saya yang lain: Maiyah Adalah Sebuah Pohon Besar


Mbah Nun yang berdomisili di Yogya membuat salah satu daerah istimewa di Indonesia ini citranya makin menguat sebagai kota budaya. Hal ini senada yang masa itu hangat perdebatan bahwa Jakarta di daku sebagai pusat kesusastraan di Indonesia. Hal ini yang coba dibantah para seniman di Yogya, “Jakarta hanya pusat pemerintahan, bukan pusat kesusastraan”, mengapa kanon tersebut melekat ke Jakarta? Adanya Taman Ismail Marzuki (TMI), media masa macam Tempo, Kompas, DeTik dan Majalah Horison yang mendaku sebagai media masa dan majalah sastra nasional.


Selain secara historis, Yogyakarta juga dianggap juga sebagai “pusat” kebudayaan Jawa. Dalam sudut pandang kebudayaan tersebut, dapat dilhat pula bahwa “daerah istimewa” ini merupakan tempat yang kaya akan budaya. Posisinya sebagai pertemuan berbagai suku bangsa dengan berbagai ragam kebudayaan membuat Yogyakarta senantiasa diwarnai dengan arus sosiologi dan politis yang kuat.


Bagi yang pernah berdomisili di Yogya, entah bekerja atau kuliah tentu mengenal betul di sana kandangya para seniman, penulis, penerbitan dan buku. Pengarang sebagai pencipta satra, penerbit sebagai penyebar sastra, dan pembaca sebagai penganggapnya, merupakan faktor-faktor penting dalam mengambangkan sastra di Yogyakarta.



Namun, seorang Emha tidak terbentuk begitu saja selama berkarya di Yogya. Sebagai orang yang lahir di Jombang dengan budaya ludruk dan madrasah menjadi bekal karakter kuat seorang Emha. Pindah ke Yogya sejak beliau SMP, kemudian melanjutkan SMA dan Kuliah di UGM (tidak tuntas) karena memilih menggelandang di Malioboro sampai semesta mempertemukannya dengan maha guru, Umbu Landu Paranggi. Proses selama di PSK dan Yogya inilah yang kemudian menjadikan sosok Mbah Nun dan Yogya memiliki sumbangsih besar dalam jagad kesusastraan di Indonesia.


Dari segala pergulatannya tersebut, Mbah Nun memperoleh modal simbolis, modal kultural, modal sosial dan modal ekonomi. Dari karya-karya sasra yang diproduksi Mbah Nun itulah yang menjadikan dirinya menempati posisi dalam arena sastra dan sosial nasional.


Baca tulisan saya yang lain: Apa Ada Yang Salah Dengan Cara Saya Membaca Buku?


Sayangnya, dengan modal besar dan karisma yang dimilikinya, Emha belum kunjung mampu membagikan modal-modalnya. Hal ini dapat dilihat dari pergulatan yang dilakukannya, yang lebih mengutamakan produksi dan reproduksi karya-karyanya daripada pembinaan seperti halnya yang dilakukan Umbu dan beberapa rekannya dalam PSK. Dengan banyaknya modal yang dimiliki, Emha tidak memiliki murid, sebagaimana Umbu dengan modal yang dimilikinya berhasil menghimpun sejumlah murid di Yogyakarta dan Bali. Modal yang dimiliki Emha tidak dibagikan maupun diwariskan kepada orang lain di sekelilingnya. Akumulasi modalnya digunakan untuk mengokohkan ketokohannya sendiri dalam sejumlah arena. (Hal, 121).


Bagi para Jamaah Maiyah (JM), kutipan tulisan di atas tentu sedikit mencengangkan dan membuat kita geram. Namun, bagiku ini sungguh menarik. Kang Latief membuat paradigma baru dan membuat pembaca bukunya mengkerutkan dahi sembari berfikir.


Menanggapi hal tersebut, saya berpendapat jika Mbah Nun memang mendaku dirinya bukan sebagai Guru, Panutan, Mursyid, Kiai atau sosok yang harus dipanuti laku dan tutur katanya. Dan bagi para JM, hal ini sudah sering kita dengar di acara-acara Sinau Bareng yang dihadiri Mbah Nun. Dalam beda kesempatan, Mbah Nun pernah berujar dalam acara Sinau Bareng CNKK (Saya lupa lokasinya di mana) bahwa Maiyah yang ada sekarang bukanlah buatan beliau. Maiyah ada atas pemberian Allah SWT, hal ini diperkuat dengan banyaknya ribuan jamaah yang rutin hadir di pelbagai kota saat acara Sinau Bareng di adakan.


Namun, jika teman-teman sudah menonton video di Youtube pada chanel caknun.com episode “Berubah atau Punah |Seri Aplikasi Symbolic.ID| Ep. 1”, Mbah Nun berkata ke Mas Sabrang jika Maiyah membutuhkannya. Konotasi ini jika ditarik pada konteks apakah Mbah Nun tidak memiliki murida atau mengharapkan penerus beliau, terbantah.


Sungguh manarik, agar menjadi sebuah pemahaman yang bulat. Saya harap pembaca mau untuk membaca bukunya secara langsung. Bingung mau beli di mana? Silahkan cek Instagram “Pedagang Kampung” dan nikmati diskon dan bonus yang menarik.

 

Terimakasih

Malang, 2 Desember 2020

Ali Ahsan Al Haris