Wednesday, October 7, 2020

Resensi Kumpulan Cerpen Penembak Misterius Seno Gumira Ajidarma

Penembak Misterius

 


Siapa yang tak kenal Seno Gumira Ajidarma, seorang akademisi dan penulis yang tulisannya sudah semerbak dimana-mana. Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang bernama lengkap dan bergelar Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn., M.Hum ini dikenal luas sebagai seorang cerpenis, esais, wartawan, dan pekerja teater. Nama samaran yang dimilikinya Mira Sato, digunakan untuk menulis puisi sampai tahun 1981. “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara” adalah take line ciptaan Pak Seno yang sering kita dengar dalam dunia jurnalisme dan kepenulisan. Ketika sistem politik yang represif ingin menghilangkan isu petrus dari wacana publik, cerpen-cerpen Pak Seno ini punya daya gugat yang kuat untuk mengkritisi militerisme Orba.


Kumcer Penembak Misterius ini sudah beberapa kali cetak ulang di pelbagai penerbit. Bagi pembaca yang sudah pernah membaca kumcer ini di beda penerbit, sharing yuk. Hehe


Kumcer Penembak Misterius terbagi menjadi Trilogi Cerita Pendek. Yakni (a) Keroncong Pembunuhan, (b) Bunyi Hujan di Atas Genting, dan terkahir (c) Grhhh!. Buku kumcer ini juga terbagi lagi dalam Trilogi kumcer (saya menyebutnya seperti itu, hehe). Apa saja itu? (a) Penembak Misterius terdiri dari tiga cerpen, (b) Cerita Untuk Alina terdiri dari tujuh cerpen, dan (c) Bayi Siapa Menangis di Semak-Semak? terdiri dari lima cerpen. Jadi, keseluruhan cerpen yang ada pada buku ini ada lima belas dan dipilihnya Trilogi Penembak Misterius menjadi judul kumcer ini. Menariknya lagi dari buku terbitan Pabrik Tulisan ini juga menceritakan catatan penulis yang khusus membahas cerita di balik pengerjaan sampul dari pertama kalinya terbit sampai dengan sampul dari buku yang kali ini saya baca.


Baca tulisan saya yang lain: Mengkritik Kartu Pra Kerja, Tapi Diam-Diam Ikut Mendaftar


Sastra memang tidak bisa menjawab semua persoalan dalam hidup. Tapi, sastra punya peran lain yang tidak kalah penting, yakni membuat kita mempertanyakan hal hal yang layak dipertanyakan tapi sering kita terlupa. Dengan kata lain, membaca sastra memunculkan sejenis kegelisahan positif. Dari kwgelisahan inilah diharapkan dapat mendorong manusia untuk mencari jalan keluar kreatif untuk mengatasi permasalahan yang ada.


Ditulis tahun 1980an, cerpen cerpen di buku ini beneran menggambarkan Indonesia di era orde baru dengan segala romansanya. Paling kentara adalah soal Petrus yang marak di awal tahun 80an. Saya memang belum lahir saat itu tapi dari bertanya kepada teman yang sudah jadi anak kecil di era itu, memang sering ditemukan mayat mayat begal yg dibunuh secara misterius . Bahkan ada tetangganya yang malam harinya diciduk dan paginya udah mengambang di sungai. Konon, ini ulah penembak misterius yang bertujuan untuk mengurangi angka kriminalitas di perkotaan waktu itu.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Mengapa Kita Harus Berfikir Secara Logis?


Secara tujuan memang baik, yakni memberantas kejahatan. Tetapi apakah caranya tepat? SGA mempertanyakan apa kuasa yg dimiliki manusia sampai dia berhak menentukan hidup dan matinya seseorang. Juga, bagaimana dengan nurani si eksekutor yang harus melakukan eksekusi di lapangqn, sementara pembunuh yg sebenarnya adalah di jajaran tertinggi.


Sastra selalu membuat kita bertanya sudah manusiakah kita? Karena kadang demi tujuan yang baik pun manusia dipaksa tidak menjadi manusia. Kadang juga, manusia terlalu sibuk menepi sampai lupa kalau dirinya juga manusia. Cerpen terakhir di buku ini mengingatkan kita bahwa sering kali kita malah terlalu sibuk mengomentari sehingga lupa beraksi.


Pada bab keroncong pembunuhan, setting cerita ada pada pelaku tukang tembak misterius yang dibayar oleh seorang yang tak dikenal untuk menembak seseorang ditengah jalannya pesta. Meski dibayar, pelaku masih bertanya-tanya alasan terbesar ia harus membunuh seseorang. Prosesnya tidak sesingkat apa yang kita bayangkan, seperti telah ditemukannya sasaran tembak kemudian "dorr" mati. Lewat headphone yang ia gunakan untuk berkomunikasi dengan perempuan yang memerintahkannya, diam-diam ia mengetahui jika pesuruh juga hadir di tengah-tengah pesta, bahkan berdekatan dengan calon korban.


Bunyi Hujan di Atas Genting

Pada bab ini, cerita berfokus pada Sawitri dan Alina. Kepingan awal cerita di bab awal tidak dibahas sama sekali. Mungkin ini beda alur, batinku saat membacanya. Namun, halaman demi halaman saya baca, saya mulai menemukan inti dari apa yang Pak Seno sampaikan pada cerita Sawitri yang berlaku sebagai juru cerita ke Alina tentang fenomena kematian para lelaki bertato di ujung gang rumahnya selepas hujan reda. Dari pelbagai mayat yang ada, Sawitri selalu menunggu dengan was-was dan senang. Takut karena jika pria bertato yang meninggal adalah kekasihnya sendiri. Dari mana ia tahu? Dari tato berbentuk love di dada Pamuji.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Maiyah Adalah Sebuah Pohon Besar


Grhhh!
Tokoh utama pada cerpen ini adalah reserse Sarman. Kesehariannya selain bertugas dan nyangkruk di warkop Mak Markonah, ia dan polisi lain sibuk membunuh, atau tepatnya merudal para mayat hidup yang disebutnya zombie.  


Cerita ini tentu berbeda sekali dengan kedua cerpen di atas, toh dalam dunia nyata tidak mungkin ada yang namanya mayat hidup. Kalau saya bilang, cerpen ini beraliran realis. Tapi jika disebut realis, harusnya reserse Sarman dan kawan-kawan polisinya tak perlu takut dengan keberadaan para zombie.


Karena cerpen ini menjadi trilogi dalam novel Trilogi Penembak Misterius, tentu ada hubungannya dengan Petrus itu sendiri. Terlebih sangat jelas dalam penghujung cerpen bahwa para zombie adalah gerombolan korban pembantaian yang tak bersalah. Mereka menuntut dendam kepada para polisi, terutama Sarman yang tak tahu menahu apa alasan mereka dibantai.


Sarman
Ini tentang Alina yang menyuruh si juru cerita untuk bercerita tentang tema kejenuhan. Di pilihlah cerita tentang karyawan sebuah perusahaan bernama, Sarman. Karyawan yang sudah mengabdikan dirinya selama sepuluh tahun bekerja dengan totalitas dan penuh dedikasi ini pada suatu sore tiba-tiba menjadi gila. Ia memaki-maki amplop gaji yang ia terima, tidak hanya itu. Ia menendang apa saja yang berada dihadapannya, ia melompat dari meja satu ke meja yang lain sembari menghambur kan gaji yang ia terima. Teman-teman karyawan yang berada satu ruangan dengan Sarman tampak kaget. Kaget karena melihat tingkat Sarman yang ganjil, sedikit takut tapi senang karena Sarman menghambur-hambur kan uangnya. Mereka berebut, ruangan menjadi porak-poranda, kertas dan gelas menjadi korban.


Tentu bagi yang sudah membaca cerpen ini banyak memiliki tafsir atas cerpen ini. Saya sendiri menilai jika Pak Seno mengkritik para karyawan yang diperbudak gaji. Rutinitas yang dijalani setiap harinya, delapan jam kerja dan tugas tambahan lainnya idealnya bukan melulu berbicara gaji. Didalamnya ada proses, ada humanisme dan spiritualitas. Kurang lebih begitu, Hehe.


Becak Terakhir di Dunia (atawa Rambo)

Cerpen ini ditulis pada februari 1986. Saya belum sempat melacak apa waktu itu sedang gencar peremajaan transportasi massal atau tidak. Masih pada bagian cerita untuk Alina. Kini ia meminta ke juru cerita untuk menceritakan tentang kepunahan. Si juru cerita bercerita tentang sebuah kafilah beratus-ratus truk mengangkut becak yang hendak dibuang ke tengah laut. Saya mengira Pak Seno mengkritik Pemerintah yang hendak membasmi becak-becak dan diganti dengan Bajaj. Kritik pada cerpen sangat jelas, Pemerintah hanya fokus pada cara menghilangkan becak dari jalanan, mereka lupa bahwa pengayuh becak butuh pekerjaan baru, jika janji Pemerintah akan mengganti becak mereka dengan bajaj. Apa pemerintah cukup bajaj?


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Surat Untuk Ayah


Puncak satire pada cerpen yang Pak Seno tulis saat Rambo si pemilik becak terakhir berhenti di gubuk tua milik penumpangnya yang belakangan diketahui seorang pelacur. Dengan santai si pelacur berkata ke Rambo


"Aku pelacur, kami biasa digaruk. Nasib kita sama-sama tergusur". Rambo menimpali "Tapi pelacur tak akan pernah habis digaruk, lain dengan becak. Becakku adalah becak terakhir di dunia. Tak akan pernah ada pelacur terakhir di dunia. Kamu lebih untung ..." Hal 53


Tragedi Asih Istrinya Sukab

Seperti halnya menyelami sejarah, cerpen Pak Seno ditulis atas respon beliau terhadap kondisi sosial politik dan budaya pada masa itu, khususnya cerita tentang Asih istri dari Pak Sukan. Bagiku ini sangat menarik, cerpen Pak Seno adalah realita bagaimana seorang manusia yang tertatih tatih dalam menyambung hidup. Bekerja siang dan malam demi menafkahi keluarga, menjaga wibawa dan tentunya rasa hormat di masyarakat.

 

Terimakasih

Malang, 6 Oktober 2020

Ali Ahsan Al Haris


 

Tuesday, September 29, 2020

Resensi Buku Psikologi Suryomentaraman

Psikologi Suryomentaraman

 

A.      Ilmu Nyata dan Ilmu Keyakinan

Ki Ageng memulai bab Ilmu (Kawruh) dengan sebuah pembedaan tegas definisi dari Ilmu yang menurut beliau adalah "Sistematika penalaran yang mengarahkan orang untuk memilah-milah persoalan ke dalam kategori-kategori benar, sehingga melahirkan kejernihan berpikir dan keteraturan tindakan".

Dengan berpikir secara benar, tindakan kita selamat. Berpikir salah, tindakan kita akan masuk kategori yang salah.

Cara berpikir benar akan melahirkan tindakan yang benar. Cara berpikir yang salah akan melahirkan tindakan yang salah pula. Sederhananya, Ilmu adalah cara seseorang untuk mencapai level berpikir dan bertindak benar sehingga dapat mengantarkannya pada kebahagiaan.

Ilmu secara objek dibagi menjadi dua.

1.       Barang Asal: Sebuah keharusan, tidak kasat mata, tanpa cacah, tetap, tidak terikat ruang dan waktu.

2.       Barang Jadi: Keberadaanya ditentukan barang asal sehingga dapat diketahui cacahnya, tidak tetap dan terikat dengan ruang dan waktu.

Karena ilmu sebagai objek, maka perlu sebuah subjek untuk mengetahui, dan manusia adalah satu-satunya mahluk yang sanggup karena memilik akal. Namun lantas tidak semua pengethauan yang lahir dari fikiran manusia berarti benar. Karena seringkali orang meyakini kebenaran pengetahuan dari pikiran orang yang “Merasa Tahu”.

Dari hal tersebut, maka sumber pengetahuan dibagi menjadi dua.

1.       Tahu Sendiri: Dapat merasakan,mengerti dan melihat secara langsung

2.       Mengira Tahu: Tidak merasakan langsung, tidak mengerrti dan melihat secara langsung

Jika dibuat sebuah alur, kurang lebih seperti ini.

Tahu Sendiri > Ilmu Nyata/Rasional > Terus mencari sebab akibat & dapat diverifikasi.

Mengira Tahu > Ilmu Keyakinan/Irasional > Cukup diyakini tanpa perlu dimengerti, sumbernya kata orang, dugaan dan pantas-pantasnya.

Hasil dari ilmu nyata membuat kepercayaan seseorang tetap, jika dipercaya tak bertambah, jika disangkal tak berkurang. Sedangkan ilmu keyakinan bersifat tidak tetap. Jika dipercaya bertambah, jika disangkal akan berkurang. Dalam hal bersosial dan bermasyarakat, ilmu nyata dapat membuat sebuah komunitas rekat karena sifatnya ilmunya yang pakem. Berbeda dengan ilmu keyakinan yang cenderung berubah-berubah tergantung banyaknya orang percaya dan menyangkalnya.

B.      Dari Kramadangsa Menjadi Manusia Tanpa Ciri

Pokok dari ajaran kawruh jiwa adalah tentang “Yang Tahu” dan “Yang Diketahui”. Ajaran ini berlaku ke semua hal (Rasional dan Irasional). Pada bab ini, kramadangsa mengajarkan bagaimana mengetahui diri sendiri, karena mempelajari diri sendiri berbeda caranya karena tidak seluruhnya memerlukan kapasitas analitis, melainkan juga reflektif. Terlebih dalam mempelajari diri sendiri karena hal ini berhubungan dengan kejiwaan.

“Yang Tahu” dan “Yang Diketahui” menjadi sangat penting karena bukan membahas “aku yang sedang melijat benda di sekelilingku” melainkan “aku yang sedang mengamati rasaku sendiri”.

SI JURU CATAT


Setiap manusia tidak pernah berhenti dalam mencatat kebiasaanya dalam mencatat, dalamhal ini menyimpan apa yang pernah ia alami melalui indera penglihatan, peraba, pencium, pengecap dan pendengaran. Proses pencatatan itu pada mulanya bersifat netral sebelum melahirkan kramadangsa atau rasa sebagai “aku” yang senantiasa ingin meyenangkan diri sendiri dan mengabaikan kesenangan atau perasaan orang lain.

Dari watak kramadangsa itu tadi, kemudian dikategorikan tiga kelompok besar yang mempengaruhi kehidupan manusia, yaitu: Semat (Jabatan), Drajat (Kehormatan) dan Kramat (Kekuasaan). Dari sini coba saya simpulkan kegunaan dari kramadangsa adalah untuk pelayanan atau arsip dari catatan-catatan selama seorang manusia hidup yang kemudian berpengaruh terhadap laku spiritual.

Perlu saya jelaskan terlebih dahulu latar belakang dari kramadangsa sehingga sangat penting untuk kita ketahui. Kramadangsa baru muncul saat manusia memasuki umur 2-3 tahun, pada umur tersebut seorang anak sudah dapat mengetahui, mencatat dan mengenali benda-benda yang ada disekitarnya termasuk merespon lingkungan dengan perasaanya meski sebatas senang dan tidak meski anak tersebut belum dapat mengenali siapa dirinya. Baru saat si anak bertambah umur, catatan-catatan selama ia hidup akan mengantarkannya pada keinginan.

Jenis catatan kramadangsa menurut Ki Ageng Pronowidigdo, seorang parawai Kawruh Jiwa paling orotitatif dan pengikut Ki Ageng Suryomentaraman, kramadangsa dibagi menjadi 11 kelompok catatan.

1.       Kelompok Catatan Harta Benda: segala jenis barang kepemilikan seperti harta, tanah, hewan peliharaan, perhiasan, buku dll. Tanggapan kramadanagsa mengenal hal ini, jika hartaku berkurang aku susaj, jika hartaku bertambah maka aku senang.

2.       Kelompok catatan kehormatan: tersusun dari cara orang dalam menunjukan penghormatan seperti mencium tangan, membungkukan badan, meyanjung dan memuji. Tanggapan kramadangsa dalam hal ini. Jika dihormati aku senang, jika disepelekan aku susah.

3.       Kelompok catatan kekuasaan: meliputi hal yang berkaitan dengan batas-batas kekuasaan, seperti ruang kerja, pagar rumah, tanah milik, dan lain-lain. Kramadangsa akan menanggapi catatan ini sebagai kewenanganku; jika dilanggar aku marah, jika dipuji aku senang. Setiap gangguan yang terjadi di anggap sebagai gangguan terhadap kekuasaanku.

4.       Kelompok catatan keluarga: catatan ini terdiri dari semua orang yang menjadi bagian dari keluarga, anak, istri, ayah, ibu, adik, paman dll. Kramadangsa dalam hal ini memberi tanggapan hanya dengan rasa senang dan susah. Jika orang lain mengganggu keluarku aku susah, dan jika mereka membantu keluargaku aku akan senang.

5.       Kelompok catatan golongan: orang yang masuk kelompok catatan ini terbagi menjadi dua, sengaja dan tidak sengaja. Contohnya seperti ini. Haris adalah seorang pengangguran, ia masuk partai politik karena ia menilai parta tersebut memperjuangakan golonganya sesame penganggur agar mendapatkan pekerjaan. Di sisi lain, Haris juga seorang yang melarat. Namun karena ia tidak memiliki apa-apa dan orang lain memang menyebutnya demikian makai a tak dapat menolak. Cara menanggapi kelompok catatan ini pun sama. Jika golonganku dibantu aku senang, jika dirugikan aku akan marah.

6.       Kelompok catatan bangsa. Pada umumnya seseorang tidak dapat memilih menjadi bagian bangsa mana. Hal ini terjadi karena ia dilahirkan oleh orangtuanya yang tinggal di Indonesia. Ada juga seseorang yang dengan sendirinya memilih kebangsaanya sendiri. Seperti seorang anak yang lahir dari kedua orangtua yang berbeda kebangsaan. Maka saat ia dewasa bebas memilih mau mengikuti kebangsaan ayah atau ibunya. Tanggapan dalam kelompok catatan bangsa pun sama. Jika bangsaku diganggu aku marah, jika dipuji aku senang.

7.       Kelompok catatan jenis. Kelompok catatan ini berisi rasa sebagai sesame manusia. Contohnya saat kita di tengah hutan dan melihat ada manusia yang sedang diterkan harimau. Sebagai manusia kita tergerak untuk menolongnya. Namun jika kita melihat ada harimau atau hewan lain saling terkam dan membunuh kita akan membiarkannya karena hewan tersebut bukan golongan kita.

8.       Kelompk catatan kepandaian: yang termasuk kelompok ini meliputi berbagai keahlian seperti mengukuir, menulis, membatik, membuat video, menenun, menari dll. Sifat kramadangsa dalam menanggapi hal ini pun sama. Jika ada orang yang mencela keahlianku maka aku marah, dan jika dipuji aku senang.

9.       Kelonpok catatan kebatinan. Kawruh jiwa yang kelahiranya sebagai kritik atas tendensi-tendesi irasional dan klenik pada waktu itu, sering disalahpahami sebagai aliran kebatinan. Dalam hal ini kramadangsa tanggapanya pun sama. Jika seseorang mencela aliran kebatinanku maka aku marah dan sebaliknya.

10.   Kelompok catatan pengetahuan. Saya merasa hampir ada kemiripan kelompok catatan kepandaian dengan pengetahuan di mana lebih menitikberatkan kepada sebuah karya semacam lukisan, tulisan, membuat kursi, membuat meja dll. Tanggapan kramadangsa terhadap kelompok catatan ini pun sama. Jika ada orang yang mencela ciptaanku aku akan marah, dan jika ada orang yang memuji hasil ciptakaanku makan aku akan sangat senang.

11.   Kelompok catatan rasa hidup. Kelompok catatan ini berisi jenis-jenis pengalaman yang dilahirkan oleh rasa hidup yang berasal dari energi yang terdapat dari dalam manusia untuk melestarikan jenisnya, misalnya memenuhi kebutuhan pangan, papan, sandang dan seksual. Ambil contoh makan yang fungsi aslinya lebih kepada penahan rasa lapar. Hal ini kemudian bergeser seiring catatan-catatannya yang semakin berkeinginan yang lain. Makanan yang semula kebutuhan ragawi bergeser ke sarana pemuas keinginan, membedakan makanan mahal dan miskin, enak dan tidak, mahal, murah dan sebagainya.

Si Tukang Menanggapi

Ki Ageng mengajarkan kepada kita untuk meneliti apa yang kita rasakam saat menanggapi orang lain. Dalam menilai seseorang, kita sering menaggapi dengan “Suka” dan “Tidak Suka”, tanggapan ini di dorong dari catatan-catatan dan pengalaman hidup seperti yang dibahas di atas tadi.

 

BAB 4

Pada bab ini, Ki Ageng menekankan kita untuk mengenali diri sendiri, hal ini teramat penting karena kita sering terjebak dalam istilah yang disebut Ki Ageng dengan “Gagagasan” dan “Potret”. Gagasan dalam hal ini diartikan sebagai “Apa yang kita fikirkan”, sedangkan Potret “Apa yang kita alami”. Ilmu mawas diri atau olah rasa berfungsi sebagai sarana latihan memilah-milah rasa sendiri dan orang lain sebagai manifestasi tercapaianya manusia tanpa ciri.

Karena ilmu olah rasa berhubungan dengan penilaian kita ke orang lain. Manfaat dari menguasai ilmu olah rasa akan menghindarkan kita dari perselisihan dalam pergaulan karena masing-masing dari kita menganggap gagasan kita adalah potret. Hal ini terjadi karena kita sendiri atau orang lain bertindak sebagai orang yang mengira-ngira dan mendaku sebagai pengagas. Selain itu, ilmu olah rasa/mawas diri dapat dipergunakan untuk menghikmahi hidup yang kadang kita rasakan susah dan senang. Padahal dua hal tersebut bersifat abadi. Kita tidak dapat memilih untuk selalu hidup dalam kenyamanan dan ketenangan, ilmu olah rasa mengajarkan kepada kita bahwa susah dan senang itu abadi, hanya siklusnya yang berbeda.

 

BAB 5

Ki Ageng menekakankan pada pembedahan apa yang kita rasakan itu murni muncul dari dalam sendiri atau ketidakpuasan kita terhadap lingkungan kita. Seperti halnya hidup dalam bermasyarakat, idellnya adalah kita hidup lebih mementingkan masyarakat di atas kepentingan pribadi, hal ini tentu dapat tercapai jikalau negara menjamin hak hidup warganya dengan menjamin lapangan pekerjaan, keamanan warga dan sejahtera sehingga nanti otomatis masyarakat akan dengan sendirinya memenuhi apa yang mejadi kebutuhan negara.

Jika penasaran dengan isi bukunya, silahkan baca lebih lanjut. Ada dua buku yang saya rekomendasikan: Buku pertama adalah yang saya baca ini, kedua adalah buku berjudul "Kawruh Jiwa - Warisan Spiritual Ki Ageng Suryomentaraman Oleh Muhaji Fikriono terbitan Yayasan Obor Indonesia".


Terimakasih

Malang, 29 September 2020

Ali Ahsan Al Haris

 

Resensi Kumpulan Cerpen Panggilan Rasul Karya Hamsad Rangkuti

Panggilan Rasul Karya Hamsad Rangkuti

 

Bagi para penggemar cerpen, tentunya sudah tidak asing dengan nama Hamsad Rangkuti. Berdiri sebagai satu di antara sekian cerpenis-cerpenis besar di Indonesia yang telah melahirkan karya-karya yang juga besar. Karya-karya yang ketika dibaca sepuluh atau dua puluh tahun mendatangpun, akan tetap terasa baru dan segar.



Kali ini, Hamsad kembali hadir melepas dahaga jiwa-jiwa yang haus akan karya sastra. Panggilan Rassul, memuat 14 buah cerpen yang mengusung tema religius. Latarnya pun tidak jauh dari Bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Akan tetapi, seperti pada karya-karya Hamsad sebelumnya; cerita-cerita dalam buku ini masih kental akan penjelajahannya pada kehidupan masyarakat menengah ke bawah. Kehidupan yang sering kita lupakan, karena terlalu sibuk berkenalan dengan diri sendiri juga dengan gempuran teknologi.


Melalui buku ini, Hamsad menyapa sekaligus menegur kita secara halus melalui kisah-kisah lokal bernafas keislaman. Cerita-ceritanya terasa begitu hidup, tidak terlepas dari realitas kehidupan sehari-hari yang sering kita jumpai di sekeliling kita. Hamsad dengan sangat apik mengemas itu semua menjadi cerita yang sangat detail dan sarat makna. Hamsad menulis tentang seorang guru mengaji, tuan tanah, gelandangan, penggembala, bahkan tukang pecel. Gaya penulisan Hamsad yang khas; realistis, deskriptif, kaya detail, dan satire, akan membawa pembaca masuk pusaran kisah yang apik, menarik, sekaligus menggelitik.


Baca tulisan saya yang lain: Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur


Cerpen utama di dalam buku ini, Panggilan Rasul (1962) menceritakan tentang dua orang anak yang meninggal pada saat disunat oleh dukun sunat. Ayahnya adalah seorang tuan tanah yang kikir dan tamak. Ketika akan menyunati anaknya yang ketiga, tuan tanah ini tampaknya merasa sangat khawatir kalau anaknya yang ketiga; Lassudin, akan mengalami nasib yang sama seperti kedua kakaknya. Demi untuk menghindari kejadian itu terulang, si tuan tanah sengaja mendatangkan dokter ahli dari kota. Tetapi ibu Lassudin mengklaim bahwa kedua anaknya yang meninggal merupakan hukuman dari Allah lantaran sifat suaminya yang kikir, tamak, penghisap, dan lintah darat.


Begitulah, Hamsad menggambarkan karakter kehidupan di perkampungan, yang tidak jarang menyangkutkan setiap kejadian, hanya dengan adat kebiasaan; diluar ilmiah. Berbeda dengan masyarakat perkotaan (baca: berpendidikan) yang berpikir logis. Segala sesuatu dikaji menggunakan ilmu, yang karena itu pula, terkadang manusia jadi lupa kepada Tuhan. Ada pula cerita Malam Takbir (1993). Mengisahkan perjumpaan tokoh aku dengan seorang tukang kebun. Seorang tukang kebun miskin yang sedang berbuka puasa, dan nasinya kejatuhan sebuah bola bulu ayam (bulu tangkis) yang sebelumnya telah jatuh ke comberan. Dalam kisah ini, Hamsad berhasil mengiris hati pembaca, kemudian menyampaikan hal yang sangat penting; Bahwa rezeki sering kali datang tanpa disangka-sangka, tanpa diduga-duga arahnya.


Baca tulisan saya yang lain: Resensi Kumcer Corat-Coret di Toilet By Eka Kurniawan


Hamsad, terkenal sangat detail dalam menulis narasi. Ia mampu mendeskripsikan kejadian dan laku setiap tokohnya hingga ke bagian terkecil dengan sangat rapi dan jelas. Misal dalam Santan Durian (1999) “Mula-mula ketan diambil dari piring suguhan, dipindahkan seingin kita ke piring kecil yang dasarnya lebih dalam. Santan durian dituangkan ke atas ketan berikut beberapa butir biji durian beserta dagingnya. Kami lebih suka memakannya dengan cara bersuap, dan duduk di atas tikar pandan di lantai. Kaki kiri kami tekuk sehingga tempurung lutut sama tinggi dengan dagu. Piring kami angkat di tangan kiri yang sikunya kami topangkan di atas lutut. Ujung jari-jamari tangan kanan memisahkan sedikit ketan dari tumpukannya. Pisahkan daging durian dari bijinya yang sudah basah santan itu. Satukan dalam sejumput, sebanyak yang dipungut ujung jari, lalu disuap. Sebagai penutup, bila ada santan tersisa di piring, langsung kami tuangkan ke mulut.”


Hal yang tak kalah menarik lainnya, adalah gaya ironisme dan satire yang sering dimunculkan di sela antara plot utama. Selain itu, ada banyak lelucon segar di tiap titik tertentu, tujuannya adalah agar pembaca tidak terlalu fokus pada hal-hal serius yang kadang bisa membuat lelah dan mengantuk. Hamsad juga betul-betul memperhitungkan minat dan keinginan pembaca, sehingga pembaca dapat mengaminkan dan menerima pesan moral tanpa merasa didikte dan digurui.


Baca tulisan saya yang lain: Apa Itu Maiyah?


Pada cerita Ayahku Seorang Guru Mengaji, misalnya, perkembangan zaman di sini dikemas melalui kisah anak-anak yang mulai malas untuk pergi mengaji usai Magrib. Mereka lebih nyaman duduk di depan televisi. Pun dari perkembangan zaman ini pula, saya melihat perubahan pola hidup masyarakat ditandai dengan kehadiran produk-produk baru yang bisa menggusur usaha kecil. Namun, Hamsad justru kembali menampar kesok-tahu-an saya dengan menjejalkan fakta bahwa manusia mampu beradaptasi selama dia mau bekerja keras dan menggunakan otaknya untuk berpikir tanpa meninggalkan landasan-landasan hidup yang telah menjadi prinsip. Beradaptasi bukan berarti meninggalkan jati diri kita. Beradaptasi bukan berarti menggadaikan prinsip hidup.


Baca tulisan saya yang lain: Resensi Novel "Babad Kopi Parahyangan"


Cerita tentang sebuah keluarga kecil, keluarga sederhana dengan kepala keluarga bernama Achmad yang berprofesi sebagai tukang pembuat kasur dan malamnya menjadi guru mengaji dengan upah yang tak seberapa.


Bagi saya, cerpen ini terbilang keren karena mempertontonkan konfrontasi di dalam keluarga kecil. Konflik pertama ada pada Istri dari Pak Achmad yang selalu menyindir suaminya karena penghasilnya tak dapat mencukupi kebutuhan keluarga, belum lagi saat istrinya memperbandingkan penghasilnya dengan Pak Sanusi si tukang penjual bunga dan penjual jasa membacakan doa di pemakaman. Konflik kedua ada pada anaknya sendiri yang sudah dua kali khatam Al Quran berkat didikannya langsung. Pak Achmad selalu mewanti-wanti agar anaknya selalu ikhlas dalam mengamalkan kemampuannya membaca Al Quran, tapi anaknya selalu mendebat ayahnya saat disuruh membantunya mengajar mengaji anak-anak selepas shalat maghrib.


Konflik pada cerpen ini melebar saat para tetangga Pak Achmad mampu mengaliri rumahnya dengan listrik, membeli televisi dan radio. Berkebalikan dengan rumahnya yang masih menggunakan lampu minyak. Menanggapi apa yang dilakukan Pak Sanusi di pemakaman, saya melihat Pak Hamsad Rangkuti dengan jeli menyelipkan teologi pada cerpennya. Persisnya pada pesan bahwa sebaiknya ilmu mengaji itu disampaikan ke manusia yang masih hidup, bukan hanya terbatas yang sudah meninggal demi mendapatkan imbal jasa dari peziarah. Hal ini menguatkan bahwa bacaan Yasin dan Tahlil di pemakaman bukan hanya tradisi saja, melainkan sebuah tuntunan hidup bagi manusia yang masih hidup untuk bertemu dengan Tuhan-Nya.


Baca tulisan saya yang lain: Resensi Novel Cinta Lama Karya Puthut EA


Memang ada beberapa cerpen yang nendang habis dibandingkan dengan cerpen lainnya. Dari beberapa cerpen yang nendang dan datar tersebut, dapat saya nilai bahwa Pak Hamsad dengan ciamik meramu sebuah cerita dengan aliran humanis, religious dengan sumber sekelilingnya. Pak Hamsad tidak dapat diragukan dalam membuat cerita, dibalik ide kecil (sederhana), bukan tidak mungkin menanamkan nilai yang besar.


Terimakasih

Malang, 29 September 2020

Ali Ahsan Al Haris

Tuesday, September 22, 2020

Hidup Harus Pintar Ngegas Ngerem

 

Hidup Harus Pintar Ngegas Ngerem

 

Gusti Allah Siap Memberi Ampunan

Mbah Nun mengajarkan pada pembaca untuk bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu, apapun itu. Terlebih yang hubungannya menyangkut dengan Allah SWT. Hubungan ini dapat di detilkan, mulai dari pekerjaan, keluarga, bermasyarakat dan bernegara. Apapun yang kita kerjakan hendaknya mempertimbangkan "Apa yang sedang kamu lakukan membuat Allah marah atau tidak". Konsep tersebut dapat ditarik ke dalam pelbagai hal. Contohnya bekerja, seorang suami berkewajiban memberi makan anak istrinya dan mencukupi segala kebutuhan mereka. Hal ini bukan berarti si suami lantas melakukan apa saja demi mendapatkan uang dan mencukupi kebutuhan keluarga, sehingga kalap dan korupsi. Nah, hal-hal tersebut yang Mbah Nun sampaikan agar kita sebagai hamba ber mesra-mesralah dengan Allah. Apapun yang kita lakukan, sekecil apapun itu tetaplah sungguh-sungguh dan ikhlas. Standar yang dipakai buka orang lain kok dapat banyak sedangkan kita tidak. Melainkan kesungguhan hati dan keberkahan apa yang kita dapat.



Mbah Nun mengajak kita tidak gerusa-gerusu dalam menilai sesuatu, bahkan menghakimi sebuah perkara yang kita tidak paham betul permasalahan di dalamnya. Hidup di lereng gunung Merapi akan di anggap sebagai daerah rawan bencana jika dilihat dalam kacamata kepentingan manusia. Tapi jika dilihat dengan sudut pandang yang lebih luas, hidup di lereng gunung berapi adalah berkah yang tiada akhir. Ia mengeluarkan berjuta kubik pasir untuk dimanfaatkan masyarakat, tanahnya subur sehingga dapat tumbuh sayuran yang hijau dan menyehatkan, atau, udaranya yang segar membuat masyarakat di sana tanpa perlu takut mengalami ispa. Tinggal pilih, kita mau memakai sudut pandang yang mana.


PEMAHAMAN MELALUI RASA

Sebelum membaca judul ini, saya berkesempatan menonton vidio Mbah Nun dengan Mas Helmi dan Kang Sabrang di chanel youtube Cak Nun Dot Com dengan judul "Awas Bias Antara Sains Dengan Agama". Mbah Nun bertanya ke Kang Sabrang apa perbedaan antara Ilmu dan Pengetahuan?. Pertanyaan dasar yang sangat menarik. Dalam buku ini kok ya kebetulan dibahas hal ini. Sungguh kenikmatan pengetahuan yang tiada tara. Allhamdulillah.


Baca tulisan saya yang lain: Apa Itu Maiyah?


Tidak semua semua pembelajaran itu bersifat kognitif. Tidak semua pemahaman lewat melalui kata. Pembelajaran dapat kita dapatkan melalui pengalaman, ia akan menjadi file dalam akal kita. Saat awal kita mengalami sebuah permasalahan, banyak kita tak tahu apa yang harus kita lakukan. Namun ia akan membuka dan menjadi petunjuk bagi saat kita mengalami permasalahan serupa pada beda kesempatan. Kita menjadi tahu apa yang harus kita lakukan dengan cara yang tak pernah kita sangka-sangka.


Kita sekolah untuk mencari ilmu atau pengetahuan? Apa bedanya ilmu dengan pengetahuan? Jika ilmu bahasa inggrisnya apa? Science. Lantas pengetahuan bahasa inggrisnya apa? Knowledge. Saat kita sekolah, yang kita cari science atau knowledge? Berapa prosentase science dan knowledge yang kita dapatkan?


Mbah Nun mengibaratkan sebuah Truk, Bak beserta isinya adalah Knowledge. Sedangkan Mesin Truk adalah Science.


Kita sekolah agar mampu untuk hidup. Kemampuan hidup terletak pada mesin kehidupan. Mesinnya ada pada otak dan nurani kita. Agar mesinnya lengkap dan canggih, kita membutuhkan bahan-bahan, pengetahuan-pengetahuan yang dimuat oleh "Bak Truk" tadi.


Kembali lagi. Di indonesia, apakah perbedaan ilmu dan pengetahuan menjadi perhatian khusus? Atau di biarkan begitu saja. Saya jadi bertanya pada diri sendiri, selama sekolah, saya cari ilmu atau pengetahuan, ya? Hahaha


Lantas bagaimana?

Ya kita jangan hanya pintar di sekolah saja. Kita juga harus pintar hidup. Banyak yang pintar sekolahnya tapi tidak pintar dalam hidup. Berdagang tidak bisa, bekerja dengan orang lain tidak amanah. Hidupnya malah menjadi toxic bagi orang lain dan lingkungan.


Perihal kebenaran dalam berpendapat, Mbah Nun menulis untuk jangan sampai bersitegang siapa diantara kita pendapatnya yang paling benar. Apa yang kita ketahui adalah hasil dari kesepakatan manusia, mahluk yang tak luput dari kesalahan. Meski hal yang kita per bincangkan perkara sains sekali pun. Karena soal kebenaran dalam sains, itu hanya kebenaran dalam catatan, bukan kebenaran yang sebenarnya benar. Kebenaran sejati. Karena kebenaran sejati yang muncul dari manusia hanyalah kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.


***
Sepemahaman saya dalam membaca jurnalisme investigasi. Kebenaran dibagi menjadi tiga. 1. Kebenaran menurutmu. 2. Kebenaran menurut saya, dan 3. Kebenaran itu sendiri. Dalam konteks ini yang coba saya elaborasi dengan apa yang Mbah Nun tulis. Perkataan dan tulisan manusia sifatnya hanyalah relatif. Jika semua manusia bersitegang dengan kebenaranya masing-masing, pasti ribut. Kita kudu rendah hati dengan mencari kebenaran banyak orang. Kebenaran kolektif. Sekali lagi, sifatnya relatif. Keputusan kolektif NU tentu berbeda dengan keputusan kolektif dari Muhamadiyah. Juga kelompok-kelompok yang lain.

***


Manusia tempatnya salah. Demi menebus kesalahan, Allah menyuruh kita untuk beribadah. Kita shalat sehari lima kali. Setiap menegakan shalat kita berucap ihdinashshirathal mustaqim? Betulan tidak. Kita memohon agar Allah menunjukan kepada kita jalan yang lurus. Allah tahu bahwa kita ini sebanarnya tidak sesat pun, masih saja sesat. Kalau prinsip hidup kita seperti ini kan enak. Kita jadi gak uring-uringan dan menyalahkan keadaan atau orang lain. Jika kita bertemu orang yang sering menyalahkan orang lain bahkan berani mengkafirkan. Mungkin orang tersebut sudah tidak perlu membaca Ihdinashirathal mustaqim. Apa intinya? Allah menyuruh kita untuk selalu beribadah. Kita tidak perlu menagih ke Allah apa yang kita dapatkan dari beribadah kepadanya setiap hari. Ibadah itu mengabdi. Mengabdi itu melayani. Kodrat manusia hanya pada semoga, maqom kita hanya pada insya Allah saja.


Baca tulisan saya yang lain: RESENSI BUKU KEHIDUPAN LIAR KARYA MICHEL TOURNIER


Menjadikan apa pun yang kita lakukan dengan niat ibadah, dengan niat melayani. Allah akan menjamin hak dan kebutuhan kita tanpa harus memintanya. Allah tidak akan tutup mata pada hambanya yang berlaku seperti ini. Seperti halnya berdagang, fokus kita bukanlah laba. Melainkan melayani konsumen. Peran yang Allah berikan kepada kita. Entah menjadi pimpinan, pedagang, orangtua, seniman kunci utamanya adalah melayani.


Goalnya adalah Allah. Tujuan akhir adalah pertemuan dengan Allah. Niat bekerja bukan mencari uang, karena itu termasuk nafsu, dan nafsu bagian dari diri kita yang dikendalikan oleh naluri. Kita tidak perlu mencitrakan diri. Itu juga bagian dari nafsu. Asal membuat orang aman dan nyaman, otomatis citra kita akan baik. Jangan bermimpi jadi orang besar. Jadilah orang yang bermanfaat, bonusnya kita akan disebut orang besar oleh orang lain. Ingat, niatnya hanya satu. Ibadah.


Mbah Nun juga memberikan idiom bahwa manusia itu tugasnya hanya menanam. Tugas kita hanya terus menerus untuk bersungguh-sungguh dan ikhlas menanam tanpa menagih hasil. Seperti menanam padi. Memang saat kita menanam padi, menyirami dan memupuk nya lantas padi yang kita tanam akan dipanen? Kita hanya menanam dan menyiraminya saja. Keluar buahnya atau tidak, siapa yang menentukan? Allah.


Allah tidak menuntut kita untuk sukses, yang dituntut oleh Allah adalah, kita berjuang tanpa henti sampai titik darah penghabisan. Kita tidak disuruh panen. Kita disuruh menanam. Karena itu, jangan berhenti untuk menanam. Bahkan seandainya besok kiamat, tetaplah menanam. Jangan pernah putus asa, karena memang tujuannya bukan untuk panen.


Hidup Itu Harus Pintar Ngegas Ngerem

Saudara-saudara kita yang berada di luar negeri. Ada yang sedang bekerja dan kuliah. Dalam hidup, ada yang menolong dan ditolong. Yang menjadi pertanyaan, saudara-saudara kita yang bekerja di luar negeri itu menolong atau ditolong Indonesia?


Tentu jawabannya kembali pada niat. Kalau kenyataanya tidak sengaja menolong, nanti pertolongannya malah tidak ikhlas. Tapi jika kenyataanya saudara-saudara kita yang sedang bekerja menolong Indonesia, sangat pantas jika mereka semua mendapatkan penghargaan dari Indonesia dan Allah.


Baca tulisan saya yang lain: RESENSI BUKU LELAKI MALANG, KENAPA LAGI? Hans Fallada


Bisa dikatakan, Indonesia berdosa sama orang-orangnya, ya termasuk yang sedang di luar negeri. Dengan sumberdaya alam yang luar biasa besar, tambang digali di sana sini, hutan ditebangi, tanahnya ditanami sawit, padi, tembakau belum lagi sumberdaya lautnya yang melimpah ruah. Nah, bukankah semua itu harusnya milik orang Indonesia semua?. Pemerintah dan Negara berkewajiban menjamin hak hidup para warga negaranya. Tapi, kenyataanya malah banyak saudara kita yang bekerja ke luar negeri.


Sampai sini, rakyat yang harus berterimakasih ke Indonesia atau sebaliknya?


Dalam essai ini, Mbah Nun mengajak pembaca untuk tidak membenci Indonesia. Apalagi kok sampai hati membenci Pemerintahnya. Mbah Nun memberikan kita wawasan bahwa seperti inilah keadaan Negara kita. Jadikan hal ini sebagai dasar untuk bersyukur kepada Allah.


Berbicara masalah mental. Internet itu bagus untuk membantu komunikasi. Tapi sangat buruk untuk pembangunan mental manusia. Tujuan agama hanya satu; mendidik manusia agar mampu mengendalikan diri. Kita shalat lima waktu agar memiliki ritme untuk mengendalikan diri.


Sedangkan internet memberi peluang kepada untuk melampiaskan diri. Mau bicara apa saja, bohong dan konfrontatif tak jadi soal, apa saja bisa. Kita diajarkan guru dan kyai kita untuk tidak memasuki sistem atau suatu keadaan yang membuat kita melampiaskan diri. Kita diharuskan dekat dengan orang-orang dan lingkungan yang mendukung kita untuk mengendalikan diri. Sementara internet itu melampiaskan. Hidup itu harus pintar ngegas dan ngerem.


Jadi Manusia Dulu Baru Jadi Muslim

Iblis ditaruh dalam hidupmu untuk menjadi katalisator, kalau dalam bahasa kimia. Tugasnya untuk mengurai. Untuk menciptakan pembeda atau furqon, dalam bahasa Al-Quran. Pembeda siapa yang percaya akhirat dan siapa yang tidak. Itu gunanya iblis.


Dari sini kita dapat menilai, aslinya Iblis tidaklah kuasa atas diri kita. Ia hanya diberikan kewenangan oleh Allah untuk menggoda keimanan manusia goyah atau tidak. Iblis tidak berani melawan Allah, lha wong ia diciptakan oleh Allah kok, bahkan dapat dibilang bahwasanya Iblis adalah mahluk Allah yang paling ikhlas karena rela masuk neraka padahal telah melaksanakan tugasnya dengan sangat baik. Yakni membuat keimanan manusia goyah.


Kepemimpinan dan Kasih Sayang

Mbah Nun juga memberikan konsep untuk selalu mengaji dan mengkaji. Mengaji berarti belajar yang muaranya martabat dan kedalaman ilmu. Sedangkan mengkaji berhubungan dengan intelektualitas di mana kita mempelajari fenomena apa yang terjadi dan kita hadapi. Seperti halnya membaca Al-Quran, idealnya 90% mengaji dan 10% nya mengkaji. Jika sedang ngobrol dengan teman, hendaknya saling mengaji satu sama lain, jika yang terjadi saling mengkaji, yang terjadi kita tidak akan sampai paham dengan apa yang kita diskusikan. Makanya kita harus banyak taddabburan. Terlebih megntaddaburi Al-Quran, perbanyak dan akrablah dengan Al-Quran. Kalau tidak bisa membaca bahasa arabnya, berusahalah membaca terjemahannya, maknai setiap kata dan tajwidnya kemudian taddabburi maksut dari ayat tersebut. Tujuan dari mengtaddabburi Al-Quran bukan masalah kita paham atau tidak, melainkan kita mendapatkan manfaat dari Al-Quran atau tidak.


Kita butuh tiga hal dari Allah. Pertama, hidayah. Hidayah itu meliputi apa saja. Berguna untuk bisnismu, karirmu, sekolahmu, dagangmu, apa saja. Kedua, kita butuh rezeki. Ketiga, kita butuh kasih sayang dari Allah.


Kemuliaan dan Kemandirian

Segala hal yang kita lakukan pada dasarnya adalah menanam; menanam yang baik-baik agar Gusti Allah lebih sayang kepada kita. Jangan sampai hal yang kita lakukan membuat Allah marah, jika Allah sampai marah kepada kita. Apapun yang kita punya tidak ada berkahnya lagi karena semua yang kita miliki hanyalah titipan dari Allah.


Baca tulisan saya yang lain: Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur


Jika kita berdagang, apapun yang kita siapkan dari mulai produksi sampai strategi marketing sifatnya hanya menanam. Masalah nanti laku atau tidak itu terserah Allah. Jika kita bekerja untuk orang lain. Atau punya unek-unek ke atasan bahkan negara tapi takut menyampaikannya. Bila kita bertakwa, Allah akan menyampaikan ide kita kepada orang yang kita tuju. Atau kalau tidak, Allah akan meniupkan energi kepada kita agar semakin kuat menjalani pekerjaan kita. Kita harus percaya kepada Allah. Kalau kita sendiri tidak yakin dengan Allah, ya Allah juga tidak akan membantu kita.


Jadilah manusia yang baik, terlebih mulia. Karena mulia dan baik adalah dua hal yang berbeda. Zakat itu wajib, dan itu baik jika melakukan hal tersebut. Akan menjadi mulia jika mengeluarkan infaq dan sedekah. Kita rela mengeluarkan harta di saat kita orang lain membutuhkan. Begitu dengan shalat lima waktu, hal tersebut bersifat wajib dan baik. Menjadi mulia saat kita menambahi shalat sunah.


Baca tulisan saya yang lain: Lelaki Memang Tidak Menangis, Dik. Tapi Hatinya Berdarah


Jangan terlalu memaksa orang untuk menghormatimu. Tapi sibukkan diri kita dengan menghargai orang lain. Baiklah kepada orang lain dan keraslah terhadap dirimu sendiri.



Malang, 22 September 2020

Ali Ahsan Al Haris

 

Thursday, September 17, 2020

Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur


Tuhan, Ijinkan Aku Menjadi Pelacur

 

"kita boleh sama membaca Al-Quran dan sunnah, tapi gambaran di dalam kepala kita bisa jadi berwarna banyak," - Muhidin M Dahlan



Jika pembaca menyangka buku ini adalah kiat-kiat bagaimana menjadi seorang pelacur, anda salah besar. Yah, meski dalam Pengakuan Kesepuluh ada judul “Dosenku, Germoku”. Apa? Iya. Memang benar, tokoh utama menjadi pelacur VVIP berkat jasa dosenya sendiri. Dosen yang tampak berwibawa dan penuh ilmu di tempatnya kuliah.


Ini adalah novel fiksi, beragkat dari korespodensi Mas Muhidin ke seorang perempuan yang menjalani kisah hidup penuh liku. Saya sendiri merasai bahwa ini adalah novel yang dengan tegas menyisipkan pesan feminis, teologis, filsafat, dan psikologi karena membedah persinggungan manusia dengan agama.


Penulis buku ini (Muhidin M Dahlan) tak menduga respon yang begitu besar atas terbitnya buku ini di pelbagai diskusi di beberapa kota seperti Yogyakarta, Malang, Makasar, Palu, Jombang dan Surabaya.


Ada yang mengatakan buku ini menyudutkan gerakan islam tertentu. Ada yang mengatakan penulis adalah Kafir dan mengusung ide-ide kufur yang sangat Marxis dengan derajat kebencian terhadap agama yang luar biasa besarnya. Ada yang juga mempermasalahkan bahwa penulis tidak bertanggung jawab terhadap implikasi sosial sembari mendoakannya masuk neraka. Ada juga yang mengatakan bahwa buku ini telah mencemarkan nama baik Islam karena itu wajib ditarik dari peredaran.


Dipelbagai forum bedah buku, banyak pengulas yang menyatakan bahwa penulis harus bertanggung jawab atas akibat sosial yang ditimbulkan oleh buku ini. Merusak iman remaja yang masih tumbuh-tumbuhnya. Merusak akhlak bangsa, penulisnya harus bertanggung jawab, dan itu harus.


Ada juga seorang Da’I agama terpelajar dan terkemuka menyebut buku ini sebgai buku sampah yang tak layak dibaca. Buku ini dituis dengan kekerasan Bahasa yang luar biasa dan tak punya sopan santun dan Pendidikan. Buku yang ditulis oleh orang yang berpikir atheis dan isinya fitnah belaka.


Sementata ada beberapa pihak yang merasa terfitnah oleh adanya seting tempat dalam buku ini yang menyudutkan instansi tertentu, nama orang tertentu, bahkan menahan seorang Mahasiswi yang “Dicurigai” sebagai tokoh utama dalam novel ini, Nidah Kirani.


Buku ini menggambarkan perjalanan hidup seorang wanita yang tadinya begitu spiritual berubah menjadi pemberontak. Sejumlah pertanyaan yang muncul dalam perjalanan hidup wanita bernama Nidah Kirani ini mewakili mereka yang berpikiran kritis dan logis dalam memilih kepercayaan yang dianut. Kehidupan beragama yang dikisahkan dalam buku ini memang bercerita mengenai satu agama. Namun kejadian yang dialami Kiran sangat mungkin terjadi pada manusia beragama lainnya. Jadi tidak sepatutnya kita mencela satu agama karena apa yang diceritakan buku ini.


Penulisan ceritanya menggunakan banyak kata yang tidak umum namun masih bisa ditafsirkan dengan cepat dari alur ceritanya. Terkadang penggambaran suatu keadaan terlalu melebar padahal tidak begitu penting. Tata bahasa yang bervariasi cukup indah untuk dibaca namun beberapa struktur kalimatnya terasa seperti kurang pas.


Isi ceritanya mengandung makna yang membuat pembaca ikut berpikir tentang konsep ketuhanan. Mempertanyakan segala sesuatu dan berusaha mencari jawabannya menurut saya adalah hal yang sah dilakukan agar bisa menemukan kebenaran. Beberapa orang khawatir kalau buku ini bisa menggoyahkan keimanan. Namun seperti pesan penulis, iman yang kuat adalah iman yang teruji.


"Aku hanya ingin tahu, hanya ingin mengerti barang sedikit, apa maksud Dia menciptakan aku. Salahkah aku bertanya demikian?"

 

Ali Ahsan Al Haris

Malang, 17 September 2020

Tuesday, August 25, 2020

Resensi Buku Laki-Laki Yang Tak Berhenti Menangis

 

LAKI-LAKI YANG TAK BERHENTI MENANGIS

 

Laki-Laki Yang Tak Pernah Berhenti Menangis
Buku ini merupakan kumpulan tulisan Rusdi Mathari, di dalamnya memuat berbagai tema yang sebagian kecil memang sudah sering diceritakan dan masyhur di kalangan pesantren. Tema-tema yang beragam itu tersebar dalam 23 judul cerita. Buku ini terbit setelah kepergian Cak Rusdi-semasa hidupnya begitu ia sering disapa-. Cerita-cerita dalam buku ini merupakan bagian dari refleksi dirinya semasa hidup.


Cerita-cerita dalam buku ini dikisahkan dengan sangat mengalir, sehingga pemahaman Islam yang santun, lembut, menghargai, menghormati, yang semuanya itu terangkum dalam napas rahmatanlilalamin, lebih mudah dicerna dan dipahami. Berbagai literatur pendukung dan kitab klasik yang diangkat sebagai pendukung, juga ditulis dan diupayakan tidak menggurui sehingga biasnya pemahaman dan tidak sampainya maksud bisa dihindari. Membaca buku ini menyadarkan kita bahwa wajah Islam sesungguhnya bukanlah yang selalu keras, tak punya sopan santun, dan seringkali disampaikan terlewat keras, melainkan berporos pada rahmah (kasih sayang).


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Buku Seperti Roda Berputar Karya Rusdi Mathari


Cara penyampaian kisah-kisah dalam buku ini, mirip seperti buku Cak Rusdi sebelumnya yang juga diterbitkan oleh Buku Mojok, Merasa Pintar Bodoh Saja Tak Punya. Menurut saya, kalaupun cerita-cerita yang ada di dalam buku ini digabungkan atau dimasukkan dalam buku Merasa Pintar Bodoh Saja Tak Punya, tetap tidak akan mengurangi nilai lebih buku itu. Menambahnya iya, termasuk menambah jumlah halamannya, hehehe. Walau begitu, bagi saya sendiri, buku ini semacam buku kedua dan merupakan lanjutan dari kisah kisah Cak Dhalom dalam buku Merasa Pintar Bodoh Saja Tak Punya, selain cara penuturannya yang juga sama, tema-tema yang diangkatpun memiliki banyak kemiripan.


Jika pernah membaca buku-buku Cak Rusdi ataupun tulisan-tulisannya yang banyak berserakan di berbagai media dengan tema serupa, kita akan menemukan beberapa tulisan dalam buku ini, kisah-kisahnya berulang. Namun, bukan berarti jadi membosankan bila membaca buku ini. Dalam buku ini kisah-kisah yang sering kita dapatkan diangkat dan disampaikan dengan cara yang berbeda. Inti dari cerita mungkin saja sama. Tapi, dengan penuturan yang berbeda, satu kisah dalam buku ini bisa saja mengantarkan kita pada berbagai kemungkinan pemahaman lainnya.


Jika kita juga memperhatiakan cerita-ceritya dalam buku ini, kita akan menemukan bahwa kisah-kisah di dalamnya adalah semacam kajian pustaka, yang memuat banyak kitab-kitab klasik dan buku-buku lainnya. Misalnya saja buku Syu’bah Asa, Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik, seringkali disebutkan dalam buku ini. Dan juga kitab Al Mawa’izihul ‘Usfuriyah atau Nasihat-Nasihat Burung Pipit para kiai biasa menyebutnya “Kitab Usfuriyah”.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Buku Laki-Laki Memang Tidak Menangis, Tapi Hatinya Berdarah, Dik


Walaupun kisah-kisah di dalam buku ini banyak bersumber dari kitab-kitab klasik dan kisah-kisah terdahulu, dengan pengalaman yang segudang dan perenungan yang dalam Cak Rusdi mengangkatnya kembali cerita-cerita itu dengan wadah yang lebih segar dan kontekstual dengan apa yang seringkali dihadapi umat saaat ini.


Misalnya saja tentang fitnah yang kian hari makin merajalela, bid’ah dan saling menyalahkan kian bersemi, kerukunan antarumat beragama semakin hari semakin menghawatirkan, tentang rasis, juga tentang penghormatan kepada ilmu pengetahuan, adab, dan penghargaan terhadap hak-hak minoritas.


Ketika membaca buku ini, saya sudah berharap banyak pada setiap kisah akan memberikan kesejukan sebagaimana yang tertera di sampul buku ini, “Kumpulan Kisah Penyejuk Hati” tapi yang kemudian terjadi saya malah menjadi banyak diam, merenung, dan berpikir berulang kali. Bahkan malah lebih sering ketakutan yang saya rasakan. Bersamaan dengan itu, setiap kali saya menutup buku ini, mengambil sedikit jeda dan melihat lagi sampulnya, bahkan hingga tuntas saya baca belum juga saya temukan kesejukan, melainkan menjadikan saya banyak merenung.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Kumcer Corat-Coret di Toilet Karya Eka Kurniawan


Dan pada akhirnya, buku ini, sedikit banyak merangkum tema-tema kontekstual yang sering dihadapi. Untuk mendalaminya memang perlu banyak bahan bacaan dan sumber lagi, utamanya untuk penguatan pegangan dari teks-teks agama dan dasar pengambilan keputusan atas apa yang dihadapi, tapi, membaca buku ini sebagai pemanasan, saya rasa sangat tepat.

 

Membaca karya Cak Rusdi memang sebuah keharusan, apalagi di tengah hiruk-pikuk seperti sekarang. Mengingatkan kembali pada hal-hal pokok yang kerap terlupakan. Kisah-kisah yang diangkat dari hadis dan Alquran disampaikan secara ringan dan melenakan, walaupun ada beberapa bagian keredaksian yang agak sukar untuk dipahami.


Kutipan ini dibawah ini diambil dari kisah Ali bin Abi Thalib r.a. yang sebetulnya sudah sering kita dengar tapi entah mengapa begitu bergemuruh saat membacanya:


"Ilmu menjagamu, tapi harta, kamulah yang harus menjaganya."


Bagi yang sudah membaca Markesot bertutur karangan Mbah Nun, mungkin akan menganggap buku ini ada sedikit kemiripan. Tapi saya akan menolak hal itu, malahan yang tepat adalah buku karangan Almarhum berjudul “Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya” yang bagiku hampir mirip dengan marksesot bertutur.


"Urusan akidah adalah urusan masing-masing individu, tapi urusan berhubungan baik dengan sesama manusia adalah urusan bersama" - Rusdi Mathari

 

Bacalah! Mungkin beberapa hal ingin didiskusikan setelah membaca buku ini dan itu wajar.

 

Sumur: https(:)//medium dot com/@AsfianMahmud/sebuah-catatan-tentang-laki-laki-yang-tak-berhenti-menangis-965f5908384d

 

Resensi Buku Seperti Roda Berputar Karya Rusdi Mathari

 

SEPERTI RODA BERPUTAR (Catatan di Rumah Sakit)

 

Seperti Roda Berputar
Bagi pembaca setia laman mojok dot co tentu mengenal siapa Jurnalis besar bernama Rusdi Mathari. Beliau telah meninggal dengan sugudang prestasi dan karya, termasuk buku-buku Almarhamum yang membuat kita sebagai pembaca merenungkan ulang, untuk apa kita hidup?


Ketika Cak Rusdi sedang sakit dan crew mojok menjenguknya di rumah sakit, dia menyampaikan keinginan untuk menuliskan sebuah karya fiksi, sebuah novel. Dan dia akan menuliskan novel itu dengan cara dicicil. Lalu, katanya lagi, bagaimana kalau potongan-potongan novelnya itu dimuat di Mojok dot co terlebih dahulu.


Para crew mojok dot co menyanggupi, dan berjanji menerbitkannya. Juga menghubungi Prima Sulistya, pemimpin redaksi Mojok dot co, menyampaikan niat Cak Rusdi. Prima pun menerima tawaran Cak Rusdi, bahkan membuatkan rubrik khusus Infus. Tayang setiap hari Senin.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Buku Laki-Laki Memang Tidak Menangis, Tapi Hatinya Berdarah, Dik


Para crew mojok tahu Cak Rusdi bersusah payah agar tetap menulis. Kebiasaan dia menulis harus duduk dengan posisi punggung tegak, di depan laptop atau komputer, dan suasana yang tenang, tidak bisa dinikmatinya lagi. Saat itu, dia hanya bisa mengandalkan telepon genggam untuk menulis. Tangan kirinya memegang telepon genggam, jempol kanan dia gunakan untuk mengetik.


Keinginan untuk menyampaikan gagasan dan menulis tetap membara di diri Cak Rusdi.


Pada hari-hari selanjutnya crew mojok dot co menerima kiriman artikel melalui pesan WhatsApp. Beliau masih sama seperti hari-hari ketika ia masih sehat. Selalu gelisah dengan apa yang ia tuliskan. Sekarang mengirim naskah, beberapa waktu kemudian dia mengirimkan naskah lagi. Naskah yang sudah dia revisi.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Buku Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam


Naskah tersebut terakhir kali kami terima pada 3 Desember 2017. Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada 2 Maret 2018, Cak Rusdi pergi meninggalkan crew mojok dot co dan para penggemarnya. Juga meninggalkan bakal novel yang belum rampung.


Meskipun Cak Rusdi sempat bercerita tentang konsep novelnya, para crew mojok dot co juga punya berbagai keterbatasan untuk mewujudkan. Para crew khawatir tidak sanggup menambal naskah sehingga menjadi satu kesatuan cerita yang utuh. Karena itu, para crew menerbitkan buku ini. Setidaknya, untuk melunasi janji. Selebihnya, agar menjaga semangat menulis dan berkarya crew mojok dot co, yang masih muda dan masih diberi nikmat kesehatan.


Sederhananya, buku ini adalah kisah jenaka yang Alm. Cak Rusdi tulis. Dibalik tumor ganas yang beliau hadapi, karakter tulisannya tetap tidak berubah. Kritis, jenaka dan membuat kita selaku pembaca untuk merenungi ulang apa saja yang telah kita lakukan untuk keluarga dan berlaku sebagai hamba dari sang pencipta!.


Banyak pembaca yang mereview buku ini dengan suasa hati yang hampir seragam. Mereka merasa sedih yang mendalam. Saya akan tuliskan ulang beberapa.


 Sampai sekarang, ada dua tempat yang sangat saya hindari dalam hidup saya, yaitu rumah sakit dan pengadilan. Berurusan dengan aparat penegak hukum bagi saya sama buruknya dengan petugas medis. Jika bisa dihindari, lebih baik menghindar. "Seperti Roda Berputar" karya Rusdi Mathari ini bagi saya merupakan sebuah mimpi buruk, manifestasi dari kekhawatiran-kekhawatiran saya ketika berurusan dengan petugas medis. Kesulitan biaya, menanggung penyakit berat, dan harus bergantung pada BPJS tentu merupakan hal yang tidak ingin kita hadapi. Dengan kondisi semacam itu, Cak Rusdi menceritakan kisahnya saat di rumah sakit dengan detail tapi tetap humanis. Saya seolah bisa merasakan betul bagaimana kondisi rumah sakit yang kacau dan penuh dengan penderitaan. Sayang, Cak Rusdi sudah pergi sebelum menyelesaikan karya-karyanya yang lain. Meskipun begitu "Seperti Roda Berputar" tetaplah sebuah memoar singkat yang membekas, karena "kematian hanya bisa direnungkan oleh mereka yang masih hidup. (Evan Kanigara).


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Novel Cinta Lama Karya Puthut EA


Membaca buku Cak Rusdi ini mengingatkan kejadian yang hampir sama seperti yang dialami oleh kakek dan keluarga saya sebagai pengguna jasa jaminan kesehatan yang dikelola oleh Pemerintah. Betapa hati saya hancur melihat kakek saya yang sudah lanjut usia ini mengeluh selama tiga hari tiga malam di ruang IGD rumah sakit rujukan di kota saya, dengan kondisi kedua tangan yang nyeri tidak bisa lagi digunakan dan perut yang selalu sakit karena terluka akibat terlalu banyak mengonsumsi obat anti nyeri dengan dosis yang tinggi, tanpa resep dokter. Jangan dibayangkan IGD tempat kakek saya ini ruangan yang nyaman. Meskipun ruangan ini ukurannya sekitar 10x10m, tapi ruangan ini diisi oleh belasan pasien dengan berbagai macam jenis penyakit ditambah beberapa keluarga yang menunggui masing-masing pasien. Bahkan sebelum masuk di ruangan tersebut, Kakek saya sempat di tempatkan di lobby pintu rumah sakit. Iya, benar-benar tempat lalu lalang orang keluar-masuk rumah sakit. Sesekali kakek saya dijenguk oleh mba-mba perawat yang rutin mengecek tensi kakek saya setiap pagi dan sore. Jangankan untuk tidur, makan dan minum saja kakek saya tak mampu karena mencium berbagai bau-bauan yang tidak enak di ruangan IGD. Kami sekeluarga mencoba memberi pengertian kepada Kakek untuk sabar sampai mendapatkan ruangan khusus yang nyaman nantinya.


Melihat kondisi kakek yang semakin banyak ngomel, Bapak saya sudah tidak tahan lagi. Beliau berencana untuk mencabut berkas pendaftaran kakek saya, kemudian mendaftarkannya lagi sebagai peserta umum, non asuransi. Namun pihak rumah sakit menolak dengan alasan bagaimana pun juga peserta maupun non peserta jaminan kesehatan tetap harus memakai kartu sakti itu karena pelayanannya akan sama saja.


Tepat pada hari ketiga, kakek saya menyerah. Ia pingsan di kamar mandi rumah sakit pada saat dibopong Bapak dan Om saya untuk buang air. Fesesnya sudah menghitam dan keras sehingga susah untuk dikeluarkan (dalam bahasa jawa disebut gegelen). Bapak saya mengaku, kakek saya langsung pingsan selepas memaksakan diri untuk mengeluarkan fesesnya tersebut. Baru kali ini saya melihat Bapak menangis sejadi-jadinya sambil membopong kakek keluar dari kamar mandi yang bersimbah kotoran disekujur kakinya. Barulah kemudian kakek saya dipindahkan di suatu ruangan khusus dan dipasangkan selang oksigen di mulutnya. Stetoskop ditempel di dada dan dokter mendapat kesimpulan bahwa jantung kakek saya melemah. Cepat-cepat dokter mengeluarkan alat sejenis defibliator, untuk menstimulasi detak jantung kakek agar kembali normal. Beberapa kali alat pacu jantung itu ditempelkan ke dada kakek. Alhamdulillah kakek masih bisa terselamatkan. Ruangan itu lebih mirip gudang penyimpanan daripada ruang khusus pasien kritis. Tabung dan selang oksigen, bahkan kardus berserakan dimana-mana. Sambil membersihkan kaki dan dubur kakek, lantas memakaikannya popok. Saya tercekat menahan tangis. Saya belum siap kehilangan.


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan


Dua hari kakek saya di ruangan itu dan dan hanya terbaring tanpa daya. Kakek sudah tidak mampu lagi menggerakan anggota tubuhnya kecuali berkedip. Saya mengajaknya ngobrol sambil memegang tangannya yang dingin. Berharap dia lekas membaik walau nafasnya kian tersengal-sengal.


Dini hari beliau mendapatkan kamar yang sangat nyaman di rumah sakit yang sama dengan bangunan yang masih baru. Kakek saya terbaring lemah dan dipasang infus baru yang cairannya berwarna kekuningan, tidak lagi bening seperti biasanya. Makin parah 'kah beliau?


Dua malam kakek saya bermalam di kamar itu. Kata pasien yang sudah lebih lama disitu, hampir selalu ada pasien yang keluar-masuk ruangan. Kakek saya adalah orang kelima yang masuk. Ya, mereka yang dipindahkan ke ruangan lain setelah dokter menyatakanya meninggal dunia, kemudian diisi oleh pasien lain yang sama kritisnya. Sudah dapat dipastikan bahwa orang itu sering mendengar isak tangis keluarga yang ditinggalkan, hampir setiap malam. Bagaimana perasaan pasien disini? Saya pikir akan lebih tertekan. Bukan hanya pasiennya tentu saja, tapi juga keluarga yang menunggui.


Melihat kondisi kakek yang cukup baik, saya memutuskan untuk pulang karena sudah berhari-hari tidak mandi. Esok paginya saya mendapati kakek telah berpulang, tanpa saya disisinya. Saya tidak ingin menyalahkan siapapun disini. Siapa yang tahu takdir Tuhan 'kan? Sakit itu memang mahal ya. Siapa pula yang mau repot-repot mengurusi orang tua yang sudah tinggal menanti ajalnya? (Elisma Herdinawati)


Baca Tulisan Saya Yang Lain: Resensi Novel Para Bajingan Yang Menyenangkan


Dan terakhir review dari, Trian Lesman : Buku kecil ini membawa perasaan yang berbeda dari buku lain. Bagaimana tidak, Cak Rusdi seperti menceritakan sendiri detik-detik kematiannya. Di tengah hidupnya yang tak berdaya, Cak Rusdi masih menyempatkan untuk menulis. Ia tidak bisa tidak menulis. Ketika tak bisa menulis di depan laptop dengan duduk, ia mengetik dengan ponsel. Ketika jari-jarinya sudah tidak mampu digerakkan secara layak, ia hanya menggunakan jempolnya. Bahkan ketika ia benar-benar tak sanggup, ia minta ceritanya dituliskan orang lain.


“Saya harus mengetik, harus bertahan dan hidup.”

 

Terimakasih Banyak

Malang, 19 Agustus 2020

Ali Ahsan Al Haris